Korporasi Hak Cipta
Oleh Widyopramono
PERKEMBANGAN korporasi sebagai lembaga bisnis ternyata makin menguat seiring dengan kemajuan dan penemuan iptek. Kedudukannya sebagai kekuatan di luar jangkauan pengaturan negara, membuat korporasi ingin menguasai atau memonopoli semua kehidupan ekonomi, tanpa kendali pemerintah. Kondisi ini, menurut Mohammad Mustofa, membuat bisnis korporasi berisiko merugikan kepentingan publik, yang sering disebut sebagai kejahatan korporasi (corporate crime).
Pengertian korporasi sebagai subjek hukum pidana dimulai sejak 1951, dengan pengundangan UU Darurat Nomor 17 Tahun 1951 (UU Penimbunan Barang-barang), diikuti pemberlakuan UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi).
Adapun UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, mengatur keterkaitan korporasi atau badan hukum sebagai pelaku tindak pidana hak cipta, sebagaimana bunyi Pasal 46. Penetapan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana hak cipta merupakan langkah maju karena Auteurswet 1912 belum mengaturnya.
Pelbagai permasalahan yang timbul terkait dengan pertanggungjawaban korporasi yang melakukan crime for corporation sejatinya karena dihapusnya Pasal 46 UU Hak Cipta Nomor 6 Tahun 1982. Realitas itu karena perkembangan iptek, yang secara otomatis menghadirkan ilmu dunia dengan teknologi digital dan segala aspeknya. Kemajuan teknologi internet merupakan salah satu bukti perkembangan teknologi digital itu.
Realitasnya, produk-produk yang dilindungi hak cipta pun seringkali direproduksi dan didistribusikan secara ilegal, baik oleh individu (perorangan) maupun korporasi sebagai badan hukum. Perbanyakan tanpa hak atas suatu karya intelektual (piracy) itu memiliki makna the unauthorized and illegal reproduction or distribution of material protected by copyright, patent or trademark law.
Kemajuan Indonesia
Karena itu, International Intellectual Property Alliance (IIPA) merekomendasikan kepada Departemen Perdagangan Amerika Serikat (United State Trade Representative/ USTR) dan World Intellectual Property Organization (WIPO) pada periode 2001 sampai 2005 untuk memasukkan Indonesia dalam peringkat priority watch list.
Tapi pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) bersinergi dengan pemangku kepentingan untuk menanggulangi pelanggaran hak-hak itu, sebagaimana tercermin dalam Keppres Nomor 4 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran HKI.
Akhirnya, USTR memberi penilaian positif karena Indonesia dipandang kooperatif, bahkan menunjukkan kemajuan berarti untuk memperkuat sistem HKI. Sebagai apresiasi, sejak 6 November 2006 mereka memperbaiki status Indonesia dari priority watch list menjadi watch list.
Terkait dengan penegakan hukum di bidang hak cipta melalui penerapan sanksi pidana untuk pelaku tindak pidana hak cipta, khususnya mengenai perbanyakan tanpa hak atas suatu karya cipta, kita bisa melihat data Mabes Polri tahun 2007. Data itu menyebutkan ada 415 tersangka tindak pidana hak cipta cakram optik yang telah diproses. Mereka bisa diklasifikasikan menjadi dua, yaitu 371 distributor (toko atau pedagang eceran) dan 44 lainnya produsen (pabrik/ home industri).
Data itu sekaligus memperlihatkan bahwa sebagian besar tersangka/ terdakwa adalah pedagang kecil/ eceran, sedangkan pedagang kelas menengah ke atas hampir tidak tersentuh. Terlebih untuk tindak pidana hak cipta yang melibatkan korporasi, baik nasional maupun multinasional, yang penindakannya nyaris tidak terdengar.
