Filsafat Hukum dan HAM Internasional

Hukum Internasional

Filsafat Hukum dan HAM Internasional.

Oleh: Irma Hanafi

 

Cukup banyak gejala bahwa abad 21 disemarakkan dengan gelombang besar demokratisasi dimana-mana. Jika abad-20 dipandang oleh Kofi Annan, Sekertaris Jenderal PBB, sebagai abad yang memilukan yang dipenuhi konflik, perang, pembunuhan dan ceceran darah, maka abad ke-21 adalah kebangkitan makna baru kemanusiaan.

Menjelang datangnya abad ke-21 ini dengan revolusi luar biasa dasyat di bidang teknologi, terutama teknologi transportasi dan informasi, ini menjadikan dunia sebagai sebuah perkampungan kecil. Revolusi itu melahirkan gelombang pendefenisian baru persoalan-persoalam etnik, umat agama tertentu dan persoalan negara bangsa, menjada di persoalan bersama umat manusia, dan mendatangkan kesadaran kemanusiaan baru dimana-mana.[1]

Dalam dunia klasik filsafat berpangkal dari rasa heran, namun dalam zaman modern dewasa ini ia biasanya bermula dari kesangsian. Seusai dua perang dunia abad 20 ini, kesangsian telah menjadi penyakit manusia yang serius dan merisaukan. Sekarang ini banyak orang merasa tidak pasti lagi tentang pemerintahan yang terbaik, sistem ekonomi dan social yang terbaik, tentang hal benar dan salah, tentang eksistensi tuhan, tentang jiwa dan tujuan hidup. Kita tidak yakin apakah perilaku orang masa kini lebih baik dari masa orang tua kita. Yang lebih parah lagi adalah bahwa kewibawaan ilmupun sudah diragukan orang. Sudah mulai terdengar orang berbicara bahwa landasan dari ilmu itu sendiri itu sudah berantakan.[2]

Kesan pertama yang timbul sesudah mempelajari sejarah filsafat hukum ialah bahwa masalah hukum agak kabur sampai zaman sekarang ini. Terdapat bermacam-macam teori tentang hukum, yang banyak berbeda yang satu dengan yang lain. Para sarjana yang dalam uraiannya berbeda pandangan bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama, yakni: apakah arti hukum, dan manakah dasar hukum kemudian dalam lintasan sejarah filsafat hukum dapat ditemukan garis-garis fikiran yang pada akhirnya membuka kepada suatu pengertian hukum yang lebih mendalam.[3]

Filsafat hukum telah memegang peranan di dalam memimpin semua telaah tentang lembaga-lembaga manusia selama 2400 tahun yang lalu, mulai dari pemikir-pemikir Yunani yang hidup dalam abad kelima sebelum masehi, yang bertanya apakah hak-hak itu hak yang ditetapkan oleh kodrat alam atau hanya oleh pengundangan dan konvensi.[4]

Filsafat hukum adalah refleksi secara sistematikal tentang “kenyataan” dari hukum. Kenyataan hukum harus dipikirkan sebagai realisasi (perwujudan) dari ide hukum (cita hukum). Dalam hukum positif kita selalu bertemu dengan empat bentuk: aturan hukum, putusan hukum, figure hukum (pranata hukum), lembaga hukum. Lembaga hukum terpenting adalah negara. Tetapi tidak hanya kenyatan hukum, juga filsafat hukum harus direfleksi secara sistematikal. Filsafat hukum adalah sebuah “sistem terbuka” yang di dalamnya semua tema saling barkaitan satu dengan yang lainnya.[5]

