ASPEK HUKUM PIDANA DI DALAM
PELANGGARAN PEMILIHAN UMUM
(Kajian Dari Perspektif Kebijakan Hukum Pidana)
Oleh : John Dirk Pasalbessy
A. Pengantar
Reformasi yang digulirkan mahasiswa tahun 1997 lalu, yang mengakibatkan turunnya Suharto, ternyata berdampak pada tuntutan dan perubahan diberbagai bidang kehidupan. Salah satu yang kini ramai diperbincangkan dan sementra dijalani bangsa Indonesia adalah bidang politik, lebih khusus pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), apakah itu pemilu legislatif, pemilu presiden maupun pemilu kepala daerah.
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia sendiri pada hakekatnya merupakan sarana pemenuhan demokrasi dari suatu negara, yakni perwujudan dari asas kedaulatan rakyat sebagaimana rumusan Pasal 1 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang Undang Nomor : 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bahwa pemilihan umum selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menarik bahwa dalam penyelenggaraan pemilu yang mulai dari tahapan awal, pendaftaran calon peserta pemilu dan calon pemilih, kemudian dilanjutkan dengan penetapan calon peserta dan pemilih, selanjutnya pelaksanaan kampanye hingga waktu pencontrenangan, penuh dengan intrik-intrik politik atas dasar sensifitas politik masing-masing peserta pemilu. Tak heran jika Bawaslu Pusat maupun Panwaslu di daerah-daerah memiliki segudang bukti pelanggaran baik yang dilakukan oleh penyelenggara, peserta maupun pelaksana pemilu, pemerintah serta lembaga peradilan hingga masyarakat umum. Ironisnya, dari sekian pelanggaran yang dilakukan, terlihat hanya beberapa kasus saja yang diproses melalui jalur hukum, itupun jika pelanggaran tersebut menjadi opini publik, padahal dari beberapa kasus yang motif dan modus operandinya sama diberbagai daerah, ada yang justru tidak diselesaikan melalui jalur hukum, sehingga terkesan bersifat “disparitas” atau juga diskriminatif.
Dalam kaitan itu yang menarik adalah, apakah motif dan modus operandi pelanggaran pemilu sebagaimana rumusan dalam undang undang pemilu mesti ditanggulangi dengan mengandalkan sarana hukum pidana. Jika memang mesti digunakan sarana hukum pidana, apa sebenarnya delik inti (benstandel delicten) atau inti perbuatan yang dilarang dan yang diancam dengan pidana (tindak pidana) sebagai dasar penegakan hukum dari proses penyelenggaraan pemilu di Indoesia selama ini.
Dari perspektif kebijakan hukum pidana, sebenarnya perlindungan terhadap berbagai aturan hukum yang bersifat administratif merupakan suatu tuntutan yang wajar, sebab berbagai perilaku yang dilarang oleh ketentuan perundang-undangan administratif baru dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana, apabila perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur yang menjadi dasar larangan dari aturan administratif tersebut, sedangkan penggunaan sanksi pidana hanya lebih bersifat menguatkan norma administratif belaka. (Muladi, 1990) Walaupun demikian dalam hal ini tidak boleh dilupakan bahwa penggunaan hukum pidana mempunyai keterbatasan (banding asas ultimum remedium).
