Dampak Kebijakan Otonomi Daerah Dalam Membangun Kohesi Sosial Sesuai Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara

Dampak Kebijakan Otonomi Daerah Dalam Membangun Kohesi Sosial Sesuai Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

 

Oleh : A.D. Bakarbessy

 

Abstrak

Pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan ditandainya dengan adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal ini menyebabkan daerah memiliki hak untuk dapat mengelola pemerintahannya sendiri dan secara mandiri. Disini tugas pemerintah adalah sebagai pengontrol pelaksanaan kebijakan otonomi daerah tersebut. Sementara itu, ada pola atau fenomena yang terbentuk dalam membangun kohesi sosial di era otonomi daerah, yaitu, Kohesi sosial yang terbangun didasarkan pada nilai-nilai etnosentrisme- primordialisme.

Kata Kunci: Otonomi Daerah, Kohesi Sosial, NKRI

 

A.    Latar Belakang.

Hubungan antara pusat dan daerah merupakan sesuatu yang banyak dibicarakan, karena masalah tersebut dalam prakteknya sering menimbulkan tarik menarik kepentingan antara kedua satuan pemerintahan tersebut (Huda, 2009:1). Masyarakat daerah yang kecewa terhadap manajemen pemerintahan sentralistik menuntut kewenangan yang lebih luas untuk dapat mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahannya sendiri, tanpa intervensi operasional pemerintah pusat. (Sumaryadi, 2005:114-115).

Sementara itu, terkait dengan prinsip negara kesatuan, maka upaya pemerintah pusat untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan pemerintahan sangat jelas. Hal ini membuat hubungan pemerintah pusat dan daerah mencakup isu yang sangat luas, baik isu demokrasi nasional dan demokrasi lokal, ataupun terkait dengan isu antara negara dan masyarakat.(Huda, 2009:1)

Selain itu dalam pelaksanaan otonomi di era reformasi muncul perkembangan primordialisme. Konsep ini sebenarnya bukan saja salah kaprah tetapi juga merupakan sebuah pemikiran yang sempit yaitu narrow minded, hal ini disebabkan karena paradigma dasar otonomi daerah adalah pengakuan terhadap diversitas dan pluralisme. Namun ternyata disalahgunakan dengan berbagai alasan sehingga memunculkan semangat primordialisme yang mendasarkan diri pada nilai-nilai seperti halnya etnosentris. Primordialisme merupakan sebuah kecenderungan negatif yang bisa dinetralisir dengan menyediakan perangkat sistem yang kuat dan demokratis yang tidak memungkinkan tumbuhnya nilai-nilai yang sempit itu. Otonomi daerah mengakui adanya perbedaan suku, agama, ras dan golongan dalam koridor diversity, tetapi tidak mentolerir tumbuhnya nilai-nilai etnosentris atau sikap sempit lainnya yang jelas melanggar prinsip dasar otonomi yaitu pengakuan atas demokrasi dan pluralism (Djohan, 2002). Untuk itulah tidak mengherankan bahwa tidak sedikit para penjunjung nilai-nilai diversitas dan pluralisme, justru memanfaatkan fenomena diversitas dan pluralisme secara tidak bermoral dan jahat untuk menggalang kekuatan primordial untuk kepentingan politik, primordialisme dan golongan masing-masing, yang akan berdampak juga untuk tetap melanggengkan korupsi,kolusi dan nepotisme serta meperlebar kesenjangan kohesi sosial masyarakat.

 

B. Rumusan Masalah.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang, maka rumusan masalah adalah:

1.      Dampak-dampak apakah yang ditimbulkan oleh implementasi kebijakan otonomi daerah?

2.      Bagaimana membangun kohesi sosial di era otonomi daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia?

 

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1.      Tujuan Penelitian

Secara umum, bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dalam proses penyelenggaraan pemerintah.

 

       2.        Manfaat Penelitian

Penelitian ini juga diharapkan akan memberikan manfaat yaitu salah satunya sebagai masukan bagi perumus dan pelaku kebijakan dalam bidang pemerintahan dalam merumuskan dan menetapkan berbagai kebijakan dalam manajemen publik, serta sebagai bahan evaluasi bagi penyelenggara sistem pemerintahan di Indonesia. 