Usai perang dunia I tak terpikirkan oleh para pemimpin politik bahwa lembaga internasional dapat mendikte suatu negara bagaimana suatu negara memperlakukan rakyatnya. Liga Bangsa-Bangsa dan Mahkamah Internasional tidak mempersoalkan issu hak asasi manusia sampai saat Hitler menganggapnya tidak penting. Pada titik inilah individu tidak memiliki hak dalam hukum internasional. Akses terhadap masalah yang berkaitan dengan kovenan dan perjanjian antar negara sama sekali tertutup bagi rakyat negara tersebut. Holocaust atau pembantaian warga Yahudi di Eropa pada saat Hitler berkuasa adalah kenyataan yang mengubah semuanya. Dengan Holocaust, tujuan perang sekutu menjadi terfokus dan diikuti dengan tuntutan digelarnya pengadilan internasional yaitu Pengadilan Nuremberg untuk menghukum tokoh-tokoh Nazi atas kebiadaban mereka terhadap bangsa Yahudi. Untuk pertama kalinya hukuman tersebut disebutkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Untuk pertama kalinya individu memiliki hak untuk setidaknya diperlakukan dengan hormat oleh pemerintahannya. Dengan hak tersebut maka menjadi tanggungjawab pemerintah lain pula untuk mengadili para pelanggar hak asasi manusia.[6]  

Merealisasikan hak-hak dasar manusia (hak politik, social, ekonomi, agama dan kebudayaan) sebagaimana tercantum dalam hukum internasional tidak selalu mudah untuk diterapkan di negara-negara Asia termasuk Indonesia. Kesadaran untuk melindungi hak-hak asasi manusia di negara-negara maju terbukti dari perumusan hak-hak asasi manusia dalam konstitusinya , dan juga menjadi bagian dari praktek dan kebiasaan-kebiasaan manusia setelah melalui rentang waktu yang cukup panjang.

            Realisasi hak-hak asasi manusia dimanapun menjadi lebih efektif karena didukung oleh tercapainya perjanjian hukum internasioanl dan komitmen mereka untuk merasa terikat terhadap sumber-sumber hukum hak asasi manusia seperti terlihat dalam ajaran-ajaran ahli hukum, konvensi internasional, dan The Declaration of Human Rights 1948.[7]

 

 

 

Filsafat Hukum dan Hukum Internasional

Filsafat hukum yang dibentuk dalam zaman Yunani kuno menjelaskan bahwa aturan masyarakat ada hubungan dengan aturan alam. Alam ini ditanggapi sebagai suci dan sakral sebab berkaitan dengan kekuasaan ilahi. Karenanya dalam hati rakyat hiduplah kesadaran bahwa aturan alam harus ditaati. Aturan alam dicerminkan dalam aturan masyarakat, maka aturan ini harus ditaati pula. Ketaatan kepada aturan menimbulkan keadilan dalam hidup bersama dan menjamin keamanan dan kebahagiaan hidup.

Dalam Jaman modern muncullah pandangan bahwa manusia karena keunggulannya sebagai pribadi harus diakui sebagai penegak hukum. Selaras dengan pandangan ini alam tidak berfungsi lagi sebagai norma utama dalam pembentukan peraturan-peraturan. Norma utama adalah akal budi manusia. Dalam akal budinya manusia secara rasional mengenal prinsip-prinsip yang mengatur kehidupannya. Maka dari itu aturan masyarakat dipandang sebagai pencerminan akal budi manusia. Dalam abad XIX hukum tidak hanya digabungkan dengan metoda empiris ilmu-ilmu pengetahuan. Hukum mulai dipandang juga dalam hubungannya dengan sejarah, khususnya dengan sejarah bangsa. Filsafat hukum yang memberi perhatian khusus kepada hubungan hukum dengan sejarah adalah mazhab historis. Menurut mazhab ini hukum mengalir dari jiwa bangsa. Tetapi bangsa berkembang dalam sejarah, oleh karena itu timbulnya hukum ada hubungannya dengan sejarah.

