KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT MALUKU
DALAM PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP[1]
Oleh : Popi Tuhulele
Pendahuluan
Secara ekologis, manusia merupakan salah satu subsistem dalam ekosistem lingkungan hidup. Dengan demikian manusia adalah satu kesatuan terpadu dengan lingkungannya dan dianta-ranya terjalin suatu hubungan fungsional yang sedemikian rupa.Dalam hubungan fungsional tersebut manusia tidak dapat dipisahkan dengan lingkungannya. Manusia akan selalu bergantungpada lingkungan yang sekaligus dipengaruhi dan mempengaruhi dan pada akhirnya akan mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan.
Kini kelangsungan lingkungan hidup sedang berada di persimpangan dan pihak yang selama ini dianggap mengakibatkan kerusakan lingkungan yang besar adalah masyarakat adat/tradisional. Naman dari hasil penelitian beberapa dekade ini terbukti pihak yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dalam skala yang besar dan masif tidak dilakukan oleh masyarakat tradisional tetapi oleh industri besar dan negara yang kebijakanyannya tidak mengidahkan perlindungan atas lingkungan.
Ridha Saleh, dalam bukunya “Ecocide: Politik Kejahatan lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia” menyatakan bahwa gejala eksploitasi yang massif terhadap sumberdaya alam secara terbuka, menurut kenyataannya telah mengarah pada tindakan pengrusakan dan pemusnahan atas ekosistem sumber-sumber kehidupan dan lingkungan hidup akibat dari ecocide. Depresi ekologi saat ini lebih disebabkan oleh pengarahan pembangunan yang tidak memperhatikan kelangsungan lingkungan hidup dan masa depan generasi.[2]
Perkembangan kepedulian lingkungan pada masyarakat global dan kesadaran pemerintah indonesia atas keberadaan lingkungan sebagai penopang pembangunan negara, telah mendorong pengembangan pengaturan hukum lingkungan. Dari konsep pengelolaan lingkungan hidup menuju Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat berbagai hal baru dalam pengaturan hukum lingkungan hidup Indonesia yang perlu dipahami bersama agar dapat menunjang pembangunan yang berkelanjutan.
Lingkungan hidup dipahami sebagai suatu kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Selanjutnya menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dijelaskan bahwa Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.
Ketentuan tersebut kemudian di tegaskan pada pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyatakan bahwa Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum dan selanjutnya dalam Pasal 4 mengatur tentang Ruang Lingkup Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum.[3]
Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab Negara, asas berkelanjutan dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, Adapun sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah :[4]
1. Tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup
2. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup
3. Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan
4. Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup
5. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana
6. Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah Negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Pengelolaan lingkungan hidup bukan semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah, Swasta dan masyarakat juga sangat penting peran sertanya dalam melaksanakan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup. Setiap orang mempunyai hak dan kewajiban berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup, sehingga dapat tercapai kelestarian fungsi lingkungan hidup.[5]
Maman Djumantri menyatakan Secara generic dapat dikatakan bahwa “pembangunan adalah proses pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia agar hidup sejahtera lahir dan batin”. Terlepas dari bagaimana proses dan cara melaksanakannya, tujuan akhir pembangunan adalah kesejahteraan sosial (lahir maupun batin) bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika pembangunan ditujukan untuk seluruh rakyat (bangsa) Indonesia, seyogya-nya menyertakan juga lapisan masyarakat tradisional atau masyarakat adat yang tersebar, terpencil dan marjinal. [6]
Kearifan Lokal Masyarakat Adat dan Pengelolan Lingkungan Hidup
Guna memenuhi kebutuhan hidup manusia akan memanfaatkan apa yang tersedia di sekitar lingkungannya untuk itu manusia akan berusaha untuk beradaptasi agar melahirkan keseimbangan dan keteraturan dalam masyarakat dan lingkungan. salah satunya adalah di berlakukannya sistem-sistem pengendalian sosial yang berupa norma & hukum (adat) yang merupakan produk dari masyarakat tersebut. Dalam kelompok masyarakat tradisional indonesia atau dikenal dengan masyarakat adat dan norma/hukum yang berlaku di dalam masyarakat tradisional ini dikenal dengan hukum adat.