 

D. Metode Penelitian.

Penelitian ini akan merupakan sebuah kajian dari aspek hukum dari berbagai dampak penerapan kebijakan otonomi daerah dalam membangun kohesi sosial sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan cara menentukan korelasi antara satu konsep dengan konsep yang lain, antara satu teori dengan teori yang lain, maupun antara satu konsep atau teori dengan berbagai persoalan yang berlaku di dalam masyarakat.

Penelitian ini merupakan kombinasi antara penelitian yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dengan cara penelitian kepustakaan adalah data sekunder dan Alat penelitian untuk memperoleh data sekunder diperoleh melalui studi dokumen. Selain itu, data primer juga diperlukan melalui penelitian lapangan. Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian lapangan adalah pedoman wawancara dan kuesioner.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis. Deskriptif karena hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran secara sistematik, terperinci dan menyeluruh mengenai penerapan kebijakan-kebijakan otonomi daerah yang memberikan dampak di dalam masyarakat. Selanjutnya akan dilakukan analisis guna menjawab beberapa permasalahan yang telah dirumuskan.

 

E. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Penyelenggaraan Kebijakan Otonomi Daerah di NKRI

 Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk republik. Ketentuan konstitusional ini memberikan pesan bahwa negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 dibangun dalam sebuah kerangka negara yang berbentuk kesatuan (unitary), dan bukan berbentuk federasi (serikat). Dengan demikian, adanya daerah yang mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah), haruslah diletakkan dalam bingkai pemahaman negara yang berbentuk kesatuan bukan berbentuk federasi, sebagaimana diamanatkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut di atas.

Otonomi merupakan hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga secara sendiri tanpa adanya campur tangan maupun intervensi pihak lain. Otonomi didalam prakteknya dipengaruhi oleh bentuk dari suatu negara. Dalam konteks indonesia otonomi daerah di berikan oleh pemerintah pusat (central Goverment), dan pemerintah daerah hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat. (Sumaryadi, 2005 : 61-62).

Lubis menyatakan bahwa di dalam suatu negara kesatuan terdapat asas bahwa segenap urusan negara tidak dibagi antara pemerintah pusat sedemikian rupa, sehingga urusan-urusan negara dalam negara kesatuan tetap merupakan kebulatan dan pemegang kekuasaan di negara itu adalah pemerintah pusat (dalam Kaho, 2005:6). Hal ini oleh Amrusyi dirumuskan sebagai negara kesatuan dengan sistim sentralisasi (dalam Huda 2009:28)

Lebih lanjut Kaho (2005:6) menyatakan bahwa dalam negara kesatuan yang didesentralisasikan, pemerintah pusat tetap mempunyai hak untuk mengawasi daerah-daerah otonom, yaitu daerah yang berhak dan berkewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Oleh Amrusyi, hal tersebut dikategorikan sebagai negara kesatuan dengan sitim desentralisasi. (dalam Huda 2009:28)

Pelaksanaan desentralisasi akan membawa efektivitas dalam pemerintahan, sebab wilayah negara pada umumnya terdiri dari berbagai satuan daerah (bagian dari wilayah negara) yang masing-masing akan memiliki sifat-sifat  khusus tersendiri yang disebabkan oleh faktor-faktor geografis (keadaan tanah, iklim, flora, fauna, adat istiadat, kehidupan ekonomi, tingkat pendidikan dsb). (Kaho, 2005:10) Dengan demikian pemerintahan akan efektif kalau sesuai dan cocok dengan keadaan riil dalam negara.

Lebih lanjut Gadjong, menyatakan bahwa desentralisasi mengandung dua elemen pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus  dan atau bagian dari urusan pemerintahan tertentu (2007:76). 

Terkait dengan pembentukan daerah otonom, maka hal tersebut  didatur dalam UUD 1945 pasal 18. pada ayat (1) disebutkan bahwa:

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

 

Lebih lanjut pada ayat (2) disebutkan bahwa:

Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan

 

Dari rumusan pasal 18 ayat (1 dan 2) tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dengan undang-undang dalam bingkai sistim pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dimana pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/ kota diberi hak untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan rumah tangganya menurut asas otonomi. Sehingga akan melahirkan hubungan kewenangan dan pengawasan.  Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 18 A ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa:

Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, atau antar provinsi dan kabupaten kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan daerah.