Abad XX Positivisme sosiologi hukum merupakan pendekatan baru, khususnya di Amerika Serikat, Realisme hukum dan neopositivisme terjalin dengn penggunaan metode empiris. Dalam menggunakan metode empiris sarjana hukum sampai pada kesimpulan bahwa hukum dapat disamakan dengan tata hukum yang berlaku. Tata hukum adalah hukum positif sebagaimana ditentukan oleh pemerintah yang sah. Maka dari itu pemerintah dipandang sebagai sumber hukum. Kesimpulan yang kedua dari pendekatan ini ialah bahwa sifat normative dari hukum digabungkan dengan kenyataan bahwa hukum ditentukan oleh yang berkuasa.

Hukum, antaranya dalam tulisan-tulisan W. Luypen,dikemukakan sebagai kasih sayang atau etika. Dalam bukunya Nieuwe Inleiding tot de ex istentiele fenomenologie (1969), pada halaman 401 :

“Demikianlah manusia menampilkan dirinya sendiri bagaikan suatu kenyataan paradoksal yang luar biasa. Disatu pihak jadilah dia kesediaan untuk menghancurkan subjektifitas orang lain; pelaksanaan demikian bernama benci, atau serigala. Di pihak lain dia merasa dirinya sebagai tujuan untuk yang lain, pelaksanaannya bernama kasih saying. Merasa dirinya bagaikan serigala dan bagaikan tujuan untuk yang lain, manusia, melihat dengan sarana seni yang etis bahwa sedikit-dikitnya yang terkandung dalam adanya tujuan untuk orang lain, adalah bahwa dalam eksistensinya dia tidak memperkenankan serigala menelan yang lain. Sekedar syarat untuk kasih sayang, yang syaratnya adalah eksistensi manusia sendiri seperti zu Sein lalu dirumuskan sebagai hak yang paling asasi dari yang lain. Hak yang lain adalah sedikit-dikitnya kadar dari ya. Berada untuk yang lain jadi sebagai, seharusnya pada tingkat antar subjektifitas hak dari yang lain ini karena itu pula hukum kodrtat, atau lebih baik, suatu hak hakikat karena dia terkandung dalam kodrat atau lebih baik, hakikat eksistensi.”

Hukum adalah suatu lembaga social yang menentang segala bentuk penindasan dan yang melembagakan suatu hubungan pengakuan akan kebebasan setiap orang. Tujuan itu tiada berbatasan, walaupun dalam pelaksanaannya yang sesunguhnya dia memang selalu tetap terbatas. Bila hukum dalam kenyataannya merupakan pelaksanaan keadilan yang minimal. Ini bukanlah disebabkan oleh maksud yang sesungguhnya dari hukum yang justru ditujukan kepada kadar maksimum keadilan,tapi karena faktor-faktor lain yang harus dihadapi hukum pada dasarnya. Yaitu: kemungkinan teknis persetujuan penduduk dan kenyataan bahwa hukum pada dasarnya menghadapi struktur-struktur danbukan peristiwa individual. Terutama pada bidang internasional orang mungkin akan mengatakan bahwa hukum tetap minimal. Tapi sekiranya demikian halnya, maka hal ini bukanlah disebabkan tujuannya disesuaikan menjadi minimum tapi memang karena factor-faktor yang menahan keterarahan hukum pada tingkat aksimum yang dapat dicapai.[8]

Timbulnya negara-negara kebangsaan menyebabkan masalah tentang landasan rasional dari Hukum Internasional muncul ke permukaan dalam pemikiran hukum (legal thinking). Perkembangan ini dapat dilihat dalam tulisan-tulisan dari beberapa Thomist Spanyol yang bernama Francisco de Vitoria (c.1492 – 1546) dan Francisco Suarez (1548 – 1617), dan dari Hugo Grotius (1583 – 1645), seorang yuris Belanda Protestan dengan kecendrungan humanistic yang luas. Menurut Vitoria, jus gentium itu atau termasuk ke dalam atau dapat diderivasi dari hukum alam yang terdiri atas preskripsi-preskripsi (perintah) bagi kebaikan umum dalam arti yang seluas luasnya, yakni komunitas (masyarakat) internasional. Dengan demikian hak-hak dan kewajiban dirundingkan oleh bangsa-bangsa yang bertindak melalui para penguasanya.

