1. Pendahuluan.
a. Umum.
Ketahanan Nasional (Tannas) merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan dan dijalankan oleh setiap Negara. Walaupun istilah Tannas itu dapat dikatakan sebagai istilah khas Indonesia, namun setiap Negara harus memperhatikan unsur yang satu ini. Ketahanan nasional itu sendiri memiliki arti sebagai kondisi dinamis suatu bangsa, yang berisi keuletan dan ketangguhan. Tannas mengandung kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan, baik internal maupun eksternal. Maka dari itu Tannas dapat dikatakan sebagai konsepsi pengaturan dan penyelenggaraan pemerintahan Negara melalui pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan pendekatan keamanan (security approach) untuk mewujudkan kemandiri pangan.
Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Banyak negara dengan sumber ekonominya memadai, tetapi mengalami kehancuran karena tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduknya. Sejarah juga menunjukkan bahwa strategi pangan banyak digunakan untuk menguasai pertahanan musuh. Dengan adanya ketergantungan pangan, suatu bangsa akan sulit lepas dari cengkraman penjajah/musuh. Dengan demikian upaya untuk mencapai kemandirian dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional bukan hanya dipandang dari sisi untung rugi ekonomi saja tetapi harus disadari sebagai bagian yang mendasar bagi ketahanan nasional yang harus dilindungi.
Jumlah penduduk Indonesia pada pertengahan 2012 mencapai 257.516.167 jiwa dengan angka pertumbuhan 6,4%. Angka tersebut mengindikasikan besarnya bahan pangan yang harus tersedia. Kebutuhan yang besar jika tidak diimbangi dengan peningkatan produksi pangan justru akan berdampak pada bahaya latent yang akan mengganggu laju peningkatan produksi di dalam negeri yang terus menurun. Sudah pasti jika tidak ada upaya untuk meningkatkan produksi pangan akan menimbulkan masalah antara kebutuhan dan ketersediaan dengan kesenjangan perekonomian.[1] Kebutuhan nasional akan pangan terus meningkat, dengan angka pertumbuhan penduduk Indonesia yang cukup tinggi, serta meningkatnya konsumsi per kapita. Oleh karena itu pemerintah perlu mengantisipasi kenaikan permintaan pangan dalam negeri dengan pertumbuhan produksi yang memadai melalui keunggulan komoditas pangan daerah, agar terjamin kecukupan pangan tanpa perlu mengimpor.
Kebijakan pada bidang pangan yang mengarah pada kerawan pangan dalam jangka panjang seperti tersebut di atas, menunjukkan bahwa Indonesia memang belum memiliki ketahanan pangan yang mantap dimana kinerja sektor pertanian masih terkendala pada banyak hal. Dengan demikian, pencapaian kemandirian pangan akan memperbesar kebanggaan nasional, meningkatkan kesejahteran rakyat, menghemat devisa, tercapainya jaminan pasokan pangan, penciptaan lapangan kerja yang luas dan menjadi landasan pembangunan ekonomi yang mantap.
b. Maksud Dan Tujuan
Maksud penulisan essay ini untuk menganalisis dan memberikan kontribusi keilmuan, bahwa dengan keunggulan komoditi pangan daerah melalui implementasi pemahaman Tannas dapat menjadi “amunisi” daerah menuju ketahanan—kemandirian pangan. Sedangkan tujuannya adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada lembaga atau pihak terkait dalam kaitannya dengan ketahanan pangan nasional.
c. Ruang lingkup dan tata urut
Ruang lingkup penulisan dan kajian essay ini dibatasi pada pembahasan keunggulan komoditi pangan daerah dalam perspektif ketahanan nasional dapat meningkatkan kemandirian pangan masyarakat lokal, dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
1. Pendahuluan.
2. Konsepsi dan implementasi Tannas untuk mewujudkan ketahanan kemandirian pangan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
3. Hubungan Tannas dengan Kemandirian Pangan.
4. Penutup dan Kesimpulan.
d. Pengertian dan Penegasan Judul
Untuk memberikan sebuah pemahaman, maka perlu diuraikan pengertian yang disertai dengan penegasan pada judul esaay ini. Pertama, ketahanan nasional atau yang lebih dikenal dengan Tannas adalah kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi. Di samping itu Tannas juga didukung dengan keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mencapai tujuan nasionalnya.[2]
Kedua, kemandirian pangan adalah Terpenuhinya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau oleh seluruh rumah tangga merupakan sasaran utama dalam pembangunan ekonomi setiap negara di dunia, apakah itu negara produsen dan net-eksportir maupun pengimpor pangan. Bagi negara industri yang miskin sumber daya pertanian seperti Singapura, sasaran tersebut dapat dipenuhi dengan meningkatkan daya beli rakyat dan kemampuan ekonomi negaranya. Bagi sebagian besar negara berkembang pemenuhan kebutuhan pangan itu terutama mengandalkan kemampuan produksi domestik.