Diakui bahwa pemilu memang bukanlah merupakan wilayah hukum dari hukum pidana, mengingat kaitannya dengan pelaksanaan demokrasi suatu bangsa, oleh sebab itu, pemilu sebenarnya merupakan bagian dari wilayah hukum tatanegara, dan karena kebijakan hukum, selanjutnya mekanisme dan penyelenggaraannya dirumuskan di dalam suatu ketentuan perundang undangan, yang melibatkan pula hukum pidana, inklusif sanksi pidana sebagai sanksi penguat norma administratif. Dari perspektif hukum pidana, ada tiga problema dasar yang penting, yakni : (a) ada perbuatan yang dilarang oleh aturan pidana atau tindak pidana; (b) ada orang yang melakukan tindak pidana atau pertanggungjawaban pidana; dan (c) ada sanksi berupa pidana bagi orang yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana. (Barda Nawawi Arief, 1996)
Dalam kaitan itu maka yang menjadi persoalan untuk dibahas selanjutnya adalah, apakah tindak pidana pemilu sebagaimana dirumuskan dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 dapat dikualifikasi sebagai perbuatan yang dapat dipidana (tindak pidana) menurut pendekatan kebijakan hukum pidana (penal policy). Bagaimana dengan berbagai kasus pelanggaran pemilu yang terjadi selama ini, apakah terhadap perbuatan tersebut efektif dikenakan sanksi pidana.
B. Pengertian, Hakekat dan Tujuan Penyelenggaraan Pemilu.
Di dalam Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, antara lain dijelaskan bahwa makna dari “kedaulatan berada di tangan rakyat” sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ialah, bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, maka dilaksanakan pemilihan umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut.
Dalam kaitan dengan itu, di dalam penjelasan umum Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 antara lain ditegaskan, sesuai Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum dimaksud, diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, artinya setiap warga negara Indonesia terjamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasinya pada setiap tingkatan pemerintahan dari pusat hingga ke daerah. Yang menarik bahwa ternyata pelaksanaan pemilu bukanlah hal yang mudah. Prinsip penyelenggaraan pemilu sesuai asas langsung, dimaksudkan agar rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Demikian juga yang bersifat umum, mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.
Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya oleh negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain. Dalam penyelenggaraan pemilu ini, penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
Dalam prakteknya, keinginan sebagaimana di atas tidak selamanya dapat dipenuhi. Sebab kecenderungan memanfaatkan kesempatan untuk memenangkan salah satu pihak atau juga partai peserta pemilu senantiasa terbuka. Oleh sebab itu seringkali tidak dapat dihindari adanya perilaku menyimpang yang cenderung melanggar norma
C. Kebijakan Perlindungan Hukum Pidana Terhadap Pemilihan Umum
Dengan berkembangnga masyarakat yang diiringi dengan terbatasnya lapangan kerja, maka tidak dapat disangkal bahwa keadaan demikian akan cenderung berpeluang menimbulkan berbagai jenis kejahatan, yang dampaknya bukan saja pada gangguan dan kerugian bagi individu dan masyarakat, tetapi juga bangsa. Seringkali jika timbul gangguan dan kerugian orang cenderung berpaling pada hukum pidana, dan berharap penagakan hukum pidana akan mampu menanggulangi fenomena kejahatan tersebut, sehingga terciptanya kedamaian dan ketentraman.
Jika benar pandangan demikian, maka mungkin yang perlu disikapi adalah bagaimana hukum pidana itu digunakan sebagai sarana (tool) untuk menanggulangi kejahatan dan berbagai gangguan sosial secara arif dan bijaksana. Pandangan ini beralasan mengingat dari perspektif kriminologis, penyebab kejahatan itu sendiri tidak semata-mata bersumber dari keadaan diri seseorang, akan tetapi juga merupakan akibat dari keadaan lingkungan di mana ia berada (anomie) yang didukung oleh kemajuan iptek. Karena itu tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan kejahatan memang senantiasa bersifat mutlidimensi. (Romli Atmasasmita, 1982)
Terhadap hal demikian, dari perspektif kebijakan hukum pidana yang perlu menjadi kajian adalah, bagaimana membenahi perangkat sistem hukum pidana Indonesia saat ini, yang antara lain meliputi : (a) pengaturan terhadap substansi hukum pidana materiil; (b) pengaturan terhadap struktur kelembagaan hukum pidana yang profesional; serta (c) pengaturan terhadap sistem pidana dan pemidanaan yang manusiawi. (Muladi, 1990)
Kebijakan hukum pidana (penal policy) atau dikenal dengan istilah politik hukum pidana memang merupakan salah satu pendekatan dalam hukum pidana modern (the modern ciminal science), selain pendekatan “criminology” dan “criminal law”. (Marc Ancel, 1965 : 4-5) Menurut Ancel, kebijakan hukum pidana merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik, dan memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan”. Dikatakan, “diantara studi mengenai faktor-faktor kriminologis disatu pihak, dan studi mengenai teknik perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidik fenomena legislatif yang rasional, di mana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerjasama, tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat.
