HAK DAN OTORITAS MASYARAKAT ADAT SERTA EKSISTENSINYA DALAM REALITAS PLURALISME

Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara

 

1. Pendahuluan

Indonesia adalah Negara dengan masyarakat majemuk yang sejak dulu menyadari bahwa dengan kemajemukannya dipersatukan dalam Landasan Ideologi Pancasila dimana  memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yaitu  “berbeda-beda tetapi tetap satu”, yang berarti bahwa meskipun berbeda agama, suku, ras dan golongan namun merupakan satu kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila merupakan Landasan Idiil bangsa Indonesia, falsafat dan pandangan hidup bangsa. Oleh karenanya harus menjadi landasan pijak dalam kehidupan bernegara tanpa tendensi ataupun pemahaman dan pemikiran sempit yang mengarahkan kita pada ego suku dan agama yang berimbas pada disintegrasi bangsa. Selain itu Indonesia juga merupakan Negara hukum, dimana hukum menjadi panglima setiap gerak langkah kita dalam Negara ini. Dan Negara merupakan penjamin hak agar masyarakat merasa terlindungi untuk melaksanakan haknya dalam bingkai kemajemukan atau pluralisme.

Pluralisme sendiri memiliki beberapa perspektif: sosial, budaya maupun politik. Dalam perspektif sosial, pluralisme menangkal dominasi dan hegemoni kelompok atau aliran keagamaan, serta menegasikan pemusatan kekuatan sosial pada satu kelompok atau aliran.

Adanya kemajemukan sistem budaya telah diakui sebagaimana tercermin dalam semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". Kata Bhineka Tunggal Ika diadopsi sebagai salah satu upaya untuk memayungi keanekaragaman yang ada serta strategi untuk mempersatukan berbagai kelompok etnik yang ada dalam suatu ikatan yang berorientasi ke masa depan. Paham “berbeda-beda namun tetap satu” dalam kenyataannya hanya indah untuk didengar dan diucapkan, namun amat sulit untuk diwujudkan, sebab secara konseptual paham tersebut sudah membawa suatu kontradiksi. Idealnya ketunggal-ikaan tidak boleh mematikan kebhinekaan. (Budiman, 1999, 5-9 dalam  Magdalia Alfian : 2010).

Yang menjadi persoalan adalah bagaimana konsep tersebut dapat diterjemahkan dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara yang nyata, terutama dalam pengejawantahan pengertian “ketunggal-ikaan” yang tidak mematikan “kebhinekaan” serta mencegah terjadinya satu unsur kebhinekaan yang mendominasi kehidupan bangsa dan negara. Dalam konteks ini sering yang menjadi isu utama dalam aras politik bangsa kita ialah konflik antara masyarakat adat dan pemerintah ataupun masyarakat adat dengan pengusaha. Yang menyedihkan adalah yang selalu menjadi korban ketidak adilan dan tindakan kekerasan adalah masyarakat adat yang minim akses untuk memeperoleh keadilan.  Meskipun keberadaan masyarakat adat ini diakui dalam konstitusi yaitu UUD 1945 pasal 18 B, namun pengakuan ini juga dianggap pengakuan sepihak dan setengah hati. Karena masih ada kalimat pengecualian yaitu “ sepanjang masih hidup dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Hal inilah yang selalu, menjadikan dilemma bagi masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-hak adatnya.

 

