POLITIK HUKUM KETETAPAN MPR NOMOR I/MPR/2003

Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara

 

POLITIK HUKUM KETETAPAN MPR NOMOR I/MPR/2003

S.E.M. Nirahua

 

Pendahuluan

Setelah berlakunya Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disebut TAP MPR) kembali diatur dan diakui sebagai jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan. Sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, TAP MPR tidak diatur dan diakui sebagai jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan. Adanya TAP MPR dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentunya menimbulkan debatabilitas di antara berbagai pakar hukum terkait dengan keberadaan TAP MPR dalam hirarki dan sumber hukum bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya.

 

MPR Pasca Perubahan UUD 1945

Dalam Perubahan Ketiga dan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUDNRI 1945), Pasal 4 mengalami perubahan terkait dengan wewenang MPR. Perubahan wewenang MPR ini terkait dengan perubahan Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1945 yang tidak lagi memposisikan MPR sebagai lembaga penjelmaan kedaulatan rakyat.

 

Perubahan wewenang MPR ini tentunya berdampak pada kedudukan MPR yang sebelumnya sebagai lembaga tertinggi negara berubah menjadi lembaga negara. Berubahnya kedudukan MPR dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara sebagai konsekuensi berubahnya wewenang MPR. Dalam kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, terkait dengan kewenangan MPR dalam menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang merupakan arah dan kebijakan negara, sedangkan kedudukan sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lain, maka MPR tidak lagi menetapkan arah dan kebijakan negara saat ini dan seterusnya. Bahkan kewenangan MPR saat ini tidak lagi menghasilkan produk hukum yang mengatur arah dan kebijakan negara.

Kedudukan MPR yang sederajat dengan lembaga negara lainnya sebagaimana diatur dalam UUDNRI 1945 merupakan pelaksanaan dari prinsip pemisahan kekuasaan dan prinsip check and balances. Pemisahan kekuasaan dan check and balances sebagai pengejewantahan kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1945 bahwa ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

 

Politik Hukum Ketetapan MPR RI

TAP MPR sebagai jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia diakui sejak tahun 1966 dengan berlakunya TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Keberadaan TAP MPR sebagai peraturan perundang-undangan diakui dari tahun 1966 hingga tahun 2004 sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan kembali diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.

 

TAP MPR sebagai jenis peraturan perundang-undangan diatur dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, TAP MPR No. III/MPR/2000 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Tidak diaturnya TAP MPR dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 didasarkan pada rasio hukum bahwa MPR telah mengeluarkan TAP MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaran Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002. Dalam Pasal 4 TAP MPR No. I/MPR/2003 menegaskan bahwa TAP MPRS dan TAP MPR tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang dan TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan termasuk dalam Pasal 4 dimaksud.

Berdasarkan Pasal 4 TAP MPR No. I/MPR/2003, kekuatan hukum TAP MPR No. III/MPR/2000 tetap berlaku hingga diterbitkannya undang-undang yang memiliki materi muatan yang sama dengan TAP MPR No. III/MPR/2000. Hadirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan yang memiliki materi muatan yang sama dengan TAP MPR No. III/MPR/2000, maka dengan sendirinya TAP MPR tersebut tidak berlaku lagi secara materiil, walaupun dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tidak pernah menyatakan mencabutnya. Hal ini semata-mata didasarkan pada pertimbangan kedudukan TAP MPR sebelumnya lebih tinggi dari undang-undang.

 

Diatur dan diakuinya TAP MPR sebagai jenis peraturan perundang-undangan yang memiliki kedudukan di bawah UUD sebagaimana diatur dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 dan TAP MPR No. III/MPR/2000 lebih didasarkan pada konvensi ketatanegaraan karena ditetapkan oleh MPR sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat yang menentukan arah dan kebijakan negara. Secara konstitusional, jenis peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UUDNRI 1945 antara lain UUD, UU, PERPU dan PP, sementara TAP MPR tidak ada dalam UUD.

 

Dalam pendekatan norma hukum yang bersifat hirarki, tentunya setiap norma bersifat bertingkat dan berjenjang dimana norma hukum yang lebih tinggi menjadi sumber bagi norma hukum dibawahnya dan sebaliknya. Tentunya dalam pendekatan norma hukum ini dikaitkan dengan kedudukan TAP MPR yang berada di bawah UUD dan di atas UU, akan memunculkan pertanyaan yuridis, apakah TAP MPR merupakan pelaksanaan dari UUD? dan apakah TAP MPR menjadi dasar pembentukan UU? Secara hukum hal ini sulit dan tidak dapat diterima dalam hirarki penormaan hukum. Bahkan TAP MPR sebagai sebuah norma yang sifatnya regeling dan berlaku umum pun masih debatabilitas, karena hakekatnya TAP MPR sebagai produk MPR seyogyanya merupakan produk hukum yang ditujukan kepada Mandataris MPR yaitu Presiden.

 

Realitas kekinian pun pertanyaan yuridis di atas masih memiliki debatabilitas, apakah TAP MPR dapat dijadikan sumber hukum bagi pembentukan undang-undang pasca pemberlakuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang kembali mengatur TAP MPR sebagai peraturan perundang-undangan dan berada di bawah UUD.

 

 

 

Sumber hukum menurut TAP MPR Nomor III/MPR/2000 adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat (1)). Tentunya untuk menganalisis dapat tidaknya TAP MPR dijadikan sumber hukum bagi pembentukan undang-undang dimulai dari TAP MPR No. I Tahun 2003. Hal ini pun sesuai dengan rasio hukum diaturnya kembali TAP MPR sebagai peraturan perundang-undangan karena masih ada TAP MPR berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I/MPR/2003 yang masih berlaku hingga saat ini. Pasal 2 TAP MPR No. I/MPR/2003, bahwa TAP MPRS dan TAP MPR dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan masing-masing dan Pasal 4 TAP MPR No. I/MPR/2003, bahwa TAP MPRS dan TAP MPR tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang.

TAP MPR sesuai Pasal 2 seperti pembubaran PKI dan pernyataan sebagai organisasi terlarang serta politik ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi seyogyanya diklasifikasikan sebagai Staatgrundgezets tetapi sulit dijadikan sumber hukum bagi pembentukan undang-undang. Hal ini didasarkan pada kondisi penyelenggaraan negara yang berbeda masanya. Apalagi dalam Pasal 4 yang sebagian besar telah diatur dengan undang-undang.

 

Olehnya itu, TAP MPR saat ini dapat dianggap sebagai norma dasar dalam penyelenggaraan negara berdasarkan TAP MPR No. I/MPR/2003 dan tetap diakui sebagai bentuk peraturan perundang-undangan yang masih berlaku sesuai dengan ketentuannya, namun tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum bagi pembentukan undang-undang.

 

Penutup

TAP MPR tetap dijadikan sebagai Staatgrundgezets (norma dasar negara) Republik Indonesia karena memiliki materi muatan yang terkait dengan kebijakan dasar penyelenggaraan negara. Olehnya itu TAP MPR tidak perlu dicantumkan dalam hirarki peraturan perundang-undangan, karena tidak kapabel dijadikan sumber hukum bagi pembentukan undang-undang.

Tinggalkan Balasan