Istilah “kebijakan” berasal dari istilah “policy” (Inggris) atau “politie” (Belanda). Menurut Robert R Mayer dan Ernest Greenwood (, ”kebijakan” (policy) dapat dirumuskan sebagai suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan secara kolektif. Menurut Sudarto (1981 : 15) politik hukum adalah :
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;
2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam mayarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. (Sudarto, 1983 : 20)
Dijelaskan, melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang lebih baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna. (Sudarto, 1981)Pada bagian lain dikemukakan juga bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti adanya usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. (Sudarto, 1983) Dilihat dari segi politik hukum, politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundangan-perundang pidana yang baik. Menurut Mulder (1980 : 333), “strafrechtspolitiek” atau politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk menentukan :
1. Seberapajauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku diubah atau diperbaharui;
2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
Jika dipahami pengertian kebijakan hukum pidana atau “penal policy” di atas, diasumsikan bahwa usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dilihat dari persepktif politik kriminal, politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal). Dalam konteks yang lebih besar, kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (pidana). Karena itu kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (Law enforcement policy). Apabila tujuan hukum pidana adalah melindungi kepentingan negara dan masyarakat, maka pemilu sebagai bagian dari usaha demokratisasi suatu negara, termasuk Indonesia juga mesti mendapat perlindungan. Hal ini dimaksudkan bahwa negara bermaksud mengatur ketertiban umum di dalam negara tersebut.
Muladi (1990 : 7) dalam kaitan itu menegaskan bahwa keterlibatan hukum pidana ke dalam bidang hukum lainnya (administratif) hanya bersifat komplementer. Dalam hal semacam ini, kedudukan hukum pidana hanya bersifat menunjang penegakan norma yang ada di bidang hukum lainnya, seperti perpajakan, hak cipta, paten dan sebagainya. Bahkan dalam hal tertentu perannya diharapkan lebih bersifat fungsional, daripada sekedar bersifat subsider, mengingat situasi perekonomian (politik dalam negeri, garis bawa penulis) yang kurang menguntungkan. Dalam pada itu, maka diakuinya bahwa fungsionalisasi hukum pidana atau tegasnya sanksi pidana dalam hal ini merupakan tuntutan yang wajar, mengingat kepentingan hukum yang dilindungi sangat besar.
Sama halnya dengan bidang kehidupan lainnya, pemilu merupakan salah satu benda hukum yang dilindungi hukum pidana. Alasanya, hukum pidana memang memiliki kelebihan dibandingkan dengan bidang hukum lainnya. Sebagai hukum sanksi yang negatif, hukum pidana, inklusif sanksi pidana dapat digunakan sebagai sarana (tool) karena memiliki daya pemaksa agar orang menjadi patuh pada aturan. Menurut Barda Nawawi Arief (2005), pada hakekatnya hukum pidana berfungsi melindungi berbagai kepentingan tertentu, dan karena itu menurutnya kepentingan tersebut bisa individu, masyarakat, bangsa dan negara.