 

Sementara itu, terkait dengan konsep Negara Kesatuan, maka prinsip persatuan sangat dibutuhkan karena adanya keragaman suku bangsa, agama, dan budaya. Keragaman itu merupakan kekayaan yang harus dipersatukan (united), tetapi tidak boleh disatukan atau diseragamkan (uniformed).

 

2. Dampak Kebijakan Otonomi Daerah

Sutoro Eko menyatakan bahwa secara teoritis desentralisasi dan otonomi daerah di harapakan bisa mempromosikan demokrasi lokal, membawa negara lebih dekat pada masyarakat, menghargai identitas lokal yang beragam, memperbaiki layanan publik dan seterusnya. tetapi banyak tantangan dan masalah yang menyertainya, diantaranya adalah bangkitnya identitas lokal yang disertai dengan menguaknya isu putera daerah dalam memimpin daerah, dan dipahami secara sempit tanpa melihat kualifikasi dan integritasnya (2005:416). Hal ini akan berdampak pada pemerintahan daerah yang tidak akuntabel dan responsif.

Dimana, otonomi daerah diterjemahkan sebagai etnosentrisme, sukuisme, daerahisme, atau semangat yang mementingkan suku, daerah, maupun golongan kita sendiri. Akibatnya adalah muncul sikap egois, tidak peduli terhadap orang atau suku , golongan, agama lain, bahkan pemerintah tingkat atas.

 

a)                           Menguatnya Semangat Etnosentrisme, Kekerabatan dan Pertemanan

 Etnosentrisme secara sederhana merupakan sikap yang lebih mementingkan kesukuan. Lebih spesifik adalah merupakan fenomena terhadap sikap yang lebih mementingkan kelompok tertentu. Dimana, kata kelompok bisa merujuk pada suku, agama, golongan, ras, bahkan daerah tertentu (Badjuri, 2007:228).

Hasil penelitian memperlihatkan kecendrungan yang dibangun di dalam pelaksanaan pemerintahan khususnya dalam proses perekrutan dan penempatan pegawai lebih menonjolkan suatu relasi atau hubungan-hubungan khusus. Diantaranya adalah konsep suku yang sama maupun daerah yang sama. Hal ini mulai terlihat dari proses pencalonan kepala daerah provinsi maupun kabupaten/kota. Dimana, pada lokasi-lokasi penelitian para calon kepala daerah didominasi oleh para anak daerah.

Sementara itu, terkait dengan komposisi pejabat maupun pegawai di lokasi-lokasi penelitian menunjukan suatu fenomena sebagai berikut:

Pertama, pada daerah-daerah otonom yang baru Kabupaten MBD, Buru Selatan dan Kota Tual) pengaruh etnosntrisme terhadap komposisi pejabat maupun pegawainya tidak terlalu menonjol sehingga komposisi pejabat maupun pegawai dilingkungan pemerintahan pada daerah kabupaten/kota yang baru dimekarkan dapat dikatakan seimbang diantara anak daerah dengan yang bukan anak daerah. Hal ini disebabkan karena kebutuhan SDM dari daerah-daerah otonom yang baru tersebut sehingga kebijakan awal didalam pengangkatan pejabat maupun pegawainya adalah untuk memenuhi kebutuhan semata.

Kedua, dalam perkembangannya setelah kebutuhan SDM telah memenuhi kebutuhan didalam menjalankan pemerintahan pada daerah-daerah otonom yang baru, maka hembusan etnosentrisme (antara suku) mulai terasa, dimana kebijakan-kebijakan pemerintaha daerah terutama didalam proses pengangkatan pejabat maupun pegawai pemerintahan mulai terasa. Hal ini dapat terlihat dari kebijakan Pemda Seram Bagian Timur (SBT) yang lebih memprioritaskan anak daerah didalam perekrutan pegawai khususnya Guru dilingkungan Pemda SBT.