Konsepsi tentang suatu Hukum Bangsa-bangsa telah dikembangkan secara mendetail oleh Suarez. Walaupun karyanya  “De Legibus” dalam banyak hal bersifat thomistik. Suarez membedakan kaidah-kaidah hukum dalam arti preskriptif dari kaidah-kaidah hukum alam dalam arti deskriptif, yang hanya merupakan aturan-aturan hukum dalam arti metafora. Berkaitan dengan kaidah hukum preskriptif, Suarez mendifinisikan sebuah undang-undang (lex) sebagai tindakan dari suatu kemauan yang adil dan benar yang dengannya penguasa berkehendak untuk mewajibkan rakyat pada ini atau itu atau sebagai suatu  peraturan yang berlaku umum, adil, dan stabil, yang telah diundangkan secara memadai (De Legibus I, 12). Referensi pada stabilitas adalah menarik perhatian (penting): aturan-aturan hukum (undang-undang) pada umumnya eksistensinya mampu masa hidup pembentuk undang-undang dan penduduk yang hidup pada saat mereka ditetapkan, dan mereka akan tetap valid sampai ditarik kembali. Pertimbangan-pertimbangan demikian telah mendorong para penulis kontemporer untuk menolak pengidentifikasian aturan-aturan hukum (undang-undang) dengan hanya tindakan-tindakan kemauan (acts of will); tetapi walaupun Suarez menolak pandangan vooluntaristik tentang hukum alam yang berkaitan dengan pendapat para Ockhamist, ia berkeyakinan bahwa Hukum Sipil ditetapkan “lebih oleh kemauan ketimbang oleh akal budi”. Ia tidak diderivasi dari hukum alam dengan inferensi logikal melainkan oleh “determinasi” (kemauan keras), dan karena itu, dalam arti tertentu, ia adalah bersifat arbitrer atau sewenang-wenang (ibid. II,20). Sebagian penulis abad pertengahan cenderung menggunakan “lex” dan “jus” secara berganti-ganti (interchangeably); namun, Suarez mendefinisikan yang disebut terakhir sebagai “suatu kekuasaan moral yang setiap orang memilikinya, baik hak miliknya atau berkaitan dengan apa yang menjadi haknya”. Walaupun Aquinas secara singkat membahas jus natural tentang suatu hak alamiah (natural right) hampir tidak ada dalam pikirannya. Sedangkan pada Suarez jelas ada, yang dalam gaya seperti Locke dan filsuf-filsuf Pencerahan Akalbudi (Enlightenment), memformulasikan suatu daftar hak-hak alamiah. Namun, individualism dari penulis-penulis itu tidak ada pada Suarez. Sikap dan pandangannya jauh berbeda dari para teoretici hukum alam dan hak alamiah abad ke delapan belas, yang berpendapat bahwa suatu sistem hukum yang sempurna dapat dideduksi dari hukum alam.Walaupun Grotius cenderung meremehkan para pendahulunya, namun karyanya “De Jure Belli ac Pacis” (1625) jelas memperlihatkan pengaruh dari penulis-penulis seperti Vitoria dan Suarez. Ia mengembangkan gagasan mereka tentang suatu “peperangan yang adil” (jus war), suatu topic yang masih didiskusikan oleh Hans Kelsen dan para teoretici abad ke dua puluh yang lain  mempersoalkan masalah sanksi dalam Hukum Internasional. Peperangan yang adil memprasuposisi (mengandaikan) adanya kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara negara-negara yang berdaulat; kaidah-kaidah hukum yang demikian mempunyai sebagai asal-usulnya dalam hukum alam dan dalam traktat-traktat, yang pada gilirannya memprasuposisi aturan-aturan (perintah) dari hukum alam. Penyangkalan terhadap adanya hukum alam menganggap bahwa manusia dimotivasi secara egoistic, menerima hukum sebagai “yang terbaik Kedua”. Namun, dengan mengikuti Aristoteles dan kaum Skolastik, Grotius berpendapat bahwa manusia itu social, altruistic, dan rasional. Disanalah letak sumber dari hukum, dan akan mengikat terlepas dari apakah Tuhan itu ada atau tidak ada. Pernyataan ini dipandang oleh para historici (ahli sejarah) sebagai pernyataan yang menciptakan zaman (epoch-making); mereka mengklaim bahwa Grotius memisahkan Teori Hukum dan Teologi. Lebih penting, barangkali adalah tendensi dalam Grotius dan mereka yang mengikutinya untuk mengidentifikasi hukum alam dengan beberapa asas rasional tentang organisasi social dan dengan demikian untuk melepaskan (mengendurkan) ikatannya dengan konsepsi metafisikal Stoa mengenai hukum alam.[9]