Pemilihan umum sebagai salah satu sarana demokrasi rakyat baru beberapa kali diselenggarakan di Indonesia, bahkan pada tahun-tahun terakhir ini akibat perubahan paradigma peta politik dunia dan tuntutan demokratisasi masing-masing negara, membuat pemerintah dan kalangan politisi senantiasa mencari format yang tepat mengenai bagaimana pemilu diselenggarakan. Hal ini wajar, sebab sebagai bangsa yang berbudaya, kitapun tidak ingin terjebak pada kepentingan-kepentingan sesaat berdasarkan ideologi sempit, yang tidak sejalan dengan ideologi Pancasila yang merupakan komitmen bangsa sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Walaupun demikian, diakui juga bahwa apapun baik dan sempurnanya suatu sistem demokrasi, namun kita mesti pula kembali pada etika dan budaya bangsa. Undang-undang pemilu memang telah dibuat, dan mengalami beberapa kali perubahan, namun tidak dapat disangkal bahwa ternyata masih saja ada kecenderungan dalam bentuk pelanggaran-pelanggaran yang memiliki dimensi hukum penting. ini
Persoalannya adalah, dapatkah pelanggaran pemilu dikualifikasi sebagai tindak pidana. Andi Hamzah (2008 : 2) menegaskan “ternyata tidak semua perbuatan jahat dapat masuk menjadi hukum pidana, dan tidak semua yang masuk hukum pidana itu merupakan perbuatan jahat.
D. Tindak Pidana Pemilihan Umum
Menyelusuri beberapa rumusan tindak pidana tentang pemilihan umum selama ini di dalam beberapa peraturan perundang undangan di Indonesia, terdapat beberapa rumusan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Bab IV Buku II KUHP, seperti ditemui dirumuskan dalam :
- Pasal 148, yang memidana seseorang apabila dengan sengaja dan dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan merintangi seseorang yang akan melakukan hak memilihnya menjadi terganggu.
- Pasal 149 yang pada waktu pemilihan umum berlangsung memberikan atau menjanjikan atau menyuap seseorang agar tidak menggunakan hak pilihnya, atau mengikuti apa yang diiginkan pemberi, bahkan terhadap penerima suab juga dapat dikenakan pidana.
- Pasal 150, yakni perbuatan tipu muslihat yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak berharga.
- Pasal 151 yang merumuskan perbuatan dengan sengaja mengaku dirinya orang lain, dan
- Pasal 152 merumusakan perbuatan dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara yang telah dilakukan atau melakukan perbuatan tipu muslihat yang menyebabkan hasil pemungutan menjadi lain.
Menyimak rumusan perbuatan pidana dan pola perumusan ancaman pidana di dalam pasal-pasal KUHP di atas, dikatakan bahwa rumusannya memang masih sangat sederhana, karena itu rata-rata ancaman sanksi pidana berkisar antara 9 (sembilan) bulan hingga 2 (dua) tahun pidana penjara, dan tidak dikenakan sanksi pidana denda. Ini tentu merupakan bentuk kebijakan perumusan masa lalu yang cenderung bersifat kolonial, karena diakui bahwa KUHP yang saat ini diberlaku bagi bangsa Indonesia memang merupakan warisan kolonial sejak jaman Hindia Belanda.
Dengan perkembangan politik sebagai akibat tuntutan dan kebebasan dalam berdemokrasi, rumusan tindak pidana yang berhubungan dengan tindak pidana politik di dalam KUHP di atas dirasakan sudah tidak dapat menjawab kebutuhan dalam masyarakat. Dari berbagai pengalaman penyelenggaraan pemilu yang dilakukan di Indonesia, dan dengan bertumpu pada perkembangan paradigma kehidupan berdemokrasi yang terjadi selama ini, ternyata tatacara dan mekanisme pemilu juga ikut mempengaruhi perubahan tingkah laku baik peserta, pelaksana, penyelenggaran pemilu maupun beberapa lembaga pemerintah dan peradilan yang menjadi objek rumusan tindak pidana pemilu sebagaimana dirumuskan di dalam pasal 260 – 311 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang secara garis dikelompokan dalam beberapa kualifikasi perbuatan, seperti :
1. Perbuatan pidana yang ditujukan setiap orang, yang meliputi :
a. Perbuatan menghilangkan hak pilih orang lain (pasal 260)
b. Perbuatan m memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau orang lain yang berkaitan dengan pengisian daftar pemilih (pasal 261);
c. Perbuatan menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya (pasal 262);
d. Perbuatan curang untuk menyesatkan seseorang atau dengan memaksa atau dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi guna memperoleh dukungan bagi pencalonan anggota DPD dalam pemilu sebagaimana dalam pasal 13 (pasal 265)