  1. Masyarakat & Hukum Adat

Mengkaji hukum adat dalam konteks perundang-undangan nasional (Indonesia), maka pikiran kita akan tertuju pada pertanyaan apakah hukum adat itu dan dimanakah hukum adat itu ada dan berlaku. Pertanyaan ini akan menjadi lebih penting ketika orang mengetahui bahwa didalam suatu masyarakat hukum, aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat tidak saja ditetapkan berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum tertulis, tetapi juga didasarkan pada pada ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Bagian hukum yang tidak tertulis ini sering disebutkan sebagai hukum adat (adatrecht) yang merupakan synonim dari hukum yang tidak tertulis yang terdapat didalam peraturan legislatif (unstatutary law), hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan negara (perlemen, Dewan Provinsi dan sebagainya), hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim (judgemade law), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan baik di kota-kota maupun di desa-desa (customary law), semua ini merupakan adat atau hukum yang tidak tertulis (Supomo,1954), atau dengan menggunakan teori beslissingenleer dari Ter Haar menunjukan hukum adat itu dengan mengabaikan bagian-bagiannya yang tertulis yang terdiri dari peraturan-peraturan desa, surat-surat perintah raja, adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa (macht) serta pengaruh (invloed) yang dalam pelaksanaannya berlaku dengan serta-merta (spontan) dan diptauhi sepenuh hati. Dengan demikian, hukum adat yang berlaku itu hanya diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum itu, bukan saja hakim, tetapi juga kepala adat,rapat desa, wali tanah,petugas-petugas-petugas dilapangan. Keputusan itu bukan hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi, tetapi juga diluar itu, berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan itu (Bushar Muhamad, 2002:8-9).

Dengan demikian hukum adat itu bukan saja berkaitan dengan bagian-bagian hukum yang tidak tertulis, tetapi juga menyentuh bagian-bagian hukum yang terlulis baik itu berupa peraturan-peraturan badan legislatif, putusan-putusan hakim, hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang hidup didalam masyarakat.

 

2. Pengertian Hak dan Otoritas Masyarakat Adat

            Di dalam Kamus Bahasa Indonesia hak memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (krn telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dsb), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat.  Sedangkam kewajiban adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu hal yang harus dilaksanakan).

K. Bertens dalam bukunya yang berjudul Etika memaparkan bahwa dalam pemikiran Romawi Kuno, kata ius-iurus (Latin: hak) hanya menunjukkan hukum dalam arti objektif. Artinya adalah hak dilihat sebagai keseluruhan undang-undang, aturan-aturan dan lembaga-lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat demi kepentingan umum (hukum dalam arti Law, bukan right). Pada akhir Abad Pertengahan ius dalam arti subjektif, bukan benda yang dimiliki seseorang, yaitu kesanggupan seseorang untuk sesuka hati menguasai sesuatu atau melakukan sesuatu(right, bukan law). Akhirnya hak pada saat itu merupakan hak yang subjektif merupakan pantulan dari hukum dalam arti objektif. Hak dan kewajiban mempunyai hubungan yang sangat. Kewajiban dibagi atas dua macam, yaitu kewajiban sempurna yang selalu berkaitan dengan hak orang lain dan kewajiban tidak sempurna yang tidak terkait dengan hak orang lain. Kewajiban sempurna mempunyai dasar keadilan, sedangkan kewajiban tidak sempurna berdasarkan moral.

Sedangkan otoritas menurut Education Yahoo Dictionary, otoritas mengandung pengertian sebagai berikut:

a. The power to enforce laws, exact obedience, command, determine, or judge.

b.One that is invested with this power, especially a government or body of government officials: land titles issued by the civil authority.

c. Power assigned to another; authorization: Deputies were given authority to make arrests.

d. An accepted source of expert information or advice: a noted authority on birds; a reference book often cited as an authority. A quotation or citation from such a source: biblical authorities for a moral argument.

e. Justification; grounds: On what authority do you make such a claim?

f. A conclusive statement or decision that may be taken as a guide or precedent.

g.Power to influence or persuade resulting from knowledge or experience: political observers who acquire authority with age.

Kamus American Heritage menuliskan bahwa otoritas adalah kuasa untuk menegakkan hukum, untuk menciptakaan ketaatan, kemampuan memerintahkan atau menghakimi. Kuasa untuk mempengaruhi, mengatur orang lain, otorisasi.

Kamus Barons menyebutkan bahwa otoritas adalah kemampuan untuk mengarahkan supaya pekerjaan dapat terlaksana dengan baik. Otoritas hanya bisa berjalan baik jika seseorang mau menerima arahan tersebut.

Menurut Weber, kata authority diturunkan dari kata bahasa Latin "auctoritas", biasanya digunakan di dalam hukum Roma untuk menghadapi orang-orang yang menentang pemerintahan atau keputusan pemerintah. Dalam Weberian sociology, authority dianggap sebagai bagian dari kekuasaan. Otoritas dianggap sebagai kuasa yang terlegitimasi dan terlindungi secara hukum untuk menjalankan kekuasaan atas diri orang lain. Otoritas dianggap sebagai hak atau kuasa yang terjustifikasi untuk memerintah, menegakkan hukum bahkan mengadili, yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi atau memerintah orang lain.