Konsep ketahanan pangan yang dianut Indonesia dapat dilihat dari Undang-Undang (UU) No.7 Tahun 1996 tentang pangan, Pasal 1 Ayat 17 yang menyebutkan bahwa "Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga (RT) yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau".[3] UU ini sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1992, yakni akses setiap RT atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat. Sementara pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan pangan disebut sebagai akses setiap RT atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai atau budaya setempat.[4]
2. Implementasi Keunggulan Komoditas Pangan Daerah Dalam Perspektif Ketahanan Nasional dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Ketahanan pangan merupakan salah satu isu strategis dalam pembangunan suatu negara, lebih-lebih negara yang sedang berkembang, karena memiliki peran ganda yaitu sebagai salah satu sasaran utama pembangunan dan salah satu instrumen utama (tujuan antara) pembangunan ekonomi (Sen, 1989; Simatupang, 1999). Peran pertama merupakan fungsi ketahanan pangan sebagai prasyarat untuk terjaminnya akses pangan bagi semua penduduk negara dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk eksistensi hidup, sehat, dan produktif. Akses terhadap pangan yang "cukup" merupakan hak azasi manusia yang harus selalu dijamin oleh negara bersama masyarakat (FAO, 1998; Byron, 1988). Hal ini sudah diakui oleh Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Ketahanan Pangan No.7 tahun 1996.
Peran kedua, merupakan implikasi dari fungsi ketahanan pangan sebagai syarat keharusan dalam pembangunan sumberdaya manusia yang kreatif dan produktif yang merupakan determinan utama dari inovasi ilmu pengetahuan, teknologi dan tenaga kerja produktif serta fungsi ketahanan pangan sebagai salah satu determinan lingkungan perekonomian yang stabil dan kondusif bagi pembangunan (Timmer, 1997). Setiap negara senantiasa berusaha membangun sistem ketahanan pangan yang mantap. Oleh sebab itu sangat rasional dan wajar kalau Indonesia menjadikan program pemantapan ketahanan pangan nasional sebagai prioritas utama pembangunannya.
Konsep ketahanan pangan nasional seperti yang tercantum pada UU No.7 tahun 1996, bahwa pemerintah di satu sisi, berkewajiban menjamin kecukupan pangan dalam arti jumlah dengan mutu yang baik serta stabilitas harga. Pada sisi lain, peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya dari golongan berpendapatan rendah.
Pada tahun 2005, melalui UU No.11/2005, pemerintah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial Budaya (Kovenan Ekosob). Kovenan ini antara lain berisi tentang tanggung jawab negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas pangan bagi rakyatnya. Dengan kata lain, masalah pangan merupakan hak asasi manusia yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara. Dengan demikian, Pemerintah harus merubah semua undang-undang yang tidak selaras dengan ketentuan Kovenan Ekosob tersebut, termasuk soal pangan pada UU No 7/1996 tersebut. Minimal ada 4 alasan mengapa UU tersebut harus dirubah: (1) perlindungan hak rakyat atas pangan oleh negara merupakan kewajiban hakiki; (2) UU dapat menjadi penjamin atas pemenuhan tanggung jawab pemerintah dalam menyejahterakan masyarakatnya melalui pemenuhan pangan yang berkesinambungan; (3) krisis pangan yang melanda dunia (sejak 2007) merupakan pelajaran berharga tentang pentingnya suatu bangsa memiliki kedaulatan atas pangan untuk menjamin kecukupan pangan bagi warga negaranya; dan (4) pembangunan ekonomi bisa berkelanjutan jika pemenuhan hak dasar rakyat atas pangan terpenuhi.
