PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN
YANG DICERAIKAN MENJADI PSK[1]
Oleh : Barzah Latupono
A. Latar belakang
Perkawinan atau pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia (Anwar Hardjono, 1968:219). Rumusan ini memenuhi 3 (tiga) aspek penting lembaga perkawinan. Perkataan perjanjian menunjukkan aspek:
1. Hukum lembaga tersebut, sebagai perjanjian perkawinan mempunyai 3 (tiga) sifat yaitu: a) tidak dapat dilangsungkan tanpa persetujuan kedua belah pihak, b) ditentukan dengan tata cara pelaksanaan dan tata cara pemutusannya kalau perjanjian itu tidak dapat dilangsungkan dan c) ditentukan pula akibat-akibat perjanjian itu bagi kedua belah pihak;
2. Sosial lembaga perkawinan tampak pada kenyataan dalam masyarakat. Dalam kehidupan sosial, terutama di Indonesia terdapat pandangan bahwa orang yang telah kawin adalah orang yang telah dewasa, telah dapat berdiri sendiri dan karena kedudukannya dalam masyarakat diterima secara penuh;
3. Keagamaan tergambar dalam kata suci rumusan tersebut. Dilihat dari sudut keagamaan perkawinan adalah ibadah dalam rangka melaksanakan ketaqwaan kepada Allah SWT (Daud Ali, 1998:307).
Dalam konteks sosiologi hukum, pernikahan atau perkawinan memiliki fungsi kontrol budaya dan hukum terhadap pengabsahan kegiatan yang berkaitan dengan seksualitas manusia, lewat institusi ini pengakuan kebolehan itu diberikan menurut undang-undang perkawinan, ketentuan secara agama dan keluhuran adat. Lewat lembaga perkawinan dinyatakan bahwa seorang perempuan mulai saat itu telah boleh dan sah melakukan hubungan seks dengan seorang laki-laki pendampingnya.
Hubungan seksual pasangan laki-laki dan perempuan yang menikah sejak waktu tersebut dianggap tidak lagi melanggar susila, merupakan kewajaran dan bahkan mengandung nilai ibadah di mata hukum (syariat) agama. Lewat lembaga pernikahan atau perkawinan ada kewajiban suami-isteri untuk saling memberi nafkah lahir dan bathin secara seimbang. Namun demikian pada sebagian masyarakat ada fenomena yang memprihatinkan perlakuan yang tidak adil atau ketimpangan. Jika ada permasalahan setelah pernikahan berjalan, saat dalam berumah tangga itu mengalami keributan (cekcok) antara suami-isteri disebabkan oleh faktor kesulitan ekonomi, perselingkuhan dengan pihak ketiga, diikuti dengan pertengkaran dan disertai dengan kekerasan fisik, seperti pemukulan, pemaksaan menjual diri, tidak diajak berkomunikasi secara wajar, yang kemudian mengakibatkan tuntutan perceraian dari pihak isteri, maka pihak isteri cenderung yang paling dipersalahkan oleh lingkungannya.
Selain itu, ada perilaku seorang laki-laki yang boleh menikahi perempuan lain (poligami) atau isteri pertama diceraikan karena alasan suami untuk menikah lagi, yang membuat perempuan dan anak-anak merasa kecewa tak tahu harus bagaimana untuk kehidupan selanjutnya setelah dia diceraikan oleh suaminya. Padahal anak-anak anggota keluarga dan dirinya memerlukan jaminan (makanan, sandang, papan, sekolah, biaya kesehatan dan biaya untuk mencari lapangan kerja.
Jadi setelah putusnya perkawinan suami istri itu mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sama dalam memelihara dan menafkahi anak-anaknya, Namun dalam kenyataannya, setiap perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya tidak pernah lagi akan dinafkahi oleh suaminya kembali walaupun dia mempunyai anak-anak yang juga membutuhkan biaya untuk kelangsungan hidup mereka, dan bapak atau mantan suami ini tidak pernah diberikan sanksi apabila tidak memberikan biaya pemeliharaan dan pendidikan bagi anaknya akhirnya perempuan sering harus memikul beban tanggungjawab kepada anak yang hak pengasuhan berada padanya. Dan sebagian kaum perempuan, keadaan pasca perceraian ini ada yang memilih jalan menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama anak-anak yang ditinggalkan oleh suaminya.