Menurut Van Apeldoorn perkataan adat semata-mata adalah peraturan tingkah laku, kaidah-kaidah yang meletakan kewajiban-kewajiban.[7]Peraturan tingkah laku yang dikatakan oleh Van Apeldoorn sebagai adat yang di anut oleh masyarakatnegeri diwariskan oleh nenek moyang atau datuk-datuk yang telah membentuk masyarakat negeri itu untuk digunakan sebagai contoh kehidupan bagi keturunan-keturunan mereka.[8]Selanjutnya pudjosewojo melihat adat sebagai tingkah laku yang oleh dan dalam satu masyarakat (sudah, sedang, akan diadakan) .[9]
Peraturan tingkah laku yang menjadi adat istiadat dari suatu masyarakat adat ini dalam perkembanganya menjadi suatu norma hukum adat. Hukum adat untuk disebut hukum harus mengandung sanksi tertentu, baik berupa sanksi fisik maupun denda lainnya.
Menurut Soepomo, hukum adat adalah hukum yang hidup karena ia menjelmakan hukum yang nyata dari masyarakat, ia terus-menerus tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri dan hukum adat berurat akar pada kebudayaan teradisional.[10] jadi hukum adat merupakan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat karena tidak dapat dipisahkan dari keberadaan dan dinamika masyarakat adat.
Menurut Hazairin masyarakat hukum adat adalah kesatuan-kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya…, bentuk hukum keluargannya (patrilineal,matrilineal, atau bilateral), semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya.[11]
Salah satu peristiwa penting terkait dengan pengakuan dan penguatan masyarakat hukum adat berangkat dari hasil Earth Summit di Rio de Janeiro pada 1992 dengan dikeluarkannya Rio Declaration on Environment and Development (1992). Dalam Prinsip ke-22 dinyatakan bahwa masyarakat hukum adat mempunyai peranan penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan hidup karena pengetahuan dan praktik tradisional mereka. Oleh karenanya, negara harus mengenal dan mendukung penuh entitas, kebudayaan dan kepentingan mereka serta memberikan kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam pencapaian pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).[12]
Keberadaan masyarakat hukum adat diakui eksisktensinya oleh negara dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya”. Selanjutnya ketentuan ini juga memberikan batasan sebagai syarat adanya pengakuan dan penghormatan yakni selama masyarakat hukum adat masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat yang berlangsung secara terus menerus.
Kekayaan pengetahuan masyarakat adat di Indonesia sudah berkembang dalam jangka waktu yang panjang sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Proses perkembangan tersebut memunculkan banyak pengetahuan dan tata nilai tradisional yang dihasilkan dari proses adaptasi dengan lingkungannya. Sesuai dengan kebutuhan dasar manusia, salah satu bentuk pengetahuan tradisional yang berkembang adalah pengetahuan dalam pemanfaatan lahan,baik sebagai tempat tinggal maupun tempat untuk mencari atau memproduksi bahan makanannya.[13]
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam dan kelestarian lingkungan, masyarakat adat ini dengan pengetahuan lokalnya (indigenus knowledge), dengan kekuatan memegang hukum adatnya, kemampuan spiritualnya, dan religi yang dianutnya, ternyata lebih arif dibandingkan masyarakat lainnya.[14] Pengetahuan lokal yang dikenal sebagai kearifan lokal tumbuh dan berkembang didalam masyarakat sebagai pengetahuan yang di turunkan dari generasi kegenerasi sebagai bagian dari adaptasi terhadap lingkungannya.
Menurut Wahyu (2007) bahwa kearifan local, dalam terminology budaya, dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan local yang berasal dari budaya masyarakat, yang unik, mempunyai hubungan dengan alam dalam sejarah yang panjang, beradaptasi dengan system ekologi setempat, bersifat dinamis dan selalu terbuka dengan tambahan pengetahuan baru. Secara lebih spesifik, kearifan local dapat diartikan sebagai suatu pengetahuan local, yang unik yang berasal dari budaya atau masyarakat setempat, yang dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan pada tingkat local dalam bidang pertanian, kesehatan, penyediaan makanan, pendidikan, pengelolaan sumberdaya alam dan beragam kegiatan lainnya di dalam komunitas-komunitas. Selanjutnya Wahyu juga menyatakan bahwa kemampuan memaknai kearifan local oleh individu, masyarakat dan pemerintah yang diwujudkan dalam cara berpikir, gaya hidup dan kebijakan secara berkesinambungan dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan dapat diharapkan untuk menghasilkan peningkatan berkehidupan yang berkualitas dalam masyarakat dan Negara.[15]
Pengakuan secara yuridis atas keberadaan masyarakat hukum adat dan kearifan lokalnya serta hak-haknya dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat 30 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyatakan bahwa kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tatanan hidup masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Selanjutnya pada pasal 67 ayat (1b) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menyatakan bahwa masyarakat hukum adat diakui keberadaanya berhak melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang.
