DIVERSIFIKASI PANGAN BERBASIS NILAI NILAI LOKAL DALAM PERSPEKTIF
KETAHANAN NASIONAL DAPAT MENINGKATKAN
KETAHANAN PANGAN NASIONAL
I. PENDAHULUAN
Ketahanan nasional adalah kondisi dinamik bangsa Indonesia , yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan menyumbangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam , untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mencapai cita cita nasionalnya.[1]
Kondisi dinamik yang mencakup seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia, didasarkan pada berbagai prinsip atau asas yakni kesejahteraan dan keamanan, konprehensif integral ( menyeluruh terpadu ) mawas ke dalam dan keluar, dan kekeluargaan.
Landasan pijak di atas yang harus menjadi batu uji kritis dalam menghadapi berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang datang dari manapun , baik dari luar maupun dari dalam. Setiap saat bangsa ini tetap dihadapkan pada berbagai ancaman, tantangan hambatan dan gangguan , baik dari luar maupun dari dalam. Salah satu ancaman dari dari dalam adalah rapuhnya ketahanan pangan nasional, yang patut diwaspadai sejak dini.
Masalah pangan saat ini merupakan salah satu masalah serius baik secara nasional, regional maupun global. Sebagai bangsa yangbesar dan memiliki berbagai potensi sumberdaya, baik nasional maupun lokal, sudah tentu harus dikelola secara bijaksana agar terhindar masalah dengan cara memecahkan masalah yang sementara dihadapi.
Menyelesaikan masalah pangan nasional, tidak hanya diarahkan pada apek fisik terkait dengan lahan pertanian dan peralatan yang serba canggih saja, namun pembinaan sumberdaya manusia berdasarkan nilai nilai budaya menjadi salah satu aspek yang penting dan menentukan.
Nilai nilai lokal sebenarnya merupakan bagian dari kekayaan budaya bangsa Indonesia yang dapat digunakan sebagai salah satu solusi, dari masalah pangan yang dihadapi bangsa Indonesia menuju ketahanan pangan nasional.
Terkait dengan masalah pangan nasional maka perwujudan kesejahteraan masyarakat melalui seluruh kegiatan pembangunan bangsa dan negara, merupakan tujuan utama, disamping upaya untuk mewujdukan keadilan sosial, bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kesejahteraan tidak selamanya terkait dengan makanan dan minuman yang cukup memadai tetapi perlu juga terciptanya kondisi yang aman dan damai, dalam seluruh dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tercukupinya kebutuhan pangan merupakan faktor utama yang harus diperjuangkan melalui berbagai langkah strategis dan bijaksana, baik oleh pemerintah maupun masyarakat sendiri.
Terkait dengan upaya peningkatan kesejahteraan terutama dalam bidang pangan maka nilai nilai lokal ( tradisional ) sebenarnya mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan. Artinya budaya yang sudah lama tumbuh dan berkembang dalam masyarakat itu , harus tetap dijaga dan dipelihara dengan baik, sehingga menjadi sesuatu yang bermakna atau bermanfaat, bagi pengembangan kehidupan bersama sebagai bangsa yang plural.
Di era yang serba modern ini, ternyata sebagian orang mulai melirik berbagai kemajuan lahiriah, namun disadari sungguh bahwa modernisasi bukan satu satunya solusi yang tepat dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsa dan negara.
Perpaduan antara kemajuan atau modernisasi dengan nilai nilai tradisional harus saling menopang dan melengkapi sehingga dapat membantu menyelesaikan masalah pangan nasional. Dikatakan demikian karena saat ini bangsa Indonesia cenderung meniru modernisasi dari luar dan seakan melupakan nilai nilai tardisional, yang ternyata lebih servive dan cocok dalam menghadapi berbagai perubahan yang tejadi.
Jika dihubungkan dengan pembangunan pertanian dan diversifikasi pangan maka dapat dikatakan bahwa Indonesia pernah sukses dalam swasembada beras. Momentum itu tidak langgeng atau bertahan lama, karena setelah dikaji ternyata terdapat berbagai kelemahan dan kekurangan baik secara struktur maupun budaya.