Dari berbagai pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa otoritas itu berhubungan dengan kekuasaan yang dimilliki seseorang atau sekelompok orang yang memiliki hak, wewenang dan legitimasi untuk mengatur, memerintah, memutuskan sesuatu, menegakkan aturan, menghukum atau menjalankan suatu mandat bahkan untuk memaksakan kehendak. Melalui pengertian tersebut, otoritas memiliki kaitan yang sangat erat dengan kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang.

Ditinjau dari sudut pandang pemilik otoritas dan orang yang berada di bawah otoritas, kedudukan mereka tidak sama. Kedudukan orang yang berada di bawah otoritas berada minimal satu peringkat di bawah orang yang memegang otoritas. Hal itu memberi indikasi bahwa otoritas, seperti di lingkungan militer, lebih merupakan jalur komando daripada hubungan yang sejajar (neben). (R.V.Rugebregt :2010)

            Terkait dengan hak makan kita mengenal ada 2 macam yaitu hak  asli karena asal usul dan hak karena berian. Masyarakat adat sendiri memiliki hak asli atau hak karena asal usul yang tidak dapat di cabut atau diambil oleh siapapun. Oleh karenanya mereka memiliki hak untuk mengelola sumberdaya alam yang  mereka miliki berdasarkan otoritas. Dan otoritas itu tercermin dalam peri kehidupan masyarakat adat lewat hukum adatnya. Berneda dengan hak karena berian contohnya otonomi. Hak tersebut sewaktu-waktu dapat diambil dan dicabut karena merupakan pemberian.

 

3. Selintas mengenai sejarah hukum adat

Jika menyimak tentang hukum adat, maka di dapat bahwa hukum adat ini terdapat di berbagai negara di dunia. Dan Hukum Adat ini  adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan social di Indonesia dan negara-negara Asia  lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Hukum Adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dan elastic. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Ada 2 pendapat mengenai   asal kata ini. Di satu pihak ada yang menyatakan bahwa Adat berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Sedangkan menurut Prof Amura, istilah ini berasal dari bahasa Sansekerta karena menurutnya istilah ini telah dipergunakan oleh orang Minangkabau kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Menurutnya adat berasal dari 2 kata, a dan dato. A berarti tidak dan dato berarti sesuatu yang bersifat kebendaan.

            Hukum adat di kemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck Hurgrounje seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1984).  Sebelum istilah Hukum Adat berkembang, dulu d kenal istilah Adat Recht. Prof.  Snouck Hurgrounje dalam bukunya de atjehers (Aceh) pada tahun 1893 – 1894 menyatakan hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasi adalah de atjehers. Istilah ini juga dipergunakan oleh Prof.Mr. van Vollenhoven, seorang Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang pula menjabat sebagai Guru Besar pada Universita Leiden. Ia memuat istilah adat recht dalam bukunya yang berjudul Adat Recht van Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda) 1901 – 1933.

Perundang-undangan di Hindia Belanda secara resmi mempergunakan istilah ini pada tahun 1929 dalam Indische Staatsregeling (peraturan Hukum Negeri Belanda), semacam Undang-undang Dasar Hindia Belanda, pada pasal 134 ayat 2 yang berlaku pada tahun 1929.

Dalam masyarakat Indonesia, istilah hukum adat tidak dikenal adanya. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah istilah teknis saja. Karena istilah ini hanya tumbuh dan dikembangkan oleh para ahli hukum dalam rangka mengkaji hukum yang berlaku dalam masyarakat Indonesia yang kemudian diembangkan ke dalam suatu system keilmuan. 

            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adat adalah aturan (perbuatan dsb) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; cara (kelakuan dsb) yang sudah menjadi kebiasaan ; wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem.

