Penyelesaian Sengketa Semen Padang melalui Center for Settlement of Disputes

Hukum Internasional

Penyelesaian Sengketa Semen Padang melalui Center for Settlement of Disputes

Oleh: Irma Hanafi

 

Sengketa Semen Padang merupakan imbas dari permasalahan setelah terjadinya perubahan pemberlakuan sistem pemerintah daerah dari sistem yang semula sentralistik menjadi pemerintahan daerah yang desentralistik, sehingga timbul gugatan-gugatan terhadap asset negara yang berada di daerah antara lain seberapa jauh wewenang dan keterlibatan masyarakat daerah terhadap asset-asset tersebut serta gugatan terhadap kebijakan Pemerintah Pusat dalam mengelola asset tersebut.

Selain itu, kasus Semen Padang yang berlarut larut merupakan cerminan ketidak pastian hukum bagi para investor di Indonesia. Berbagai benturan kepentingan telah terjadi di dalamnya, baik mengenai penerapan ketentuan tentang hukum perseroan, hukum investasi, hukum adat dan berbagai aspek hukum lainnya terjadi dalam kasus tersebut. Berbagai warna-warni politik ikut juga mewarnai penyelesaian sengketa tersebut sehingga menyebabkan para investor asing dalam hal ini Cemex melepaskan investasinya di Semen Padang sebagai anak perusahaan Semen Gresik.

Pertentangan antara Direksi yang lama (yang telah dihentikan melalui RUPSLB) dengan Direksi baru (yang diangkat melalui RUPSLB yang sama) mencerminkan terjadinya ketidakpastian hukum dalam penerapan hukum perseroan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1995 tentang pereroan terbatas. Hal ini menyebabkan ketidak pastian hukum bagi pemegang saham PT Semen Gresik selaku pemilik PT Semen Padang, terutama partner asing pemegang saham PTSemen Gresik, yaitu Cemex.

Walaupun akhirnya Direksi baru bisa memasuki areal pabrik melalui proses eksekusi, namun bagaimanapun kasus Semen Padang ini telah memberikan gambaran yang negatif bagi kepastian hukum untuk melakukan investasi di Indonesia, karena bagaimanapun kepentingan investor yang  mempunyai itikad baik untuk melakukan investasi di Indonesia harus dilindungi oleh hukum yang berlaku di Indonesia.

Karena masalah hukum yang terjadi di dalam tubuh PT Semen Padang inilah akhirnya menyebabkan penjualan saham kepada Cemex yang telah diperjanjiakan dalam perjanjian jual beli antara Pemerintah Indonesia dengan Cemex Conditional Sales and Purchases Agreement (CPSA) tidak direalisasikan oleh Pemerintah Indonesia. Pada akhirnya kemelut ini oleh Cemex di ajukan ke pengadilan arbitrase komersial internasional yaitu ICSID (International Center for Settlement of Disputes)

Beberapa fakta hukum sengketa Semen Padang,

 

1)      Tahun 1958 terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Presiden RI Soekarno mengumumkan semua aset Belanda di Indonesia harus dinasionalisasikan, satu diantaranya adalah Semen Padang.

 

2)      Untuk menyehatkan PT Semen Padang, masyarakat Nagari Lubuk Kilangan menyerahkan tanah ulayat 127 hektar kepada Pemda Sumatera Barat tanpa bayaran  dan Pemda Sumatera Barat menyerahkan tanah tersebut kepada PT Semen Padang

 

3)      Juli 1995 Semen Padang dan semen Tonasa diakusisi Semen Gresik. Oktober 1998 Semen Gresik diprivatisasi.

 

4)      Tahun 1998 Cemex masuk ke Indonesia dengan membeli 25,5% saham di Semen Gresik dan membuat kesepakatan dengan pemerintah Indonesia melalui perjanjian jual beli bersyarat CSPA (Conditional Sales and Purchases Agreement) yang salah satu obsinya Cemex dapat memperbesar sahamnya menjadi mayoritas (put option) dengan kata lain Cemex dapat membeli 51% saham pemerintah, opsi ini berlaku sampai batas waktu 26 Oktober 2001 namun sampai batas waktu tersebut pemerintah tidak merealisasikan penjualan saham kepada Cemex.

 

5)      Opsi Penjualan 51% saham pemerintah kepada Cemex ditentang oleh Masyarakat sumatera barat, pemimpin utama Semen Padang berargumentasi bahwa pabrik itu berdiri di atas tanah ulayat yang tidak bisa begitu saja dijual apalagi kepada pihak asing. Bahkan peristiwa akuisisi Semen Padang oleh Semen Gresik tidak didukung oleh dokumen legal yang memadai seperti peraturan pemerintah. 1 November 2001 masyarakat Sumatera barat melalui DPRD menginginkan pemisahan Semen Padang dari Semen Gresik.