Menurut Bustanil Arifin, tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa kisah sukses pembangunan pertanian seakan berakhir pada momen swasembada tersebut. Setelah itu sektor pertanian lebih banyak bermasalah dan mengalami peminggiran struktural karena kesalahan kebijakan yang lebih banyak berpihak pada sektor industri dan jasa.[2]
Salah satu kebijakan yang terkait dengan masalah ketahanan pangan adalah kurangnya perhatian bagi peningkatan dan pengembangan diversifikasi pangan berdasarkan nilai nilai lokal.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan masalah dalam penulisan ini sebagai berikut ; apakah diversifikasi pangan berbasis nilai nilai lokal dalam perspektif ketahanan nasional dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional ?
II. PEMBAHASAN
A. Diversifikasi Pangan di Indonesia
Cara pandang masyarakat setempat terhadap diri dan lingkungannya ternyata dapat merubah pola pikir dan tindakan dalam rangka menata struktur kehidupan bersama, agar lebih baik atau bisa mengantisipasi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi . Langkah langkah yang ditempuh juga terkait dengan upaya untuk kelangsungan hidup, yang berdasarkan norma norma pergaulan hidup yang disepakati bersama .
Dalam bidang pengan misalnya, situasi tertentu menghendaki orang-orang di beberapa wilayah di Maluku , dapat merubah potensi apa saja termasuk biji mangrove, menjadi makanan yang lesat demi menyambung kehidupan mereka pada musin paceklik, dan merupakan langkah bijaksana berdasarkan nilai nilai lokal.
Hal ini sebenarnya sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Bambang Hendro Sunarminto, bahwa kearifan lokal dalam menyikapi alam, menyebabkan sumberdaya pangan lokal ( tradisional ) dapat diberdayakan secara arif, sehingga masalah kekurangan pangan dapat terhindari.[3]
Pemanfaatan lahan harus dikelola dengan baik dan bukan hanya tanah sawah dan ladang saja yang dapat digunakan , tetapi lahan pekarangan pun dapat digunakan sebagai lahan untuk jenis tanaman pangan umbi umbian. Pekarangan dapat digunakan sebagai lumbung hidup bagi pemiliknya.[4]
Menghadapi kondisi krisis pangan saat ini dan diwaktu mendatang maka perlu diperhatikan nilai nilai lokal/ kearifan lokal, yang dapat menopang peningkatan ketahanan pangan nasional.
Jadi intinya nilai nilai lokal sangat berperan dan mampu memberikan kontribusi pada upaya ketersediaan pangan nasional. Suatu hal yang patut mendapat perhatian adalah bagaimana mempertahankannya dan memberi ruang bagi masyarakat untuk menerapkannya secara baik dan bijaksana demi kepentingan bersama sebagai bangsa yang majemuk.
Terkait dengan masalah diverisfikasi pangan berdasarkan nilai nilai lokal, ternyata terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian antara lain :
Kebijakan pemerintah dalam bidang pertanian setelah momentum swasembada beras, ternyata sampai saat ini belum menyentuh akar permasalahannya, dalam rangka peningkatan produksi pangan demi ketahanan pangan nasional, menuju kesejhateraan masyarakat
Kearifan lokal atau nilai nilai budaya masyarakat lokal semakin luntur dan belum ada upaya maksimal melalui suatu kebijakan yang tepat, untuk melestarikannya secara baik dan teratur.
Masyarakat khususnya masyarakat diwilayah pedesaan memiliki kemampuan untuk servive dalam peningkatan produksi pertanian namun diversifikasi pangan lokal mulai ditinggalkan dan masyarakat pedesaan pun mulai ramai ramai menjadikan nasi sebagai makanan utama.
Diversifikasi pangan lokal sebenarnya merupakan salah satu sumber kekuatan ketahanan pangan nasional, dalam menghadapi krisis pangan , namun saat ini diversifikasi pangan tidak lagi menjadi andalan dan model dalam rangka peningkatan ketahanan pangan nasional. Hal itu nampak dari begitu gencarnya pemerintah membuka lahan sawah baru, tanpa memodifikasi lahan non sawah untuk meningkatkan produksi pangan non beras.
Terjadi perubahan paradigma dimana masyarakat cenderung merasa harkat dan martabatnya terangkat jika makanan yang disajikan adalah nasi. Sagu , jagung, umbi umbian dianggap makanan orang miskin atau makanan masyarakat di Desa ( negeri atau Kampong, yang kurang bergizi. Pada hal makanan makanan tersebut gizinya atau kandungan proteinnya, tidak kalah dengan beras atau nasi.
