Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Hukum Pidana

 

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

o    Oleh Widyopramono

MENELISIK korporasi tindak pidana hak cipta di beberapa negara, patut menjadi perhatian bagi pejabat berwenang di Indonesia untuk kembali mengetengahkan korporasi sebagai subjek tindak pidana hak cipta. 

Sebagaimana kita ketahui, korporasi sebagai subjek tindak pidana hak cipta diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 pasal 46. Namun, selanjutnya, dalam undang-undang hak cipta berikutnya (Nomor 7 Tahun 1987, Nomor 12 Tahun 1997 dan Nomor 19 Tahun 2002), predikat korporasi sebagai subjek  tindak pidana hak cipta, tidak diakomodasi lagi.

Anehnya, dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002memuat kewenangan penyidik Polri dan PPNS terkait dugaan tindak pidana hak cipta, yaitu melakukan pemeriksaan dan meminta keterangan dari atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang hak cipta. Ketentuan ini  aneh, ketika korporasi atau badan hukum tidak ditegaskan sebagai subjek tindak pidana hak cipta, tetapi mengatur  pemeriksaan dan permintaan keterangan terhadap korporasi atau badan terkait tindak pidana hak cipta. 

Tak Terbantahkan

Keterlibatan badan hukum atau korporasi sebagai legal entity dalam tindak pidana hak cipta tidak terbantahkan. Pendapat praktisi hak cipta dan kasus-kasus tindak pidana hak cipta yang terjadi, khususnya ciptaan multimedia dengan menggunakan sarana teknologi digital, secara jelas menunjukkan adanya keterlibatan korporasi di dalamnya, misalnya korporasi yang bergerak di bidang penyiaran. 

Korporasi menyiarkan kepada masyarakat suatu acara yang berhak cipta tanpa izin pemilik atau pemegang hak siar yang berada dalam perlindungan hukum hak cipta, misalnya suatu pertandingan sepak bola. Perbuatan yang demikian  tidak mungkin hanya atas dasar keputusan kehendak operator penyiaran. Lebih dari itu, perbuatan itu pasti merupakan keputusan kehendak dari orang-orang sebagai representasi dari sebuah kebijakan korporasi.

Korporasi sebagai pelaku tindak pidana hak cipta multimedia membutuhkan suatu proses pembuktian, yang tekait erat dengan fakta yuridis dan alat bukti. Konstruksi yuridis harus dibangun, diperlukan lompatan logika untuk mengalihkan perbuatan orang per orang menjadi perbuatan korporasi. Kesalahan orang per orang menjadi kesalahan korporasi dan bagaimana penerapan sanksi pidana yang tepat bagi korporasi. Paramater tertentu harus dibuat untuk menerapkan teori pertanggungjawaban pidana korporasi. 

Dualisme

Hukum pidana Indonesia menganut paham dualisme sebagai dasar penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana. Paham tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa pidana dapat dijatuhkan kepada pelaku apabila terpenuhinya unsur kesalahan (pertanggungjawaban pelaku, kesengajaan/kealpaan dan pelaku dapat diharapkan berbuat lain dari yang dilakukan) dan unsur perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku (sesuai rumusan tindak pidana). 
Kesengajaan korporasi dalam melakukan tindak pidana hak cipta haruslah dikonstruksikan dari pembuat materiil tindak pidana yang dilakukan, bukan dari perbuatan pelaku sebagai directing mind. 

Kasus korporasi yang menjual software bajakan, misalnya, unsur kesengajaan tidak diambil dari perbuatan direktur yang memerintahkan kepada pegawai korporasi untuk menjual software bajakan. Perbuatan direktur ini merupakan perilaku fungsional yang berdasarkan teori identifikasi dijadikan syarat atau pintu  masuk agar perbuatan materiil dapat diidentikkan sebagai perbuatan korporasi. Misalnya apakah pelaku materiil secara aktif menawarkan produk software bajakan kepada pelanggan,  padahal diketahuinya produk software tersebut adalah produk bajakan. 

Praktik peradilan di Indonesia belum pernah ada satu pun korporasi yang dijatuhi pidana. Hal tersebut terjadi karena secara teknis aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam melakukan konstruksi yuridis atas berbagai rumusan normatif dalam berbagai peraturan perundangan yang telah menetapkan korporasi sebagai subjek tindak pidana, dan juga belum jelasnya tata cara penindakan korporasi sebagai subjek tindak pidana. (24)

—Dr Widyopramono, Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum. 

*  Artikel ini dipersembahkan dalam rangka Hari Bakti Adyaksa Ke-52 Tahun 2012.

Tinggalkan Balasan