Ketiga, gejala yang muncul terkait dengan perkembangan etnosentrisme didalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah pertemanan atau kedekatan-kedekatan tertentu. Berdasarkan hasil penelitian, maka gejala ini merupakan pendobrak perkembangan etnosentrisme (antar suku) yang bergeser ke etnosentrisme antara kelompok (suku yang lebih kecil). dimana, pertemanan atau kedekatan tersebut terbangun dari proses pemilihan kepala daerah. Apabila seorang terpilih menjadi kepala daerah, maka sebagai konsekuensinya ia akan menempatkan orang-orang yang berjasa baginya didalam proses pemilihan kepala daerah didalam pemerintahan. Akibatnya adalah, bagi lawan politiknya, pasti akan tergusur dari jabatannya tanpa ada kejelasan. Bagi pejabat yang baru (karena imbalan politik) belum tentu profesional dibidangnya. Hal ini terjadi, pada kabupaten SBT, MTB.

Hal ini sangat menonjol terjadi di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), dimana setelah terpilih kembali menjadi kepala daerah periode yang kedua, kepala daerah mulai melakukan kebijakan terhadap jabatan-jabatan yang diisi oleh PNS yang terindikasi berasal dari daerah tertentu saja. Akibatnya adalah kebijakan pemutasian pejabat di kabupaten SBT dengan alasan rotasi jabatan, tetapi hanya ditujukan bagi pejabat yang berasal dari daerah tertentu (Harian Ambon Ekspres, Tgl 10 November 2010).

Salah satu indikator lainya yang dapat dijadikan dasar terhadap asumsi bahwa adanya pertemanan-pertemanan khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten SBT adalah sikap kepala daerah terhadap pejabat pemerintahan  tertentu, yaitu terkait dengan sistem evaluasi atau penilaian yang dilakukan terhadap kinerja pejabat. Dimana, ada pejabat tertentu yang tidak pernah ada di daerah kabupaten dalam menjalankan fungsinya sebagai pejabat pemerintahan akan tetapi sebaliknya ia sering keluar daerah untuk melaksanakan kepentingan pribadinya. Hal ini tentunya sangat berdampak tehadap fungsi pelayanannya terhadap masyarakat yang secara langsung tidak berjalan dengan baik atau tidak maksimal (Radar Ambon, kamis 14-10-2010). Terhadap masalah ini, kepala daerah tidak pernah melakukan evaluasi terhadap pejabat yang bersangkutan. Sebaliknya pejabat yang bersangkutan tetap dipertahankan sebagai pejabat ketika kepala daerah memasuki masa kepemimpinan yang kedua.

Berdasarkan praktek-praktek yang berkembang tersebut, menyebabkan pelaksanaan Otonomi hanya dilihat sebagai ajang atau kesempatan kerja atau kesempatan promosi bagi orang-orang atau anak-anak daerah saja atau yang memiliki hubungan-hubungan tertentu saja dengan para pengambil kebijakan di daerah. Dimana, kesempatan itu tidak boleh diambil orang luar meskipun berada dalam satu wilayah provinsi. Persoalan yang muncul kemudian adalah ke manakah semua orang Ambon akan bekerja setelah menyelesaikan pendidikannya. Sebab, kabupaten lain di wilayah provinsi Maluku, kemungkinan besar tak akan menerimanya.

 