Kebijakan pemerintah yang cenderung membuka lahan sawah baru secara besar besaran, tanpa memanfaatkan lahan non sawah yang berpotensi terciptanya diversifikasi pangan.
Belum ada pola anutan yang benar dari para pemimpin untuk memanfaatkan potensi lokal sebagai salah satu kekuatan bagi peningkatan ketahanan pangan nasional. Para pemimpin cenderung makan makanan seperti nasi, ketimbang jagung, pisang, umbi-umbian sebagai menu utama . Perlu dikembangkan menu makanan yang bervariasi dalam seluruh aktfitas keluarga, sehingga tercipta gisi yang seimbang , dan diversifikasi pengan dapat dilaksanakan dengan baik, karena ketersediaan pangan tercukupi dan pasti.
B. Peran Nilai-Nilai Lokal dalam rangka Ketersediaan ( Keamanan Pangan ) demi Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional.
Berbagai metode, budaya dan sarana yang merupakan nilai nilai kearifan lokal, dapat digunakan untuk peningkatan ketahanan pangan nasional. Semua ini sangat tergantung pada kondisi dan potensi wilayah masing masing, serta prinsip-prinsip dan budaya yang sudah terbentuk dan berlaku.
1. Nilai Nilai Gotong Royong/Masohi
Gotong Royong atau masohi Kerjasama saling membantu dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dalam berbagai bidang termasuk bidang pertanian. Dengan nilai nilai gotong royong atau masohi ( istilah di Maluku Tengah ) maka seluruh pekerjaan dapat dieselsaikan dengan baik secara bersama dan bahu membahu.
Di Maluku sejak dahulu nilai nilai gotong royong diterapkan ketika membuka lahan kebun. Saat ini sudah ditinggalkan dan yang diandalkan adalah sistem pembayaran jasa dengan nilai uang tertentu.
2. Nanaku ( Istilah Maluku )
Nanaku istilah orang di Maluku, yakni menandai situasi atau kondisi alam atau cuaca atau musim atau tanoar, yang tepat untuk melakukan suatu aktifitas baik bercocok tanam ,maupun kegiatan lainnya. Tanoar mengandung makna tanda tanda alam yang tepat dalam memanen atau menebang pohon termasuk pohon sagu yang merupakan makanan pokok masyarakat Maluku.
Hal ini kalau diwariskan dan diterapkan secara baik maka pasti akan meningkatkan produksi pangan lokal yang variatif, karena masyarakat setempat sangat pandai dan bijak membaca tanda tanda alam, sebelum menanam, sesudah menanam maupun pada waktu panen.
3. Harmonisasi atau Keseimbangan
Manusia harus hidup harmonis dengan Tuhan, manusia lain, dan alam lingkungannya. Dalam bidang pertanian ternyata nilai harmonisasi berperan penting. Artinya dengan mengelola sumberdaya alam khususnya pertanian secara harmonis maka tercipta suatu kondisi yang terkendali. Dengan penerapan prinsip atau nilai ini, maka ketersediaan dan keberlanjutan pangan akan tetap terjaga. Keadaan demikian sudah tentu akan berpengaruh signifikan dalam terkait dengan upaya menopang peningkatan ketahanan pangan nasional.
Hal ini hampir sebagian besar sudah tidak diterapkan dengan baik, sebab saat ini sistem tanam maupun waktu panen pun dipaksakan dengan teknologi modern, yang sering juga menimbulkan masalah baru dalam bidang pertanian.
4. Sasi Hukum adat di Maluku
Sasi[5] adalah aturan hukum adat yang mengatur tentang waktu panen yang tepat baik terhadap hasil tanaman di hutan maupun sumberdaya perikanan ( ikan, teripang, lola ,rumput laut, batu laga dan sebagainya )
Kearifan lokal ini bertujuan untuk adanya ketrsediaan pangan yang cukup terutama di pulau pulau kecil. Ketersediaan pangan itu bukan saja di darat namun di laut juga. Hal ini menarik untuk dikaji karena aturan tersebut dibuat dan diberlakukan pada pulau pulau kecil yang jumlah penduduk banyak, namun sumberdaya alam sedikit atau tidak seimbang dengan jumlah penduduk. Jadi aturan sasi sebenarnya lebih ditujukan untuk nekindungi sumberdaya alam demi peningkatan sumberdaya ekonomi, bagi kepentingan bersama dalam masyarakat adat.
