MENGUAK PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMILU LEGISLATIF 2009

Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara

 

MENGUAK PARTISIPASI MASYARAKAT

DALAM PEMILU LEGISLATIF 2009

Ronald Z. Titahelu[1]

 

Pendahuluan

Pemilu anggota legislatif 2009 berlangsung 9 April 2009 lalu. Namun pesta demokrasi tersebut menyisakan banyak masalah, khususnya masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang terjadi hampir merata di tanah air. Pemegang kartu tanda penduduk yang terdaftar sebagai penduduk,  kehilangan hak pilih karena nama mereka tak tertera dalam DPT. Karena berkeinginan menyalurkan hak politiknya, walau mereka tidak memperoleh Surat Pemberitahuan Waktu dan Tempat Pemungutan Suara, tetapi mereka tetap mendatangi tempat pemungutan suara sambil membawa bukti-bukti identitas kependudukan. Namun keinginan mereka tetap tidak terlayani karena aturan melarang mereka yang namanya tidak terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. Mereka dapat ditandai sebagai warga Negara Indonesia yang mau menggunakan hak pilihnya, bahkan mereka dapat juga ditandai sebagai orang-orang yang tidak berkehendak dimasukkan ke dalam kategori golongan putih (golput). Bukankah hal ini dapat dinyatakan perbuatan yang mematikan sebagian hak politik seseorang atau sekelompok orang? Masalah tersebut menjadi lebih menarik lagi karena terjadi peristiwa tertukarnya kertas-kertas suara dari satu daerah pemilihan, ke daerah pemilihan lain. Sejalan dengan pertanyaan di atas, apak kejadian ini dapat juga dipandang sebagai bentuk dari kematian hak politik?

 

 

Hak Memilih Berada Dalam Ranah Hukum 

Masalah di atas tidak dapat dikatakan sebagai suatu masalah adminstrasi semata-mata. Masalah menyelenggarakan pemilihan umum sehingga hak memilih dapat terlaksana dengan baik, adalah pokok yang berada dalam ranah hukum. Hal ini disebabkan oleh karena hak itu telah dijamin secara konstitusional. Disadari atau tidak, kejadian ini memperlihatkan bahwa keadaan berhak dari sebagian besar penduduk Indonesia yang berhak memilih, telah menjadi hilang. Dapat dibayangkan berapa banyak penduduk Indonesia yang tidak dapat menjalankan hak politiknya yang merupakan salah satu hak dari Hak-hak Asasi Manusia.  

Selain itu keadaan tidak memilih juga menjadi bagian dari ranah hukum. Di lain pihak undang-undang menetapkan bahwa anggota Tentara Nasional  Indonesia maupun anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia justru diwajibkan tidak boleh memilih. Jadi, hukum menetapkan siapa-siapa yang boleh memilih dan siapa-siapa yang tidak boleh memilih. 

Hak Memilih dan Hak Asasi Manusia

Menjadi pertanyaan, apakah kesediaan Negara Indonesia untuk mengembangkan Hak Asasi Manusia antara lain melalui penyelenggaraan pemilihan umum anggota legislatif seperti ini, hanya sekedar sesuatu yang dipandang biasa saja secara administratif, dan tidak  memperhitungkan sedemikian rupa bahwa penyelenggaraan yang dianggap biasa-biasa  saja itu, justru menciderai perlindungan terhadap terlaksananya Hak Asasi Manusia di bidang politik?

Kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui partisipasinya di dalam menjalankan tata pemerintahan yang baik (good governance) pada saat memilih siapa yang menjadi wakilnya di badan legislatif, dan juga diikuti dengan memilih siapa yang akan memerintah, menjadikan hak untuk memilih sebagai bagian di dalam konsep sistem politik yang komprehensif. Kehilangan hak untuk memilih berarti pincangnya sistem politik yang komprehensif tersebut.

