BEBERAPA CATATAN SINGKAT TENTANG MALUKU DALAM KONTEKS
PEMBANGUNAN PROVINSI KEPULAUAN [1]
Oleh : M.J.Saptenno[2]
A. Pengantar.
Konflik sosial beberapa waktu lalu sering menjadi alasan untuk mendiskreditkan orang Maluku. Hampir sebagian besar kesalahan ditimpakan kepada orang Maluku. Konsep berpikir yang demikian harus dirubah dan harus memandang Maluku sebagai bagian penting dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Orang Maluku sebenarnya tidak ingin bertikai, namun karena dipicu oleh berbagai pihak yang mempunyai kepentingan tertentu maka terjadi konflik yang sangat memalukan dan menghancurkan peradaban orang Maluku.
Dalam rangka membangun Maluku kedepan terutama terkait dengan karakter wilayahnya yang sebagian besar terdiri dari laut yang ditaburi pulau pulau, maka dibutuhkan langkah langkah strategis dan bijaksana. Hubungan politik antara pemerintah pusat dan daerah harus dibangun berdasarkan prinsip proporsionalitas sebagai bagian dari konsep keadilan. Prinsip kemanfaatan dan kesejahteraan juga harus diutamakan, sehingga berbagai kegiatan pembangunan, tidak menimbulkan ketimpangan dan kecemburuan, namun terfokus pada masyarakat, sehingga segera keluar dari perangkap kemiskinan.
Perjuangan untuk membentuk Provinsi Kepulauan atau nama lain, yang awalnya digagas oleh Provinsi Maluku, ternyata dihadapkan pada tantangan dan hambatan. Hal yang cukup memprihatinkan tantangan itu datang dari akademisi dan pengambil kebijakan, yang selalu memandang gagasan itu sebagai upaya memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ). Konsep pemikiran yang demikian sebenarnya tidak harus diterima begitu saja, namun patut dilakukan kajian- kajian mendalam, sehingga dapat memberikan justifikasi filosofis, yuridis maupun sosiologis, yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara akademis maupun politis. Pandangan yang berbeda tentang konsep provinsi kepulauan merupakan hal yang wajar karena datang dari pemikir yang memiliki berbagai latar belakang pendidikan dan pengalaman yang berbeda. Suatu hal yang patut diperhatikan adalah kebijakan pemerintah dalam memandang wilayah nusantara, sebagai satu kesatuan yang utuh dengan ciri atau karakternya masing-masing.
Potensi sumberdaya alam melimpah namun belum dikelola secara optimal, karena politik pembangunan nasional yang kurang memberikan memberikan porsi yang cukup memadai bagi Provinsi yang berciri kepulauan. Salah satu contoh yakni Provinsi Maluku yang memiliki potensi sumberdaya laut yang melimpah terutama ikan dan telah diproklamirkan sebagai lumbung ikan nasional beberapa waktu lalu. Sampai saat ini, Pemerintah belum menyiapkan sarana dan prasarana yang memadai, sebagai upaya untuk merealisasikan kebijakan tersebut. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa berbagai kebijakan pemerintah, ternyata lebih pada retorika belaka, ketimbang aksi aksi nyata dalam rangka membangun bangsa Indonesia pada umumnya dan wilayah-wilayah tertentu, menuju kemajuan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
B. Kondisi Faktual Maluku Saat ini
Pasca konflik Maluku yang berlangsung sejak Tahun 1999, ternyata kebijakan pemerintah belum sepenuhnya tuntas, dalam menangani berbagai masalah yang selama ini membuat masyarakat Maluku trauma sangat mendalam. Masyarakat masih hidup tersegregasi berdasarkan kelompok agama dan etnis tertentu, sehingga kohesi sosial belum terbangun secara baik, berdasarkan kemauan dan kesadaran sendiri. Pemerintah tidak bisa tinggal diam dan menganggap konflik Maluku sudah selesai dan membiarkan masyarakat membangun diri sendiri tanpa kebijakan yang tepat dan terarah. Hal ini penting untuk melahirkan kedamaian abadi di negeri raja-raja ini. Riak-riak kecil akibat konflik masih terus dirasakan sampai saat ini, walaupun menurut pemerintah, Maluku sudah aman dan kondusif.
