HUBUNGAN ANTARA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN PEMBERIAN PERLINDUNGAN KEPADA PARA “ PENIUP PLUIT ” ( WHISTLE BLOWER )

Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara

 

HUBUNGAN  ANTARA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN PEMBERIAN PERLINDUNGAN  KEPADA PARA “ PENIUP PLUIT ” ( WHISTLE BLOWER )[1]

Oleh   : M.J.Saptenno

 

A.    PENGANTAR

Lahirnya sebuah Undang-Undang sudah tentu didasarkan pada aspek filosofis , yuridis maupun sosiologis serta  politis . Kehadiran Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, merupakan jawaban atas   keprihatinan  berbagai pihak terutama masyarakat pencari keadilan dan juga aparatur penegak hukum atau mereka yang berkecimpun dalam dunia peradilan yakni polisi, jaksa, hakim dan juga pengacara. 

Perkembangan penegakan hukum di Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah serius yang membutuhkan pemecahan dari aspek hukum dan  harus ditunjang dengan proses atau mekanisme  serta bukti-bukti yang kuat, sehingga melahirkan keputusan hakim yang mengandung nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Banyak kasus  yang muncul kepermukaan yang menimbulkan berbagai polemik dalam masyarakat pada umumnya maupun pada komunitas hukum baik teoretisi  maupun praktisi, terkait dengan alat bukti terutama saksi kunci atau pelalor  yang belum  dirumuskan secara tegas dalam Undang-Undang  Nomor 13 Tahun 2006.

Mencermati Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, ternyata masih ditemukan beberapa aspek mendasar  yang perlu diatur secara tegas dan jelas, sehingga dapat memberikan jaminan kepastian hukum.

Disadari sungguh bahwa setiap produk Undang-Undang di Indonesia tidak luput dari berbagai kekurangan dan keterbatasan, karena dipengaruhi oleh berbagai kepentingan politik.

 Walaupun demikian Undang-Undang ini telah memberikan nuansa baru  bagi proses- proses peradilan di Indonesia, yang masih  jauh dari harapan bagi tegaknya hukum dan keadilan dalam masyarakat.

 

B.    BEBERAPA   ASPEK TERKAIT  YANG MENDASARI EKSISTENSI  UNDANG-UNDANGAN NOMOR 10 TAHUN 2006

1.Aspek Filosofis

a. Harkat dan martabat manusia

b. Keadilan

c. Kekuasaan/Wewenang

d. Independensi

e. Kebebasan

            f. Keterbukaan

            g. Pemenuhan Hak

            h. Tanggungjawab ,  baik negara atau penguasa  maupun masyarakat.

            i. Partisipasi baik individu maupun kelompok atau komunitas tertentu.

2. Aspek Yuridis

a. Adanya jaminan secara  Konstitusional ( Pembukaan UUD Negara Republik Indoensia tahun 1945  ) dan pasal 27 ayat ( 1 )

b. Berbagai Undang-Undang organik lainnya yang terkait

3. Aspek Sosiologis

a. Tuntutan masyarakat untuk terwujudnya  keadilan baik  secara prosedural mapun substansial

b.  Adanya tekanan dan ancaman  dari  berbagai pihak

c.  Tuntutan bagi adanya  kepastian hukum dan  pemenuhan  hak

d. Jaminan perlindungan  untuk rasa aman dari ancaman tertentu

e. Keberanian untuk mengungkapkan berbagai fakta dalam suatu  peristiwa hukum 

f. Adanya  kelembagaan yang berwenang  dengan struktur yang memadai

g. Proses peradilan yang kurang mencerminkan  asas  , sederhana, cepat, dan biaya  murah .

h. Hubungan  antar kelembagaan yang terkait, dalam rangka perlindungan saksi

4. Aspek Politis

a. Adanya political will dari pengusa atau pemerintah

b. Adanya tekanan dari berbagai  organisasi kemasyarakatan ( NGO ) yang prihatin terhadap proses-proses penegakan hukum yang bias hukum dan keadilan

c. Pengaruh politik terhadap hukum atau Undang-Undang yang begitu kuat sehingga,  produk kesepakatan politik tersebut tidak luput dari berbagai  kekurangan .

5. Asas-Asas

Asas-asas  hukum sebagai landasan perumusan norma sedapat mungkin harus dijadikan sebagai pedoman dalam pembentukan Undang-Undang  ( Sudikno Mertokusumo : 2001 )  Asas-asas yang dimaksud disini adalah asas substansial yang terkait dengan materi muatan  suatu Undang-Undang  ( Saptenno  M.J. : 2007 )

Di dalam Undang-Undang ini tertuang beberapa asas namun asas-asa tersebut hanya pajangan saja tanpa makna , karena dirumuskan sebagai norma yang tidak mungkin dilaksanakan ( Hadjon : 2005 ) Apa yang dirumuskan dalam pasal 3  Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006, merupakan rumusan yang tidak tepat dalam suatu struktur dan substansi Undang-Undang yang baik.

Oleh karena itu yang tepat adalah penempatan asas-asas tersebut  pada bagian penjelasan umum  dan kemudian asas-asas tersebut dijabarkan dalam berbagai   rumusan norma dalam  Undang-Undang tersebut.