Memang diakui adanya keterlibatan positif masyarakat menjelang diselenggarakannya proses pemilihan umum, yang dilakukan melalui pembuatan Rancangan Undang-undang tentang Pemilihan Umum, kemudian menjadi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, sampai dengan pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dimana peran serta masyarakat ditampilkan melalui tanggapan secara intensif terhadap calon-calon anggota KPU. Demikian juga peranserta masyarakat ditampakkan pada pemilihan anggota Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU), maupun terhadap calon-calon anggota Panitia Pengawas Pemilu (PANWASLU) tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Bahkan peran-peran masyarakatpun tampak pada pencalonan anggota-anggota legislatif, baik di DPR-RI maupun di DPRD-DPRD tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, dan jga tampak pada calon-calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Warga Tidak Menggunakan Hak Pilih Secara Aktif

Namun sebaliknya, ada kenyataan yang memprihatinkan yang muncul pada waktu Pemilihan Umum tanggal 9 April 2009 lalu. Tingkat partisipasi politik masyarakat tampaknya mengalami penurunan ,jika dibandingkan dengan Pemilihan Kepala Daerah, baik untuk pemilihan bupati maupun untuk pemilihan gubernur. Hal ini tergambar lewat jumlah atau persentase warga yang tidak menggunakan hak pilihnya yaitu mereka yang sama sekali tidak pergi ke Tempat Pemungutan Suara, yang jumlahnya cukup besar bila dibandingkan dengan pelaksanaan Pemilihan Umum waktu-waktu sebelumnya.  Terjadinya penurunan   tingkat partisipasi  politik masyarakat   pada pemilu legislatif  yang dilaksanakan  pada  9 April 2009  lalu dapat terjadi karena beberapa hal:

(1)               Lemahnya kontrol terhadap Daftar Pemilih Sementara (DPS) maupun Daftar Pemilih Tetap (DPT). Artinya, pada waktu itu terdapat anggapan bahwa nama-nama dalam DPS maupun kemudian menjadi DPT merupakan nama-nama yang sudah valid sehingga tidak memerlukan kontrol ulang. Walaupun nama-nama ganda sudah banyak dikurangi, sebagai hasil dari pengalaman Pemilihan Gubernur di Provinsi Jawa Timur, dan kemudian berdasar temuan-temuan beberapa Partai Politik di beberapa daerah, akan tetapi ternyata masih juga dijumpai adanya masyarakat yang namanya tidak terdaftar sehingga tidak dapat mengikuti pemilihan umum legislatif.

(2)               Anggota masyarakat yang tidak mengikuti Pemilihan Umum anggota legislatif, memiliki alasan sendiri-sendiri untuk tidak memilih karena:

a.         masuk dalam kategori golput.

b.         bingung hendak memilih siapa, karena calon anggota legislatif yang dilihat melalui iklan kampanye, tidak dikenal oleh pemilih; atau

c.         bingung karena terdapat citra negatif  terhadap calon anggota legislatif yang dikenal, tetapi tidak mengenal figur  calon anggota legislatif lain yang benar-benar dapat menyuarakan kepentingan rakyat.

(3)   Anggota masyarakat tidak dapat mengikuti Pemilihan Umum anggota legislatif, oleh karena secara tiba-tiba harus meninggalkan tempat tinggalnya karena alasan tugas, keperluan keluarga mendesak atau karena alasan lain.   

(4)   Ada pendapat lain yang menyebutkan alasan kejenuhan warga melakukan pemilihan, karena dekatnya jarak antara pemilihan kepala daerah (bupati/walikota maupun gubernur) dengan Pemilihan Umum anggota legislatif.

Alasan yang disebut kedua bagian b dan c, memang menarik perhatian untuk dicermati. Pada tingkat pilihan terhadap DPRD kabupaten/kota, pilihan masyarakat atas calon anggota legislatif mana yang hendak dicontreng, tampaknya bukan lagi berorientasi pada partai politik yang dikendarai calon, akan tetapi lebih bertitik berat pada figur pribadi yang dikenal. Jika masyarakat memiliki citra positif terhadap pribadi yang dikenal baik, langsung atau tidak langsung, dan figur tersebut pernah tidak mengecewakan masyarakat, maka dapat diperhitungkan bahwa dukungan besar terhadap dirinya akan dapat diperoleh. Sebaliknya, jika masyarakat memiliki citra negative terhadap pribadi yang dikenalnya dengan baik, juga langsung atau tidak langsung, maka calon tersebut sulit memperoleh dukungan dari masyarakat. Kurangnya dukungan sedemikian tergambarkan pada penarikan kembali sumbangan-sumbangan dari calon anggota legislatif kepada komunitas yang diharapkan mendukungnya, ketika ia tidak memperoleh suara seperti yang diharapkan.