Hal lain yang cukup memprihatinkan adalah Pemerintah telah menetapkan Maluku sebagai salah satu Provinsi yang termiskin di Indonesia. Hal ini cukup menggugah hati sanubari setiap masyarakat Maluku, karena sumber kekayaan alam Maluku ternyata melimpah dan selama ini digarap habis-habisan demi kepentingan pembangunan nasional, tetapi ternyata masyarakatnya tetap miskin. Jika dikaji lebih dalam ternyata ada kebijakan yang keliru, sehingga membutuhkan langkah-langkah yang bijaksana secara holistik, terpadu dan terarah, berdasarkan komitmen yang kuat, konsisten dan konsekuen dari setiap pengambil keputusan atau kebijakan yang berkompeten.
Sumber kekayaan alam Maluku, belum dijadikan sebagai instrumen dalam mendorong peningkatan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat. Adagium yang tidak terbantahkan bahwa dimana banyak sumberdaya alam selalu saja timbul konflik, menjadi kenyataan di negeri seribu pulau ini. Hal tersebut perlu diperhatikan dengan sungguh oleh pemerintah dan harus berupaya untuk mengeleminir konflik sehingga pembangunan bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Jika dibiarkan berlarut-larut maka pasti berbagai kepentingan akan didorong untuk ikut menggapai berbagai tujuan sesaat dari kelompok tertentu, dengan cara-cara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun hukum.
Politik pembangunan nasional, yang belum sepenuhnya mengarah pada percepatan pembangunan diwilayah kepulauan dan tertinggal mengakibatkan berbagai ketimpangan yang harus dieleminer melalui langkah langkah konkrit dan bermanfaat. Wilayah kepulauan membutuhkan perhatian serius, karena masalah yang dihadapi sangat kompleks dan membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Belum adanya komitmen yang kuat dari pemerintah untuk membangun Maluku yang aman damai dan sejahtera. Masih banyak konflik antar warga, antar negeri atau desa/kampung, yang belum terselesaikan secara tuntas dan kerawanan sosial lainnya yang belum ditangani secara baik.
Kohesi sosial yang terkoyak belum terbangun secara baik, sehingga belum ada jaminan bagi suatu kehidupan masyarakat yang rukun dan damai secara berkelanjutan. Konflik Maluku yang berkepanjangan sebenarnya menimbulkan berbagai pelanggaran Hak Asasi manusia, namun sampai saat ini belum ditemukan suatu kebijakan pemerintah untuk menguak misteri tersebut. Paling tidak pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk pembiaran oleh pemerintah, yang sampai saat ini belum diungkapkan oleh lembaga atau orang orang yang konsern terhadap masalah masalah Hak Asasi Manusia. Semua yang terjadi dianggap sebagai hal biasa atau konflik horizontal antar komunitas, yang penyelesaiannya tidak tuntas. Hal ini sebenarnya membutuhkan kajian mendalam, sehingga tidak meninggalkan dendam atau bom waktu bagi generasi berikutnya.
C. Kondisi yang diharapkan
1. Provinsi Maluku harus bangkit dan keluar dari kondisi kemiskinan sehingga dapat maju, mandiri dan sejahtera, sejajar dengan Provinsi lain di Indonesia, berdasarkan hukum yang berlaku maupun nilai-nilai yang universal dan nilai-nilai kearifan lokal.
2. Adanya pola kebijakan pembangunan nasional yang mampu mendorong percepatan pembangunan di Maluku termasuk wilayah-wilayah lain yang sifatnya khas atau khusus.
3. Perlu adanya pola kebijakan pembangunan yang dapat memberikan jaminan bagi perdamaian sejati dan langgeng di Maluku, melalui pengungkapan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia selama konflik berlangsung.