5. Panggoba di Gorontalo
Panggoba di Gorontalo merupakan salah satu kearifan lokal yakni semacam budaya turun temurun, dipakai oleh para petani tradisional untuk menentukan kapan musim panen.[6] Budaya lokal seperti ini sebenrnya memiliki nilai tambah yang cukup tinggi namun kini sebagian masyarakat mulai meninggalkannya.
Akibatnya adalah terjadinya kemerosotan dan produkis pangan menurun, drastic karena tidak sesuai dengan kondisi atau situasi yang tepat.
6 Lumbung Pangan Desa dan Keluarga
Di beberapa desa/negeri/kampong sejak dahulu masyarakat sangat arif dalam menyediakan sumberdaya pangan bagi kelangsungan hidup secara bersama. Oleh karena itu lalu dibuat lumbung lumbung pangan baik pada tingkat desa/negeri /kampung maupun dalam keluarga, dengan tujuan menyimpan padi, jagung dan lain lain. Di wilayah Nusa Tenggara Timur terdapat lumbung jangung . Di Maluku ternyata sagu itu bisa bertahan bertahun tahun, jika sudah dikeringkan dan disimpan pada tempat-tempat khusus yang kering dan juga khas misalnya ada yang disebut dengan tagalaya dan reku dalam menghadapi musim penghujan.
Nilai nilai lokal sebenarnya merupakan persepsi masyarakat tentang kondisi diri dan lingkungannya yang dapat memberikan manfaatkan berdasarkan potensi yang dimiliki. Artinya ukuran-ukuran yang dipakai untuk memaknai sesuatu berdasarkan kondisi riil yang terjadi disekitar lingkungan dimana mereka berinteraksi, bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan keamanan ( ketersediaan pangan yang cukup )
Masyarakat diwilayah kepulauan yang jumlah penduduk banyak namun sumberdaya alam terbatas ternyata sangat bijak dalam mengelola sumberdaya yang tersedia secara berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip dan nilai nilai kearifan lokal yang patut dihargai.
B.Diversifikasi Pangan Berdasarkan Kearifan Lokal Dapat Meningkatkan Ketahanan Pangan Nasional
Di Indonesia tumbuh berbagai jenis pangan lokal yang dikenal oleh penduduk sekarang ternyata mempunyai sejarah panjang, baik yang masuk dalam jenis biji bijian maupun berupa umbi umbian . Padi merupakan salah satu tanaman kuno yang sampai sekarang menjadi tanaman utama tidak hanya di Indonesia, tetapi juga bagi penduduk Asia.[7]
Terkait dengan upaya pengembangan diversifikasi pangan lokal yang dapat menopang ketahanan pangan nasional, ternyata peemrintah Orde Baru telah mencanangkan bahwa ; mengembangkan system ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan, dan budaya lokal dalam menjamin ketersediaan pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan , pada tingkat harga yang terjangkau, dengan memperhatikan peningkatan pendapatan petani/nelayan serta produksi yang diatur dengan Undang-Undang[8].
Masyarakat Indonesia saat ini cenderung mengkonsumsi beras atau nasi sebagai bahan makanan pokok atau makanan utama. Di Indonesia ternyata disamping beras masih terdapat berbagai jenis bahan makanan lain, seperti sagu, jagung, umbi-umbian, sukun, pisang, dan sebagainya.
Sagu dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan misalnya papeda, sagu kering, bubur sagu, sagu gula, sinoli, uha, kopi, kue kering, kue sagu, bagea, dan Sarut ( istilah Maluku Tengah ), dan sebagainya.
