MENATA KEMBALI HUKUM ADAT DAN KELEMBAGAAN ADAT UNTUK KEDAMAIAN DAN KEHARMONISAN HIDUP DALAM MASYARAKAT

Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara

 

MENATA KEMBALI HUKUM ADAT DAN  KELEMBAGAAN ADAT UNTUK KEDAMAIAN DAN KEHARMONISAN HIDUP DALAM MASYARAKAT[1]

Oleh   : M.J. Saptenno.

 

A.PENGANTAR

Dinamika masyarakat menuju masyarakat modern telah mengikis dan menyingkirkan nilai nilai dasar  yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat, sehingga menimbulkan ketidak pastian dan ketidak seimbangan dalam masyarakat.

Banyak diantara anggota masyarakat termasuk para para pemimpin dalam pemerintahan, yang mengakui bahwa ia adalah anak adat yang hidup dalam masyarakat adat, namun kurang  mengetahui dan memahami secara baik dan  benar, hukum adat, adat istiadat dan kelembagaan adat tersebut.

Hubungan hubungan yang terbangun dapat dicermati dari aspek genealogis ( keturunan ) dan teritorial ( wilayah  ) persekutuan  hidup bersama. Hal itu terjadi  melalui  hubungan perkawinan, kesepakatan atau perjanjian ( Pela dan Gandong ), hubungan  pertemanan atau kolega, dan sebagainya,  yang selalu menghiasi dinamika hidup dalam masyarakat yang plural. Hubungan ini  merupakan sesuatu yang dinamis dan sangat membanggakan, sebab dibangun  berdasarkan kesepakatan dan  komitmen yang kuat berdasarkan nilai nilai luhur.

Penghancuran terhadap nilai nilai dan aturan hukum yang terdapat dalam dinamika kehidupan masyarakat adat, sebenarnya merupakan penghancuran terhadap nilai nilai peradaban, dimana orang akan kehilangan pegangan dalam membangun suasana kehidupan yang aman dan damai.

Hukum adat  merupakan hukum yang hidup,  karena  hukum adat berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat.  Hukum adat di  Maluku lebih khusus di Pulau Ambon dan Maluku Tengah,  akhir akhir ini semakin luntur eksistensinya.  Fungsi dan perannya semakin pudar akibat dari kurang adanya kepedulian  msyarakat adat, untuk memelihara dan mempertahankan serta melestarikannya,  sebagai bagian dari kehidupan bersama.

 

B.BEBERAPA KONSEP

Istilah atau terminologi tertentu  patut dipahami secara baik, agar tidak keliru dalam implementasinya.  Untuk itu  perlu dijelaskan beberapa konsep sebagai berikut :

Hukum adat adalah aturan aturan hukum yang sebagian besar sifatnya tidak tertulis, yang dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama dan masyarakat tunduk dan patuh terhadapnya. Kesepakatan kesepakatan yang terjadi dalam masyarakat adat didasarkan pada dinamika dan kepentingan serta kebutuhan  masyarakat, sehingga hukum adat sering disebut hukum yang hidup ( living law ).  Aturan  hukum adat, sebenarnya  mengandung nilai nilai filosofis yang tinggi dan norma norma di dalamnya, mampu menata kehidupan masyarakat adat secara baik dan teratur. Hukum adat memiliki nilai nilai kemanfaatan yang selalu dirasakan oleh masyarakat adat  sebagai pendukungnya, sehingga  dijadikan sebagai rujukan dalam menyelesaikan berbagai masalah atau kasus, yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.  

Kelembagaan adat, mengandung makna yang luas,  baik menyangkut institusi adat maupun nilai nilai, asas atau prinsip maupun norma norma yang hidup dan berkembang  dalam masyarakat.  Sebagai contoh nilai nilai Ke Tuhanan, kebersamaan, persatuan, non diskriminasi dan sebagainya terdapat dalam kelembagaan adat. Prinsip musyawarah mufakat, demokrasi, keadilan dan sebagainya, semuanya  terdapat dalam kelembagaan adat.  Norma norma yang  disepakati misalnya jangan mencuri, jangan merusak lingkungan hidup,  dan sebagainya, telah disepakati sejak dahulu dan menjadi pedoman dalam berperilaku.