Hukum hak asasi manusia internasional merupakan cabang hukum publik internasional, yakni hukum yang telah dikembangkan untuk mengatur hubungan antara entitas-entitas yang mempunyai pribadi yang bersifat internasional, seperti negara, organisasi internasional dan boleh jadi, individu. Untuk memahami cara kerja berbagai lembaga yang ditugasi untuk untuk mengawasi hak asasi manusia, kita perlu mempunyai pengetahuan dasar mengenai aspek-aspek yang menonjol dari sistem hukum internasional. Dalam konteks hak asasi manusia, hukum internasional mempunyai kualitas ganda sebab ia menciptakan penghalang bagi proteksi hak asasi yang efektif dan sekaligus juga menyediakan sarana untuk mengatasi rintangan-rintangan semacam itu.[10]

Karena hukum hak asasi manusia merupakan cabang hukum internasional, maka cara penciptaannya sama dengan cara penciptaan hukum internasional pada umumnya. Dengan demikian untuk memasuki asal-usul hukum hak asasi manusia, kita perlu menelaah sumber-sumber hukum internasional yang biasa dipakai. Dalam hal ini; pasal 38 Anggaran Dasar Mahkamah Internasional diterima umum sebagai pernyataan yang paling mewakili sumber-sumber hukum internasional semacam itu. “Mahkamah, yang berfungsi memutuskan pertikaian yang diajukan kepadanya sesuai dengan hukum internasional haruslah menerapkan:

a)      Konvensi internasional, umum maupun khusus, dengan menegakkan ketentuan-ketentuan yang dengan tegas diakui oleh negara-negara bertikai.

b)      Kebiasaan internasional yang menjadi bukti mengenai praktek-praktek yang diterima umum sebagai hukum.

c)      Prinsip-prinsip umum dari hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradap.

d)     Putusan yang yudisial dan ajaran para pakar hukum internasional yang paling hebat dari berbagai bangsa, sebagai cara tambahan untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum, asal tidak bertentangan dengan pasal 59 yang menetapkan bahwa putusan-putusan ICJ terdahulu tidak mempunyai kekuatan yang mengikat kecuali dalam kasus yang telah diputuskannya.[11]

Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia biasanya dianggap sebagai hak yang dimiliki setiap manusia, yang melekat atau inheren padanya karena dia adalah manusia. Dalam mukadimah Perjanjian Internasional Hak Sipil dan Politik dari PBB dirumuskan, “These rights derive from the inherent dignity of the human person.” (hak-hak ini berasal dari martabat yang inheren dalam manusia). Hak ini sifatnya sangat mendasar atau asasi (fundamental) dalam arti bahwa pelaksanaannya mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembang sesuai dengan bakat, cita-cita, serta martabatnya. Hak ini juga dianggap universal, artinya dimiliki manusia tanpa perbedaan bangsa, ras, agama atau jenis kelamin.

