PRINSIP-PRINSIP PENANAMAN MODAL ASING DAN IMPLEMENTASINYA PADA MASYARAKAT HUKUM ADAT

Lingkungan Hidup, Pengelolaan SDA dan Perlindungan

PRINSIP-PRINSIP PENANAMAN MODAL ASING DAN

IMPLEMENTASINYA PADA MASYARAKAT HUKUM  ADAT[1]

 

Josina A.Y. Wattimena

Pendahuluan

Dalam kehidupan manusia, hidup saling ketergantungan merupakan hal kodrati  dan tidak dapat disangkali. Kenyataan ini pun dapat ditemukan  pada kehidupan antar Negara (interaksi intarnasional)  saling mempengaruhi dan saling bergantung kepentingan  baik ekonomi, politik pertahanan dan lain sebagainya adalah sesuatu yang hakiki.

 Fakta  tersebut sangat terkait erat dengan masalah penanaman modal asing sebagai bagian dari kepentingan ekonomi internasional. Penanaman modal asing oleh suatu Negara atau beberapa Negara sangat berpengaruh terhadap  pertumbuhan ekonomi suatu Negara dan menjadi factor  penentu dari kebijakan dasar  bagi pengembangan usaha mikro, kecil maupun  menengah. Kehadiran  penanam modal  asing yang berwujud perusahaan –perusahaan multinasional,  dengan aktivitas usaha di pelbagai bidang seperti produksi dan jasa akan sangat merubah tatanan  kehidupan suatu bangsa (Negara penerima) .

Menurut An An Chandrawulan,[2] mengalirnya penanaman modal asing dalam suatu Negara (Negara penerima)  sangat berpengaruh besar terutama dalam  faktor-faktor seperti alih teknologi, ketenagakerjaan  dan pengalihan modal. Namun demikian di sisi lain Keberadaan  penanaman modal asing akan   mengalami penafsiran berbeda yaitu  yang pertama ; dapat memberikan manfaat dan keuntungan  pada Negara berkembang dan Negara terkebelakang. Salah satu di antaranya adalah peningkatan standar hidup dan tingkat kesejahteraan rakyatnya. Ke dua;  ditemukan juga implikasi negatif  yakni; termarginalnya hak-hak masyarakat adat atas sumber daya alam  beserta alam lingkungan dan  habitat hidup mereka secara turun temurun.

 Masuknya penanam modal asing ke Indonesia sangat dipengaruhi oleh berbagai factor. Faktor-faktor  tersebut antara lain ; jumlah penduduk yang tergolong besar, peluang pasar yang menguntungkan ditambah kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Hal yang disebutkan terakhir ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para penanam modal asing. Ke-semuanya ini turut dipicu  dengan terbukanya era globalisasi, yang diikuti perdagangan bebas yang membuka peluang masuknya modal asing  secara masiv.

Di banyak Negara-negara berkembang termasuk Indonesia dukungan financial untuk pembangunan diperoleh dari Bank Dunia dan penanaman modal asing[3]. Sektor-sektor penting yang dimodali dengan dana-dana asing tersebut lebih banyak berorientasi pada industri sumber daya alam. Industri sumber daya alam dianggap memegang peranan sangat penting terhadap perkembangan dan pertumbuhan ekonomi[4]. Untuk menarik minat dari penanam modal asing pada sektor tersebut, pemerintah biasanya mengeluarkan regulasi berupa peraturan perundang-undangan serta berbagai kebijakan ekonomi yang menguntungkan pihak Penanam modal asing. Bahkan pemerintah tidak segan-segan untuk mengadopsi  kebijakan regulasi dari Negara-negara lain atau organisasi internasional. Kebijakan regulasi seperti  ini menurut Hikmahanto Juwana [5] digunakan sebagai instrument untuk mencapai kepentingan secara langsung ataupun tidak langsung.  Hukum seperti ini  distigmatisasi sebagai instrument penekan, agar Negara yang ditekan mengikuti kebijakannya. Lebih lanjut dikatakan oleh Hikmahanto; bahwa hukum yang demikian menjadi instrument politik dari penguasa.[6] Akibatnya terjadi pengingkaran fakta-fakta sosial, hukum,  ekonomi, lingkungan dan  lain sebagainya . Thomas Walde menyebutkan ; jika hal ini terjadi maka  pengabaian terhadap hak-hak asasi manusia tercakup  hak-hak masyarakat adat adalah sesuatu rentan dan setiap saat dapat saja terjadi.[7].