4. Perlu adanya komitmen dan kebijakan khusus serta terpadu dari berbagai institusi yang berkompeten, dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara signifikan sehingga masyarakat Maluku bisa keluar dari kondisi keterpurukan dan kemiskinan yang menjadi isu nasional.
D. Pengaruh lingkungan strategis
1. Sistem politik nasional yang belum sepenuhnya memberikan dorongan dan jaminan bagi pembangunan daerah yang dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip Wawasan Nusantara. Artinya cara pandang bangsa tentang diri dan lingkungannya yang memang khas atau khusus, belum sepenuhnya dihayati dan menjadikannya landasan pembangunan yang kokoh.
2. Wilayah-wilayah yang memiliki banyak potensi kekayaan alam, sering dijadikan sebagai ajang konflik, dan dampaknya dirasakan oleh masyarakat dalam kurun waktu yang panjang.
3. Sistem politik nasional saat ini cenderung didasarkan atas tekanan oleh kelompok atau tokoh tertentu, sehingga kebijakan yang ditempuh lebih bersifat diskriminatif dan kurang proporsional dalam menyikapi berbagai tuntutan atau aspirasi dari daerah. Akibatnya menimbulkan antipati terhadap kebijakan pemerintah, dan menghancurkan nilai-nilai harmoni dan kebersamaan, dalam sistem pemerintahan negara.
4. Pandangan yang keliru dan rasa khawatir yang berlebihan tentang aspirasi masyarakat dari daerah atau wilayah yang memiliki ciri khusus, yakni wilayah kepulauan untuk mendapatkan pengakuan dan perlakuan khusus melalui berbagai kebijakan nasional.
5. Kondisi geo strategis, geo politik dan geo ekonomi dari masing-masing wilayah belum sepenuhnya menjadi instrumen dan landasan kebijakan penting bagi kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam mendorong percepatan pembangunan daerah yang memiliki karakter khusus.
6. Baik Pemerintah termasuk DPR dan DPD, belum memiliki persepsi yang sama tentang tuntutan masyarakat di daerah khususnya pada wilayah yang memiliki karakter khusus yakni wilayah kepulauan, untuk mendapat perlakuan khusus. masing-masing lembaga masih berkutat dengan konsep dan landasan teori serta kebijakan sendiri, sehingga belum sepenuhnya fokus pada tujuan utama yakni adanya perlakuan khusus bagi beberapa wilayah atau Provinsi yang memiliki kekhususan.
7. Pemerintah belum sepenuhnya mengarahkan perhatian secara serius dalam membangun wilayah-wilayah Indonesia yang masih dianggap tertinggal khususnya pada Kawasan Timur Indonesia dan beberapa kawasan lainnya di Indonesia
E. Rekomendasi atau Langkah Langkah Strategis yang dapat dilakukan antara lain:
Untuk rehabilitasi dan pembangunan Provinsi Maluku ke depan ;
1. Pemerintah harus lebih bijaksana dalam menyikapi berbagai kondisi terakhir masyarakat Maluku pasca konflik, sehingga dapat kembali membangun kohesi sosial yang rukun dan damai berdasarkan nilai-nilai yang sifatnya universal maupun berdasarkan kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat.
2. Pemerintah harus lebih jujur dan bijaksana dalam mengungkapkan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia dalam konflik Maluku, ( 1999-2005 ) dan tidak membiarkan masyarakat berpikir dan berpersepsi sendiri tentang berbagai peristiwa dalam konflik tersebut, yang sampai ini masih tetap merupakan hal yang misterius.
3. Kearifan lokal masyarakat Maluku yang semakin terkikis, harus mendapat perhatian serius dari pemerintah maupun pemerintah daerah, sehingga dapat dijadikan sebagai instrumen penting dalam membangun masyarakat yang rukun dan damai.
4. Nilai-nilai kearifan lokal harus dikembangkan dan dihayati melalui proses internalisasi secara teratur dan terukur, sehingga menjadi bagian penting dari dinamika masyarakat Maluku. Nilai-nilai tersebut harus dipraktekkan secara teratur dan berkesinambungan dalam seluruh aktivitas masyarakat, lebih khusus lagi dalam masyarakat adat.