Irham (2008) berpendapat bahwa selain UU No7/1996 tidak sesuai dengan Kovenan Ekosob, juga belum menyentuh keempat aspek tersebut. Misanya, UU No.7/1996 ”menghilangkan” kewajiban dan tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak atas pangan, yakni dengan memberikan sebagian beban kewajiban itu ke masyarakat (Pasal 45). Selain itu, menurutnya, yang dimaksud dengan ”pemerintah” dalam UU ini harus lebih ditegaskan lagi, apakah pemerintah pusat atau pemerintah daerah (pemda). Hal ini menjadi sangat penting setelah berlakunya otonomi daerah (otda). Bahkan Irham berpendapat bahwa dalam konteks otda, justru yang memiliki peran sentral dalam pemenuhan ketersediaan pangan seharusnya pemda.[5]
Otonomi pangan merupakan kewenangan daerah untuk menentukan kebijakan strategis terkait dengan persoalan pangan di daerah administratifnya. Kebijakan tersebut mencakup kualitas, ketersediaan, distribusi, serta nilai-nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat setempat, yaitu karakteristik dan perilaku konsumsi pangan. Daerah otonom pangan idealnya merupakan suatu daerah yang mampu memproduksi, mengolah, dan memasarkan pangan berkualitas serta sesuai dengan karakteristik dan perilaku konsumsi pangan masyarakat dalam satu wilayah administratif.[6]
Otonomi pangan setidaknya memiliki empat kelebihan. Pertama, berbasis sumber daya lokal yang tahan krisis ekonomi. Fluktuasi perekonomian global yang sulit diprediksi menyebabkan ketidakpastian harga pangan. Dengan begitu, harga pangan tidak hanya dipengaruhi biaya produksi, tetapi juga dipengaruhi kurs mata uang, kebijakan fiskal dan moneter, hubungan luar negeri, dsb. Begitu banyak variabel yang sulit diprediksi akan menyebabkan ketersedia an dan harga pangan rentan krisis ekonomi. Kedua, memperpendek rantai perdagangan. Faktor utama tingginya harga pangan dalam negeri jika dibandingkan dengan pangan impor adalah rantai perdagangan yang panjang. Penguasaan lahan, infrastruktur, teknologi, kontinuitas, dan produksi yang relatif rendah dari petani lokal menjadi ladang subur bagi rentenir dan pengepul untuk meraup keuntungan. Otonomi pangan dengan cakupan pemasaran yang relatif sempit (dalam satu kabupaten/kota atau provinsi) dapat memperpendek rantai tersebut. Ketiga, menggerakkan dan memperkukuh perekonomian lokal. Harga yang terjangkau karena rantai perdagangan pendek akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada gilirannya memperkukuh stabilitas perekonomian nasional. Keempat, memperkuat kelembagaan masyarakat. Teritori yang sempit dan kedekatan masyarakat menjadi modal sosial yang baik untuk perkembangan kelembagaan masyarakat, seperti kelembagaan petani, nelayan, buruh, dan pedagang. Masyarakat yang terlembagakan dengan baik dapat menjalankan fungsi controlling dan supporting terhadap sistem ketahanan pangan.
Sistem ketahanan pangan yang didesentralisasikan ke seluruh daerah otonom meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dibarengi pula dengan desentralisasi 85 persen anggaran Kementerian Pertanian ke daerah-daerah otonom, dan sisanya untuk operasional pemerintah pusat. Peranan pusat hanya membuat kebijakan-kebijakan strategis dan bersifat normatif, sedangkan implikasi teknis dilapangan diserahkan ke pemerintah daerah otonom. Hal ini karena daerah sebagai basis keberadaan masyarakat yang berdinamika secara terus-menerus tentunya harus memikirkan secara lokal ketahanan pangan rakyatnya, sehingga rakyat tidak sulit mendapatkan pangan untuk menyambung hidupnya yang selalu berdinamika.
Otonomi daerah telah memberikan keleluasaan dalam menetapkan prioritas pembangunan masing-masing daerah, terutama pembangunan ketahanan pangan. Namun sejumlah permasalahan masih dihadapi oleh daerah otonom untuk ketahanan pangan, antara lain: Pertama, kurangnya pemahaman daerah terhadap pentingnya ketahanan pangan. Dampaknya kebijakan pangan bukan merupakan kebijakan yang perlu mendapatkan prioritas. Daerah lebih mementingkan kebijakan untuk meningkatkan PAD-nya daripada kebijakan ketahanan pangan. Hal ini disebabkan oleh peningkatan PAD merupakan salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah di samping peningkatan PDRD. Tetapi tanpa disadari ancaman bahaya gizi buruk dan kelaparan setiap saat dapat dialami masyarakat.