 

6)      28 Maret 2002, Menteri BUMN Laksamana Sukardi  meminta Direksi Semen Padang di ganti melalui RUPSLB. Pergantian Direksi oleh Semen Padang di tolak. Penolakan ini kemudian dibawa ke Pengadilan Negeri Padang. Putusan Pengadilan Negeri Padang menolak izin penyelenggaraan RUPSLB Semen Padang dengan agenda penggantian Direksi.

 

7)      19 September 2002, Semen Gresik mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Negeri Padang dan pada 29 April 2003 Mahkamah Agung mengijinkan RUPSLB Semen Padang yang hasilnya Direksi Semen Padang di ganti.

 

8)      13 Agustus 2003, Cemex meminta pemerintah segera menyelesaikan kemelut di Semen Gresik, dan mengancam akan mengajukan gugatan ke arbitrase internasional.

 

9)      27 Januari 2004, Gugatan diajukan ke ICSID ( International Center for Settlement of Investment Disputes di Washinton, DC, Amerika Serikat. Dalam gugatannya Cemex meminta pengadilan menjatuhkan sanksi denda sekitar US$ 400 juta kepada pemerintah.

 

 

10)   Januari 2005, Pemerintah dalam hal ini Semen Gresik dan Cemex sapakat untuk menunda sidang di Arbitrase dan memilih penyelesaian sengketa diluar pengadilan

 

11)   2 Maret 2006, Cemex menyatakan akan melepaskan sahamnya di Semen Gresik dan menyampaikan rencana penjualan sahamnya tersebut kepada kementrian BUMN

 

12)   4 Mei 2006, Grup Rajawali membeli 24,9% saham Cemex di Semen Gresik senilai   AS $ 337 juta ( Rp. 2,9 triliun).

 

13)   Awal tahun 2007, Pemerintah Indonesia dan Cemex saling bertukar dokumen yang antara lain mengenai pencabutan tuntutan di pengadilan arbitrase ICSID.

 

 

 

 

Pemerintah Indonesia dianggap melanggar perjanjian jual beli CSPA  (Conditional Sales and Purchases agreement) yaitu perjanjian jual beli yang telah ditandatangani pemerintah dengan Cemex pada September 1998. Dimana salah satu point dari perjanjian tersebut, Cemex berhak memiliki 51% saham Semen Gresik di dalamnya ada anak perusahaan Semen Padang dan Semen Tonasa. Hingga batas waktu yang telah ditentukan  26 Oktober 2001, Pemerintah Indonesia tetap tidak melaksanakan kewajibannya sesuai perjanjian tersebut untuk menjual 51% saham kepada Cemex.  

 Cemex mengajukan sengketa dengan Pemerintah Indonesia ke  ICSID sebagai sengketa investasi penanaman modal yang kemudian ditetapkan sidangnya akan berlangsung tanggal 11 Januari 2005. Pemerintah Indonesia meminta penundaan sidang hingga 28-30 Juli 2005 dengan alasan akan menempuh perundingan terlebih dahulu atau negosiasi di luar jalur pengadilan (out court setlement). Awal tahun 2006 Cemex menunjuk JP Morgan sebagai penasehat keuangan untuk melepas 25, 53 % sahamnya di Semen Gresik. Pada tahun 2007 Saham Cemex di beli oleh PT Rajawali Group senilai US $ 337 juta, dan Cemex mencabut tuntutan arbitrasenya kepada pemerintah Indonesia serta mengakhiri perjanjian jual beli CSPA yang telah dilakukannya dengan pemerintah Indonesia.  

Sengketa Cemex dengan Semen Padang merupakan sengketa dibidang penanaman Modal, maka perlu mengacu pada International Center for Settlement of Disputes  ( ICSID ) yang bertugas menyediakan berbagai kemudahan  bagi pelaksanaan konsiliasi dan arbitrase, menyangkut sengketa yang timbul antar negara dimana investasi itu dilakukan dengan warga negara atau dengan badan hukum asing ( pasal 1 ayat 2 ICSID ) dalam hal ini Cemex dengan pemerintah Indonesia. Pasal 25 ayat 1 ICSID menyatakan bahwa persetujuan untuk menyerahkan penyelesaian kepada ICSID bersifat tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Dalam masalah Cemex ini, Cemex bersama Pemerintah Indonesia setuju untuk menunda persidangan dan mengambil jalan keluar dengan musyawarah mufakat yaitu negoisasi