Dalam menjalankan profesinya sebagai PSK, seringkali mereka mengalami tindakan yang didefinisikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) seperti penipuan, penjambakan yang mengarah pada perbudakan (human slaving) dan perdagangan manusia (human trafieking), tidak leluasa bepergian, pemaksaan melayani tamu ketika sedang haid, , tindakan sadisme dan penganiyaan, tidak dibayar atau dirampok, memperoleh mal praktek injeksi atau pengobatan tanpa pemberitahuan jenis atau dosis, tidak adanya prosedur operasi yang melibatkan polisi atau pekerja sosial perempuan, pembiaran oleh negara yang tidak mengantisipasi dampak perceraian atau kekerasan dalam rumah tangga.
Kondisi di atas juga terjadi di kota Ambon Provinsi Maluku. Pada saat ini ada PSK, pada beberapa tempat lokalisasi dan beberapa cafe malam, diantara mereka ada yang merupakan mantan istri dari suami yang telah melakukan perceraian yang disebabkan oleh perlakuan suami yang disinyalir melanggar HAM.
Penulis mengarahkan pembahasan pada PSK berlatar belakang perceraian dengan alasan, mereka merupakan korban dari kekerasan seorang laki-laki yang tidak bertanggung jawab terhadap anak-anak dari mantan istrinya dalam hal pemenuhan hak-hak mereka berupa pemberian nafkah yang harus diterima oleh anak-anak yang diasuh oleh mantan istrinya. Namun dalam kenyataannya si ayah atau mantan suami ini tidak pernah memberikan nafkah atau tunjangan kepada anak-anak yang diasuh oleh mantan istrinya. Karena mantan istri ini mempunyai tingkat pendidikan yang sangat rendah sehingga tidak mempunyai keahlian lain yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya maka ia menerjunkan dirinya menjadi PSK. Dengan menjadi PSK berarti harkat dan martabatnya selaku manusia sudah di lecehkan, karena dia hanya dapat dinilai martabatnya dengan uang, padahal kodrat dan martabat seseorang tidak dapat dinilai dengan uang atau tidak dapat dibeli dengan apapun.
Berdasarkan uraian di atas, maka selanjutnya masalah yang akan dikaji dalam adalah, bagaimana kebijakan pemerintah dalam rangka penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) Perempuan berkaitan dengan eksploitasi aktifitas PSK sebagai dampak perceraian di kota Ambon;
- Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan
Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-undang RI No. 23 tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Tindakan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan yang seringkali terjadi pada perempuan dan terjadi di balik pintu tertutup. Tindakan ini seringkali dikaitkan dengan penyiksaan baik fisik maupun psikis yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan yang dekat. Tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga terjadi dikarenakan telah diyakini bahwa masyarakat atau budaya yang mendominasi saat ini adalah patriarkhi, dimana laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan.
Kecenderungan tindak kekerasan dalam rumah tangga terjadinya karena faktor dukungan sosial dan kultur (budaya) dimana istri di persepsikan orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Hal ini muncul karena kebiasaan adat yang ada dalam masyarakat bahwa, istri harus nurut kata suami, karena kedudukan perempuan dengan laki-laki beda, perempuan adalah orang yang dianggap kecil sedangkan laki-laki adalah orang yang kuat. Kultur di masyarakat suami lebih dominan pada istri, ada tindak kekerasan dalam rumah tangga dianggap masalah privasi, masyarakat tidak boleh ikut campur , namun setelah adanya undang-undang tentang kekerasan dalam rumah tangga, maka tindakan kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga juga menjadi urusan publik.
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
- Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
- Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.
- Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
- Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Perlindungan hukum yang dikemukakan oleh Hadjon (1987 : 2) bahwa: perlindungan hukum bagi rakyat dibedakan atas dua macam yaitu: (1) perlindungan hukum preventif dan (2) perlindungan hukum represif. Pada perlindungan hukum preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum sesuatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang defenitif. Dengan demikian perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadi sangketa, sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sangketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan kepada diskresi.