5. Masyarakat terutama generasi muda Maluku pemilik masa depan, harus didorong untuk membangun persepsi dan pemikiran berdasarkan konsep dan kearifan lokal serta nilai-nilai Pancasila, sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dalam membangun bangsa dan negara, yang dimulai dari Maluku yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ).
Untuk Pembentukan Provinsi Kepulauan ;
1. Pemerintah, DPR, DPD dan Pemerintah Daerah, harus memiliki persepsi yang sama tentang pembangunan pada beberapa daerah atau Provinsi, yang memiliki ciri atau karakter khusus wilayah kepulauan.
2. Para akademisi dan birokrat sebagai pengambil kebijakan sebaiknya berpikir ulang dan membangun persepsi yang lebih obyektif, berdasarkan kondisi obyektif bahwa Provinsi Kepulauan atau nama apapun yang diberikan, yang penting mendapat perlakuan yang khusus menuju kesejahteraan masyarakat. Landasan pemikiran yang dibangun harus berwawasan Nusantara, sehingga kekhususan atau kekhasan suatu wilayah, harus dipandang sebagai bagian dari kekayaan bangsa yang plural.
3. Pemerintah melalui Kementrian terkait dan DPR, DPD, harus mampu menangkap aspirasi masyarakat, khususnya dari wilayah-wilayah yang memiliki karakter khusus ( kepulauan ), sehingga tidak menimbulkan kecemburuan. Jika Jogjakarta, Papua dan Aceh serta DKI mendapat pelakuan khusus, maka 7 ( tujuh ) Provinsi yang berciri kepulauan juga harus mendapat perlakuan yang sama. Tanpa kebijakan yang tegas dan tepat maka pemerintah bersama DPR dan DPD pasti dianggap diskriminatif dan berada pada posisi yang tidak responsif terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
4. Pemerintah bersama DPR, dan DPD, harus memiliki komitmen yang kuat dalam merealisasikan aspirasi masyarakat, sehingga tidak menimbulkan berbagai konflik politik yang berkepanjangan.
5. Pemerintah dan DPR serta DPD harus konsisten dan konsekuen dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat, menuju pembangunan yang dapat mensejahterakan masyarakat pada umumnya dan khususnya masyarakat diwilayah kepulauan.
6. Pemerintah dan DPR harus lebih realistis dalam menyikapi berbagai kondisi faktual masyarakat khususnya pada wilayah-wilayah kepulauan, sehingga mampu menjawab berbagai tantangan pembangunan tersebut berdasarkan prinsip keman
7. Pemerintah dan DPR, harus segera menetapkan Rancangan Undang Undang Tentang Perlakuan Khusus Provinsi Kepulauan atau nama lain, bagi tujuh Provinsi yang berciri kepulauan, sehingga tidak menimbulkan konflik dalam dinamika politik nasional.
8. Secara geo strategis, geo politik maupun geo ekonomi, provinsi-provinsi yang berciri kepulauan sebenarnya pantas mendapat perlakuan khusus, sehingga mampu menjadi pilar penting dalam membangun bangsa yang maju dan mendiri, memperkokoh Negara Kesatuan republik Indonesia, serta mampu mencegah berbagai infiltrasi, ancaman dan gangguan lainnya.
F. Penutup
Demikianlah beberapa pokok pikiran yang dapat disampaikan untuk didiskusikan dalam rangka mendapatkan solusi yang tepat, bagi pembangunan bangsa dan negara tercinta. Semoga bermanfaat.
[1] Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional tentang LOOK MALUKU 2013, Maluku Dalam Konteks Indonesia Hari Ini dan Esok, yang diselenggarakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia ( PWI ) Pusat, bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Maluku, di Hotel Borobudur Jakarta, tanggal 17 Januari 2013.
[2] Dosen Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon, Bagian Hukum Tata Negara dan Administrasi. E-mail. ( sap.tenno@yahoo.com )