Jika di hubungkan dengan perkembangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dan sistem hukum di negara kita Indonesia selain hukum positif adapula hidup hukum adat, yaitu hukum yang hidup dan bertumbuh dalam masyarakat. Dan tidak dapat diabaikan bahwa system hukum Nasional merupakan puncak-puncak dari hukum yang berakar di dalam masyarakat. Terbentuknya Republik Indonesia pun oleh founding Fathers kita dan menjadikan Pancasila sebagai sumber filsafat dan pandangan hidup bangsa adalah karena kita berasal dari berbagai macam budaya yang beraneka. Sehingga Rechstidee seharusnya sejalan dengan landasan filosofi terbentuknya negara ini. Untuk itu tidaklah naïf jika dikatakan Indonesia di bangun atas dasar keberagaman, dimana semua keberagaman itu memperkaya kasanah hidup kita dalam berbangsa. Dalam masyarakat yang beragam ini ada sistem nilai tersendiri yang sudah di bangun dan di jalankan turun temurun. Sistem nilai yang juga di dalamya terkandung norma-norma ini mengatur tata kehidupan masyarakat dalam menjaga ketertibannya serta mengelola kehidupannya setiap saat. Inilah yang disebut hukum adat dengan berbagai macam kearifan local yang dimiliki masyarakatnya.  Hukum Adat inilah yang seringkali selalu menimbulkan konflik jika berhadapan dengan pihak-pihak yang diluar hukum adat ini atas nama kepentingan negara.

 

4. Hukum Adat dan Eksistensinya

            Unifikasi sistem hukum Indonesia  yang ditujukan untuk mewujudkan kepastian hukum dan memudahkan penyelenggaraan hukum  seakan merupakan harga mati. Pemberlakuan undang-undang nomor 5 tahun 1979 telah mematikan keberagaman budaya menjadi keseragaman. Di beberapa wilayah di Indonesia banyak sekali adat yang sudah hilang dan tinggal sisa-sisa saja. Namun di wilayah lain masih juga hidup dan berkembang namun nada dan iramanya kadang tak di dengar sebagai sebuah simponi indah. Mulai dari struktur pemerintahan yang di satukan atau di samakan dengan system pemerintahan desa di jawa dengan kepala desa sebagai pemimpinnya dengan tugas mengurusi semua urusan. Hal ini tentu saja merusak tatanan struktur adat yang ada di negeri adat seperti Maluku. Generasi muda pun hampir tidak tahu apa itu Saniri negeri, kewang juga sasi misalnya yang merupakan warisan budaya leluhur kita khusus di Maluku tengah. Selain itu di setiap nafas peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah juga tidak memberi ruang gerak kepada peradilan adat untuk menunjukkan keadilan substantifnya.

Penyeragaman proses pembentukan, penerapan dan penegakan hukum makin berdiri angkuh dengan keadilan normatifnya seperti yang terpancar dari setiap Bab dan Pasal yang terkodifikasi rapi. Padahal, Sesungguhnya unifikasi hukum telah merenggut peradilan adat dari habitatnya, yaitu masyarakat adat. Sehingga di hampir semua komunitas adat Indonesia sistem asli masyarakat adat telah hancur.

Di Kalimantan Barat, misalnya, kepunahan peradilan adat telah mendekati titik nadir. Sistem pemerintahan asli pendukung peradilan adat seperti Kampong di Kabupaten Sanggau, Banua di Ketapang, serta Menua di Dayak Iban dan Titing di Dayak Punan Uheng Kereho Kabupaten Kapuas Hulu telah hilang. Peraturan dan kebijakan anti peradilan adat secara pasti telah menghapuskan kuasa kepala adat dan temenggung. Penyeragaman hukum yang menjadi model pelaksanaan hukum di Indonesia ternyata menyebabkan tugas dan fungsi perangkat adat sebagai unsur sistem hukum adat telah digantikan oleh aparatus desa.