Kearifan lokal,  sebenarnya terkait dengan  daya cipta masyarakat adat berdasarkan potensi yang dimiliki, dalam mengelola berbagai sumberdaya yang tersedia secara bijaksana, sehingga bermanfaat bagi kehidupan bersama dan berkelanjutan.  Contoh  Hukum Sasi merupakan suatu kearifan lokal di Maluku , ternyata mengandung nilai, asas dan norma yang mampu menata kehidupan masyarakat adat dimasa lalu. Salah satu aspek yang menonjol adalah lingkungan hidup terjaga dan terpelihara dengan baik demi kepentingan  hidup bersama secara berkelanjutan.  

Nilai adalah ukuran ukuran  yang  mengandung makna atau arti tertentu,  untuk   dijadikan sebagai patokan atau acuan  dalam pergaulan masyarakat.

Asas atau prinsip adalah landasan pembentukan norma.  Asas atau prinsip merupakan batu uji kritis terhadap norma.

Norma atau kaidah  adalah  pedoman untuk bertingkah laku yang baik. Norma terdiri dari ;  norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan,  dan norma hukum. Dari norma norma tersebut yang memiliki sanksi atau hukuman yang kuat dan tegas hanya norma hukumm, sedangkan norma yang lain, sanksinya lebih bersifat moral.  Contoh sanksi hukum ketika orang membunuh maka harus dihukum berat dengan cara memasukan pelaku atau terpidana tersebut  ke dalam Lembaga Pemasyarakatan untuk dibina. Khusus untuk norma agama,  baik di dalam Al Qur’an maupun Alkitab,  selalu diajarkan  agar para pengikutnya jangan menyembah patung atau berhala.  Dalam kenyatan ada yang menymbah maka  tidak ada sanksi secara langsung dan tegas. Begitu pula dengan  norma kesopanan dan kesusilaan, ketika bertemu dengan seorang yang lebih tua dan tidak memberikan hormat atau sapaan tertentu, maka tidak ada sanksinya,  namun secara etika dan moral ternyata perilaku yang demikian,  telah melanggar norma kesopanan atau sopan santun.

 

C.PENTINGNYA MENATA KEMBALI HUKUM ADAT DAN KELEMBAGAAN ADAT

Kekacauan atau konflik yang sering terjadi dalam masyarakat, sebanarnya merupakan hal yang selalu saja terjadi. Faktor faktor yang mempengaruhinya dapat dikaji dari berbagai sudut pandang keilmuan.  Pemicu atau penyebab  bersumber pada individu, keluarga, kelompok atau organisasi masyarakat, yang kurang taat pada aturan hukum, nilai nilai dan prinsip dalam kehidupan masyarakat yang sudah disepakati untuk dilaksanakan atau ditegakan.

Hukum adat dan kelembagaan adat sebagai penopangnya, selalu mencerminkan nuansa kehidupan yang harmonis. Masyarakat selalu didorong untuk tunduk dan patuh terhadap ketentuan atau aturan tersebut walaupun banyak diantaranya tidak tertulis.  Ketaatan atau kepatuhan terhadap aturan hukum adat, didasarkan pada kesadaran bersama bahwa terdapat suatu kekuatan yang mampu mengatur dan mengikat masyarakat, karena memiliki nilai nilai kemanfaatan bagi kehidupan masyarakat. 

Masyarakat yang dinamis selalu dihadapkan pada berbagai kebutuhan hidup, sehingga kecendrungan untuk melanggar kesepakatan kesepakatan tersebut terbuka luas. Untuk itu aturan hukum adat disepakati agar tercipta suatu suasana kehidupan masyarakat yang aman dan damai. Persoalan yang muncul saat ini adalah  sebagian besar masyarakat adat terutama generasi muda, kurang memahami adat istiadat dan hukum adat serta pranata atau kelembagaan adat tersebut. Akibatnya  implementasi dari berbagai ketentuan atau aturan hukum adat menjadi rancu atau tidak dipraktekan secara baik dan benar, sesuai makna yang terkandung di dalamnya.

Hal ini sebenarnya merupakan salah satu penyebab terjadinya konflik dalam masyarakat adat. Dikatakan demikian karena masyarakat adat selalu saja mengakui eksistensinya tetapi  dalam kenyataan   sulit untuk mempraktekan hukum adat secara murni.

Tidak dapat disangkal bahwa era globalisasi juga memberikan andil yang besar dalam mempengaruhi perilaku masyarakat terutama masyarakat adat. Teknologi infromasi yang canggih, dan sudah merambah masuk dalam ruang ruang privat,  dan pasti berdampak bagi perilaku individu maupn kelompok masyarakat. Pola makan, cara berpakaian, pola pergaulan anak muda, kebanyakan meniru budaya masyarakat modern.  Saat ini kita hampir tidak mengenal atau jarang  mendengar istilah istikah seperti ;  tabea, malam bae, lesa, tapalang ,dulang om, uwa, mui, wate,  dan sebagainya. Yang ada hanyalah istilah istilah asing yang selalu menjadi dasar dalam membangun  pegaulan. Hal itu terjadi karena proses transformasi yang lemah dan tidak berlangsung secara teratur dan berkesinambungan.