6. Norma Hukum sebagai Penuntun

            Norma hukum merupakan penuntun untuk berprilaku dan mengandung sanksi-sanksi yang tegas , sehingga dalam implementasinya mempunyai manfaat atau berguna dalam menata kehidupan masyarakat.Norma hukum harus tegas dan lugas dan tidak boleh memberikan penafsiran ganda  atau sering juga membingungkan karena tersamar.

C.     BEBERAPA  HAL PENTING YANG BELUM  DIATUR DALAM SUBSTANSI MATERI UNDANG-UNDANG  TAHUN 2006 .

Jika dicermati pasal demi pasal  dari Undang-Undang  Nomor 13 tahun 2006, ditemukan beberapa hal yang belum sempat diatur antara lain :

1.Wewenang atau kekuasaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) yang lebih luas . Rumusan dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 belum cukup  memberikan wewenang atau kekuasaan yang luas  bagi LPSK.

2. Rincian tugas dan wewenang LPSK, belum dirumuskan secara jelas dalam Undang-Undang  ini. Pasal 12 hanya merumuskan secara umum tugas dan wewenang LPSk namun tidak secara rinci, misalnya termasuk  wewenang untuk  menghadirkan saksi kunci dengan jaminan perlindungan  hak-haknya.

2. Fungsi kelembagaan yang bersifat aktif . Fungsi yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 khususnya  pasal 29 adalah fungsi kelembagaan lebih bersifat pasif, karena menunggu laporan  atau permintaan  dari para saksi dan korban yang ingin dilindungi. Seharusnya LPSK dapat bertindak untuk melindungi tanpa harus menunggu laporan atau permintaan dari saksi dan korban.

3.Jaringan LPSK di daerah yang dapat melaksanakan tugas-tugas LPSK secara nasional. Undang-Undang  Nomor 13 tahun 2006 memberikan batasan  secara formal tentang pembentukan   kelembagaan secara formal  hanya  berada pada daerah tertentu. Diharapkan ada lembaga non formal namun mempunyai wewenang  untuk  dapat bekerja secara bersama dengan LPSK .

4. Hubungan antar kelembagaan terkait harus dirumuskan secara tegas karena bisa saja terjadi  ego sektoral dan demi  kepentingan tertentu sehingga mengabaikan LPSK sebagai lembaga yang berwenang. ( Contoh Kepolisian berdasarkan UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian mengklaim telah melakukan perlindungan saksi dan korban secara maksimal ) 

5. Kekuatan Mengikat dari keputusan LPSK. Pasal 29 huruf c belum secara tegas mengatur kekuatan mengikat suatu keputusan LPSK

6. Partisipasi masyarakat untuk secara sadar menjadi saksi, karena adanya jaminan perlindungan yang maksimal.

7. Saksi kunci atau pelapor  atau peniup pluit ( WHISTLE blower ).

 

D. UPAYA PERLINDUNGAN TERHADAP PARA PENIUP PLUIT ( WHISTLE BLOWER )

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tidak  mengatur secara khusus   perlindungan terhadap para peniup pluit ( WHISTLE Blower ). Definisi atau makna  tentang peniup pluit  ( WHISTLE Brower ) tidak dirumuskan  sebagai norma dalam Undang-Undang ini.

Untuk   adanya kepastian hukum dan menjawab  berbagai masalah yang muncul dalam masyarakat yang dinamis maka Undang-Undang ini harus diusulkan untuk direvisi dan merumuskan norma yang dapat memberikan jaminan perlindungan terhadap peniup pluit ( whistle blower ) . Artinya  Saksi kunci atau pelapor ini  mempunyai kedudukan yang sangat penting dan strategis dalam mengungkap fakta dari suatu kasus, namun tidak ada jaminan perlindungan hukum dan hak yang normatif  maka sudah tentu tidak ada pihak yang mau terlibat dalam proses-proses  peradilan secara maksimal.

Rumusan norma ini sangat penting karena  pelapor inilah yang sering menjadi sasaran dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan tertentu. Pada hal saksi kunci atau pelapor ini mempunyai kedudukan strategis dalam mengungkapkan fakta dari suatu tindak pidana   yang dialaminya sendiri

            Diwaktu mendatang pasti  banyak orang yang akan menjadi saksi kunci atau  pelapor  ( whistle blower ) jika ada jaminan dalam Undang-Undang, namun lebih dari itu dalam implementasinya  maka LPSK  harus  mempunyai kekuasaan  atau wewenang yang kuat  sebagai lembaga independen.

 

E. PENUTUP

            Demikianlah beberapa pokok pikiran secara singkat yang dapat disampaikan  untuk dapat dijadikan sebagai bahan diskusi. Semoga bermanfaat.

 

Bahan Rujukan :

Hadjon P.M. 2005, Analisis Yuridis terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Makalah, Univewrsitas Airlangga, Surabaya.

 Mertokusumo Sudikno, 2001 Penemuan dan Pembentukan Hukum, Liberty Yokyakarta.

Saptenno, M.J. 2007, Perumusan Asas-Asas Substansial Dalam Pembentukan Undang-Undang di Indonesia , Disertasi,  PPS Universitas Airlangga Surabaya.

 


[1] Makalah disampaikan pada  Sosialisasi dan Diskusi Publik LPSK, di  Hotel Aston Natsepa Ambon, tanggal 10 Desember 2010.

 

Tinggalkan Balasan