 Secara factual Penanaman modal asing lebih banyak ditujukan pada Industry pertambangan, perminyakan dan kehutanan. Bidang-bidang sumber daya alam yang disebutkan  paling berpengaruh terhadap hak-hak masyarakat adat. Industri perminyakan, pertambangan dan kehutanan mempunyai prioritas yang lebih tinggi dan ekstensif dalam penggunaan lahan untuk pengoperasiannya. Industri-industri ini menyebabkan pengambilan kepemilikan tanah masyarakat adat, terkadang dalam skala yang sangat besar. Lahan tersebut dengan mudah diambil untuk aktivitas pertambangan, tanpa atau dengan kompensasi yang sangat kecil.[8]

Kepentingan pembangunan nasional selalu didalihkan oleh pemerintah, sehingga berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dibuat terkait masyarakat adat cenderung mengabaikan, memarginalkan, bahkan terkesan menyingkirkan posisi masyarakat adat dalam tatanan hidup berbangsa dan bernegara. Kalaupun ada pengakuan terhadap hak-hak masyarakat  melalui peraturan perundang-undangan  nasional,  dalam penerapannya sangat lemah.

Dalam membangun kesepakatan–kesepakatan antara Negara penerima dengan pihak penanam modal asing kecenderungan yang terjadi adalah bahwa kesepakatan hanya mengatur tentang perilaku atau tindakan Negara penerima kepada pihak investor (penanam modal). Dokumen kesepakatan ini hanya memfasilitasi dan memberikan hak hukum ekspansi ekonomi seperti investasi asing, tanpa ada regulasi untuk mencegah dampak negative dari aktifitas  tersebut. Oleh karena itu, disadari atau tidak implikasi penanaman modal asing terhadap  penikmatan dan kepemilikan  hak-hak masyarakat adat atas tanah, sumber daya alam, hak atas pembangunan menjadi semakin terabaikan. Oleh Nurjaya, disebut dengan “politik Pengabaian”. (political of  ignorance)

Artikel ini berusaha untuk mengkaji secara kritis prinsip-prinsip penanaman modal asing yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan No 25 Tahun 2007 dan bagaimana implementasinya dengan hak-hak masyarakat adat. Prinsip-prinsip yang dikedepankan adalah prinsip kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, efisiensi berkeadilan, kebersamaan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan.

 

 

 

Prinsip-Prinsip Penanaman Modal Asing Terkait Pengelolaan Sumber Daya Alam

Undang_Undang Penanaman Modal Asing No 25 Tahun 2007 mengedepankan sejumlah prinsip-prinsip penting yang menjadi dasar  pembentukan undang-undang tersebut. Prinsip-prinsip yang tertuang di dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2007 paling tidak menggambarkan suatu cita-cita atau harapan yang hendak diraih. Menurut Sudikno Mertokusumo prinsip hukum atau asas hukum bukan merupakan hukum konkrit melainkan pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit  yang terdapat dalam sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perudang-undangan yang merupakan citra hukum positif.[9]. Dengan demikian hendak disampaikan bahwa prinsip-prinsip yang terdapat dalam UU Penanaman Modal Asing mendeskripsikan harapan dan tujuan yang hendak dicapai melalui implementasinya kelak.

Prinsip-prinsip yang terdapat di dalam Undang-Undang Penanaman Modal Asing dapat disebut antara lain[10]

Prinsip Kepastian Hukum; adalah prinsip Negara hukum yang meletakan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal.

Prinsip Keterbukaan ; merupakan prinsip yang mengedapankan keterbukaan terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal.

Prinsip akuntabilitas; adalah prinsip yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan penaman modal harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebgai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan .

Prinsip efisiensi berkeadilan; adalah asas yang mendasari pelaksanaan penanaman modal dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif dan berdaya saing.

Prinsip  kebersamaan; adalah asas yang mendorong peran seluruh penanam modal secara bersama-sama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Prinsip berkelanjutan; merupakan prinsip yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun yang akan datang.

Prinsip berwawasan lingkungan ; merupakan prinsip penanaman modal yang dilakukan dengan memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup.

Secara substansial prinsip-prinsip penanaman modal asing yang tercantum dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2007 merupakan ekspresi dari kebijakan Negara untuk memacu  pertumbuhan ekonomi nasional, melalui eksploitasi sumber daya alam (pertambangan) yang dimilik Indonesia.  Proses pembentukan instrument hukum  nasional tidak terlepas dari kepentingan politik ekonomi global . Orientasi dari  instrument hukum tersebut diarahkan untuk memfasilitasi kepentingan para penanam modal asing, untuk mengeksplorasi dan eksploitasi sumber alam tambang.  Hak-hak masyarakat adat tidak dimasukan dalam kebijakan  hukum seperti ini.

