PENERAPAN ASAS PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN OLEH KPK DALAM KASUS KORUPSI

Hukum Pidana

PENERAPAN  ASAS PEMBALIKAN BEBAN

PEMBUKTIAN OLEH KPK DALAM  

 KASUS KORUPSI.

 

 

BAB  I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Kebijakan legislasi di Indonesia megenai pembalikan beban pembuktian mengunakan UU No. 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 sebagai referensi utama dan berhubungan dengan peraturan perungdang-undangan lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Berbagai macam bentuk aturan tentang korupsi telah dibuat dan diberlakukan yakni mulai dari peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM/06/1957 tanggal 9 April 1957, Nomor Prt/PM/03/1957 tanggal 27 Mei 1957 dan Nomor Prt/PM/03/1957 tanggal 1 Juli 1957, UU No.24 Prp. Tahun 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, sampai UU No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kebijakan legislasi pembalikan beban pembuktian mulai terdapat dalam UU No. 24 tahun 1960 tentang pengusutan. Penuntutan, dan pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 5 ayat (1)  menyebutkan :

Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta  bendanya dan harta benda Istri/suami dan anak dan harta benda sesuatu badan hukum yang diurusnya apabila diminta oleh jaksa”.

 

  Subtansi pasal ini mewajibkan tersangka memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya apabila diminta oleh jaksa. Konsekuensinya tanpa ada permintaan daru jaksa tersangka tidak mempunyai kesempatan untuk memberikan keterangan tentang seluruh harta bendannya.

Politik hukum Indonesia mengenai pembalikan beban pembuktian tatap diatur dalam UU No.31 tahun 1999, jo UU No. 20 tahun 2001. Ketentuan pasal 37 berbunyi sebagai berikut :

(1). Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindakan pidana korupsi.

(2). Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

 

Bahwa persoalan korupsi di Indonesia tidaklah sekedar diamati dari  sudut  subtansial perundang-undang saja, tetapi juga berkaitan dengan sistem, khusus sistem hukum pidana karena korupsi itu telah merusak sistem (destruktur to the system).

Pendekatan sistem dalam memberantas tindak pidana  korupsi merupakan alur amperatif khususnya dalam hal kita memandang perbuatan korupsi adalah polimik kelembagaan, selain membicarakan pendekatan subtansi terhadap materi perundang-undangan. Sebagai institusi penegak hukum dalam sistem ketatanegaraan yang baru, KPK memiliki sarana dan prasarana hukum dengan tingkat kewenangan sangat luar biasa atau extra ordinary power yang tidak dimiliki oleh instansi lainnya.

Karena itu wajar apabila masyarakat memiliki harapan berlebihan searah dengan kewenangan yang luar biasa tersebut. Dengan  extra ordinary power yang dimiliki KPK, diharapkan pula segala bentuk, cara, dan aplikasi korupsi dapat dijadikan suatu bahagian tatanan pemberantasan korupsi.

Tantangan  ke depan bagi  KPK lebih kepada persoalan kelembagaan, atau korupsi kelembagaan. Korupsi kelembagaan ini berkaitan dan selalu berkaitan dengan masalah kebijakan, baik yang dimanfaatkan oleh aparatur negara maupun minimnya pemahaman penegakan hukum antara makna penyalagunaan wewenang dalam erea hukum Administrasi Negara dan Hukum Pidana. Tentunya korupsi kelembagaan tidak diartikan  sebagai suatu justifikasi lembaga terhadap perbuatan korupsi dari aparaturnya.

Korupsi kelembagaan merupakan hasil stigmatisasi individu atau kelompok terhadap kelembagaan maupun perilaku korupsi sebagai akibat penyimpangan norma legislasi dari aparatur negara. Dan semuanya ini menimbulkan lebelisasi “korupsi kelembagaan”. Korupsi sudah menyebar dan merata dikalangan pemerintah, kenegaraan, maupun disektor swasta. Bahkan korupsi sudah dianggap sebagai bagian hidup dari bangsa ini1.

Memang polemik kekuasaan dan korupsi sudah menjadi pasangan langgeng dalam suatu birokrasi seperti yang kita dengar akhir-akhir ini. Bahwa pada saat ini ada tred baru berupa Crimes by Government dalam arti ekstensif, suatu kejahatan yang melibatkan pejabat publik sebagai karakteristik dari White Coller Crime yang sangat sulit tingkat pembuktiannya.  