e. Membuat surat atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang memakai, atau setiap orang yang dengan sengaja menggunakan surat atau dokumen yang dipalsukan untuk menjadi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota atau calon Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan dalam Pasal 73. (pasal 266)
f. Melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan (Pasal 269)
g. Melanggar larangan pelaksanaan kampanye Pemilu (pasal 270)
h. Memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang ditentukan. (pasal 276)
i. Mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye Pemilu (pasal 278)
j. Memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye. (pasal 281)
k. Mengumumkan hasil survei atau hasil jajak pendapat dalam masa tenang. (pasal 282)
l. Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memiliki peserta pemilu lainnya atau menggunakan cara tertentu pada saat pemungutan (pasal 286)
m. Menghalangi seseorang yang akan mekakukan hak pilihnya atau melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketentraman selama pelaksaaan pemungutan suara. (pasal 287)
n. Perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih tidak bernilai atau menyebabkan peserta pemily tertentu mendapat tam bahan suara atau suaru peserta pemilu menjadi berkutang (pasal 288)
o. Mengakui diri sebagai orang lain pada saat pemungutan suara (pasal 289).
p. Memberikan suara lebih dari satu kali atau lebih TPS. (pasal 290)
q. Menggagalkan pemungutan suara (pasal 291)
r. Majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada pekerja untuk memberikan suaranya pada pemungutan suara kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan. (pasal 292)
s. Menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel. (pasal 293);
t. Membantu pemilih memberitahukan pilihan pemilih kepada orang lain (pasal 295)
u. Karena kelalaiannya menyebabkan rusah atau hilangnya berita acara pemungutan dan perhitungan dan sertifikat hasil pemungutan suara yang sudah disehal (pasal 297)
v. Mengubah berita acara hasil pemungutan suara dan/atau sertifikat hasil pemungutan suara (pasa; 298)
w. Merusak, mengganggu atau mendistorsi sistem informasi pehitungan suara hasil pemilu. (pasal 300)
x. Setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan cepat dan mengumumkan hasil penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara (pasal 307)
y. Setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan cepat yang tidak memberitahukan bahwa hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi Pemilu (pasal 308)
2. Perbuatan pidana yang dapat dilakukan oleh petugas KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS dan PPLN, meliputi :
a. Memperbaiki daftar pemilih sementara (pasal 263);
b. Tidak menindaklanjuti temuan Bawaslau, Panwaslu provinisi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Penwaslu Kecamatan, PPL, PPLN dalam melaku pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang merugikan WNI yang memiliki hak pilih (pasal 264);
c. Anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak menindak-lanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota dalam melaksanakan verifikasi papol calon Peserta Pemilu (Pasal 267);
d. Anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak menindak-lanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota dalam pelaksanaan verifikasi parpol calon Peserta Pemilu dan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota (pasal 268);
e. Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindak pidana Pemilu dalam pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) (pasal 275)
f. Penetapan jumlah surat suara yang dicetak melebihu jumlah yang ditentukan oleh Ketua KPU (pasal 283)
g. Ketua dan anggota KPPS/KPPSLN yang tidak memberikan surat suara pengganti apabila surat suara rusak atau tidak mencatat surat suara di dalam berita cara. (pasal 294)
h. KPU Kabupaten/Kota yang tidak menetapkan pemungutan suara ulang di TPS (pasal 296 ayat (1))
i. Ketua dan anggota KPPS yang tidak melaksanakan ketetapan KPU kabupaten/ kota untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di TPS. (pasal 296 ayat (2))
j. Angota KPU, KPU provinsi, KUP kabupaten/kota dan PPK yang karena kelalaianya mengakibatkan hilang atau berubahannya berita acara hasil rekapiltulasi perhitungan perolehan suara/atau sertifikat perhitungan suara (pasal 299 ayat (1) dan jika dilakukan dengan sengaja, pidana ditambah menjadi 2 kali lipat.