Perlindungan hukum bagi rakyat (“rechtbecherming van de burger tegen de overhead” atau “ legal protection of the governed against administrative actions “) inherent pada konsep “rechstaat” maupun konsep “the rule of law”. Selanjutnya menurut Mahfud (1999: 138) konsep Negara hukum Indonesia merupakan konsepsi sintetis dari beberapa konsep yang berbeda tradisi hukumnya (antara konsep rechstaat, the rule of law, Negara hukum formal dan Negara hukum material) yang kemudian diberi nilai keindonesiaan sebagai nilai spesifik sehingga menjadi Negara hukum pancasila yang lahir dari kebutuhan lingkungan masyarakat Indonesia.
Para perempuan yang bercerai karena tindak kekerasan suami akan mengalami masalah psikologis atau masalah emosional yang terkait dengan pola pelaksanaan tugas rumah tangga, masalah keuangan, sosial serta seksual. Mereka umumnya merasa sedih dan kecewa karena harus mengakhiri pernikahan dengan perceraian, merasa tertekan, takut sekaligus marah dan mengalami perasaan kehilangan serta kesepian akibat perceraian tersebut. Tidak jarang perempuan-perempuan tersebut untuk mencukupi kehidupan material maupun bathinia sehari-hari ada yang menjual diri mereka menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK).
Seks atau seksualitas adalah perilaku manusia untuk memenuhi keinginan badani atau nafsu biologis. Nafsu seks merupakan perbuatan menurut kehendak alam dan tidak dapat dicela serta selalu ada sepanjang keberadaan manusia, karena seksualitas merupakan faktor penting kelangsungan hidup manusia di muka bumi. Apabila perbuatan itu dilakukan secara tidak sah dan melanggar adat kebiasaan serta tidak sesuai dengan pandangan agama dan masyarakat dapat menimbulkan kejahatan susila.
Dalam perkembangannya perilaku seks tidak saja menjadi konsumsi suami isteri dalam bingkai pernikahan yang sah. Tetapi, kesusilaan dapat diperjual belikan atau dihargai dengan sejumlah uang yang dirasakan pantas bagi mereka yang menerjunkan diri di dalam perdagangan seks atau sering disebut dengan komersial seks, dimana melibatkan wanita sebagai pekerja seks komersial yang merupakan bentuk kejahatan susila yang mana salah satu faktor pemicunya adalah istri yang diceraikan oleh suaminya.
Di dalam menjalani profesi sebagai PSK banyak sekali tindakan kekerasan yang dialami baik itu dari germo/mucikari, pelanggan, pacar atau mantan pacar. Sering terjadi pelanggaran Hukum yang mereka alami seperti sering dipukuli agar mau melayani para tamu, melayani tamu tanpa dibayar , dipaksa melayani para tamu ketika sedang haid dan melayani tamu tanpa memakai alat kontrasepsi yang mengakibatkan rawannya tertular penyakit kelamin seperti HIV dan AIDS.
Perempuan yang menjadi korban kekerasan atau kejahatan sama halnya dengan dirampas hak asasinya, karena eksistensi hak asasi manusia dikalahkan oleh perilaku yang lebih mengedepankan kekejaman dimana harkat dan martabat kemanusiaan yang idealnya dijunjung tinggi justru ditanggalkan, dinodai dan dikebiri. Harkat adalah derajat kemuliaan seseorang. Martabat merupakan harga dirinya (Alwi, dkk, 2001: 390,717) untuk itu hak hidup yang bermartabat dan bebas dari bahaya yang mengancam dirinya direduksi oleh tindakan kejahatan kekerasan terhadap perempuan yang telah berakar dari suatu sistim tata nilai yang menduduki perempuan sebagai mahluk yang lemah dan tidak berdaya.
- Kebijakan Pemerintah Dalam Rangka Perlindungan Hukum Bagi PSK Yang Di Ceraikan
Bagi manusia yang beradab,siapa saja, dimana saja pasti mengakui bahwa hak asasi manusia (HAM) merupakan hak yang secara kodrati melekat pada diri manusia baik sebagai individu, anggota keluarga, ataupun anggota masyarakat internasional dan hak asasi manusia yang bermakna kebebasan dasar tidak dapat diingkari, karena pengingkaran terhadap hak asasi manusia berarti pengingkaran terhadap harkat dan martabat kemanusiaan.
