FIR (Flight Information Region) Di Wilayah Udara Indonesia
Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban adalah syarat pokok bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.[1] Hukum pada umumnya, demikian pula hukum internasional, adalah bertujuan untuk mengatur dan menyelenggarakan keamanan dan ketertiban.[2] Masyarakat adalah suatu kumpulan manusia yang hidup bersama dengan tujuan bersama.[3] Sudah menjadi karakter dari hukum bahwa perkembangannya sering berada di belakang perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.[4]
Menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat bertujuan untuk mencapai ketertiban, kepasatian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Dikemukakan bahwa hukum tidak hanya meliputi asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan juga termasuk lembaga dan proses dalam mewujudkan berlakunya kaidah itu dalam kenyataan di masyarakat.[5]
Bertambahnya jumlah penduduk, terjadi peningkatan kebutuhan hidup, sedangkan ketersediaan sumber daya alam di darat dan di laut semakin terbatas. Dengan dukungan ilmu pengetehuan dan teknologi, mendorong manusia menjadi lebih intensif melakukan eksplorasi terhadap manfaat ruang udara. Kepentingan Indonesia terhadap perdamaian dunia, khususnya keamanan di kawasan Asia Tenggara, mewajibkan Indonesia untuk turut serta dalam upaya internasional maupun regional guna memelihara keamanan dan perdamaian. Keberhasilan tugas pertahanan nasional tergantung pada dukungan yang diberikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, upaya pertahanan nasional harus dapat memanfaatkan hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembinaan pertahanan dan keamanan nasional diusahakan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan, salah satunya meliputi kekuatan udara.[6] Penyelenggaraan pertahanan negara merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara yang bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, serta keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman.[7] Ruang udara merupakan wilayah kedaulatan, maka menjadi tanggung jawab negara dan diberikan kewenangan kepada pemerintah. Bagi Indonesia telah menjadi prinsip dasar sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Oleh sebab itu pemerintah memegang hak dan kewajiban terhadap kegiatan dan usaha yang dilakukan di ruang udara nasional.[8]
Luas wilayah Indonesia terdiri dari luas daratan kurang lebih 1.922.570.km persegi dan luas lautan kurang lebih 3.257.483. km persegi, sehingga luas wilayah udara di atas daratan dan lautan Indonesia sebesar 5.180.053 km persegi.[9] Perkembangan jumlah perusahaan penerbangan di Indonesia dewasa ini sangat pesat. Lebih dari sepuluh perusahaan penerbangan domestik beroperasi, dan mungkin akan bertambah lagi di masa yang akan datang.[10] Ditemukannya balon udara pada akhir abad ke-19 dan diterbangkannya pesawat udara yang lebih berat dari udara oleh Wright bersaudara (1903), ruang udara sebagai sumber daya alam (natural resources) telah makin diperhatikan baik untuk penerbangan sipil maupun militer.[11] Pakar Hukum Ruang Udara dan Angkasa, E Saefullah Wiradipradja membedakan antara pesawat udara negara dengan pesawat udara sipil didasarkan pada kepemilikan oleh negara dan atau digunakan khusus untuk tujuan negara dan atau yang digunakan khusus tujuan negara/pemerintah, tidak terbatas pada pesawat udara militer, bea cukai dan polisi.[12]
Bin Cheng menyatakan bahwa Konvensi Chicago 1944 merupakan konstitusi dari organisasi penerbangan sipil internasional (the constitution of the ICAO) yang membentuk ketentuan hukum tentang transportasi udara internasional (international air transport).[13] Konvensi Chicago memiliki 4 (empat) prinsip yaitu: Prinsip kedaulatan di ruang udara (airspace sovereignity); Prinsip kebangsaan dari setiap pesawat udara (nationality of aircraft); Prinsip adanya persyaratan tertentu yang harus dipenuhi baik oleh pesawat udara ataupun oleh operatornya (condition to fulfill with respect to aircraft or by their operators); Prinsip kerjasama dan penyediaan fasilitas internasional (international cooperation and facilitation). Kolossov mengemukakan prinsip hukum udara internasional diantaranya; pengakuan kedaulatan penuh dan eksklusif dari setiap negara atas ruang udara di atas wilayahnya; kerjasama negara-negara, dengan tujuan memajukan atau mengamankan penerbangan dalam navigasi udara internasional,[14]tatanan navigasi penerbangan di Indonesia, memuat: ruang udara yang dilayani; klasifikasi ruang udara; jalur penerbangan; jenis pelayanan navigasi penerbangan.[15]
Ruang udara, secara internasional, telah disepakati sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 bahwa negara mempunyai kedaulatan yang bersifat lengkap dan eksklusif (penuh dan utuh) atas ruang udara di atas wilayahnya. Indonesia telah mengukuhkan prinsip tersebut dalam Pasal 5 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 , Tentang Penerbangan, yang menyatakan bahwa: negara Indonesia bardaulat penuh dan utuh atas wilayah udara Republik Indonesia.