Di Maluku Raja sudah tidak lagi dianggap sebagai kepala adat dan memiliki otoritas penuh untuk mengatur semua hal yang berhubungan dengan masyarakatnya. Namun hanya mengatur berbagai kepentingan  administrasi negeri dan kadang menjadi kepala adat pada waktu tertentu saja,  dan semua perangkat negeri atau pejabat pembantu raja sudah banyak di sesuaikan dan diangkat dari pegawai negeri sipil (staf pemerintahan administrasi daerah bukan adat). Sehingga dapat saja pegawai negeri yang bukan anak negeri menjadi staff dari Raja. Yang membingungkan ialah untuk melaksanakan aktifitas pemerintahan Raja bertindak sebagai kepala desa (kepala pemerintahan administrasi)  dan pada waktu tertentu bertindak sebagai kepala pemerintahan adat. Sebagai kepala pemerintahan administrasi sekarang ini, pemilihan Raja di Maluku sudah merupakan sarana politik, sehingga akibatnya wibawanya sudah tidak lagi membawa dampak bagi masyarakat yang seharusnya di ayomi. Sistem peradilan adat di Maluku seluruhnya juga hampir sudah tak terlihat lagi bahkan terdengar.

Persoalan-persoalan masyarakat menyangkut perkelahian warga, konflik batas tanah, kepemilikan, sumberdaya alam, dll hanya di selesaikan secara mediasi ( dikatakan secara adat ) namun tidak lagi ada sistem peradilan adat seperti yang masih berlaku di beberapa wilayah di Indonesia. Dan ada banyak kasus yang terjadi di Maluku yang  oleh pejabat pemerintahan adat langsung di serahkan ke pihak kepolisian untuk ditangani dan di selesaikan secara hukum positif. Padahal dahulu, masyarakat adat Maluku juga memiliki sistem peradilan adat yang dapat menjatuhkan sanksi secara adat bagi yang melanggar. Dan itu sangat di hormati dan diakui oleh masyarakat, selain itu masyarakat menganggap peradilan adat merupakan suatu peradilan yang harus di taati di samping murah dan tidak memakan waktu yang lama dalam memutuskan suatu perkara. Namun politik dan kebijakan bangsa Indonesia telah menghancurkannya secara perlahan dan sistematis. Sehingga saat ini peradilan adat sudah tidak bermakna di beberapa wilayah bahkan di abaikan.  

Walaupun keberadaannya terus diingkari, namun peradilan adat di beberapa wilayah tetap menjadi pilihan utama masyarakat adat, terutama yang tak bisa mendapatkan akses ke pengadilan negara. Nun jauh di hulu Sungai Kapuas, Kecamatan Kedamin, Kalimantan Barat, masyarakat Dayak Punan Uheng Kereho tetap menggunakan sistem peradilan adatnya. Semboyan peradilan adat mereka – kenucu maram, kenucu te mulok (telunjuk busuk, telunjuk dipotong) – mencerminkan sikap tegas penegakan hukum adat di komunitas ini.

Dalam menjalankan sistem peradilan adat, berbagai komunitas sesungguhnya memiliki keyakinan dan nilai keadilan sesuai dimensi masing-masing. Misalnya, saat menjatuhkan sanksi, masyarakat adat Dayak Kanayatn di Kabupaten Landak dan Pontianak, mengacu pada prinsip kade’labih Jubata bera, kade’ Kurakng Antu bera (jika berlebihan Tuhan akan marah, jika kurang roh nenek moyang /hantu yang marah). Prinsip ini menyatakan penjatuhan sanksi adat harus didasarkan pada nilai-nilai keadilan dan keseimbangan.( Laurensius Gawing:2006)

Kemudian, bila ketua adat telah menjatuhkan sanksi, maka penjatuhan sanksi untuk perkara yang diyakini akan membawa dampak buruk bagi komunitas – misalnya kasus hamil diluar nikah (ngampakng) atau pembunuhan – akan diikuti oleh upacara perdamaian antara kedua pihak yang berperkara, masyarakat kampung dan alam sekitarnya atau Mua Tana dalam masyarakat Dayak Punan. Jadi penyelesaian sengketa dalam pengadilan adat tidak hanya memvonis benar-salah atau menang-kalah, tetapi juga mendamaikan para pihak, termasuk mendamaikan mereka dengan alam supaya kampung dan masyarakat tersebut bebas dari wabah penyakit, bencana alam dan hal-hal negatif lainnya.

Kearifan inilah yang menggugah 25 suku Dayak Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat secara bersama-sama mendokumentasikan proses peradilan adat di masing-masing sukunya pada pertengahan tahun 2005. Pendokumentasian itu kini berhasil mendata praktek-praktek dan nilai-nilai pengadilan adat seperti keadilan, keseimbangan dan kepastian hukum. Ke 25 suku Dayak tersebut meyakini peradilan adat – yang sampai sekarang diabaikan oleh pemerintah – sebenarnya merupakan sarana penyelesai sengketa yang cocok dengan situasi mereka.