Konsep baru yang ditawarkan saat ini adalah mengubah sagu menjadi beras, yang digagas oleh Edy. Ch. Papilaya [9], . Menurut Papilaya, hal ini merupakan suatu kemustahilan yang mungkin. Caranya mudah yakni mengolah pati sagu kemudian keringkan dengan cara ovenisasi, pengeringan dengan sinar matahari selama tiga hari atau dengan cara pengeringan sederhana , Kemudian tepung sagu tersebut diolah menjadi mutiara sagu, dengan menggunakan alat granuler, dimana tepung sagu dimasukan dalam granuler yang telah dipanaskan, diputar perlahan lahan, sambil disemprotkan air sedikit demi sedikit, hingga membentuk butiran kecil seperti biji beras. Selanjutnya disaring dengan ayakan ukuran biji beras, atau sesuai dengan kebutuhan, lalu dijemur hingga kering maka jadilah beras sagu.
Khusus untuk umbi umbian, sukun, dan pisang, dibeberapa daerah ternyata melimpah, namun belum dikelola secara bijaksana sebagai bagian dari diversifikasi pangan berdasarkan nilai nilai lokal.
Di Maluku terutama di Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku Tenggara Barat dan Maluku Barat Daya, terdapat banyak sekali kearifan lokal dalam mengelola pangan lokal sebagai sumber makanan. Embal di Maluku Tenggara, yang terbuat dari ketela pohon, ternyata merupakan makanan lesat yang bisa bertahan lama dan dapat dijadikan sebagai salah satu jenis makanan yang bergizi bagi masyarakat, jika dilengkapi dengan lauk pauk lain sebagai pelengkap.
Di Maluku Tenggara Barat, jenis umbi umbian yang disebut dengan keladi merah, merupakan salah satu jenis makanan khas dari daerah setempat. Berbagai jenis makanan ini sebenarnya merupakan tanaman khas yang menjadi andalan masyarakat setempat. Jangan dirubah pola makan dengan menyiapkan Beras Miskin, bagi masyarakat setempat, karena pasti akan mengganggu eksistensi dari nilai nilai budaya setempat yang telah lama mapan.
Di Maluku Barat Daya, ternyata biji mangga bisa dijadikan makanan lesat, ketika musim paceklik tiba. Ini sebenarnya merupakan kearifan lokal yang patut dikaji dan dijadikan contoh dalam meningkatkan ketahanan pangan nasional.
Jenis tanaman lain yang unggul dibeberapa daerah yang dianggap gersang misalnya padi gaga, chantel dan jawawut. Tanaman pangan lokal lainnya misalnya umbi umbian, tanaman biji bijian non beras.[10]
Akibat dari sebagian besar penduduk Indonesia mengkonsumsi beras atau nasi maka kemampuan produksi dalam negeri tidak mengcukupi. Langkah kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah adalah mengimpor beras dari negara negara lain seperti Thailand, Vietnam dan lain lain.
Kondisi ini jika dibiarkan berlangsung terus maka sudah tentu akan berpengaruh bagi ketahanan pangan nasional Indonesia. Dikhawatirkan terjadi rawan pangan pangan pada negara-negara pengekspor maka maka pasti akan membawa dampak serius bagi kehidupan ekonomi masyarakat Indonesia, yang terbiasa mengkonsumsi beras atau nasi.
Dalam menghadapi kondisi yang demikian maka dibutuhkan langkah-langkah strategis dari pemerintah untuk mengurangi atau sedapat mungkin menghindari impor beras dari negara lain.
Salah satu langkah strategis yang dapat ditempuh yakni mengembangkan pola diversifikasi pangan yang berbasis pada nilai nilai lokal. Artinya nilai nilai lokal ( kearifan lokal ) tidak boleh dipandang remeh, namun hal itu meurpakan salah satu penyanggah utama ekonomi bangsa baik dalam menghadapi krisis pangan, maupun kebijakan diversifikasi pangan nasional .
Nilai nilai lokal yang selama ini hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia, ternyata semakin luntur. Hal ini terjadi akibat dari perubahan perilaku dan budaya yang selalu mengadopsi nilai dan budaya asing, sehingga perilaku masyarakat cenderung meninggalkan sesuatu yang asli .
Budaya yang hidup dalam masyarakat sebenarnya berkembang seiring dengan dinamika masyarakat, namun munculnya budaya baru atau asing yang sering bertentangan dengan pola hidup yang sudah lama berakar dalam kehidupan masyarakat, lalau diadopsi begitu saja tanpa memahami dampak negatifnya.