Hak asasi manusia dianggap sebagai etika politik modern dengan gagasan inti adanya tuntutan moral yang menyangkut bagaimana manusia wajib memperlakukan manusia, sehingga secara potensial amat kuat untuk dilindungi orang dan kelompok yang lemah terhadap kewenangan mereka yang kuat karena kedudukan, usia, status dan lainnya.
Perlindungan hukum (law protection) yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemberian rasa aman dan pasti, atau rasa terlindungi oleh peraturan perundang-undangan (HAM) dari perbuatan yang tidak berperikemanusiaan yang melanggar hak asasi manusia perempuan, sehubungan dengan masalah perlindungan hukum ini, penulis merasa perlu untuk mengintroduksi lagi apa yang telah dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo dan Sudikno Mertokusuma, bahwa kehadiran hukum dalam masyarakat diantaranya adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat yang bisa bertubrukan satu sama lain. Hukum hadir untuk mengatur sehingga tubrukan-tubrukan itu bisa ditekan sekecil-kecilnya. Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan sesuatu kekuasaan yang disebut “Hak“ untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut. Suatu kepentingan merupakan sasaran dari hak, bukan hanya karena dia dilindungi oleh hukum, tetapi juga karena adanya pengakuan terhadapnya (Satjipto Rahardjo, 1991:53-54).
Hak adalah kepentingan yang dilindungi, sedangkan kepentingan adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Kepentingan pada hakekatnya, mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya. Apa yang dinamakan hak itu sah, karena dilindungi oleh sistim hukum (Sudikno Mertokusuma, 1996:41).
Bertolak dari apa yang dikemukakan diatas, maka sebenarnya jelas bahwa perlindungan terhadap perempuan PSK adalah upaya pemenuhan hak-hak asasi manusia perempuan, dimana salah satu aspek penting penerapan dari suatu kaedah hukum adalah penegakan hukum (law inforcement). Suatu perangkat hukum baru dikatakan efektif apabila hukum tersebut dapat diimflementasikan sanksinya dan dapat ditegakan apabila hukum tersebut ada yang melanggarnya. Tetapi jika kita lihat seorang suami atau mantan suami yang tidak melaksanakan kewajiban hukumnya terhadap anak-anaknya maka istri yang harus memikul tanggung jawab itu dengan bekerja sebagai PSK, maka pemerintah harus dapat menegakan hak-hak perempuan yang diceraikan dan menjadi PSK ini, karena perbuatan suami yang tidak melakukan kewajiabn hukumnya dapat dikatagorikan sebagai tindak kekerasan terhadap istri atau mantan istri dan anak.
Untuk itu harus ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma tersebut dapat ditegakkan dengan sanksi yang tegas agar supaya dalam proses perceraian nanti istri-istri yang tidak mempunyai keahlian atau ketrampilan khusus untuk terjun ke dalam suatu pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan formal, sudah ada jaminan bahwa anak-anak mereka akan dibiayai nafkahnya oleh si suami atau mantan suami. Dan apabila kewajiban hukum si suami atau mantan suami ini tidak dipenuhi secara baik maka harus ada tindakan hukum berupa hukuman badan atau hukuman denda yang besar agar si suami atau mantan suami ini tidak main-main dengan hasil putusan pengadilan, dan juga bila si suami atau mantan suami ini dijerat dengan hukuman badan dan denda yang besar bisa saja mengurangi angka perceraian.
Selain itu juga apabila perempuan-perempuan yang sudah menerjunkan dirinya untuk menjadi PSK ini harus ada upaya hukum yang dilakukan oleh pemeritah dengan cara mencari solusi untuk mereka bagaimana supaya dapat meminimkan pekerjaan PSK ini atau meniadakan sama sekali agar dapat menegakan harkat dan martabat mereka selaku perempuan, karena kewajiban negara adalah menghargai, melindungi, dan memenuhi hak perempuan, untuk itu negara tidak boleh melakukan sesuatu yang melanggar hak perempuan PSK tetapi negara harus bisa melindungi hak-hak perempuan PSK ini.