Selanjutnya penerapan asas Pembalikan Beban Pembuktian (Reversal Burden of Proof atau omkering van het Bewijslast) pada umumnya berlaku pada negara-negara Anglo-Saxon bila diterapkan di Indonesia asas tersebut akan bertentangan dengan hukum cara yang berlaku, merupakan penyimpangan terhadap asas umum Hukum Pidana  yang menyatakan siapa yang menuntut, dialah yang harus membuktikan kebenaran tuntutannya. Dalam hal “Pembalikan Beban Pembuktian “ terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Jika kemudian ia tidak dapat membuktikan maka ia dianggap bersalah.   

 

B.     Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas maka yang mejadi permasalah untuk di bahas adalah :

Apakah penerapan asas Pembalikan Beban Pembuktian terhadap tindak pidana korupsi yang dilaksanakan oleh KPK  tidak bertentangan dengan hukum acara yang berlaku ?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan Umum :         

Adapun yang menjadi tujuan umum dalam penelitian ini untuk mengetahui dan memahami praktik terhadap penerapan asas Pembalikan Beban Pembuktian terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia.

b. Tujuan Khusus :

1.        Bagi kalangan praktisi untuk menambah kasana di bidang hukum pidana khususnya dalam hal menanggulangi kajahatan di bidang korupsi.

2.       Tentu saja sebagai sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan sistim peradilan pidana di Indonesia kedepan nantinya karena tidak luput dari perkembangan globalisasi.

 

D.      Landasan Teoritis.

Bahwa untuk mengkaji permasalahan hukum secara mendalam diperlukan teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, devenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena  sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep2. Suatu teori pada hekekatnya merupakan hubungan antara  dua fakta atau lebih atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati serta dapat diuji kebenarannya dan oleh sebab itu dalam bentuk paling sederhanan suatu teori merupakan hubungan antara dua variable yang telah diuji kebenarannya.3

Dengan demikian berdasarkan apa yang telah dipaparkan dia atas maka sebagai dasar di gunakan beberapa teori, konsep, devenisi serta asas-asas sebagai berikut :  Hukum yang ada dan berlaku dalam setiap kegiatan masyarakat pada dasarnya adalah hukum tertulis. Tentu saja hukum yang dibuat dalam bentuk tertulis tersebut oleh Hans Kelsen dalam teorinya yang terkenal dengan nama Stufenbau Theory yang intinya mengatakan bahwa hukum itu tersusun dalam susunan yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang mulai dari yang tinggi sampai yang terendah, hukum yang lebih rendah  tingkatannya berlaku dan berdasarkan hukum yang lebih tinggi tingkatannya demikian pula hukum yang lebih tinggi tingkatannya bersumber, berlaku dan berdasarkan hukum yang tertinggi.

Menilai efektifitas hukum dalam masyarakat maka Max Weber dalam teorinya aksinya mengatakan bahwa perilaku adalah hasil suatu putusan subjektif dari pelaku atau aktor. Teori ini di kembangkan lagi oleh Talccott Parsons, yang kemudian melihat masyarakat sebagai totalitas yang mempunyai dua macam lingkungan yaitu : ultimate reality dan fisik urganik. Masyarakat mengorganisir sedemikian rupa untuk mengahadapi dua lingkungan ini ke dalam sistim ekonomi., politik, sosial budaya. Arus informasi terbesar pada sub sitem budaya semakin kecil ke sub sitem sosial politik dan terakhir pada sub sistem ekonmomi.

Sejalan dengan teori aksi tersebut Soerjono Seokanto menyatakan bahwa ada empat faktor seseorang berperilaku tertentu  : 4

1.       Memperhitungkan untung rugi,

2.       Menjaga hubungan baik dengan sesama penguasa,

3.       Sesuai dengan hati nuraninya,

4.       Adanya tekanan-tekanan tertentu

 

Kemudian terkait dengan efektifitas hukum, Eugen Ehrlich yang dikenal dengan Living law theory mengatakan bahwa : hukum posetif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat bahwa titik pusat hukum terletak pada masyarakat itu sendiri dan hukum sendiri tidak mungkin tertib, oleh karena ketertiban dalan masyarakat didasarkan pada pengakuan sosial terhadap hukum bukan bukan oleh penerapan resmi oleh negara.5

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.  Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi

Bergulirnya kekuasaan dari presiden Soeharta sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Megawati Seokarno Putri nyata tidak mengahasilkan suatu eliminasi dari perbuatan korupsi. Bahkan semakin deras saja pendapat bahwa sekarang ini dengan bergulirtnya kekuasaan semakin bergulir pula korupsi kekuasaan (power coruption). Hal ini tambah semakin buruknya sistem dalam menanggulagi korupsi. Memang secara nyata kita telah menghasilkan beberapa produk hukum guna menanggulangi permasalahan dimaksud seperti, UU No. 28 Tahun 1999. tentang Pemberantasan KKN, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Perubahan terhadap UU No 31 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupu perubahan terakhir melalui UU No. 21 Tahun 2000. tetapi ternyata semuanya belum memberikan hasil yang memuaskan bagi masyarakat. Apalagi masyarakat telah ragu dengan semangat penegakan hukum (pemberantasan korupsi) yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan tersebut, khususnya instansi kepolisian dan kejaksaan.6

Secara tidak langsung cikal bakal adanya Komisi Pemberantasan Korupsi ini berasal dari buah pikiran Prof .Andi Hamzah juga Romli Atamasasmita, kemudian ide ini di terima oleh Baharudin Lopa sewaktu belia menghendaki diterapkannya sistem pembalikan beban pembuktian tindak pidana korupsi. Dengan adanya sitem pembalikan beban pembuktian ini maka seriap gratifikasi (penyuapan) yang nilainya diatas 10 juta rupiah wajib diberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai mana di atur dalam UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi inilah yang merupakan amanat dari Pasal 12 B ayat (1) huruf a jo Pasal 12C ayat (1) UU. NO. 20 tahun 2001, dimana Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat mensahkan UU NO. 30 tahun 2002 tentang komisi Pemberantasan Korupsi pada tanggal 27 Desember 2003. Selanjutnya berdasarkan UU No 30 tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi selanjutnya di sebut KPK. Adapun asas yang dianut oleh KPK adalah kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas (Pasal 5). Adapun makna dari Pasal 5 adalah :

1.    Kepastian Hukum  adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kapatuhan, dan keadilan dalam setiap kebijakan dalam menjalankan tugas dan wewenang KPK

2.       Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminasi, tentang kinerja, KPK, dalam menjalankan tugas serta fungsinya.

3.       Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan KPK harus dipertanggung jawab kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4.       Kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejateraan umum dengan cara aspiratif, akomodatif dan selektif.

5.       Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbanagan antara tugas, wewenang, tanggung jawab dan kewajiban KPK.7   

Asas-asas dalam melaksanakan kewenangan KPK diharapkan dapat membuka mata asyarakat dalam usaha setidak-tidaknya minimalisasi perbutan korupsi. KPK sebagai  lembaga negara merupakan instansi independen yang dalam melaksanakan tugasn dan wewenang bebas dari pengaruh kekuasan manapun. Sebagai mana dimaksud dari penjelasan Pasal 3 yang dimaksud dengan “kekuasan manapun” adalah kekuasan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewengan KPK atau anggota Komosi secara individu dari eksekutif, yudikatif, legislatif, serta pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun. KPK independen ini berkedudukan di ibu kota negara RI dan mempunyai perwakilan disetiap daerah Provinsi (Pasal 19).     

Sebagaimna ditentukan dalam Pasal 12, dalam melaksanakan tugas Penyelidikan, Penyidikan, penuntutan, serta Pasal 6 huruf C, KPK berwenang  untuk :

         1.       Melakuakan penyedapan dan merekam pembicaraan,

2.       Memerintahakan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bebpergian ke luar negeri,

3.       Meminta keterangan kepada bank atau lemabaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang di periksa,

4.       Memerintahakan kepada bank atau lemabaga keuangan lainnya untuk memblokor rekening yang diduga hasil korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait,

5.        Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya,

6.       Mininta data kekayan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi terkait,

7.       Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh terswangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa,

8.       Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi lain atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri,

9.       Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait   untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani 8

Selain kewenagan tersebut ada juga kewajiban dari KPK sesuai dengan  Pasal  15 sebagai berikut :

1.        Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi,

2.       Memberikan informasi informasi terhadap msyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan indak pidana korupsi yang ditanganinya,

3.       Menyusun laoran tahunan dan menyampaikan kapada Prediden RI, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Badan Pemeriksa Keuangan,

4.       Menegakan sumpah jabatan,

5.       Menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenang berdasarkan asas-asas sebagimana dimaksud dalam pasal 5.9  