Kedua, kekurangpahaman daerah dalam menatalaksanakan peruntukan lahannya. Transformasi perekonomian nasional dari agraris menuju keunggulan industri manufaktur membutuhkan lahan untuk sektor industri yang sangat banyak. Hal ini diimbangi oleh giatnya daerah dalam berkampanye untuk menarik investor. Penatalaksanaan lahan yang kurang tepat akan berdampak terhadap semakin berkurangnya lahan-lahan produktif untuk pertanian, sehingga lahan pertanian semakin terpinggirkan dan menempati lahan-lahan marginal.
Ketiga, kondisi obyektif di masing-masing daerah menunjukkan bahwa tidak semua daerah mempunyai lahan yang cocok untuk kegiatan pertanian. Sehingga pada daerah yang tidak mempunyai lahan yang cocok harus melakukan intensifikasi pertanian dan melakukan pembelian produk pangan melalui perdagangan antar daerah.
Dengan demikian Pemerintah Daerah (Pemda) harus membuat program pengelolaan pangan melalui keunggulan komoditas untuk membentengi kerawanan dan kelangkaan menuju kemandirian pangan, adapun strategi/langkah Pemda antara lain:[7]
Pertama, Ekstensifikasi lahan pertanian. Ekstensifikasi lahan pertanian ditujukan untuk memperluas lahan produksi pertanian, sehingga produksi pangan secara nasional yang sekarang dapat ditingkatkan. Ekstensifikasi dilakukan terutama untuk padi, kedelai, gula dan garam karena rasio impor terhadap produksi sangat besar. Lahan yang diperluas diperuntukkan bagi petani miskin dan tunakisma (< 0.1 Ha), tetapi memiliki keahlian/pengalaman bertani. Lahan kering yang potensial seluas 31 juta Ha dapat dimanfaatkan menjadi lahan usahatani. Sekarang ini baru 4 juta Ha lahan kering yang telah dibuka untuk area tanaman pangan dan perkebunan yang telah dibagikan kepada lebih dari 1 juta keluarga petani. Perluasan dilakukan di propinsi yang luas dan kaya seperti Kalimantan, Jambi, Irian Jaya dan Sumatra Selatan. Koordinator program ini adalah Kementerian Pertanian didukung oleh kementerian terkait serta Pemda.
Kedua, Intensifikasi. Program ini diarahkan untuk peningkatan produksi melalui peningkatan produktifitas pertanian. Intensifikasi ditujukan pada lahan-lahan pertanian subur dan produktif yang sudah merupakan daerah lumbung pangan seperti Kerawang, Subang dan daerah pantura lainya di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan propinsi lainnya. Penekanan program ini pada peningkatan pertanaman (dari 1 menjadi 2, dari 2 kali menjadi 3 kali ) dan ketepatan masa tanam didukung oleh adanya peralatan pertanian, kebutuhan air (jaringan irigasi baru), pupuk dan benih serta pengendalian hama penyakit terpadu.
Ketiga, Diversifikasi. Kegiatan diversifikasi ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan pokok alternatif selain beras, penurunan konsumsi beras dan peningkatan konsumsi pangan pokok alternatif yang berimbang dan bergizi serta berbasis pada pangan lokal. Diversifikasi dilakukan dengan mempercepat implementasi teknologi pasca panen dan pengolahan pangan lokal yang telah diteliti ke dalam industri. Dukungan sektor alat dan mesin dan kredit menjadi penting pada saat transformasi dari skala laboratorium menjadi skala industri agar proses produksi berjalan efisien.
Keempat, Revitalisasi Industri Pasca Panen dan Pengolahan Pangan. Revitalisasi/ restrukturisasi industri pasca panen dan pengolahan pangan diarahkan pada 1) penekanan kehilangan hasil dan penurunan mutu karena teknologi penanganan pasca panen yang kurang baik, 2) pencegahan bahan baku dari kerusakan dan 3) pengolahan bahan baku menjadi bahan setengah jadi dan produk pangan. Kegiatan yang dilakukan adalah implementasi alat mesin dan teknologi pasca panen yang efektif dan efisien ; perontokan dan pengeringan pada tingkat petani, pengumpul, KUD dan usaha jasa pelayanan alsin pasca panen di sentra produksi (beras, kedelai). Produktifitas industri gula ditingkatkan dengan modernisasi alat dan mesin pengolahan gula.