Pasal 32 ayat 1 dan 3 Undang – Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, mengatur tentang cara penyelesaian sengketa yang timbul dalam penenaman modal antara pemerintah dengan investor asing. Ada dua cara dalam menyelesaikan sengketa antara Pemerintah Indonesia dengan investor asing yaitu :

1.      Musyawarah dan mufakat

2.      Arbitrase internasional

Melihat dari penyelesaian sengketa kasus Cemex dan Semen Padang ini, pada mulanya akan diselesaikan melalui Pengadilan Arbitrase Internasional ICSID tetapi kemudian dibatalkan sebelum ada proses pengadilan (putusan) dan  kedua belah pihak sepakat menyelesaikan masalah mereka diluar pengadilan  dengan cara musyawarah dan mufakat melalui negoisasi. Negosiasi adalah perundingan secara langsung antara para pihak  dengan tujuan mencari penyelesaian melalui dialog tanpa melibatkan pihak ke tiga. Segi positif dari negosiasi dalam kasus ini adalah para pihak berupaya mencari penyelesaian yang dapat diterima dan memuaskan para pihak, sehingga tidak ada pihak yang menang dan kalah tetapi diupayakan kedua belah pihak menang.

Mengenai pembatalan putusan menurut ICSID, “ Either party may request annulment of the award by an application in writing addressed to the Secretary-General” adalah penegasan pasal 52 ayat 1 ICSID. Diberi hak kepada para pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan

ICSID mengatur syarat-syarat formal pembatalan, dalam pasal 52 antara lain:

a.       Permohonan diajukan secara tertulis, permohonan pembatalan yang diajukan secara lisan dianggap tidak memenuhi syarat formal. Dengan demikian permohonan tidak sah akibatnya permohonan tidak dapat diterima.

b.      Permohonan dialamatkan kepada Sekretaris Jenderal ICSID

c.       Diperbuat dalam tempo 120 hari setelah putusan diserahkan. Permohonan pembatalan yang diajukan melampaui batas tenggang waktu tidak memenuhi syarat formal, akibatnya permohonan tidak dapat diterima.

Dalam kasus Cemex ini pembatalan yang dilakukan hanya berupa pembatalan pengajuan untuk menyidangkan sengketa dengan Semen Padang (Pemerintah Indonesia) bukan pembatalan putusan sidang arbitrasenya karena sidangnya pun belum sempat dilaksanakan jadi mungkin hanya syarat formal a dan b saja yang harus dipenuhi.

Alasan permohonan pembatalan yang dibenarkan dalam ICSID ada lima menurut pasal 52 ayat 1 (b) :

a.       Pembentukan mahkamah tidak tepat

b.      Mahkamah melampaui batas kewenangan, misalnya apabila telah diputus atau dikabulkan suatu hal yang sama sekali tidak dituntut dalam claim oleh pihak yang mengajukan sengketa.

c.       Salah seorang arbiter korupsi

d.      Penyimpangan yang serius tata cara pemeriksaan, misalnya putusan tidak mencantumkan atau melampirkan pendapat masing-masing anggota arbiter.

e.       Tidak cukup dasar pertimbangan putusan, artinya bahwa mahkamah gagal atau tidak mampu mengungkapkan dan menjelaskan dasar-dasar alasan pertimbangan hukum dalam putuan.   

Lima alasan pembatalan diatas adalah merupakan alasan pembatalan atas putusan yang telah ada putusan arbitrase. Pada sengketa Cemex dengan Semen Padang ( pemerintah Indonesia ) tidak sampai pada tahap putusan pengadilan arbitrase. Yang jelasnya ICSID memperbolehkan adanya pembatalan.

Penjualan saham Cemex kepada Rajawali Group menyebabkan akta CPSA dengan Cemex diakhiri dan direvisi kembali yang salah satu revisi tersebut berisi pencabutan pengadilan arbitrase, merupakan langkah penyelesaian sengketa yang di lakukan oleh Cemex untuk mengakhiri sengketa dengan Pemerintah Indonesia.

Beberapa hal yang dapat menjadi perhatian,

·         Berperkara melalui badan arbitrase lebih fleksibel, artinya tidak ada tata cara proses perkara yang mutlak harus di jalani. Dalam sengketa ini para pihak dapat meminta penundaan sidang dan melakukan negosiasi di luar pengadilan.

·         Kemelut di dalam PT Semen Padang yang berlarut larut merupakan cerminan ketidak pastian hukum bagi para investor di Indonesia.

 

·         Cemex tidak lagi memiliki investasi di Indonesia dan sengketa dengan Pemerintah Indonesia berakhir tanpa melalui sidang di pengadilan arbitrase.

Tinggalkan Balasan