Menjadi karakteristik dari setiap undang-undang tentang  pengelolaan sumber daya alam   selalu berciri atau menganut paradigma sentralistik, berpusat pada negara (state –based natural resource management).[11] Mengedepankan pendekatan sektoral dan mengabaikan perlindungan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam yang selama ini diakses oleh mereka.

Paradigma pengelolaan sumber daya alam tercantum dalam pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.  “Hak menguasai Negara” dapat dimaknai dari dua sudut pandang yaitu; sebagai cerminan dari implementasi nilai, norma, dan konfigurasi hukum Negara yang mengatur penguasaan Negara atas sumber daya alam. Di pihak lain mendeskripsikan otoritas dan ligitimasi Negara untuk menguasai dan memanfaatkan sumber daya alam dalam wilayah kedaulatannya[12].

Konsepsi kedaulatan Negara atas sumber daya alam sebenarnya telah diakui oleh Resolusi Majelis Umum PBB1803 (XVII)  sebagai “kedaulatan permanen terhadap sumber daya alam”. Perjuangan Negara-negara berkembang untuk memprakarsai resolusi tersebut didasarkan kepada kepentingan pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyatnya.[13]

Bagaimana dan seberapa jauh suatu Negara atau pemerintah menggunakan prinsip (kedaulatan terhadap sumber daya alam) ini, untuk mencapai manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat sangat bergantung pada “kekuatan” Negara.  Kekuatan  di sini merujuk pada system ekonomi, sumber daya alam, politik dan hukum. Aspek-aspek yang disebutkan ini sangat memberikan pengaruh yang besar terhadap keseluruhan kebijakan Negara termasuk Indonesia.

Pemaknaan kedaulatan Negara terhadap sumber daya alam dapat  diindikasikan kemampuan Negara secara external melaksanakan hubungan (bekerjasama) dengan Negara-negara lain untuk mengelola sumber daya alam Indonesia, misalnya memasukan pemodal-pemodal asing untuk kepentingan pembangunan. Kedaulatan  internal suatu Negara dijamin apabila memiliki sumber sumber hukum seperti konstitusi, peraturan perundang-undangan maupun kebiasaan-kebiasaan tidak tertulis yang dipraktekan oleh masyarakat.[14]Terkait dengan hal  ini Resolusi  M.U. 1803 juga menekankan masuknya pemodal asing harus sesuai dengan hukum dan kondisi Negara penerima.[15]

Di sini dapat dipertautkan bahwa kedaulatan Negara atas sumber daya alam  untuk kepentingan pembangunan harus dapat dihormati oleh pemodal-pemodal asing dengan tetap menghargai hukum yang berlaku di Negara tersebut. Di lain pihak bagi Negara penerima harus dapat mengatur aktivitas pemodal asing dalam yurisdiksi Negara dengan hukum nasionalnya. Implementasi hukumnya adalah sistem hukum Indonesia yang pluralistis harus tetap dihargai dan dihormati beserta hak-hak masyarakat adat yang melekat dalam pengelolaan sumber daya alam.Sementara itu jika pembentukan system hukum nasional , haruslah diutamakan prinsip-prinsip umum yang diterima bangsa-bangsa tanpa meninggalkan prinsip-prinsip hukum asli atau hukum adat yang masih berlaku dan  relevan[16] .

Masyarakat Adat  Versus Penanam Modal Asing Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Istilah masyarakat adat biasanya digunakan  untuk merujuk individu-individu dan kelompok-kelompok yang merupakan keturunan penduduk asli yang tinggal di suatu Negara. Istilah “indegeneous” (bahasa Inggeris), berasal dari bahasa latin “indegenae” ditujukan untuk membedakan  antara orang-orang yang dilahirkan di sebuah tempat dan mereka yang datang dari tempat lain.[17] . Sementara itu International Labour Convention (ILO) Nomor 169 Tahun 1969 pada pasal 1 (1b)  menyatakan yang dimaksud dengan masyarakat adat adalah masyarakat yang memiliki sisitem nilai, ideology, politik, ekonomi, budaya, sosial dan wilayah sendiri[18]