Nilai nilai lokal yang semakin luntur itu patut dikaji ulang dan perlu dihidupkan kembali sebagai bagian dari tradisi masyarakat. Hal ini sebenarnya merupakan salah kekuatan untuk menggerakkan dan membangun masyarakat terutama yang hidup diwilayah pedesaan. Kelompok masyarakat ini memang sejak dahulu, sangat patuh dan taat pada kesepakatan yang dibangun demi kepentingan bersama.
Ketika nilai nilai lokal itu bergeser atau mulai ditinggalkan maka sudah tentu hal tersebut sangat berpengaruh negative bagi kehidupan masyarakat, terutama pola makan yang tidak lagi sesuai dengan budaya masyarakat setempat.
Sebenarnya nilai nilai lokal ini jika dipertahankan dengan baik maka sistem dan kebijakan pengelolaan pangan menuju ketahanan pangan nasional bisa terwujud dengan baik. Artinya ketahanan pangan juga harus ditopang dengan kebijakan pengelolaan pangan lokal secara arif dan bijaksana, untuk keamanan ( ketersediaan pangan ) dan kesejahteraan masyarakat. Diversifikasi pangan menurut kearifan lokal merupakan penyanggah penting dalam upaya peningkatan ketahanan pangan nasional.
III. PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa diversisifikasi pangan berdasarkan nilai nilai kearifan lokal, saat ini semakin luntur diwilayah-wilayah tertentu. Pada hal kerarifan lokal ini sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan dan keamanan pangan ( ketersediaan pangan ) sesuai dengan prinsip-prinsip ketahanan nasional, sebagai wujud dari ketahanan pangan nasional
Kebijakan pemerintah dengan memberikan beras miskin ( Raskin ) sebenarnya tidak menyelesaikan masalah pengan, malah menimbulkan ketergantungan pada beras dan mengabaikan diversifikasi pangan.
Terkait dengan kesimpulan tersebut maka disarankan agar pemerintah harus mengambil kebijakan yang dapat melestarikan nilai nilai lokal, sebagai salah instrumen yang dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan keamanan pangan ( ketersediaan pangan )
Kebijakan tentang beras raskin ( raskin ) harus segera dihentikan dan dikembangkan potensi pangan lokal menurut nilai nilai kerarifan lokal, sebagai bagian dari upaya peningkatan ketahanan pangan nasional.
Bahan Rujukan
Materi Bidang Studi Ketahanan Nasional, Lemhannas RI Tahun 2012
Achmad Suryana, 2003, Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan, BPFE, UGM Yokyakarta
Bambang Hendro Sunarminto Ed, dkk, 2010, Pertanian Terpadu untuk Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional, KP4 UGM Yokyakarta.
Bustanul Arifin, 2005, Pembangunan Pertanian Paradigma Kebijakan dan Strategi Revitalisasi, Grasindo Jakarta.
Edy, Ch. Papilaya, 2012, Mengubah Sagu Menjadi Nasi, Mungkinkah ? Harian Ambon Ekspres, Selasa 10 April 2012.
J.E Lokollo, 1989, Hukum Sasi Di Maluku, Orasi ilmiah pada Dies Natalis Universitas Pattimura Ambon.
Jurnal Dialog Kebijakan Publik, 4 November 2011,
[1] Materi Bidang Studi Ketahanan Nasional Lembaga Ketahanan Nasional RI Tahun 2012
[2] Butanul Arifin, 2005, Pembangunan Pertanian Paradigma Kebijakan dan Strategi Revitalisasi, Grasindo Jakarta,h.9
[3] Bambang hendro Sunarminto, dkk ,Op Cit, h. 6
[4] Ibid
[5] J.E.Lokollo, Hukum Sasi Di Maluku, 1989, Orasi Dies natalis Universitas Pattimura Ambon
[6] Jurnal Dialog Kebijakan Publik,edisi 4 November 2011 , h. 52
[7] Bambang Hendro Sunarminto dkk : 2002, Pertanian Terpadu Untuk Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional, KP4UGM h.7
[8] Achmad Suryana , 2003, Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan, BPFE UGM Yokyakarta, h.96
[9] Edy Ch Papilaya, Mengubah Sagu Menjadi Nasi Mungkinkah ? Harian Lokal Ambon Ekspres, 10 April 2012.,h.4
[10] Bambang Hendro Sunaminto, Op Cit, h 12-17.