Pasal 6ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan peran serta masyarakat.Dalam pasal 61 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pemerintah mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisionaldan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turun temurun dijadikan acuan dalam pengelolaan wilayah pesisr dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan.
Pengetahuan masyarakat adat dalam sistim pengelolaan sumber daya alam yang luar biasa (menunjukkan tingginya ilmu pengetahuan mereka) dan dekat sekali dengan alam. Maluku merupakan salah satu propinsi Indonesia yang secara geografisnya memiliki wilayah laut yang lebih luas dari wilayah darat. Dengan jumlah pulau mencapai 976 buah pulau dan secara administratif terbagi atas 8 (delapan ) kabupaten kota. Dimana sebagaian besar penduduk maluku menyebar dan tinggal di pesisir sejumlah pulau besar dan kecil.[16]
Kehidupan masyarakat Maluku yang kaya akan sumber daya alam baik di laut maupun di darat masih berlaku hukum adat hal ini terlihat dari adanyaa kesatuan masyarakat yang teratur yang mempunyai penguasa dan menetap disuatu wilayah tertentu yang dikenal dengan wilayah petuanan (ulayat). Kesatuan hukum adat masyarakat ini sejak dahulu sangat berpengaruh dalam berbagai aspek, baik pemerintahan, ekonomi terutama pengelolaandan perlindungan lingkungan hidup, hal ini terlihat dengan masih sangat bergantungnya masyarakat adat malukupada ketersediaan lingkungan, kehidupan masyarakat yang masih bersifat komunal dan masih mempertahankan kearifan lokal yag didapatnya dari pengetahuan yang diturunkan secara turun temurun.
Dalam kenyataannya sistem pengelolaan lingkungan secara tradisonal terbukti mempunyai nilai penting dalam perlindungan dan pelestarian lingkungan, termasuk dalam konteks sosial dan ekonomi khususnya bagi masyarakat adat maluku yang kehidupannya sangat bergantung pada hasil-hasil perikanan dan pertanian.Dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan dan pengelolaan sumber daya lingkungan dan perlindungan lingkungan, masyarakat adat ini dengan pengetahuan/ kearifan lokalnya , dengan kekuatan memegang hukum adatnya, kemampuan spiritualnya, dan religi yang dianutnya, ternyata lebih arif dibandingkan masyarakat lainnya.
Masyarakat adat maluku dengan kearifan lokalnya sebagai bagian dari struktur pemerintahan negara, harus diposisikan sebagai bagian integral dalam proses pembangunan. Artinya partisipasi aktif masyarakat adatharus direspons secara positif oleh pemerintah. Masyarakat adat harus diberikan kebebasan untuk berkreasi sesuai potensi yang dimiliki, sehingga ada keseimbangan. Kebijakan pembangunan harus terintegrasi dengan tetap berbasis pada masyarakat adat yang mempunyai hukum adat, sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang patut diakui eksistensinya.
Kehidupan sosial dan budaya masyarakat maluku yang tidak terlepas dari hukum adat digunakan dalam upaya pengelolaan sumber daya alam guna memenuhi kebutuhan hidupnya sekaligus sebagai upaya pelestarian atas sumber daya hayati dan ekosistemnya. Salah satu bentuk pengelolaan dan perlindungan atas lingkungan hidup oleh masyarakat adat maluku adalah sasi.
Sasi merupakan praktik-praktik pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam yang dilaksanakan masyarakat adat maluku dinilai selaras dengan prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang lestari dan berkelanjutan. Sasi juga didukung oleh kebijakan adat sebagai bentuk pengetahuan lokal yang secara turun-temurun sudah mengatur bahwa pengelolaan dan pemanfaatan alam harus memperhatikan kelestarian sumber daya alam serta lingkungan.
Sasi sebagai pranata adat mengandung kekuatan hukum yang mengikat bagi masyarakat adat tesebut karena dalam penyelangaraan sasi mengandung ketentuan yang mengatur tentang larangan serta kebolehan bagi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup dan perlindungannya. Keberlakuan hukum dalam sasi mengenal pembatasan wasktu berdasarkan jenis sumber daya alam yang diaturnya.Di Maluku masyarakat adat yang tinggal pulau-pulau kecil maupun di wilayah pesisir memiliki sistem ‘sasi’ atau larangan memanen ataumengambil dari alam (di laut atau didarat) sumber daya alam tertentu untuk waktu tertentu. Sasi sebagai upaya perlindunganguna menjaga mutu dan populasi sumber daya alam hayati. Adanya larangan pengembilan hasil sebelum waktunya, maka akan terjadi peningkatan populasi sumber daya alam hayati.