Pengakuan eksistensi masyarakat adat di Indonesia secara konstitusional tertuang dalan pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 Amademen yang berbunyi’”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional sepanjang masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.”.[19] Secara de yure keberadaan masyarakat adat diakui dan disahkan dalam pasal 28  I ayat (3) UUD 1945 yang menetapkan bahwa;” identitas budaya dan hak masyarkat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban”[20].Pengakuan Negara terhadap keberadaan masyarakat tidak hanya terhenti pada hukum dasar Negara , namun lebih lanjut telah dioperasionalkan dalam pelabagai peraturan perundang-undangan . Diantaranya UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Secara khusus termuat dalam pasal 6 yang menyebutkan;

(1)     Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan  dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum , masyarakat dan pemerintah;

(2)     Identitas budaya masyarakat hukum adat termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman.[21]

Pengakuan formal Negara melalui produk hukum bagi masyarakat adat agar supaya dianggap “ada” dalam ruang Negara,  sejatinya tidak memperlihatkan eksistensi mereka yang bersama-sama dengan komunitas -komunitas lain melakukan kontraktual politik  (dalam arti J.J.Rosseauw) dalam membentuk Negara. Dalam hal ini, dapat dikatakan,  jika tidak diakui secara hukum maka eksistensi masyarakat adat dianggap tidak ada –lenyap (excluded). Dalam konteks ini konsep kontraktual antara Negara-masyarakat telah kehilangan makna.[22] Tidaklah mengherankan ketika Negara hadir dan memberikan empat kriteria bagi eksistensi masyarakat hukum adat dalam konstitusi Negara UUD 1945.

Negara Indonesia memperlakukan masyarakat hukum adat dengan mengakui identitas yang satu dan menyingkirkan yang lain ( ambiguitas). Dalam banyak kasus, identitas yang lain itu seringkali berhubungan dengan akumulasi modal –modal asing untuk mengekploitasi sumber daya alam.[23] Masyarakat hukum  adat selalu berada dalam posisi yang lemah dalam mempertahankan hak-hak mereka di tengah-tengah kekuatan modal yang mengeksploitasi lahan dan sumber daya alam.[24] Padahal tanah, wilayah dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya sangatlah penting dan berarti bagi keberlangsungan hidup, budaya dan peradaban mereka. Tanah adalah raison d’etre bagi keseluruhan eksistensi mereka seperti kehidupan sosial, budaya, spiritual, ekonomi dan politik.

Potret keadaan masyarakat hukum adat yang terpuruk,  tersingkir, termarginalkan,di tanahnya sendiri, di tengah limpah ruahnya sumber daya alam merupakan fakta yang tak dapat disangkali. Berbagai instrument hukum yang telah mengakui hak-hak masyarakat adat seolah tak mempunyai kekuatan hukum  dan manfaat apapun berhadapan dengan para penguasa, pengusaha (baca; pemodal asing) .Lihat saja berbagai instrument hukum yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam seperti UU No 5 Tahun 1994 Keanekaragaman Hayati memuat  free  and prior informed consent, UU NO 11 tahun 1967, UU  NO 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No 12 Tahun 2005 Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (hasil ratifikasi Konvensi), UU NO 32 Tahun 2004 tentang Pemerinta Daerah .Instrumen-instrumen hukum ini lebih mengekspresikan kekuasaan pemerintah dengan model hukum yang dikembangkan lebih bercorak represif.

Implikasi dari model hukum yang bercorak represif, setiap saat tanah, wilayah, sumber daya alam dapat dirampas dengan dalih untuk kepentingan pembangunan.Sebaliknya pemerintah selalu berpihak pada kepentingan para penanam modal asing . Padahal masuknya para penanam modal asing seharusnya dapat mensejahterahkan rakyat dan memberikan peluang yang sama untuk  dapat menikmati pembangunan nasional. Daes[25] mengidentifikasikan permasalahan masyarakat adat  sehubungan dengan hak-hak atas sumber daya alam dan. Permasalahan tersebut sebagai berikut :

1.    Kegagalan atau keenganan Negara-negara untuk mengakui hak-hak masyarakat adat terhadap tanah, wilayah dan sumber daya alam

2.    Hukum dan kebijakan diskriminatif yang berdamak pada masyarakat adat dalam hubungan dengan tanah dan sumber daya alam mereka.

3.    Kegagalan dan keengganan Negara untuk memberi batas  atas tanah-tanah  adat mereka

4.    Kegagalan atau keengganan Negara-negara  untuk melaksanakan atau menerapkan hukum yang melindungi tanah masyarakat adat.