Bukan itu saja, selain masyarakat adat masih menggunakan peradilan adat untuk menyelesaikan konflik, kearifan local budaya dalam pengelolaan sumberdaya  alam guna menjaga kesinambungan lingkungan pun masih tetap di pergunakan. Budaya Sasi di Maluku Tengah membuktikan betapa besarnya pengaruh kearifan local tersebut dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam. Selain itu ada juga panglima Laot di Aceh, Mane’e, budaya berburu Paus di Lamalera serta awiq-awiq di Bali dan Lombok, adalah bukti nyata bahwa masyarakat adat masih tetap eksis dengan budayanya.

5. Pengakuan Terhadap Eksistensi Masyarakat Hukum Adat

Sampai kini banyak masyarakat, terutama yang tinggal di luar Pulau Jawa, menggunakan pengadilan adat, karena biayanya murah, tidak bertele-tele dan sesuai dengan situasi dan kondisi mereka. Seperti kata pepatah Dayak Iban: Bejalai Betungkat ke Adat Tinduk, Bepanggal ke Pengingat (berjalan bertongkatkan adat, tidur beralaskan sejarah), maka pengakuan, penghormatan dan pemajuan pengadilan adat sebagai bagian dari sistem hukum Indonesia merupakan langkah pasti menuju peran pengadilan dalam mewujudkan keadilan substantif.

Meskipun undang-undang Dasar 1945 mengakui keberadaannya,  namun sampai sekarang masyarakat adat masih memperjuangkan hak-haknya. Masih banyak konflik yang muncul akibat saling bertubrukannya kepentingan masyarakat adat dan kepentingan pemerintah. Pemerintah menganggap bahwa posisi mereka adalah sebagai negara yang harus melaksanakan fungsinya dalam pengelolaan sumberdaya alam. Akhirnya ternjadi tindakan kesewenangan dari pemerintah. Padahal negara di sini adalah rakyat dan pemerintah yang harus saling menghormati satu dengan yang lain tugas dan hak-haknya. Pengakuan setengah hati Pasal 18 B UUD 1945 Amandemen kedua mengisyaratkan bahwa pemerintah tidak rela kehilangan kekuasaannya.

Diakui ataupun tidak, dianggap ataupun tidak, kenyataannya masyarkat adat ada, dan sampai detik ini masih eksis. Selain menjalankan adat dan budayanya, peradilan adatpun tetap di jalankan dan masih banyak digunakan masyarakat adat terutama yang tinggal di luar Pulau Jawa,  karena biayanya murah, tidak bertele-tele dan sesuai dengan situasi dan kondisi mereka. Seperti kata pepatah Dayak Iban: Bejalai Betungkat ke Adat Tinduk, Bepanggal ke Pengingat (berjalan bertongkatkan adat, tidur beralaskan sejarah), maka pengakuan, penghormatan dan pemajuan pengadilan adat sebagai bagian dari sistem hukum Indonesia merupakan langkah pasti menuju peran pengadilan dalam mewujudkan keadilan substantif.

Pasal 28 I Ayat (3) UUD 1945 disebutkan “ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban”. Pasal ini diperkuat oleh Pasal 6 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,masyarakat dan pemerintah”. Jadi menurut kedua pasal tersebut pemerintah wajib mengakui, menghormati dan memajukan hukum adat serta seluruh eksistensi masyarakat adat dalam melakukan kearifan local budayanya termasuk  pengadilan adat. Karena pengadilan adat merupakan manifestasi identitas budaya masyarakat adat, maka pengabaian, penyingkiran dan pemusnahannya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pengakuan dan penghormatan ini juga bermanfaat bagi banyak tempat yang tidak terjangkau oleh pengadilan negara.  

 

*Di Presentasikan pada Workshop Mediasi dan Penguatan Hukum Masyarakat (MPHM) Program P2DTK Kementerian Daerah Tertinggal di wilayah kerja MPHM, 29 Juli 2011, Masohi Maluku Tengah           

Tinggalkan Balasan