Terkait gugatan perdata dalam kasus tindak pidana hak cipta, yang melibatkan korporasi, kita bisa melihat gugatan Microsoft Corporation melawan perusahaan pedagang komputer PT Panca Putra Komputindo, HJ Computer, HM Computer, dan Altec Computer yang kasusnya disidangkan di PN Jakarta Pusat, sedangkan yang melawan PT Kusuma Megah Jayasakti (Professional Computer) disidangkan di PN Jakarta Barat.
Langkah perdata Microsoft Corporation itu merupakan upaya mengembalikan kerugian atas perbuatan korporasi lain. Adapun langkah pidananya, berdasarkan Pasal 72 Ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang transkripnya berbunyi,’’ Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer…’’ dipandang tidak menguntungkan. Pasalnya, regulasi itu hanya bertujuan memidana pelaku tindak pidana hak cipta yaitu pengurus korporasi, sedangkan masalah kerugian material, kecil kemungkinan dikembalikan.
Tidak terakomodasinya badan hukum sebagai subjek tindak pidana hak cipta dalam kaitannya dengan UU Hak Cipta, utamanya Pasal 72 Ayat (3) membuat tidak dapat diterapkan terhadap suatu badan hukum, seperti PT Kusuma Megah Jaya Sakti, yang telah melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu sengaja memperbanyak tanpa hak atas karya cipta yang dilindungi hak cipta.
Prinsip Pertanggungjawaban
Tingginya angka tindak pidana hak cipta yang menggunakan sarana teknologi digital mengindikasikan bahwa penerapan UU Hak Cipta sama sekali belum menyentuh jantung kesejahteraan rakyat sebagai suatu kebijakan. Hukum sebagai salah satu sarana pembaruan dan pembangunan masyarakat, sebagaimana dikatakan Mochtar Kusumaatmadja belum klop.
Padahal penerapan konsepsi hukum sebagai sarana pembaruan dan pembangunan masyarakat dalam suatu politik hukum Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu bagian integral dari politik sosial, yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial.
Politik hukum perundang-undangan hak cipta, di samping dipengaruhi oleh faktor dasar dan corak politik, tingkat perkembangan masyarakat , serta susunan masyarakat, juga terkait dengan pengaruh global. Dalam konteks global, politik hukum tidak semata-mata melindungi kepentingan nasional, tetapi juga harus melindungi kepentingan lintas negara. Politik hukum mengenai hak cipta, tidak terlepas dari kepentingan hak-hak itu yang dimiliki oleh orang-orang asing, sebagaimana dikatakan Bagir Manan.
Secara aplikatif penegakan hukum hak cipta dilakukan dengan menggunakan sarana tuntutan perdata dan/ atau tuntutan pidana, sebagaimana tercermin dalam Pasal 66 UU Nomor 19 Tahun 2002 yang menegaskan hak untuk mengajukan gugatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55. Adapun Pasal 65 menyebutkan bahwa upaya itu tidak mengurangi hak negara untuk melakukan tuntutan terhadap tindak pidana hak cipta.
Fakta penindakan terhadap tindak pidana hak cipta belum menyentuh pelaku kelas menengah ke atas atau pelaku korporasi mengindikasikan bahwa kebijakan formulasi peraturan perundang-undangan hak cipta belum menjadi produk hukum yang bisa memenuhi kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat.
Terhadap hal ini Jaksa Agung Basrief Arief menyatakan bahwa perspektif masyarakat diharapkan akan terbuka dalam menelisik apa dan siapa yang seharusnya yang bertanggung jawab dalam tindak pidana hak cipta. Terlebih selama ini ada kesan upaya-upaya yang dilakukan hanya bisa menangkap “ikan teri”, sementara “ikan pausnya” masih bebas berkeliaran.
Namun Basrief Arief melihat buku Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Hak Cipta karya Widyopramono dapat menjadi terobosan terhadap penerapan teori pertanggungjawaban pidana korporasi terkait konstruksi yuridis korporasi sebagai subjek tindak pidana hak cipta. (10)
— Dr Widyopramono, Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Unpad, peserta angkatan ke-48 Lemhannas (/)