Selanjutnya, dikatakan kondisi ini terjadi hampir di seluruh Negara- Negara, di mana komunitas –komunitas masyarakat adat  itu ada dan  seolah menjadi perjuangan panjang mereka, untuk dapat tetap bertahan hidup. Peranan hukum sebagai salah satu sarana pembangunan nasional bukan hanya bertumpu pada prinsip-prinsip dan konsep-konsep hukum yang secara umum dianut oleh manusia atau yang universal,dan menguntungkan salah pihak (misalnya ;penananm modal asing) .Namun pembangunan hukum sebagai sarana meningkatkan kesejahteraan rakyat juga harus diletakan  pada prinsip-prinsip hukum asli atau nilai, norma, dan hukum tidak tertulis yang masih berlaku dan relavan dalam eksistensi masyarakat hukum adat .

Menyadari konteks masyarakat Indonesia yang pluralistis, tentunya tipe hukum yang dibutuhkan adalah tipe hukum responsive-progresif bukan lagi yang represif, yang hanya berpusat pada penguasa..[26] Seharusnya harus melihat pada setting sosial budaya, dan politik di Indonesia.  Dengan demikian hukum membuka jalan bagi disalurkannya secara aspiratif kehendak, keinginan dan kebutuhan masyarakat ke arah tujuan bersama “ kesejahteraan “.

 

Kesimpulan

Berdasarkan  uraian di atas dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut;

1.        Masuknya penanaman modal asing ke Indonesia sangat berperan besar dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Pengaturan penanaman modal asing di Indonesia  diatur berdasarkan pada UU NO 25 Tahun 2007 . Undang-undang ini memuat sejumlah prinsip yang  melatarbelakangi pembentukan norma dan kaidah yang tertuang di dalam pasal-pasal UU tersebut. UU Penanaman modal asing, maupun UU lain yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam (pertambangan) lebih menganut paradigm penguasa dengan corak hukum yang represif. Melanggengkan ancaman yang serius  terhadap masyarakat adat lewat prioritas yang berlebihan terhadap investasi.

2.        Eksistensi masyarakat hukum  adat haruslah dilihat dalam kesatuan dengan tanah, wilayah, dan sumber daya alam. Namun fakta yang dilihat bahwa keberadaan masyarakat hukum adat harus dimarginalkan bahkan disingkirkan ketika berhadapan dengan penguasa, maupun pengusaha (penanam modal asing). Dengan berbagai formulasi hukum berisi criteria bertujuan untuk membatasi ruang dan gerak mereka untuk menikmati, mengelola dan berpartispasi melalui keputusan –keputusan public terhadap seluruh eksistensi sosial, budaya,ekonomi, maupun politik.

3.        Hukum yang dijadikan sebagai instrument pembangunan dalam pencapaian tujuan kesejahteraan semestinya didasarkan kepada pluralisme hukum di Indonesia yang masih tetap terpelihara dan berlaku sampai dengan saat ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR BACAAN

An, An Chandrawulan,Peran dan Dampak Perusahaan Multnasional Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia Melalui Penanaman Modal Dan Perdagangan Internasional, Dalam Buku Penemuan Hukum Nasional Dan Internasional (Dalam Rangka Purnabakti Prof Yudha Bakti),  Penerbit, Fikahati Aneska, Bandung, 2012 .

Barber Charles V, The State, The Environment  and Development: The Gesis Transformation of Social Forestry in New Order Indonesia, Doktoral Disertation of California,  University

Berkeley, 1989, Hal 14-15. Dan Peluso Nency L, Rich Forest Poor People, Resource Control and Resistence in Java, University of California Press, Berkeley, 1992.

Bernadinus Steni, Politik Pengakuan MAsyarakat Adat Atas Tanah Dan Sumber Daya Alam; Dari Hindia Belanda hingaa Indonesia Merdeka, Yayasan Obor Indonesia ,Jakarta , 2009.

Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001.

Hikmahanto Juwana, Hukum Internasional Dalam Perspektif Indonesia Sebagai Negara Berkembang,, PT Yarsif, Watampone, Jakarta, 2010.

I Nyoman Nurjaya, Prinsip_prinsip dasar Pengelolaan Sumber Daya Alam  Dalam Perspektif Antropologi Hukum, Prestasi, Pustaka, Publisher, Jakarta, 2008.

Rahmat Syafaat dkk, Negara, Masyarakat dan Kearifan Lokal,In-TRANS Publishing Malang dan ANA Konsultan Hukum, Semarang, 2008.