Tiga generasi hak asasi manusia. Generasi pertama adalah hak-hak politik dan sipil yang sudah lama dikenal dan selalu diasosiasikan dengan pemikiran di negara-negara barat. Generasi kedua adalah hak ekonomi dan social yang gigih diperjuangkan oleh negara-negara komunis di PBB, dengan dukungan negara-negara dunia ketiga. Generasi ketiga adalah hak atas perdamaian pembangunan (development), yang terutama dipengaruhi oleh kepentingan negara-negara dunia ketiga, selain itu dikemukakan mengenai konsep mengenai relativisme cultural, yaitu pemikiran bahwa hak asasi harus dilihat dalam konteks kebudayaan negara masing-masing. Cikal bakal perumusan konsep hak asasi manusia di dunia barat dapat ditelusuri mulai dari filsuf Inggris abad ke-17, John Locke (1632-1704) yang merumuskan beberapa hak alam (natural rights) yang inheren pada manusia.[12]

Dalam semua pernyataan hak-hak sasi manusia sesungguhnya martabat yang terkandung di dalamnya dikemukakan sebagai prinsip dasar hukum. Martabat manusia ini diperoleh manusia dari kebebasannya, kemandiriannya. Karena manusia dapat memiliki hidupnya, maka pemilikan itu pun harus

dipercayakan kepadanya. Landasan hak-hak asasi manusia karena itu juga tidak akan hanya menolak setiap penindasan horizontal di antara manusia, tetapi juga melarang campur tangan pemerintah yang terlalu banyak dalam kehidupan pribadi. Di pihak lain landasan ini memberi perintah kepada negara untuk secara positif membantu meluaskan suasana kebebasan para bangsa.

Prinsip hak-hak manusia mengukuhkan hak setiap manusia. Seperti diakui R. Marcic dengan mengikuti G.del Cecchio, hak setiap manusia sama sucinya dengan hak jutaan manusia bersama. Dalam hal ini seyogyanya memang ditekankan lagi bahwa yang dimaksud adalah manusia kongkret, seperti yang anda jumpai orangnya di jalan. Bila seruan untuk hak manusia digunakan untuk mempertahankan kepentingan diri individu, suatu kelompok atau bahkan suatu benua terhadap kepentingan individu-individu, kelompok-kelompok, atau benua-benua lain, maka tidak terdapat lagi hak manusia, yang pada dasarnya tidak mungkin diartikan diindividualistis atau egoistis sifatnya. Prinsip hak-hak manusia memberikan kepada hukum dasar kemanusiaan murni, landasan etika manusiawi yang umum. Berdasarkan ini sebenarnya setiap landasan hukum yang teokratis ditolak. Apa yang dinyatakan berlaku sebagai hukum, tidak boleh diambil dari wahyu, kepercayaan atau teologi. Hukum harus menciptakan suatu masyarakat antara sesama manusia, apapun juga keyakinannya. Dia merupakan rezim tenggang rasa. Hanya yang tak dapat dibiarkan ialah penindasan, sikap tak tenggang rasa, sikap tak menghargai manusia. Kiranya orang dapat memajukan pertanyaan apakah penolakan atau suatu dasar teokratis atau religious dari hukum juga harus dipertahankan bila rakyat secara homogeny menganut agama yang sama. Bahwa landasan hak-hak manusia harus membatasi campur tangan negara pada apa yang diperlukan agar para warganya dapat hidup dalam suatu kebersamaan yang akan ditentukan selanjutnya.[13] 

Pengaturan Hak Azasi Manusia

Kewajiban etis mendorong manusia kearah suatu tujuan yang tertentu, yakni humanisasi hidup bukan hanya dalam bidang moral, tetapi juga dalam bidang hukum. Dalam bidang hukum manusia meneruskan humanisasi hidup yang telah dimulai dalam bidang etika. Oleh karena humanisasi hidup itu berdasar pada eksistensi manusia sebagai pribadi, maka segala bentuk diskriminasi berlawanan dengan kewajiban etis ini, baik dalam bidang moral maupun dalam bidang hukum. Tiap-tiap manusia harus diakui menurut martabatnya.

