Dekan

Dekan FH Unpatti: Kebijakan Pemerintah Jangan Abaikan Hak Masyarakat Hukum Adat

Berita

Dekan Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Hendrik Salmon menyoroti dinamika politik hukum dalam pengelolaan sumber daya alam. Terutama terkait masyarakat adat dan kebijakan pemerintah. Menurutnya dalam praktik politik hukum, arah kebijakan seringkali dipengaruhi oleh kepentingan penguasa.

“Jika suatu kebijakan menguntungkan penguasa, maka akan dikejar. Namun, jika tidak, maka akan mengikuti prosedur yang berlaku sesuai dengan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” ujar Hendrik kepada Hukumonline, Rabu (5/3/2025). 

Ia menyorot tren regulasi yang tengah berkembang. Seperti Rancangan Undang-Undang Minerba dan Rancangan Undang-Undang BUMN yang keduanya sudah disetujui dan disahkan menjadi UU. Menurutnya, UU Minerba terbaru dan UU No.1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN saat ini menjadi isu yang tengah banyak diperbincangkan lantaran disahkan secara kilat.

Sementara RUU Masyarakat Hukum Adat yang sudah bergulir dan mendesak tidak kunjung menampakkan hilalnya untuk disetujui dan disahkan menjadi UU. Salah satu yang ia soroti dari pengesahan RUU BUMN adalah pembentukan Danantara yang tampaknya menjadi jalan mulus bagi pemerintah untuk memperluas kendali dalam lingkup kekuasaannya. 

Tetapi ia berharap, kebijakan tersebut tidak berbenturan dengan kepentingan masyarakat. Khusus di Maluku, Hendrik menegaskan pengelolaan sumber daya alam dan mineral berada dalam petuanan masyarakat adat. Oleh karena itu, masyarakat adat seharusnya dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. 

“Negara memiliki hak menguasai, bukan memiliki. Artinya, negara harus mengatur dengan tetap melibatkan masyarakat adat sebagai mitra, bukan sekadar objek kebijakan,” tegasnya.

Ia menilai kasus penutupan perusahaan tambang pasir mineral di Maluku dianggap sarat kepentingan pemerintah. Hendrik menilai partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan kerap diabaikan. 

“Saat ada kepentingan pemerintah, kebijakan bisa berjalan cepat. Tapi kalau menyangkut hak masyarakat adat, prosesnya sering berlarut-larut,” katanya.

Hendrik menyinggung UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa yang seharusnya memberi ruang lebih besar bagi masyarakat adat. Namun, hingga kini menurutnya masukan yang diberikan kepada DPRD dan DPD mengenai hak-hak masyarakat adat seringkali diabaikan. 

“Kami sering diminta memberikan legal reasoning, tetapi masukan tersebut seolah hilang begitu saja,” ujarnya.

Dalam musyawarah masyarakat adat yang digelar di Irian Jaya Papua, Hendrik menegaskan pengakuan terhadap hak masyarakat adat sangat bergantung pada kemauan politik pemerintah. 

“Jika pemerintah memiliki good will, mendukung masyarakat adat itu sangat mudah. Namun, jika keberadaan mereka dianggap sebagai hambatan, maka masyarakat adat akan terus terpinggirkan,” katanya.

Lebih lanjut, Hendrik menekankan hukum adat di Maluku memiliki sistem petuanan yang kuat. Ketika masyarakat adat dilibatkan dalam pengelolaan sumber daya, mereka merasa memiliki hak bersama. Sebaliknya jika tidak diikutsertakan, potensi konflik dengan pemerintah akan meningkat. 

“Masyarakat adat itu punya rasa kepemilikan yang besar terhadap tanah dan sumber daya. Jika mereka diabaikan, protes dan aksi-aksi demonstrasi bisa muncul,” jelasnya.

Ia mengingatkan salah satu faktor pemicu konflik di Ambon di masa lalu adalah kesenjangan sosial dan ketimpangan kebijakan. Jika pemerintah tidak merangkul masyarakat adat, mereka bisa menjadi pihak yang berseberangan dengan pemerintah. Karenanya semua pihak harus belajar dari sejarah agar hal ini tidak terulang.