Permasalahan kewenangan dan pengalihan kewenangan akan menjadi polemik institusional yang patut menjadi erhatian kita semua. Soal kewenangan adalah masalah gensi institusional karena akan selalu erjadi pencegahan-pencegahan terhadap pengurangan kekuasan itu. Pengurangan kekuasan dapat menimbulkan sikap keliru dari instansi yang menerima pengurangan tersebut. Instansi dapat dianggap tidak mampu melaksanakan kekuasan yang diberikan, tidak cakap melaksanakan kekuasaan  bahkan dianggap tidak perna memberikan akuntabilitas memadai sesuai dengan harapan masyarakat. Apabila kewenagan ini menyangkut kekuasaan ibaratnya “ the elimination of power is a show of power”. Akibatnya yang timbul adalah arogansi institusional sekaligus egoisme struktrural sehingga akan menggangu proses integrated  criminal justice system secara komprehensif.   

 

A.     Korupsi Dan Pemikiran Antisipasi Melalui Hukum Pidana.

Artikulasi “sistem memiliki makna yang luas dan komperhensif bahkan dapat dikatakan sebagai suatu proses yang signfikan. Korupsi sudah menjadi bagian dari sistem yag ada karena suatu usaha yang maksimal bagi penegak hukum, khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan  dengan pendekatan sistem itu sendiri, atau dikelanal dengan istilah “systemic Approach”. Apa lagi bila pendekatan dilakukan atau dikaitkan  dengan perenan instutusi peradilan yang sangat menentukan sebagai salah satu institusi penegakan hukum dalam proses akhir pemberasantasan korupsi. Sangat sulit untuk menentukan arah awal dimulainya antisiapsi pemberamntasan tindak pidana korupsi.10

Kejahatan yang sudah terukur melalalui kejahatan yang terstruktur maupun kejahatn yang telah tersistematis, sangat sulit untuk menetukan makna “pemberantasan” atau “eliminasi” terhadap perbuatannya itu. Sungguh manakala kita membicarakan korupsi dalam konteks pemberantasan dan eliminasi, saat itilah dapat dilatakan korupsi sebagai suatu perbuatan yang beyond the law karena sangat sulit kadar pembuktiannya kesulitan pembultiannya disebabkkan oleh multifaktor antara lain kekuasaan serta kuatnya para economic power dimana pengaruh kekuasan ekonomi  (konglimert) dan  bureaucratic power sebagai kekuasan umum (pejabat birokrat) yang dapat dikatakan telah memposisikan mereka dalam stastus beyond the law. Akibatnya hukum sering dikatakan sebagai suatu retrorika kekuatan politik saja.. oleh karena itu premis dan logika hukum masyarakat yang menyatakan bahwa membicarakan korupsi sama halnya dengan membicarakan bergai kompleksitas penyekit yang tidak ada penyembuhan medilaknya, dapatlah dibenarkan.

Sebagai salah satu upaya melakukan antisiapasi  terhadap meluasnya penyebaran korupsi adalah melakukan maksimalisasi peraan “peradilan pidana” dalam arti luas terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan demikian tidak hanya terbatas sekedar pada institusi “ Peradilan atau Pengadilan” sebagai suatu sub sistem secara keseluruhan.

 

B.     Asas Pembalikan Beban Pembuktian dan Efektifitasnya.

Asas pembalikan beban pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada di luar kelaziman teoritis pembuktian dalam Hukum Acara pidana yang universal, baik sistem kontinental maupun Anglo-Saxon, mengenal pembuktian dengan tetap membebankan kewajibannya pada jaksa penuntut Umum. Hanya saja dalam kasus-kasus tertentu diperkenalkan penerapan dengan mekanisme yang difrensial, yaitu Sistem Pembalikan Baban Pembuktian atau dikenal dengan sebutan “Reversal of Burden Proof”. Itupun tidak dilakukan secara overoll tetapi memiliki batas-batas yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu  destruksi terhadap pelanggaran hukum yang potensial, khususnya terhadap hak-hak prinsip seorang korban, tersangka/ terdakwa, masyarakat, dan negara dalam arti luas.  