Dalam sejarah umat manusia prinsip-prinsip keadilan bagi pembentukan hukum dan juga bagi praktek hukum mendapat pernyataanya dalam beberapa dokumen resmi. Dokumen-dokumen itu ditunjukkan dengan istilah: dokumen hak-hak asasi manusia. Oleh keren prinsip etis dan prinsip hukum yang terakhir adalah eksistensi manusia yang menuntut untuk dihormati. Istilah hak-hak asasi menyatakan bahwa hak-hak yang dirumuskan merupakan basis bagi pembentukan hukum dan praktek hukum. Dokumen-dokumen yang terpenting al:

1.      Magna Charta (1215), membatasi kekuasaan raja Inggris dan sekaligus merumuskan hak-hak warganegara. A.l. dikatakan bahwa tidak seorangpun dapat dimasukkan ke dalam penjara, dirampas hak miliknya atau dicabut hak kawulaneganya tanpa keputusan pengadilan atau hukum negara.

2.      The Virginia Bill of Rights (1776) Pemberontakan rakyat Amerika Utara terhadap kolonialisme Inggeris menghasilkan suatu dokumen mengenai kebebasan pribadi manusia terhadap kekuasaan negara. Manusia berhak untuk mnikmati hidup, kebebasan dan kebahagiaan.

3.      Declaration des droits de l’homme et du citoyen (1789) dokumen ini sangat dipengaruhi oleh deklarasi Amerika, tatapi ada perbedaan. Dokumen Amerika bertolak pada pandangan bahwa para penguasa adalah manusia dan karenanya dapat terbawa nafsu kekuasaan. Dokumen Perancis bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah baik dan karenanya harus hidup bebas: orang yang lahir dan tinggal bebas. Hak-hak itu adalah kebebasan, milik, keamanan dan perjuangan melawan penjajahan.

4.      Deklarasi tentang ha-hak rakyat yang berkarya dan yang diperas (1918). Deklarasi ini dikeluarkan oleh kaum komunis di Rusia sesudah merebut kekuasaan dalam negara. Deklarasi ini berbeda dengan deklarasi lainnya, oleh karena dalam hak-hak dasar ini, hak-hak pribadi tidak disebut, hanya hak-hak dasar social. Intinya ialah bahwa manusia berhak untuk hidup menurut martabatnya secara ekonomis. Sesuatu kehidupan ekonomis yang mencukupi harus menjamin suatu kehidupan yang bebas. Daftar hak-hak azasi yang paling terkenal adalah Universal Declaration of human Rights dari PBB.[14]

Seusai Perang Dunia II timbullah keinginan merumuskan hak-hak asasi yang diakui di seluruh dunia sebagi standar bagi perilaku manusia secara universal. Usaha pertama ke arah standard setting dimulai oleh Komisi Hak Asasi ( Commission on Human Rights) yang didirikan oleh PBB pada 1946.

Dalam sidang komisi hak asasi, kedua jenis hak asasi manusia dimasukkan sebagai hasil kompromi antara negar-negara barat dan negara-negara timur sekalipun hak-hak politik masih lebih dominan. Pada 1948 hasil pekerjaan komisi ini, Universal Declaration of Human Rights diterima secara aklamasi oleh negara-negara yang pada saat itu bergabung dalam PBB, dengan catatan bahwa 48 negara memberi persetujuan tiga negara menolak, dan delapan antara lain Uni Soviet,

Arab Saudi dan Afrika Selatan tidak memberikan suaranya atau abstain.Hasil gemilang ini tercapai hanya dalam dua tahun, karena momentum memang menguntungkan. Negara-negara sekutu (termasuk Uni Soviet) baru saja memenangkan perang dan ingin menciptakan suatu tatanan hidup baru yang lebih aman.

Mengapa Declarasi Universal agak cepat dapat dicapai adalah sifatnya      “tidak mengikat secara yuridis”. Maka dari itu Declarasi Universal ini yang dimaksud sebagai pedomaan sekaligus standart minimum yang dicita-citakan oleh umat manusia untuk menciptakan dunia yang lebih sempurna merumuskan berbagai hak seolah-olah tanpa pembatasan. Satu-satunya pembatasan yaitu “untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain dan yang perlu untuk moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum.”