Upaya-upaya yang dilakukan menurut penulis harus ada sosialisasi hukum mengenai hak-hak perempuan kepada para pemilik wisma/germo/mucikari secara intensif dan berkelanjutan sehingga praktek prostitusi yang diorganisir dapat diminimalisir atau bahkan dapat dihilangkan dengan melakukan pembinaan juga untuk tidak mencari uang dengan cara melawan hukum, karena setiap orang mempunyai hak untuk berusaha dan mendapatkan uang, tetapi hal tersebut bukan berarti mencari uang dengan jalan tidak mematuhi aturan hukum dan juga harus ada perbaikan sistim pengawasan terhadap pemilik wisma/mucikari/germo untuk tidak lagi menyediakan tempat sehingga mempermudah praktek prostitusi dan harus adanya aturan yang ketat untuk germo yaitu harus ada sanksi yang tegas terkait dengan pekerjaannya mengeksploitasi PSK. Dimana aturan yang sudah ditetapkan oleh KUHP harus dibarengi dengan sanksi yang tegas, karena selama ini jika diperhatikan maka aturan yang ditetapkan oleh pasal 506 KUHA terhadap pemilik wisma/mucikari/germo tidak pernah dilaksanakan. Dan juga perlu adanya perubahan untuk perbaikan pasal ini, ketentuan pidana yang ditentukan terlalu kecil atau sedikit sehingga memungkinkan germo itu bisa memenuhinya tanpa harus ada kurungan badan. Pemerintah juga harus mengambil inisiatif untuk segera membuat aturan yang mengatur tentang PSK atau prostitusi di Kota Ambon, karena walaupun tidak berdampak secara langsung, tetapi secara luas PSK adalah penyakit masyarakat sehingga pemerintah wajib melihat hal tersebut dengan melihat acuan yang digunakan oleh daerah-daerah lain dalam pembuatan perda tentang pelacur untuk daerahnya.
Keberhasilan pelaksanaan perlindungan hukum kepada perempuan PSK di Kota Ambon tergantung kepada faktor kebijakan dan penghambat pemerintah dalam pelaksanaan tugasnya. Mengingat bahwa suatu peraturan perundang-undangan mempunyai sasaran berlaku dan efektifitas berlakunya ditentukan pula oleh pelaksanaanya, maka kalangan aparat pemerintah sebagai pelaksana dari peraturan undang-undang itu dituntut untuk terlebih dahulu mengetahui secara baik tujuan dan kegunaan peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga sekaligus dapat mengimformasikan atau mensosialisasikan kepada masyarakat. Selama ini masalah prostitusi yang ada di Kota Ambon telah diupayakan penanggulangannya oleh pemerintah daerah setempat dengan jalan memberikan sosialisasi yang diupayakan untuk meminimkan kegiatan ini.
Kebijakan yang diambil terkait dengan perlindungan hukum bagi perempuan PSK korban perceraian yang ada di di Kota Ambon yaitu dilakukan sosialisasi kepada mereka di tempat lokalisasi maupun café-café malam materi sosialisasinya kerap menyangkut hak-hak pekerja perempuan di malam hari dan ijin bagi pengusaha yang mempekerjakan perempuan di malam hari serta kewajiban melapor dari pemilik usaha tentang jumlah tenaga kerja perempuan yang dipekerjakan pada malam hari. agar supaya jangan melakukan pekerjaan seperti menjadi PSK atau yang membuka kesempatan bagi terlaksananya praktek prostitusi. lebih baik mereka diberdayakan untuk mencari pekerjaan yang lain. Tapi sering mereka tertumbuk dengan masalah yaitu karena kurang tersedianya sumber daya manusia dan pendanaan yang disediakan untuk menangani masalah PSK.
Terlihat juga ada faktor-faktor yang menghambat penegakan hak asasi manusia perempuan PSK ini, terutama berasal dari mucikari pemilik/ wisma atau germo yang sebenarnya sudah ada aturan yang diatur dalam pasal 296 KUHP yang melarang adanya mucikari tetapi dalam kenyataannya praktek prostitusi yang diorganisir oleh mucikari tetap ada, karena mucikari kurang memahami tentang perlindungan hukum terhadap perempuan, praktek prostitusi ini tetap ada juga disebabkan karena kurang tegasnya petugas sehingga membuka peluang besar bagi mucikari tetap melakukan usahanya karena peluang usaha ini menghasilkan pendapatan yang besar sehingga tetap memperluas jaringan prostitusi.