k. Ketua dan anggota KPPS/KPPSLN yang tidak membuat dan menandatangani berita acara perolehan suara peserta pemilu dab calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. (pasap 301)
l. KPPS/KPPSLN yang tidak memberikan salinan satu eksemplar berita acara pemungutan dan perhitungan suara, dan sertifikat hasil pemungutan suara kepada saksi pemilu, pengawasa pemilu lapangan, PPS, dan PPK melalui PPS. (pasal 302)
m. KPPS/KPPSLN yang tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara, dan menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara, kepada PPK melalui PPS atau kepada PPLN bagi KPPSLN pada hari yang sama (pasal 303);
n. Setiap Pengawas Pemilu Lapangan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel kepada PPK dan Panwaslu kecamatan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel kepada KPU kabupaten/kota (pasal 304)
o. PPS yang tidak mengumumkan hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya (pasal 305).
p. KPU tidak menetapkan perolehan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara nasional. (pasal 306)
q. Ketua dan anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (pasal 309)
r. Ketua dan anggota Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, dan/atau Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri yang dengan sengaja tidak menindaklanjuti temuan dan/atau laporan pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS/PPLN, dan/atau KPPS/KPPSLN dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu. (pasal 310)
3. Perbuatan pidana yang ditujukan pada pelaksana kampanye, seperti :
a. Perbuatan melanggar pelaksana kampanye (pasal 271);
b. Perbuatan memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye dengan maksud untuk tidak menggunakan hak pilih atau memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan haknya tetapi mebuat surat suaranya tidak sah (pasal 274)
c. Karena kelalaian mengakibatkan tahapan penyelenggaraan pemilu di tingkat desa/kelurahan terganggu, dan apabila dilakukan dengan sengaja, maka pidana diperberat (pasal 279).
d. Pelaksana, peserta atau petugas yang dengan sengaja atau lalai mengakibatkan terganggunga tahapan penyelenggara pemilu.(pasal 280)
4. Perbuatan pidana yang ditujukan pada peserta pemilu, sebagaimana diatur dalam pasal 277, bahwa peserta pemilu yang terbukti menerima sumbangan dan/atau bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139.
5. Perbuatan pidana yang ditujukan pada pejabat negara/pejabat pemerintah dan lembaga peradilan, yang meliputi :
a. Setiap Ketua/Wakil Ketua/Ketua Muda/hakim Agung/hakim Konstitusi, hakim-hakim pada semua badan peradilan, Ketua/Wakil Ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur Bank Indonesia serta Pejabat badan usaha milik negara/ badan usaha milik daerah yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (3) (pasal 272)
b. Pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepala desa, dan perangkat desa, dan anggota badan permusyaratan desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (3) dan ayat (5) (pasal 273)
6. Perbuatan pidana yang ditujukan pada perusahan pencetak surat suara, yang meliputi :
a. Mencetak surat suara melebihi jumlah yang ditetapkan. (pasal 284)
b. Tidak menjaga kerahasiaan, keamanan dan keutuhan surat suara (pasal 285)
Mencermati kembali rumusan tindak pidana di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan perumusan tindak pidana dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 1982 ini tidak sama dengan kebijakan perumusan dalam KUHP, karena ternyata rumusan tindak pidana mengalami perluasan bukan saja pada setiap orang, tetapi juga ada beberapa kategori subjek, seperti peserta pemilu, penyelenggara pemilu, pejabat negera, pemerintah dan peradilan, serta lain sebagainya. Demikian juga dengan ancaman sanksi pidana, di mana rumusannya cenderung menggunakan sistem alternatif, yakni antara pidana penjara dan pidana denda, sementara kebijakan pola perumusan sanksi pidana dalam KUHP hanya bersifat tunggal, yakni pidana penjara.