Penerapan sasi diterapkan pada sumber daya alam di laut maupun didarat, di darat sasi diberlakukan pada tanaman dan buah-huahan yang dilarang untuk di panen setiap waktu, ada waktu-waktu tertentu tanaman tersebut dilarang untuk di ambil dengan tujuan hasil yang di dapat lebih maksimal dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat adat tersebut. Larangan dalam hukum sasi mulai berlaku sejak adanya upacara adat “tutup sasi” dan berakhinya hukum sasi saat upacara “buka sasi “ di lakukan .
Sasi yang dikenal masyarakat di pesisir Salah satunya adalah Sasi ikan lompa di Pulau Haruku kabupaten maluku tengah, terkenal sebagai satu acara tahunan yang unik bagi masyarakat di Pulau Haruku dan Ambon yang menunjukkan salah satu bentuk kearifan lokal dalam menjaga kelestarian lingkungan. Dengan ditetapkannya sasi atas spesies dan di wilayah tertentu oleh Kewang maka siapapun tidak berhak untuk mengambil spesies tersebut. Ketentuan ini memungkinkan adanya pengembang-biakan dan membesarnya si ikan lompa, untuk kemudian di panen ketika sasi dibuka lagi. [17]
Keunikan sasi di pulau haruku ini karena sasi ini merupakan perpaduan antara sasi laut dengan sasi kali (sungai). Hal ini disebabkan karena keunikan ikan lompa itu sendiri yang, dapat hidup baik di air laut maupun di air kali. Setiap hari, dari pukul 04.00 dinihari sampai pukul 18.30 petang, ikan ini tetap tinggal di dalam kali Learisa Kayeli sejauh kurang lebih 1500 meter dari muara. Pada malam hari barulah ikan-ikan ini ke luar ke laut lepas untuk mencari makan dan kembali lagi ke dalam kali pada subuh hari. Pada saat mulai memberlakukan masa sasi (tutup sasi), dilaksanakan upacara yang disebut panas sasi. Upacara ini dilakukan tiga kali dalam setahun, dimulai sejak benih ikan lompa sudah mulai terlihat.[18]
Sasi dalam penyelengaraanya di awasi oleh suatu lembaga adat yang di sebut kewang (semacam polisi adat di Maluku Tengah), kewang sebagai lembaga adat yang berakses secara langsung dengan wilayah adat (wilayah ulayat/petuanan) suatu masyarakat adat baik di darat maupun di laut. Pengawasan dan pengaman lembaga kewang menjamin terjaganya keseimbangan hubungan antara manusia dan lingkungan hidupnya dengan pemanfaatan sumber daya alam secara terkendali dan bijaksana .
Lain lagi bentuk pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup Masyarakat Adat Aru (Maluku Tenggara), berperadaban yang ecocentrism, tercermin dalam eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut sebagai mata-pencaharian utamanya dengan memanfaatkan pengetahuan dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem pesisir dan kepulauan. Pada Musim Timur (Mei-Oktober) mereka bekerja di kebun membuat kanji dari sagu dan berburu, Pada Musim Barat (November-April) lebih terfokus pada sumberdaya laut seperti mengumpulkan Teripang dipesisir pantai yang sedang pasang ataupun berburu Hiu.[19]
Pengumpulan teripang oleh masyarakat adat Aru tidak mengunakan alat apapun tetapi memanfaatkan pengetahuan/kearaifan lokal (indigenous knowledge) mengenai kehidupan Tripang seperti habitat yang disukainya, bulan apa bereproduksi, pada cuaca bagaimana menampakkan diri dan sebagainya. Melalui pengetahuan lokal inilah komunitas lokal Aru mengorganisasikan kekuatannya mengelola sumberdaya alam yang satu ini secara lestari. Sebagai contoh: Di Musim Barat saat pasang naik merupakan saat yang tepat untuk “memanen”Tripang; tetapi dibatasi dari November sampai Maret saja karena Tripang (khususnya Tripang Putih dan Tripang Matahui) berproduksi pada bulan April. Masyarakat adat Aru sangat kuat memegang kepercayaan yang dianutnya yang berhubungan erat dengan mitologi.hal ini menjadi instrumen tangguh dalam menjaga kelestarian alam dan keberlanjutanya, karena alam dan seluruh isinya dianggap sebagi milik leluhurnya yang senantiasa memantau agar pengunaan sumber daya alam sehemat mungkin sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memikirkan mereka yang akan hidup.[20]
Kepala adat sebagi mediator antara leluhur dan anak cucunya pada waktu-waktu tertentu akan melakukan dialog, hasil dialog tersebut berupa kesepakatan untuk hanya menagambil teripang yang berukuran besar dan ada masa larangan (restriction) untuk mengambil teripang atau yang dikenal dengan sasi teripang selama ± 3 (tiga) tahun, hal ini dimaksud agar memberikan kesempatan pada alam untuk melakukan regenerasi. Jika hal ini dilanggar maka akan terjadi penyimpangan yang dimanifestasikan dengan bencana alam.[21]
Melihat bentuk pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup masyarakat adat Maluku dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari sasi di Maluku merupakan wujud dari kesadaran dan kearifan lokal masyarakat adat maluku dalam pengelolaan dan perlindungan serta pelestarian lingkungan hidup sebagai modal dasar. Dengan adanya sasi warga masyarakat adat tidak mengelola sumberdaya alamnya secara sembarangan sehingga sumber daya alam yang ada dapat berdaya guna dan lestari demi kepentingan dan kesejahtraan masyarakat .