Ide penerapan asas atau Sistem Pembalikan Beban Pembuktian di Indonesia ini sebernarnya bergulir sejak ere Preseden Abdurrahman wahid sewaktu memberikan jawaban  atas Memoradum I DPR pada masa jabatannya. Mengingat tindak pidana korupsi sebagai suatu “ Extra ordinary crime” yang sulit dibuktikan tetap sebagai polemik maka sebahagian kalangan akademisi dan praktisi berpenadapat bahwa penanggangan harusnya dilakukan sedemikan rupa dan bersifat luar biasa pula. Karena itu tindak pidana korupsi selain polemik sebagai Extra ordinary crime dan seriousness crime “ juga memerlukan penanggangan yang luar biasa( Extra ordinary enforcement).

Dalam hal ini melalui pergeseran komprehensif  terhadap sistim pembuktian yang ada. Sistim pembuktian dalam dalam hukum pidana formil ini tetap menempatkan jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang wajib membuktikan suatu perbuatan yang dikatagorikan sebagai tindak pidana, maka dalam tindak pidana korupsi beban pembuktian diletakan kepada teradakwa. Dalam Undang-undang No 20 Tahun 2001 Pasal 37 disebutkan ayat (1) :

Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”

 

Selanjutnya dengan penepatan tersangka/ terdakwa untuk membuktian ada/tidaknya tindak pidana korupsi tentu saja akan lebih mudah untuk membuktikan adanya pelanggaran maupun kejahatan yang dilakukaan dengan demikian penerapan asas Pembalikan Beban Pembuktian akan lebih efektif bila dibandingkan dengan pembuktian di lakukan oleh Jaksa Penuntut Umum khusus terhadap kasus korupsi.  

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan.

KPK dengan segala kelebihan dan kekurangan telah menempatkan eksistensi sebagai salah satu instansi aparatur penagak hukum dalam konteks limitatif yaitu pemberantasan Korupsi. Perbedaan pendapat di kalangan praktisi, akademisi maupun lembaga peradilan, baik yang pro maupun kontra mengenai issu kewenangan KPK serta mengenai Pembalikan Beban Pembuktian terhadap yang di terapkan dalam hukum acara kita  haruslah dianggap sebagai demokrasi yang menghargai opini.  Akan menjadi bijak apabila KPK memahami transpnsi perbedaan bagi kebaikan institusi ini yang justru memerlukan pandangan-pandangan difrensial.

Pergeseran pembuktian dari apa yang kita anut dalam hukum acara kita tidak bertentangan karena ada aturan-aturan dalam undang-undang korupsi mengaturnya dengan jelas serta penerapannya khusus terhadap kasus kasus penyuapan (gratifikasi), dalam tindak pidana korupsi. Dengan keterlibatannya KPK sudah menunjukan eksistensi kematangan atas kewenangannya  dan dedikasinya kepada bangsa dan negara Indonesia terhadap penangganan korupsi.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 Burhan Ashofa, 2004, Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta, Jakarta, Indriyanto Seno Adji (II), 2001, Korupsi Dan Hukum Pidana, edisi Pertama, Prof Oemar Seno Adji, SH & Rekan, Jakarta,

 

Indriyanto Seno Adji, 2006, Korupsi Dan Pembalikan Beban Pembuktian, Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Indriyanto Seno Adji dan Rekan, Jakarta,

 

Penjelasan Undang-undang No. 30 Tahun 2002, Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Pasal 5

 

Soerjono Soekonto (I). 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

 

………………(II), 1988, Pokok-Pokok Sosiologi  Hukum,  PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 119

 ……………..(III), 1985, Efektifitas Hukum Dan Peranan Sanksi, Remaja Karya, Bandung,

 


1 Indriyanto Seno Adji, 2006, Korupsi Dan Pembalikan Beban Pembuktian, Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Indriyanto Seno Adji dan Rekan, Jakarta, hal 45

2 Burhan Ashofa, 2004, Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta, Jakarta, hal 19

3 Soerjono Soekonto (I). 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 30

4 Soerjono Soekonto (II), 1988, Pokok-Pokok Sosiologi  Hukum,  PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 119

5 Soerjono Soekonto (III), 1985, Efektifitas Hukum Dan Peranan Sanksi, Remaja Karya, Bandung, hal 19

6Indriyanto Seno Adji, Op Cit, hal 54  

7 Penjelasan Undang-undang No. 30 Tahun 2002, Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Pasal 5

8 Ibid Pasal 6

9 Ibid Pasal 15

10 Indriyanto Seno Adji (II), 2001, Korupsi Dan Hukum Pidana, edisi Pertama, Prof Oemar Seno Adji, SH & Rekan, Jakarta, hal 236

 

Tinggalkan Balasan