Dari perspektif kebijakan hukum pidana pola perumusan perbuatan dan ancaman pidana ini memang menarik untuk dibicarakan lebih lanjut.
E. Kebijakan Hukum Pidana Pidana Yang Tidak Integrated (Terpadu)
Mengacu pada kategori rumusan tindak pidana pemilihan umum sebagaimana diatas, maka apabila ditinjau dari ruang lingkup kebijakan hukum pidana dapat disimpulkan bahwa sebenarnya perumusan tindak pidana sebagaimana di dalam Undang Undang Nomor 10 tahun 2008 cenderung bersifat over kriminalisasi. Artinya, ada rumusan yang sebenarnya tidak perlu diancam dengan sanksi pidana, karena kualifikasi perbuatan yang dirumuskan lebih bersifat teknis, oleh sebab itu adalah lebih tepat jika digunakan sanksi administratif.
Menurut Barda Nawawi Arief (2005 : 29) di dalam kebijakan hukum pidana, terdapat 2 (dua) masalah sentral yang mesti menjadi perhatian jika hukum pidana, inklusif sanksi pidana ingin dilibatkan yakni :
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan
2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Ditegaskan oleh Barda Nawawi Arief, analisa terhadap masalah sentral ini tidak dapat dipisahkan dari konsepsi integral kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial dan kebijakan pembangunan nasional. Artinya, pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diserahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial yang telah ditetapkan. Dengan demikian, kebijakan hukum pidana termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).
Sama halnya dengan Sudarto (1977 : 44 – 48) yang berpendapat bahwa dalam menghadapi dua masalah sentral di atas, maka terhadap masalah sentral yang pertama harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya :
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu perwujudan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan penggugeran terhadap tindakan penganggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan sipirutil) atas warga masyarakat;
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle);
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
Pendapat kedua ahli di atas didukung pula oleh beberapa pemikiran yang pernah berkembang pada penyelenggaraan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional tahun tahun 1980 lalu. Dalam satu laporannya, ditegaskan bahwa “masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauhmana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat”. Simposium merumuskan beberapa langkah perumusan tindak pidana yang mesti diperhatikan, yakni :
1. Apakah perbuatan itu tidak disukai atatu dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban;
2. Apakah biaya kriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban, pelaku dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.
3. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya.
4. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.
Sama halnya dengan masalah pemilu, bahwa penyelenggarannya tidak berdiri sendiri atau bersifat fakultatif, akan tetapi merupakan bagian dari politik sosial suatu bangsa, dan karena itu diperlukan adanya pengamanan melalui kebijakan hukum atau politik hukum, yang dalam hal ini dapat berupa penggunaan sarana hukum administrasi maupun sarana hukum pidana (penal).
Dalam arti penggunaan hukum administrasi, maka rumusan perbuatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu lebih digantungkan pada asas dan norma yang berlaku di dalam hukum administrasi itu sendiri, karena itu “inti rumusan perilaku dan/atau perbuatan” yang dianut di dalam undang undang pemilu disebut dalam beberapa kategori, yakni peserta, pelaksana, penyelenggara, lembaga pemerintah dan peradilan, maupun masyarakat dalam proses pemilihan umum mesti lebih bersifat teknis administratif. Jika diantara pelaku, pelaksana, penyelenggara, lembaga pemerintah maupun masyarakat pada umumnya ada yang melanggar, maka sebaiknya digunakan terlebih dahulu sanksi yang besifat administratif, dan apabila usaha penggunaan sanksi tersebut tidak mendapat dukungan, barulah digunakan sanksi hukum pidana. (banding asas ultimum remedium atau subsider).