Keberadaan masyarakat adat sebagai bagian dari negara kesatuan republik Indonesia yang di akui hak-hak adat dan sistem hukumnya, termasuk sumber daya alam yang ada di wilayahnya. Untuk itu masyarakat adat perlu diberikan kesempatan untuk mengelola dan memanfaatkan suberdaya alam di wilayahnya sesuai dengn kearifan lokal yang dimilikinya.
Sasi sebagai kearifan lokal masyarakat adat maluku merupakan modal dan model pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di tingkat daerah terutama maluku dan nasional, dimana Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan.
[1] Tulisan ini diterbitkan dalam sebuah buku KOMPILASI PEMIKIRAN TENTANG DINAMIKA HUKUM DALAM MASYARAKAT (Memperingati Dies Natalis ke -50 Universitas Pattimura Tahun 2013), 2013
[2]Anonim, Hak Rakyat atas Lingkungan Hidup, diakses pada tanggal 20 Maret 2013 dari http;//wodpress.com/ 2008/11/adat.jpg
[3]Lihat, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang di undangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 140
[4]Suhartini, Modul Pengeyaan Materi Pengelolaan Lingkungan Hidup,Universitas Negeri Yogyakarta, 2008, hal. 1
[5]Ibid Hal 2
[6]H.Maman Djumantri, Ruang Untuk MasyarakatLokal Tradisional ( Masyarakat Adat ) yang Semakin Terpinggirkan, Hal 1
[7]Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradya Paramita, 1978,Jakarta hal 42
[8]F.L. Cooley, Altar and Thone in Center ar Molukas Societies a Dissertation Presented to the Faculity on the Depertemen of Religion, Yale University. Hal 47
[9] Kusumadi pujosewojo, 1959, Pedoman pelajaran Tata Hukum Indonesia, Universitas Indonesia, hal 43
[10] Soepomo, 197, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradya Paramitha, Jakarta, Hal 8
[11] Soejono Soekanto,2012, Hukum Adat Indonesia,Rajawali Press, jakarta, hal 93
[12]Lihat Principle 22 dalam The Rio Declaration on Environment and Development.
[13]Kosmaryandi, N. 2005, Kajian Penggunaan Lahan Tradisional Minangkabau Berdasarkan Kondisi Tanahnya (Study of Minangkabau Traditional Landuse Based on Its Soil Condition). Media Konservasi. Vol. X. No. 2. Hal 77 – 81.
[14] H.Maman Djumantri, Op chit, Hal 2
[15] Abdul Mukti, Beberapa Kearifan Lokal Suku Dayak Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam,2010 Brawijaya Malang, Hal 1
[16]Popi Tuhulele, 2009, Pembakuan Nama Pulau Indonesia Upaya Mempertahankan Konsep Negara, Kepulauan, Tesis padaUniversitas Gadjah Mada, hal 102
[17]Sandra Moniaga, Hak-hak Masyarakat Adat dan Masalah serta Kelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia, Media Pemajuan Hak Asasi Manusia, No. 10/Tahun II/12 Juni 2002, Jakarta diakses pada http://www.huma.or.id
[18]Eliza Kissya, Sasi Ikan Lompa Haruku, diakses pada tanggal 12 maret 2013 pada http://www.kewang-haruku.org/eliza.html
[19] H.Maman Djumantri, Op cit,, hal 3
[20] H. Maman Djumantri, Ibid
[21] Ibid , hal 4