Industri pangan non beras di sentra produksi didorong pengembangannya untuk mengolah bahan mentah menjadi bahan baku dan bahan baku menjadi produk pangan. Dengan demikian, industrialisasi dan agroindustri pangan akan berkembang dan tumbuh di pedesaan. Program ini akan berdampak luas kepada penyediaan lapangan kerja dan penurunan laju urbanisasi. Jenis industri pengolahan pangan yang dikembangkan disesuaikan dengan potensi bahan baku dan adanya pasar.
Kelima, Revitalisasi dan Restrukturisasi Kelembagaan Pangan. Keberadaan, peran dan fungsi lembaga pangan seperti kelompok tani, UKM, Koperasi perlu direvitalisasi dan restrukturisasi untuk mendukung pembangunan kemandirian pangan. Kemitraan antara lembaga perlu didorong untuk tumbuhnya usaha dalam bidang pangan. Alokasi dana untuk kegiatan ini berupa koordinasi antar kementerian/Lembaga dan instansi untuk melahirkan kebijakan baru untuk kelembagaan pangan. Kebutuhan dana dibebankan pada anggaran masing-masing kementerian/lembaga.
Keenam, Kebijakan Makro. Kebijakan dalam bidang pangan perlu ditelaah dan dikaji kembali khususnya yang mendorong tercapainya ketahanan pangan dalam waktu 1-5 tahun. Beberapa hal yang perlu dikaji seperti pajak produk pangan, retribusi, tarif bea masuk, iklim investasi, dan penggunaan produksi dalam negeri serta kredit usaha. Koordinator program ini adalah Kementerian Keuangan dibantu oleh kementerian terkait dan Pemda. Masukan dapat diperluas dari swasta, lembaga petani dan koperasi. Alokasi dana diperlukan untuk rapat koordinasi dan penyusunan kebijakan antar instansi.
Kemandirian pangan daerah melalui keunggulan komoditas sangat bersifat spesifik. Hal itu karena kemampuan dan ketersediaan sumberdaya yang berbeda di setiap daerah. Kebijakan sentralisasi komoditas menyebabkan permasalahan ekologis, sosial-ekonomi, dan cultural shock di tingkat daerah. Keragaman daerah melahirkan perbedaan karakteristik dan besaran persoalan pangan yang ada. Oleh karena itu, Pemerintah daerah perlu diberi kewenangan untuk menentukan komoditas unggulan daerahnya. Desentralisasi komoditas memiliki tiga kelebihan. Pertama, terkait dengan akseptabilitas masyarakat. Komoditas pangan daerah tidak lahir begitu saja. Itu merupakan sebuah konsensus masyarakat yang telah terbangun sejak lama. Modal sosial seperti ini akan membentengi pasar-pasar lokal dari serbuan pangan impor.
Kedua, kelestarian ekologis. Pihak yang pertama dirugikan kerusakan ekologi adalah masyarakat yang mendiami daerah tersebut. Dalam dinamika dan perkembangan interaksinya dengan lingkungan, manusia menemukan tata cara yang tepat untuk memproduksi pangan di suatu daerah. Oleh karena itu, produksi pangan dengan kearifan lokal daerah lebih menjaga kelestarian ekologis.
Ketiga, komoditas pangan unggulan daerah menjadi aset suatu daerah. Saat ini komoditas pangan adalah komoditas ekonomi. Pangan unggulan daerah dapat menjadi sarana promosi dan pariwisata yang dapat meningkatkan pendapatan daerah.
Otonomi pangan dan desentralisasi komoditas dengan perangkat kewenangan secara otonom akan mampu menjamin ketersediaan pangan suatu daerah. Perangkat kelembagaan masyarakat juga efektif dalam mengawasi kelestarian lingkungan. Jika sewaktu-waktu terjadi krisis pangan, pemerintah daerah dapat memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan infrastruktur untuk mengatasi krisis tersebut secepat mungkin.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pemerintah pusat antara lain pengawasan terhadap harga pangan pokok. Ketersediaan sumber daya, bencana, serangan hama, yang dapat menyebabkan disparitas harga pangan antardaerah, yang jika dibiarkan akan mengganggu ketersediaan pangan.
3. Hubungan Ketahanan Nasional (Tannas) dengan Kemandirian Pangan melalui Keunggulan Komoditas Daerah.
Ketahanan nasional (Tannas) merupakan kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara, serta perjuangan mencapai tujuan nasionalnya.