Tanda Masyarakat Semakin Cerdas.

Saya mengidentifikasi, bahwa masyarakat yang menggunakan hak pilihnya secara aktif, justru semakin cerdas. Hal ini tergambar pada perhatian masyarakat yang berpartisipasi aktif dalam memilih calon anggota legislatif DPRD tingkat provinsi maupun DPR RI, yang bervariasi antara pilihan karena mengenal figur yang akan dicontreng, atau sama sekali tidak mengenal. Dalam hal pengenalan akan figur yang akan dipilih, maka faktor citra terhadap calon akan sangat mempengaruhi. Dalam hal tidak mengenal figur yang akan dipilih, tampaknya faktor citra terhadap partai yang akan mengedepan. Sesuatu hal  yang diketahui terjadi selama berlangsungnya Pemilu legislatif 9 April 2009 lalu yakni adanya beberapa pemilih yang telah membekali diri dengan catatan di tangan tentang partai apa dan siapa yang akan dipilihnya. Adanya catatan dikarenakan adanya kesepakatan di antara suami isteri ataupun di kalangan keluarga, bahkan di kalangan kelompok komunitas tertentu.

Hal-hal di atas memperlihatkan adanya kecerdasan masyarakat dalam ikut serta dalam Pemilu legislatif 9 April 2009 lalu. Artinya, ada kecerdasan untuk memilih atau tidak memilih. Juga ada kecerdasan untuk memilih siapa yang akan dipilih. Jika terdapat keragu-raguan terhadap figur  siapa yang akan dipilih, maka pilihan akan bergeser pada partai.

Masalah tidak menggunakan hak pilih secara aktif, adalah juga suatu cara penggunaan hak pilih tetapi yang dilakukan secara pasif. Kebebasan mengeluarkan pendapat sebagai salah satu hak dari Hak Asasi Manusia, mencakup juga hak untuk menilai calon-calon dan juga menilai partai-partai. Pada taraf tertentu terdapat kesadaran politik masyarakar bahwa pemilihan calon-calon figur ataupun partai tidak akan banyak berdampak positif pada apa yang dikehendaki mereka, yang mungkin dilakukan oleh figur maupun partai yang tidak disukai.

Hal ini berbeda dari sementara pendapat yang disebutkan dalam butir ke-4 di atas, yaitu soal kejenuhan masyarakat. Masyarakat dapat dikatakan bukan lalai tetapi justru menolak hak untuk memilih. Dalam alam demokratis, setiap orang berhak mengeluarkan pendapat, demikian juga setiap orang juga mempunyai hak untuk tidak mengeluarkan pendapat. Setiap orang berhak untuk berada dalam perserikatan, demikian juga sebaliknya orang berhak untuk tidak berada dalam perserikatan. Walau demikian, orang yang tidak berada dalam perserikatan tidak dapat dikatakan sebagai seseorang yang buruk. Demikian juga dengan orang yang tidak menggunakan hak pilihnya.

Dalam alam demokratis juga senantiasa dikumandangkan dorongan untuk menggunakan hak pilih, dan mengambil bagian dalam proses demokrasi. Persoalannya adalah apakah turut mengambil bagian dalam pemilihan umum dengan cara memilih mempunyai arti yang sama dengan hak pilih? Hak adalah kemauan dan kemampuan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang tidak dilarang oleh hukum. Jadi hak pilih dapat dimaksudkan sebagai kemauan dan kemampuan untuk memilih atau tidak memilih, yang tidak dilarang oleh hukum. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu tidak mencantumkan ketentuan yang melarang orang tidak memilih, atau mencantumkan ketentuan bahwa setiap orang harus memilih. Selain itu juga ada anggota masyarakat memiliki pendapat bahwa politik bukan sesuatu yang diminati olehnya. Oleh karena itu jika politik bukan sesuatu yang menarik bagi mereka, maka dapat diartikan bahwa memang benar politik bukan sesuatu yang harus diperhatikan. Akan tetapi dalam keadaan dimana orang tidak memilih karena tidak respek terhadap figur ataupun terhadap partai, maka dapat dikatakan bahwa keadaan ini memperlihatkan sikap abstain. Artinya, ada kesadaran politik tertentu pada diri seseorang atau sekelompok orang sehingga secara pasti ia menentukan sikap politiknya untuk tidak memilih.