3. Membangun Kohesi Sosial Sesuai Prinsip NKRI

 Kohesi sosial terkadang didefenisikan sebagai perekat yang menyatukan masyarakat membangun keselarasan dan semangat kemasyarakatan, serta komitmen untuk mencapai tujuan-tujuan bersama (www.undp.or.id/.../cpr/.../Kajian%20Tematis%20-final%20INA.pdf). Diasumsikan bahwa kohesi sosial merupakan syarat dasar bagi sebuah masyarakat (www.undp.or.id/.../cpr/.../Kajian%20Tematis%20-final%20INA.pdf).
 Bangsa Indonesia yang memiliki penduduk yang sangat heterogen dan plural, wacana pluralisme dan multikulturalisme sebenarnya sangat penting. Terlebih, agar cita-cita pendiri negara ini untuk membangun negara yang terdiri dari berbagai suku, bangsa dan agama menjadi kenyataan. Banyak pihak sangat mengharapkan dampak positif dari meluasnya wacana itu, karena jika hal itu bisa terwujud, maka cita-cita luhur pendiri negara ini akan benar-benar terwujud pula. Dan, dampak lebih jauh dari hal itu adalah terciptanya bangsa Indonesia yang tidak lagi tersekat-tersekat oleh persoalan suku, adat, ras, dan agama (SARA) ( Mahmudi Asyari, http://batampos.co.id/Opini/Opini/Abdul_Aziz_Mangkat.html). Dengan demikian, pluralisme dan multikulturalisme adalah potensi sebagai perekat, sekaligus dasar bagi bangsa Indonesia dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukannya dijadikan alat untuk saling menjatuhkan.
 Oleh sebab itu, pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah tidak hanya memposisikan daerah dan masyarakat menjadi pelaku mewujudkan kesejahteraan sosial dengan melaksanakan kebijakan publik melalui pelayanan prima, penegakan aturan hukum dan pemberdayaan masyarakat. Pelayanan publik harus terjangkau, tepat kebutuhan dan sasaran serta berlangsung efisien–efektif (cepat), dengan memperhatikan persamaan dan perbedaan yang ada didalam masyarakat. Dengan demikian, cara pandang terhadap Otonomi adalah, semestinya otonomi daerah lebih dimaknai sebagai heteronomi dengan semangat multikulturalisme.  

Terkait dengan hal tersebut, maka hubungan-hubungan sosial yang terbina didalam masyarakat Indonesia yang pluralis, sebaiknya atau idealnya dibangun atas kesadaran kemajemukan dan didasarkan pada aspek keadilan. Menurut seorang Pegawai Kabupaten Buru Selatan, dalam membangun hubungan sosial di masyarakat (khususnya di dalam pemerintahan) harus memperlihatkan aspek keadilan, pemerataan dan kemajemukan dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Hal ini terlihat pada faktor keselarasan dalam keahlian dan layak atau tidak bagi seorang aparatur pemerintahan untuk memperoleh jabatan tertentu, sehingga seorang aparatur pemerintahan dapat menduduki posisi tertentu bukan semata-mata karena pertimbangan ia adalah anak daerah, tetapi karena ia layak oleh keahliannya. Terlebih lagi pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur pemerintahan tidak boleh pandang bulu/ pilah-pilih. Hal ini juga terlihat bahwa seorang bawahan dan atasan memiliki hubungan yang baik, bukan karena berasal dari latar belakang daerah yang sama tetapi karena kinerja atasan dan bawahan yang profesional.  

Dengan demikian, hakekat hubungan sosial yang diharapkan terbangun di era otonomi daerah adalah terbangunnya hubungan yang harmonis dengan mengakui kemajemukan yang dilandasi oleh aspek keadilan. keadilan adalah “memberikan kepada setiap orang sesuai dengan haknya tanpa melihat latar belakang suku, daerah, agama, maupun keluarga atau teman. 

Selain itu, konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum adalah semua kebijakan pemerintah harus berdasarkan pada hukum. Salah satu ciri negara hukum adalah asas legalitas. Dimana, melalui asas legalitas segala sesuatu tindakan yang dilakukan pemerintah termasuk didalamnya penyelenggaraan pemerintahan maupun dalam proses pembentukan hukum harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, salah satu ciri negara hukum lainnya adalah, perlindungan terhadap hak-hak dasar warga negara, dan hal tersebut merupakan objek perlindungan hukum dari pemerintah.

Dengan demikian, dalam proses pengangkatan dan penerimaan pejabat dan aparatur pemerintahan di daerah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan memberikan hak yang sama bagi setiap warga negara, maka hal ini akan mengabaikan nilai-nilai etnosentrisme sempit, dan memberikan pengaruh terhadap profesionalisme dari pelaku dan penyelenggara pemerintahan dalam pelayanan publik. Sebaliknya, terabaikannya unsur profesionalisme dalam menjalankan tugas dan fungsi organisasi pemerintahan akan berdampak kepada menurunnya kualitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik.