Dengan pengertian tersebut, maka hubungan Tannas dengan kemandirian pangan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Artinya, sangat mustahil apabila Tannas bisa tercapai tanpa dibarengi dengan ketahanan dan kemandirian pangan. Begitu juga dengan pembangunan ketahanan pangan tidak dapat dilepaskan dari otonomi daerah (Otda). Kedua hal ini sangat diperlukan untuk menunjang keberadaan pangan sampai ketingkat rumah tangga masyarakat. Dalam era Otda peranan daerah otonom sangat penting untuk meningkatkan stok pangan lokal dan cukup bagi seluruh rakyatnya. Jika daerah tersebut merupakan daerah miskin maka tugas bupati atau walikota setempatlah yang harus bertanggung jawab mengatasi dan mencarikan jalan keluarnya.[8]
Perkembangan globalisasi dan perdagangan bebas yang melanda Indonesia telah menjadikan Indonesia sebagai pangsa pasar (konsumen) yang besar. Masuknya berbagai macam bahan pangan impor dan terus menjadikan bahan pangan lokal menjadi tersingkir. Memang sangat ironis, bahkan saat ini bukan hanya beras impor, tetapi hamper semua komoditas pangan telah masuk ke Indonesia. Dalam perspektif Tannas, hal ini mengindikasikan rapuhnya kemandirian pangan nasional.
Bahan pangan secara strategis merupakan salah satu isu dalam segmen ketahanan negara karena merupakan hal vital yang sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, ketersediaan dan keterjangkauannya harus menjadi perhatian serius pemerintah. Sektor pertanian terutama subsektor pangan, harus mendapat perhatian besar. Sebab, subsektor inilah yang akan menyuplai kebutuhan makanan pokok bagi seluruh rakyat Indonesia. Bisa dikatakan, pembangunan subsektor pangan, merupakan fondasi bagi tegaknya kembali perekonomian nasional. Jika kebutuhan pangannya bisa dipenuhi, tentu saja banyak yang bisa dilakukan oleh rakyat Indonesia, pada setiap bidang kehidupan yang ditekuninya. Kegagalan dalam menyediakan kebutuhan pangan, bisa menyebabkan guncangan hebat yang menggoyahkan stabilitas nasional, rapuhnya ketahanan nasional.
Kebijakan pemerintah yang menitikberatkan pemberian insentif harga berupa subsidi input dan dukungan harga bukanlah kebijakan yang efektif, efisien dan berkelanjutan untuk mendorong pertumbuhan sektor pertanian, apalagi memacu pembangunan pedesaan. Kunci untuk memacu pertumbuhan sektor pertanian dan pedesaan ialah peningkatan kapasitas produksi dan produktivitas melalui investasi, inovasi teknologi dan kelembagaan, dan perbaikan infrastruktur.
Kebijakan ketahanan pangan merupakan bagian integral-sinergis dari kebijakan untuk meraih pertumbuhan tinggi dan pengentasan kemiskinan. Dengan begitu, dilema kebijakan yang menjadi ciri umum kebijakan ketahanan pangan dapat dihindarkan. Strategi ini menuntut kemampuan untuk melakukan revitalisasi pertanian dengan program komoditas unggul daerah. Pada intinya, strategi ini konsisten dengan pelaksanaan Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan saat ini.
4. Kesimpulan
Ketahanan Nasional (Tannas) merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan dan dijalankan oleh setiap Negara. Maka dari itu Tannas dapat dikatakan sebagai konsepsi pengaturan dan penyelenggaraan pemerintahan negara melalui pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan pendekatan keamanan (security approach) untuk mewujudkan kemandirian pangan.
Secara struktur/kelembagaan, dalam rangka pengembangan cadangan pangan pemerintah diusulkan pembagian peran antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat tetap mengelola cadangan pangan beras, sedangkan pemerintah daerah mengelola cadangan pangan non beras sesuai dengan karakteristik dan potensi daerah setempat.