D. Penutup
Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada bab-bab terdahulu maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perempuan sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak asasi sejak dilahirkan, sehingga tidak ada manusia atau pihak lain boleh merampas hak tersebut dan hak asasi manusia perempuan ini diakui secara universal sesuai yang tercantum dalam Piagam bangsa-Bangsa tahun 1984 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Deklarasi CEDAW tahun 1983. Secara moral semua Negara dituntut untuk menghormati, menegakan dan melindungi hak perempuan. Salah satu bentuk hak asasi perempuan adalah jaminan untuk melindungi sesuai dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan serta pancasila dan tujuan Negara yang tercantum dalam UUD 1945. Tetapi sampai detik ini hak-hak asasi perempuan yang sudah diratifikasi oleh Negara Indonesia dan sudah diinflementasikan dalam peraturan perUndang-Undang di Negara kita belum bisa diterapkan terhadap kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan khususnya di Maluku.Mayoritas perempuan belum mengetahui akan hak-hak mereka. Kalaupun komunitas perempuan tahu, belum banyak yang menuntut pemenuhan hak-hak tersebut pada Negara. Perempuan yang bercerai dan menjadi PSK karena tidak dilakukan kewajiban hukum oleh suami atau mantan suami untuk menafkahi anak-anaknya,untuk itu harus ada aturan yang ketat kepada para suami agar tidak gampang dengan alasan yang sepele bisa melakukan perceraian hal ini menyebabkan telah dilanggar hak asasi manusia perempuan dengan cara merendahkan harkat dan martabat selaku manusia. Upaya penegakkan hak asasi manusia perempuan khususnya PSK harus dimulai dari pihak-pihak yang terlibat dalam pekerjaan ini, mulai dari masyarakat sekitar tempat lokasi, germo, PSK sendiri, instansi pemerintah seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan serta dinas sosial.
Berdasarkan apa yang disimpulkan di atas, maka akan dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Hakim sebaiknya lebih bijaksana dalam memberikan keputusan dalam rangka memperhatikan kehidupan anak dan istri pasca perceraian di mana harus ada pengawasan dan kontrol kepada para suami yang menceraikan istrinya untuk wajib memberikan nafkah kepada anak-anaknya sesuai putusan pengadilan.
2. Perlu diupayakan pembuatan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan dan penanganan terhadap keluarga yang bercerai sehingga dapat menjamin kehidupan istri dan anak-anak pasca perceraian supaya nasibnya tidak terlunta-lunta dan terpaksa menjadi PSK.
DAFTAR PUSTAKA
Daud Ali, Muhammad, 1998. Pendidikan Agama Islam, Jakarta PT. Radja Grafindo Persada.
————-, 2004, Hukum Islam, Jakarta, PT. Radja Grafindo Persada.
Hadjon P.M. 1987, Perlindungan Hukum bagi rakyat di Indonesia, Bina Ilmu Surabaya.
Harjono, Anwar, 1968. Hukum Islam Keleluasaan dan Keadilannya, Jakarta, Bulan Bintang.
Mahfud MD. Moh. 1998, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.
Mahmud, Peter, 2008, Penelitian Hukum, Prenada Media Group.
Satjipto Rahardjo, 1983. Masalah Penegakkan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum, Sinar Baru Bandung.
————————, 2009. Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Kompas Jakarta.
————————,2008, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas Jakarta.
Sudikno Mertokusuma, 1996, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta.
Peratura peundang-undangan
Koran Kompas, Edisi 3 Februari 2001.
Undang-Undang Dasar 1945 (sesudah amandemen).
Undang-UndangNo. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-UndangNo 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Tentang Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Undang-UndangNo. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Undang-UndangNo. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
[1] Tulisan ini diterbitkan dalam sebuah buku KOMPILASI PEMIKIRAN TENTANG DINAMIKA HUKUM DALAM MASYARAKAT (Memperingati Dies Natalis ke -50 Universitas Pattimura Tahun 2013), 2013