Indonesia memiliki wilayah udara yang luas dan dilalui oleh 247 rute udara domestik yang menghubungkan 125 kota di Indonesia, serta 57 rute udara internasional yang menghubungkan 25 kota di 13 negara. Indonesia memiliki 233 bandara yang terdiri dari 31 bandara berstatus internasional dan 202 berstatus bandara domestik. Transportasi udara merupakan trasportasi yang sangat penting di Indonesia. Pertumbuhan transportasi udara selama 5 tahun terakhir rata-rata 16% dan diperkirankan akan terus berlanjut sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan mencapai 6% serta adanya peningkatan jumlah masyarakat kelas menengah yang mampu melakukan perjalanan dengan transportasi udara.[16] Peraturan Pemerintah Nomor. 77 Tahun 2012, tentang Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia, Pasal 13 ayat 2 menjelaskan bahwa Pelayanan lalu lintas penerbangan (Air Traffic Services/ATS) terdiri atas: Pelayanan pemanduan Ialu lintas penerbangan (Air Traffic Control Service); Pelayanan informasi penerbangan (Flight Information Service); Pelayanan kesiagaan (Alerting Service).
Di bidang navigasi penerbangan Indonesia telah mengeluarkan dana kurang lebih US250 juta untuk modernisasi system Air Traffic Management dengan teknologi terkini, meliputi ADS-B (Automatic Dependent Surveillance-Broadcast), Mode-S Radar, RVSM (Reduced Vertical Separation Minima), PBN (Performance Based Navigation) dan AIDC (ATS Inter facility Data Communication), dalam rangka meningkatkan kapasitas dan mengharmonisasikan dengan FIR negara tetangga. Ruang udara Indonesia dilayani dengan sejumlah peralatan navigasi yang juga berfungsi sebagai referens utama bagi Rute ATS Indonesia. Dalam rangka melakukan pengamatan terhadap ruang udara, radar surveillance mencakup sebagian besar dari Indonesia’s Flight Information Regions (FIR). Indonesia tengah menerapkan system ADBS-B yang lebih maju untuk pengamatan mencakup ruang udara yang lebih luas sehingga menunjang operasional dan menjadikannya lebih efisien pada FIR.
Dalam lalu lintas udara, setiap pesawat udara yang melakukan penerbangan harus diawasi.[17] Lalu lintas udara (air traffic) adalah semua pesawat udara dalam penerbangan atau pengoperasian pada daerah pergerakan suatu bandar udara. Tujuan pelayanan lalu lintas udara antara lain : mencegah tabrakan antar pesawat udara di udara, mencegah tabrakan antar pesawat udara atau pesawat udara dengan halangan (obstacle) di daerah manuver (manouvering area), memperlancar dan menjaga keteraturan arus lalu lintas penerbangan, memberikan petunjuk dan informasi yang berguna untuk keselamatan dan efisiensi penerbangan, memberikan notifikasi kepada organisasi yang terkait untuk bantuan pencarian dan pertolongan. [18]Pelayanan informasi disediakan oleh petugas lalu lintas udara pusat pada pesawat udara yang sedang melakukan penerbangan instrumen (IFR) dalam suati flight information region (FIR) guna memastikan agar jarak terbang minimum di antara pesawat udara tersebut dipenuhi.