Diperlukan pula pembagian peran di mana pemerintah pusat mengelola stok operasi, stok penyangga dan pipe line stock, sedangkan pemerintah daerah mengelola reserve stock yang diperuntukkan untuk keperluan darurat seperti bencana alam, dan konflik sosial yang tidak bersifat nasional. Usul lainnya adalah dilakukan pendekatan terdesentralisasi (bukan terpusat) dalam mekanisme penyaluran stok beras untuk keadaan darurat. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi melalui pengurangan koordinasi, pemotongan jalur birokrasi, pendistribusian tugas dan wewenang, dan sekaligus pendistribusian beban biaya di antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Dalam rangka meningkatkan ketersediaan pangan dan kemandirian pangan di Indonesia, maka pemerintah perlu mengkaji ulang pencapaian dari kebijakan mengenai ketersediaan pangan yang sudah ada serta mengatasi permasalahan yang ada, melalui peningkatan produksi komoditas unggul setiap daerah. Sehingga perekonomian masyarakat Indonesia menjadi meningkat dan keragaman pangan yang saling menunjang antar daerah, serta lebih mandiri atau tidak bergantung pada impor dan menjadi negera yang berdaulat.
Pemerintah pusat harus serius untuk membentengi gejala kerawanan pangan dengan memotivasi pemerintah daerah agar dapat menghasilkan pangan guna menyumbang ketahanan dan kemandirian pangan secara nasional. Melalui pemahanan Tannas lewat aparatur pemerintah sebagai stockholder agar dapat membentengi pangan-pangan impor yang bebas masuk ke Indonesia yang dapat mengganggu produksi pangan lokal.
Daftar Pustaka
Anonim, Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Jakarta: Kantor Menteri Negara Pangan RI, 1996.
Anonim, Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, 2000.
Adjid, D.A. Membangun Pertanian Modern. Jakarta: Pengembangan Sinar Tani, 1998.
Alimoeso, S. 2008. Ketahanan pangan nasional: Antara harapan dan kenyataan. Makalah disampaikan pada Pameran Agrinex di Jakarta, Maret 2008.
Badan Pusat Statistik (BPS). Statistik Pertanian. 2008.
Chalid, Pheni. Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik. Jakarta, Kemitraan Partneship, 2005.
Food and Agriculture Organization (FAO). Trade Reform and Food Security: Conceptualizing the Linkages. Rome: FAO, 2003.
Haris, Syamsuddin, et al. Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta, LIPI Press, 2004.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015. Jakarta : Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas, 2011.
Kementerian Pertanian. Rencana strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Jakarta: Kementerian Pertanian, 2010.
Lawang, R.M.Z. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik. Jakarta: UI Press, 2005.
Melkote, R.S. Everett M Rogers and his contribution to the field of communication and social change in developing countries. 2007.
Nainggolan, K. Perberasan Sebagai Bagian Dari Ketahanan Nasional di Bidang Pangan. 2007.
Sen, A. Food and Freedom. World Development. 1987
Simatupang, P. 1999. Toward Sustainable Food Security: The World to a New Paradigm. In Simatupang, P.; Pasaribu, S.; Bakri, S.; and Stinger, B. (eds.). “Indonesia Economic Crisis: Effects on Agriculture and Policy Responses.” CASER-CIES University of Adelaide, Australia. P.141- 167.
Siswono Yudo Husodo. Kemandirian di Bidang Pangan, Kebutuhan Negara Kita. Semarang: Gramedia, 2001.
Suryana, Ahmad. “Kebijakan Nasional Pemantapan Ketahanan Pangan,” Makalah pada Seminar Nasional Teknologi Pangan, Semarang, 9-10 Oktober 2001
Timmer, C.P. 1997. Farmers and Markets: The Political Economy of New Paradigms. American Journal of Agricultural Economics 79(2):621-627.
[1] Erlangga Djumena, “ADB: 2012 Pertumbuhan Indonesia 6,4 Persen.” Kompas, (diakses, 11 April, 2012, 13:52 WIB)
[2] Lembaga Ketahanan Nasional, Ketahanan Nasional, (Jakarta: Kerjasama Balai Pustaka dan Lemhannas, 1995), 26.
[3] Undang-undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Ketahanan Pangan.
[4] Rama Prihandana, Energi Hijau, (Depok: Penebar Swadaya, 2008), 75.
[5] Indra J. Piliang (ed), Otonomi Daerah Evaluasi & Proyeksi. (Jakarta: Divisi Kajian Demokrasi Lokal, 2003), 138.
[6] Ibid, 176
[7] Lihat pula Pheni Chalid, Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik. (Jakarta: Kemitraan Partneship, 2005), 41.
[8] Syamsuddin Haris, Desentralisasi dan Otonomi Daerah. (Jakarta, LIPI Press, 2004), 66.