Sekalipun tidak mengikat secara yuridis hanya secara moral deklarasi mempunyai pengaruh moral, politik dan edukatif yang sangat besar. Melambangkan “komitmen” moral dunia internasional pada hak-hak asasi manusia dan sering menjadi acuan dalam keputusan-keputusan hakim,undang-undang, atau undang-undang dasar beberapa negara apalagi dalam PBB sendiri.[15]

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

B.Arif Sidharta, 2008. Apakah Filsafat dan Filsafat itu, Pustaka Sutra, Bandung.

_____________ 2007. Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung.

D.F.Scheltens, 1984. Pengantar Filsafat Hukum, Erlangga,Jakarta.

Eep Saifullah F, 2000. Provokasi Awal Abad,Membangun Panca Daya    Merebut Kembali Kemanusiaan, RosdaKarya, Bandung.

Geoffrey Robertson QC, 2002. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Perjuangan untuk mewujudkan keadilan Global, Komisi HAM, Jakarta.

Jawahir Thantowi, 2002. Hukum Internasional di Indonesia Dinamika Implementasinya dalam Beberapa Kasus Kemanusiaan, Press, Yogyakarta.

M. Syafi Anwar, 1999. Menggapai Kedaulatan Untuk Rakyat 75 tahun Prof. Meriam Budiardjo, Mizan Pustaka, Bandung.

Martin P Golding, 2005. Sejarah dan Masaalah-Masaalah Filsafat Hukum, Universitas Khatolik Parahiyangan, Bandung.

Scott Davidson, 1994. Hak Asasi Masusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, Temprint, Jakarta.

Theo Huijbers, 1982. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yokjakarta.

 



[1] Eep Saefulloh Fatah, Provokasi Awal Abad, Membangun Panca Daya Merebut Kembali Kemanusiaan, Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm 5.

[2] B. Arief Sidharta, Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu itu, Pustaka Sutra, Bandung, 2008, hlm 1- 2.

[3] Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, kanisius, Yogya, 1982, hal 269.

[4] Rescoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh Drs. Mohamad Radjab, Bhratara, Jakarta, 1996, hlm 1.

[5] Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum,

Penerjemah, B Arief Sidharta, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm 19.

[6] Geoffrey Robertson QC, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Perjuangan Untuk Mewujudkan keadilan Global, editor Suhartono, Komisi HAM, Jakarta, 2002, hlm xiii

[7] Jawahir Thantowi, Hukum Internasional di Indonesia Dinamika Implementasinya Dalam Beberapa Kasus Kemanusiaan, Press, Yogyakarta, 2002, hlm 21.

[8] D.F.Scheltens, Pengantar Filsafat Hukum, penerjemah Bakri Siregar, Erlangga, Jakarta, 1984, hlm 69 – 70.

[9]  Martin P. Golding. H.L.A. Hart, Sejarah dan Masalah-Masalah Filsafat Hukum, Disadur dan diedit oleh B. Arief Sidharta, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2005, hlm 11 – 12.

[10] Scott Davidson, Hak Asasi Manusia Sejarah, Teori, dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, penerjemah, A. Hadyana Pudjaatmaka, Temprint, Jakarta, 1994, hlm 66.

[11]Scott Davidson,  Ibid, hlm 74.

[12] M. Syafi’I Anwar, Menggapai Kedaulatan Untuk Rakyat 75 tahun Prof. Miriam Budiardjo, Mizan Pustaka, Bandung 1999. Hlm 40

[13] D.F.Scheltens, Pengantar Filsafat Hukum, penerjemah Bakri Siregar, Op.cit, hlm 68

[14] Theo Huijbers, Op.cit, hlm 302.

[15] M. Syafi’I Anwar, Op. cit,  Hlm 48

Tinggalkan Balasan