Politik hukum nasional juga belum sepenuhnya mengakomodir hukum adat dan pranata pendukungnya. Pada hal Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ( UUD NRI 1945 )  secara tegas dalam  Pasal 18 B ayat 2,  menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan satuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan  sesuai dengan perkembangan masyarakat  dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia   yang diatur dalam Undang Undang.

Pemerintah menghapus peradilan adat, dan hal ini  merupakan  salah penyebab   menumpuknya berbagai kasus di Mahkamah Agung.   Dari aspek politik  ternyata belum ada suatu kebijakan yang terfokus untuk menggali  dan menata kembali ekksistensi hukum adat dan pranatanya untuk dijadikan sebagai icon bagi pembangunan bangsa dan negara. Pada  beberapa daerah atau Provinsi tertentu seperti Bali, Yokyakarta dan Sumatera Barat, ternyata adat istiadat dan hukum adat,  masih sangat kuat dalam mempengaruhi perilaku masyarakat termasuk sistem pemerintahan daerah.

Jika  adat istiadat dan hukum adat mulai berantakan maka langkah langkah yang harus dilakukan adalah menjadikannya sebagai instrumen penting dalam menata seluruh kehidupan masyarakat termasuk sistem pemerintahan daerah pada semua tingkatan, sehingga adat istiadat dan hukum adat memiliki tempat berpijak yang kuat dan jelas . Serentak dengan itu menjadi icon dan simbol simbol kebesaran suatu masyarakat yang mengklaim diri sebagai masyarakat adat.

Akar permasalahan yang  mendasar adalah komitmen masyarakat adat untuk menjadikan adat istiadat dan hukum adat sebagai bagian dari kehidupan masyarakat yang memiliki nilai nilai yang sangat menadsar dan penting untuk dijadikan sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Jika sudah ada  komitmen yang kuat maka harus dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen, sehingga terjaga, terpelihara, dan bermakna atau bermanfaat bagi kehidupan bersama sebagai masyarakat adat yang cinta damai serta hidup dalam susasana saling menghargai dan menghormati.

Hukum adat dan adat istiadat sebenarnya merupakan salah satu instrumen penting dalam membangun masyarakat yang aman dan damai. Hal itu bisa terlaksana dengan baik jika ada kesadaran dan komitmen yang kuat dari pendukungnya. Jika  tidak maka hukum adat dan istiadat hanya menjadi simbol simbol yang dianggungkan namun tidak bermakna  atau bermanfaat bagi masyarakat adat.

Solusi yang  dapat dikemukakan adalah menggali dan mengkaji serta memelihara kembali yang tersisa ( Piara Tuer ) eksistensi hukum adat dan adat istiadat yang memiliki niliai nilai filosofis berdasarkan kondisi faktual masyarakat adat  dan  menjadikannya landasan  yang kuat bagi kehidupan bersama sebagai masyarakat adat.

Dengan demikian seluruh kelembagaan atau pranata adat harus dibangun dan diluruskan melalui berbagai pendekatan yang sifatnya holistik dengan tetap berpegang pada prinsip kebersamaan dalam kepelbagaian menuju cita cita yang diinginkan yakni kedamaian abadi tanpa intervensi politik atau kepentingan lain  dari pihak manapun juga.  Masyarakat adat  Maluku harus bangkit dan berdiri sejajar dengan komunitas masyarakat lain di Nusantara berdasarkan jati dirinya sebagai orang Maluku yang cinta damai dan berdiri di atas nilai nilai dan komitmen yang kuat bagi pembangunan bangsa dan negara yang maju dan mandiri.

 

D.PENUTUP

Demikianlah beberapa pokok pikiran yang dapat disampaikan sebagai bahan untuk didiskusikan  dalam   seminar ini. Semoga bermanfaat.   

 


[1] Makalah ini disampaikan  pada seminar tentang ;  Revitalisasi Nilai Nilai Budaya Lokal Sebagai Alat Perekat Dalam Masyarakat,  yang  diselenggarakan oleh  Dewan Pimpinan Pusat Komite Independen Regional Pemuda Maluku,  pada hari Jumat tanggal 21 Desember 2012 di STAIN  Kebun Cengkih Ambon.

 

Tinggalkan Balasan