Pengendalian lalu lintas udara di dua wilayah FIR (flight Information Region), yakni FIR Jakarta dan FIR Makassar, dibantu FIR Singapura untuk sektor A, B dan C. (wilayah di atas Batam, Matak dan Natuna).[19] Untuk sektor A, Indonesia mendelegasikan tanggung jawab pelayanan navigasi dari permukaan laut hingga ketinggian 37 ribu kaki. Di sektor B, pendelegasian meliputi pemukaan laut hingga ketinggian tak terbatas. Sektor C, ditetapkan sebagai wilayah abu-abu (tidak termasuk dalam perjanjian, karena masih terkait persoalan perbatasan dengan Malaysia). Di sector A, FIR Singapura mendapat mandat untuk mengutip jasa navigasi penerbangan sipil (Route Air Navigation Servises (RANS fee) atas nama pemerintah Indonesia, untuk selanjutnya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia. untuk wilayah sektor B dan C tidak dikenai Rans Charge karena masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut denganberbagai pihak.
Awal diserahkannya kontrol FIR Indonesia kepada Singapura, pada saat pertemuan ICAO, Maret tahun 1946 di Dublin, Irlandia. Karena saat itu Indonesia baru merdeka sehingga tidak hadir pada pertemuan tersebut. Dasar hukum diserahkannya pengendalian sebagian wilayah udara Indonesia pada Singapura, yakni Anex 11 Convensi Chicago 1944, tentang Air Traffic Services – Air Traffic Control Service, Flight Information Service and Alerting Service; dan Pasal 28 Konvensi Chicago 1944 menyatakan bahwa : : “Each contracting state understake, so far as it may practicable, to : (a). Provide, in its territory, airports, radio services, meteorological services and other air navigation facilitate international air navigation, in accordance with the standards and practies recommended or established from time to time, pursuant to this convention. (b). Adopt and put into operation the appropriate standard systems of communications procedure, codes, markings, signals, lighting and other operational practices and rules which may be recommended or established from time to time, pursuant to this Convention. (c) Collaborate in international measures to secure the publication of aeronautical maps and charts in accordance with standards which may be recommended or established from time to time, pursuant to this convention.”
FIR Singapura, berdasarkan pada persetujuan antara pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura tentang Penataan Kembali Batas Penerbangan Region/FIR Singapura dan FIR Jakarta pada tanggal 21 September 1995, pasal 2, menyatakan bahwa : Kontrol delegasi Indonesia di wilayah udara kepulauan Riau dilakukan oleh Singapura (pada saat itu hanya disebut Natuna). Persetujuan bilateral ini berakhir setelah 5 tahun. Jika dihitung persetujuan Indonesia- Singapura tersebut berakhir pada 21 September 2000, [20]tetapi sampai sekarang wilayah udara Indonesia di atas kepulauan Riau maih dikendalikan oleh Singapura.
Terkait dengan pertahanan negara, pengendalian ruang udara oleh singapura bisa dapat menjadi ancaman terhadap kedaulatan negara di udara. Karena Singapura dapat melakukan tindakan illegal seperti kegiatan intelijen, pemotretan udara dan melatih para penerbangnya melaksanakan latihan/training di wilayah udara Indonesia. Bila keadaan ini terus berlanjut maka bila terjadi konflik terbuka maka akan dapat dijadikan strategi operasi udara dan akan menjadi suatu ancaman karena Singapura akan memanfaatkan karakteristik keunggulan kekuatan udara berupa kecepatan dan pendadakan.[21]
Pasal 8 ayat 3 Undang-Undang No 1 Tahun 2009, menyatakan bahwa : personil pemandu lalu lintas penerbangan wajib menginformasikan pesawat udara yang melanggar wilayah kedaulatan dan kawasan terlarang[22]dan terbatas pada aparat yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang pertahanan negara. Informasi lalu lintas udara berupa : [23]informasi yang berkaitan dengan pergerakan setiap pesawat atau bentuk pelayanan informasi lainnya dan informasi yang terkini sesuai keadaan saat itu terhadap setiap pesawat; informasi posisi setiap pesawat yang berhubungan dengan pesawat lainnya; mengeluarkan ijin dan informasi untuk tujuan mencegah tabrakan antar pesawat yang sedang dikendalikan dan mempercepat serta mempertahankan pengendalian lalu lintas udara; melakukan koordinasi antar unit lain.
Bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya negara kesatuan republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara yang merupakan usaha untuk mewujudkan satu kesatuan pertahanan negara guna mencapai tujuan nasional, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.[24]
[1] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, op.cit, hlm, 3.
[2] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat Dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung, 1976, hlm. 13. Lihat juga, Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional (buku I-Bagian Umum), Binacipta, Bandung, 1982, hlm. 18-19.
[3] Mochtar Kusumaatmadja, Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum Buku I, Alumni, Bandung, 2000, hlm.15.
[4] E. Saelullah Wiradipradja, Hukum Transportasi Udara Dari Warsawa 1929 k Montreal 1999, Kiblat Buku Utama, Bandung, 2008, hlm. 17.
[5] Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Lembaga penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 1976, hlm. 2. Lihat juga Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, hlm. vi.
[7] Dasar Pertimbangan Peraturan Presiden RI, Nomor 7 tahun 2008, tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara.
[8]Bab II Konsepsi Pengaturan Pengelolaan Ruang Udara Nasional, melalui internethttp://ruu.lapan.go.id/doc/bab2.pdf
[9] Optimalisasi Pengaturan/Pengelolaan Ruang Udara Nasional Untuk Pertahanan Dan Keamanan Negara, melalui : http://www.scribd.com/doc/222797995/Optimalisasi-Pengaturan-Pengelolaan-Ruang-Udara-Nasional
[10] E. Saefullah Wiradipradja, Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang Menururt Hukum Udara Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, hlm. 5
[11] E. Saefullah Wiradipradja, Tinjauan Singkat Atas Berbagai Perjanjian Internasional di Bidang Hukum Udara, Lisan, Bandung, 1990, hlm 1.
[12] E. Saefullah Wiradipradja, Masalah Tanggungjawab Operator Pesawat Udara Negara Terhadap Pihak Ketiga, Jurnal Hukum Internasional (Journal of International Law), Bagian
Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Vo. 1. No.3 Desember, 2002, hlm 178.
[13] Bin Cheng, The Law of International Air Transport, Dalam Appendix H Status Multilateral International Civil Aviation, The London Institue of World Affair, London 1962, hlm. 604.
[14] I. H. Ph. Diederiks-Verschoor, Beberapa Persamaan Dan Perbedaan Antara Hukum Udara dan Hukum Ruang Angkasa Khusus Dalam Bidang Hukum Perdata Internasional, alih bahasa: Bambang Iriani, Sinar Grafika, Jakarta, 1991. Hlm. 10.
[16] Indonesia mencalonkan diri sebagai anggota dewan ICAO periode 2013-2016, melalui : Http://m.dephub.go.id/read/berita/direktorat-jenderal-perhubungan-udara/indonesia-mencalonkan-diri-se
[17] H. K. Martono, Kamus Hukum Dan Regulasi Penerbangan Edisi Pertama, Penerbit RajaGrafindo, Jakarta, 2007, hlm. 221
[20] David Raja Marpaung, Flight Information Region Issues Between Indonesia And Singapura, melalui indonesiadefensean alysis.blogspct.com.
[21] Flight Information Region (FIR): Implikasi Penguasaan Air Traffic Control Oleh Singapura di Kepulauan Riau, Amrizal Mansur.
[22] Kawasan udara terlarang (prohibited area) adalah kawasan udara dengan pembatasan yang bersifat permanen dan menyeluruh bagi semua pesawat udara. Pembatasan hanya dapat ditetapkan di wilayah Indonesia, contohnya instalasi nuklir atau istana presiden. Ketentuan ini terdapat dalam penjelasan pasal 7, ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.