Abstain Merupakan Penggunaan Hak Pilih Aktif

Pengujian terhadap sikap tidak memilih seperti dikemukakan di atas, perlu dilakukan dengan mempertanyakan apakah sikap politik untuk tidak memilih yang dilakukan dalam keadaan abstain adalah bentuk dari kebebasan yang dibenarkan? Apakah dalam suasana bebas, hak memilih mengimplikasikan juga hak untuk tidak memilih? Apa arti dari peranserta aktif pemilih? Apakah yang merupakan inti dari dijalankannya hak memilih aktif dalam pemilihan umum?

Jawaban-jawaban atas pertanyaan sedemikian akan sangat beragam. Namun dapat diperkirakan bahwa praktek mencontreng lebih dari satu nama, dapat dianggap sebagai penggunaan hak untuk memilih tetapi tidak ada yang hendak dipilih, atau sama sekali tidak mencontreng dalam surat suara. Kedua keadaan tersebut dapat saja diidentifikasikan sebagai abstain. Pelaku-pelaku yang melakukan sikap abstain, dapar saja memberi alasan rasional mengapa mereka bertindak sedemikian. Walau bersikap abstain, mereka tetap menggunakan haknya untuk turut memilih.

Pendapat Ahli Tentang Ketidaksetujuan Tidak Menggunakan Hak Pilih Secara Aktif

Terhadap perbuatan tidak ikut serta dalam proses pemilihan, menurut beberapa ahli seperti Leather Hardy[2], dianggap sebagai akibat adanya kesalahan tentang dua hal yaitu

(1)     Kesalahan memberi arti akan kemerdekaan;

(2)     Kesalahan dalam menilai makna sesungguhnya dari partisipasi aktif pemilih,

yang mengakibatkan seolah-olah ada pembenaran terhadap keadaan tidak memilih (pasif). Dalam suasana bebas, maka yang dimaksudkan dengan hak memilih adalah menjalankan peran serta memilih secara aktif, walaupun kemudian melakukan sikap abstain.

Hak Pilih Dan Menetukan Pilihan

Timbul pertanyaan, mengapa dapat terjadi hal sedemikian?  Bukankah hal sedemikian dapat saja terjadi dimana-mana? Melihat pada Negara Perancis dan juga di Amerika Serikat, dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut. Dalam Declaration of the Rights of Man and of Citizen dikemukakan “Le but de toute association politique est la conservation des droits naturels et imprescriptibles de l’homme. Ces droits sont la liberté, la propriété, la sûreté et la résistance à l’oppression.[3], yang diartikan oleh Christopher W. Morris bahwa  The end of any political association is the conservation of the natural and imprescriptible rights of man. These rights are liberty, property, security, and resistance to oppression.[4] Oleh karena itu perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan hak-hak warga, termasuk hak atas kesejahteraan, merupakan kewajibabn Negara; ini yang merupakan prasyarat bagi adanya pemimpin Negara yang dianggap patut dan layak serta mampu melaksanakan perlindungan hak-hak asasi manusia dan warganya.

Bagi Negara Indonesia, Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 secara umum memuat kandungan hak-hak yang dapat dipandang sebagai hak-hak asasi manusia yang diyakini merupakan anugerah Tuhan dan tidak dapat dicabut, berupa hak atas kemerdekaan, hak menentukan nasib sendiri, hak atas kehidupan sejahtera, dan hak untuk diperlakukan sama dan sebagainya. Begitu juga terhadap hak atas kemerdekaan, hak untuk bebas dari kemiskinan, hak untuk cerdas, hak untuk tidak ditindas, serta berbagai hak dari hak-hak asasi manusia.