Selain itu, penguatan DPRD secara Kelembagaan maupun fungsi harus ditingkatkan didalam proses pengangkatan pejabat pemerintah maupun didalam proses penerimaan pegawai, disertai dengan penerapaan asas transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah daerah.

 

Alternatif Solusi:

a.   Pengawasan dari DPRD dalam proses pengangkatan maupun pemberhentian Pejabat Struktural 

 

b.  Integrated system dalam proses seleksi pegawai

Skema diatas menunjukan bahwa, proses penerimaan PNS diawali oleh seleksi yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Hasil seleksi kemudian dievaluasi oleh lembaga independent, lembaga independent yang dimaksudkan adalah lembaga pendidikan tinggi. Dimana didalam proses evaluasi tersebut mendapat pengawasan secara ketat oleh pemerintah daerah sebagai pelaksana, DPRD sebagai wakil rakyat, LSM dan media massa sebagai alat kontrol dari masyarakat diluar lembaga pemerintahan. Setelah adanya keputusan bersama dari pemda, DPRD, LSM dan media massa, maka hasil evaluasi yang dilakukan oleh lembaga independent tersebut dapat diumumkan. Sebaliknya, jika belum ada kesepakatan bersama maka hasil evaluasi seleksi PNS belum dapat diumumkan. Berdasarkan model ini, diharapkan proses penerimaan PNS dapat bersih dari berbagai kepentingan dari para pemegang kekuasaan di daerah

 

F. Penutup

1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat  disimpulkan bahwa:

a.   Pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah terjadi, ditandainya adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal ini menyebabkan daerah memiliki hak untuk dapat mengelola pemerintahannya sendiri dan secara mandiri. Disini tugas pemerintah adalah sebagai pengontrol pelaksanaan kebijakan otonomi daerah tersebut. Dampak dari pelaksanaan kebijakan otonomi daerah;

1). Dampak Negatif:

a).     Menguatnya kekuasaan yang dimiliki oleh Kepala Daerah

b).     Menguatnya nilai-nilai etnosentrisme dan pertemanan secara sempit

c).     Kohesi sosial yang terbangun didasarkan pada nilai-nilai etnosentrisme

2) Dampak Positif

a).        Terjadi pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah, sehingga  pemerintahan di daerah dapat menyelenggarakan pemerintahan sesuai kebutuhan masyarakat dan  sesuai dengan aspirasi yang berkembang.

b).        Terbukanya peluang kerja bagi anak-anak daerah.

 

 

b. Hubungan sosial yang idealnya terbengun di era otonomi daerah adalah suatu hubungan sosial yang memberikan pengakuan terhadap kemajemukan berdasarkan prinsip persatuan, yang dilandasi oleh semangat keadilan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

 

 

DAFTAR  PUSTAKA

Buku:

Amrusyi, dalam Huda, Ni’ Matul, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, Bandung

 

Eko, Sutoro, 2005, Pelajaran Desentralisasi dan Demokrasi Lokal, dalam Jamil Gunawan, dkk (editor) Desentralisasi, Globalisasi dan Demokrasi Lokal, LP3ES, Jakarta

 

Gadjong, Agussalim Andi, 2007, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia  

 

Huda, Ni’Matul, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, Bandung

 

                         , 2005, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Jogjakarta

 

Kaho, Josef Riwu, 2005, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Raja Grafindo Jakarta

 

Solly Lubis dalam Kaho, Josef Riwu, 2005, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Raja Grafindo Jakarta

 

Sumaryadi, I Nyoman, 2005, Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah, Citra Utama, Jakarta

 

 Internet dan Koran/Majalah:

Mahmudi Asyari, <http://batampos.co.id/Opini/Opini/Abdul_Aziz_Mangkat.html>

www.undp.or.id/…/cpr/…/Kajian%20Tematis%20-final%20INA.pdf

Harian AMEKS (Ambon Ekspress), tanggal 10 November 2010

Harian Radar Ambon, Tanggal 14 November 2010

Undang-Undang:

 

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang No 21 Tahun 1999 tentang Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan.

Tinggalkan Balasan