Hal ini mesti dipahami secara benar, sebab penggunaan sarana hukum pidana, inklusif sanksi pidana di dalam menanggulangi berbagai pelanggaran baik sebelum, selama maupun setelah pemilu dilaksanakan tidak selalu efektif. Hal ini terlihat dalam beberapa kasus yang pada suatu daerah diperiksa dan diberi sanksi oleh lembaga pengadilan, namun pada beberapa daerah lainnya tidak demikian.
Menganalisis rumusan tindak pidana dan pola ancaman pidana dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 memang belum dikatakan rasional jika dianalisis dari pendekatan kebijakan hukum pidana. Walaupun demikian haruslah diakui bahwa undang undang pemilu yang saat ini digunakan memang merupakan sebuah produk politik yang telah mengalami proses legislasi secara matang di lembaga legislatif. Padahal jika memang kebijakan hukum pidana di dalam undang undang pemilu, bahkan juga untuk undang undang lainnya yang cenderung menggunakan sarana hukum pidana sebagai pelindung hendak terpadu (integrated), maka mungkin menarik untuk disikapi pemikiran Bassiouni (1978 : 82-84) bahwa seharusnya dipertimbangkan sebagai salah satu scientific device dan digunakan sebagai alternatif dari pendekatan dengan penilaian emosional (the emosionally laden value judgment approach) oleh kebanyakan badan-badan peradilan.
Menurut Bassiouni, perkembangan ‘a policy oriented approach’ ini lamban datangnya, karena proses legislatif belum siap untuk pendekatan yang demikian. Proses kriminalisasi yang berlangsung terus tanpa suatu evaluasi mengenai pengaruhnya terhadap keseluruhan sistem mengakibatkan timbulnya :
- Krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis of over criminalization) dan;
- Krisis kelampauan batas dari hukum pidana (the crisis of overreach of the criminal law)
F. Penutup
Mencermati berbagi fenomena pelanggaran sebelum, selama dan setelah penyelenggaraan pemilu berlangsung, diakui bahwa banyak sekali pelanggaran yang diproses dengan aturan undang undang pemilu, yang tidak memberikan manfaat dilihat dari kepentingan hukum pidana. Hal ini beralasan, karena dalam konteks penegakan hukum pidana, “spirit of law” yang mendasari pembentukan undang-undang pemilu.mesti menjadi alasan kenapa perbuatan yang dilanggar itu mesti ditegakan.
Sebenarnya ada syarat yang perlu diperhatikan dalam proses penegakan hukum, khususnya dalam kasus pemilu, yakni adanya keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara “kesadaran hukum” yang ditanamkan oleh penguasa (legal awarness) dengan perasaan hukum yang spontan dari rakyat (legal feeling).
Mesti diingat bahwa konsep penegakan hukum tidak terlepas dari perkembangan demokrasi dan politik, di mana dalam masyarakat yang besar dan pluralistik, pelaksanaan demokrasi sangat dipengaruhi oleh kebijakan publik yang banyak ditentukan oleh pemimpin-pemimpin (elites) organisasi politik dan kelompok kepentingan (interst groups) yang tampil secara kompetetif. Pada hal mereka justru diharapkan selalu memegang komitmen terhadap nilai-nilai dasar masyarakat.
Sekian.
Daftar Bacaan
Ancel, Marc, 1965, A, Modern Approach to Criminal Problem, Routledge & Kegan Paul, London.
Andi Hamzah, 2008, Pembangunan Hukum Pidana Indonesia, Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Pengaruh Globalisasi Terhadap Hukum Pidana Dan Kriminologi Menghadapi Kejahatan Transnasional Diselenggarakan oleh ASPEHUPIKI, Hotel Savoy Homann, Bandung, 17 Maret 2008.
Atmasasmita Romli, 1982, Kapita Selekta Kriminologi, Armico, Bandung.
Bassiouini, M. Chief, 1978, Substantive Criminal Law,
Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung
Muladi, 1990, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Mata Pelajaran Ilmu Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 24 Peburari.
Mulder, A., 1980, Strafrechtspolitiek, Delikt en Delinkwent,
Sudarto, 1981a, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
———, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru Bandung