Keadaan ini mengartikan bahwa Negara yang dibangun di atas kemerdekaan Bangsa Indonesia memiliki peran utama melindungi hak-hak yang dianugerahkan Tuhan dan yang tidak dapat diasingkan dari manusia bahkan tidak dapat diasingkan dari warganya sendiri. Jika ada anggota masyarakat yang melihat bahwa Negara yang akan digerakkan oleh pemerintah ataupun yang mewakili rakyat di parlemen, terdiri dari calon-calon yang dianggap tidak layak dan tidak efektif, maka  hak-hak asasi manusia dari warganya tidak akan terjamin. Dalam keadaan demikian, warga memiliki otoritas untuk menilai seberapa jauh hak-hak asasinya dapat dijamin oleh calon-calon yang memimpin negaranya ataupun calon-calon yang akan berfungsi mewakili warganya benar-benar menjalankan perannya sebagai pembawa suara maupun aspirasi mendasar dari warganya. 

Warga yang menyetujui sesuatu akan bertindak sesuai dengan apa yang disetukjuinya. Artinya, jika warga pemilih menyetujui siapa yang akan dipilihnya, maka warga tersebut akan bertindak untuk memilih siapa yang disetujuinya. Suatu sikap ‘setuju’ terwujud dalam perbuatan. Suatu sikap setujupun, lahir dari pemikiran yang diperoleh dari pengalaman.

Misalnya, pengalaman demi pengalaman yang berjalan selama ini memperlihatkan banyaknya korupsi yang mengakibatkan hilangnya hak-hak asasi manusia untuk memperoleh keadilan maupun kesejahteraan. Akibat korupsi, masyarakat kehilangan akses atas setiap hal yang memungkinkannya berkembang, maju dan sejahtera. Akibat lebih lanjut, masyarakat benar-benar kehilangan kepercayaan terhadap siapa yang akan memimpin Negara ini.

Adakah Harapan?

Namun demikian, masih terdapat secercah harapan.  Walau ditemukan bahwa jumlah mereka yang disebut sebagai golput ditambah dengan mereka yang bersikap abstain cukup tinggi dibanding perolehan suara partai, namun  angka partisipan yang menentukan pilihannya pada calon anggota legislatif, tetap masih dianggap signifikan dalam Pemilu Caleg 2009 lalu. Hasl ini  mengindikasikan bahwa masih terdapat harapan yang diletakkan pada anggota-anggota legislatif, baik di pusat maupun di daerah-daerah, yang juga didasarkan pada pengalaman-pengalaman ‘menyenangkan’ yang dialaminya.  Jadi, akan tampak lebih jelas bahwa jika terdapat orang yang merupakan calon pemimpin yang diharapkan atau diperkirakan  dapat mewujudkan secara eksplisit ataupun implisit apa yang menjadi kehendak warga, maka keadaan itu menjadi dasar harapan bagi adanya orang yang akan memerintah secara layak dan adil.

Sikap setuju terhadap seseorang, yang ditampakkan dalam memilih seseorang atau partai dalam sebuah Pemilihan Umum, tidak dapat diartikan sama dengan kesepakatan. Sikap setuju adalah sikap yang berhubungan dengan adanya keyakinan. Keyakinan terhadap sesuatu, berarti ada nilai tinggi yang diberikan kepada sesuatu itu. Jadi, sikap setuju, berjalan bersama dengan keyakinan, dan keyakinan memiliki hubungan dengan nilai.     

 

Penutup

Sebagai penutup dapat disimpulkan sebagai berikut.

(1)     bahwa gejala keikutsertaan aktif masyarakat dengan menggunakanb hak pilihnya, dibandingkan dengan masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya secara aktif, perlu dicermati dengan seksama jika penyelenggareaan Pemilu dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang benar-benar demokratis.

(2)     Penggunaan hak pilih secara aktif dapat diterima sebagai ketentuan umum. Akan tetapi sebaliknya, penggunaan sikap abstain, dan juga tidak menggunakan hak pilih aktif, perlu dikaji lebih dari berbagai aspek.

(3)     Citra calon pemimpin masa depan maupun citra partai perlu dibangun sejak dini di atas prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, dan yang secara khusus sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

——————————————————————

   

 

 

 


[1]Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon

[2] Oxford Journal of Legal Studies 2004 24(2):303-321; doi:10.1093/ojls/24.2.303

[3]Déclaration des Droits de L’Homme et du Citoyen, art. 2 (August 1789).

[4] “Natural Rights and Political Legitimacy”, University of Maryland , 2005, Social Philosophy & Policy Foundation,   hal. 314 

 

Tinggalkan Balasan