Rafael Edy Bosko, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam,Penerbit ELSAM, Jakarta, 2004.

Satjipto Rahardjo, dalam buku HM Wahyudin Husen dan H. Hufron,  Hukum Politik dan Kepentingan, LAKSbANG PRESSindo, Yogyakarta, 2008.

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Suatu Pengantar,  Liberty, Jogyakarta ,2007.

Thomas Walde,”Environmental Policies Towards Minimg In Developing Countries” dalam 30 Public Land and Resources Law Digest, Vol 30 No 1 1993 .

VictoriaTauli-Corpus, “Three Years After Rio; Indegenous Assesment” dalam Indegeous Peoples, Environment and Development, IEGIA, 1977.

 


[1] Tulisan ini diterbitkan dalam sebuah buku KOMPILASI PEMIKIRAN TENTANG DINAMIKA HUKUM DALAM MASYARAKAT (Memperingati Dies Natalis ke -50 Universitas Pattimura Tahun 2013), 2013

[2] An,An Chandrawulan,Peran dan Dampak Perusahaan Multnasional Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia Melalui Penanaman Modal Dan Perdagangan Internasional, Dalam Buku Penemuan Hukum Nasional Dan Internasional (Dalam Rangka Purnabakti Prof Yudha Bakti),  Penerbit, Fikahati Aneska, Bandung, 2012 hal 18.

[3] VictoriaTauli-Corpus, “Three Years After Rio; Indegenous Assesment” dalam Indegeous Peoples, Environment and Development, IEGIA, 1977, P 45.

[4] Industri minyak dan pertambangan merupakan elemen utama dari GNP dan pendapatan eksport dalam jumlah yang signifikan di sejumlah Negara berkembang ( seperti ;Indonesia Peru, Chili, Bolivia, Nigeria, Zaire, Zambia PNG, Gabon, Kongodan lainnya)

[5] Hikmahanto Juwana, Hukum Internasional Dalam Perspektif Indonesia Sebagai Negara Berkembang,, PT Yarsif, Watampone, Jakarta, 2010, hal 26.

[6] Hikmahanto ,ibid. hal 25.

[7] Thomas Walde,”Environmental Policies Towards Minimg In Developing Countries” dalam 30 Public Land and Resources Law Digest, Vol 30 No 1 1993 p 51.

[8] Rafael Edy Bosko, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam,Penerbit ELSAM, Jakarta, 2004, hal 87.

[9]Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Suatu Pengantar, Jogyakarta, LibertY ,2007, hal 5.

[10]Dapat ditemukan dalam penjelasan pasal-pasal UU PMA NO 25 Tahun 2007. Penulis tidak mengemukakan semua prinsip-prinsip yang terdapat di dalam UU tersebut, hanya mengambil prinsip-prinsip yang terkait erat dengan peningkatan kesejahteraan rakyat tercakup di dalamnya hak-hak masyarakat adat.

[11]I Nyoman Nurjaya, Prinsip_prinsip dasar Pengelolaan Sumber Daya Alam  Dalam Perspektif Antropologi Hukum, Prestasi, Pustaka, Publisher, Jakarta, 2008, hal 127.

[12]Barber Charles V, The State, The Environment  and Development: The Gesis Transformation of Social Forestry in New Order Indonesia, Doktoral Disertation of California,  University Berkeley, 1989, Hal 14-15. Dan Peluso Nency L, Rich Forest Poor People, Resource Control and Resistence in Java, University of California Press, Berkeley, 1992, hal 11.

[13] Permanent Sovereignty over Natural Resources G.A.res 1803 (XVII), U.N Doc.A/5217 (1962),1-4-6.

[14] Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, PT Rjagrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 15.

[15] Rafael Edy Bosko, Op Cit, hal 100.

[16] An,An Chandrawulan,Op Cit  hal 33.

[17] Rafael Edy Bosko, Op Cit, hal 52.

[18]Rahmat Syafaat dkk, Negara, Masyarakat dan Kearifan Lokal,In-TRANS Publishing Malang dan ANA KOnsultan Hukum, Semarang, 2008, hal 28.

[19] Rahmat Syafaat,Ibid, hal 29.

[20] Ibid, hal 29-30.

[21] Ibid hal 30.

[22]Bernadinus Steni, Politik Pengakuan MAsyarakat Adat Atas Tanah Dan Sumber Daya Alam; Dari Hindia Belanda hingaa Indonesia Merdeka, Yayasan Obor Indonesia ,Jakarta , 2009, hal 220.

[23] Ibid, hal 233.

[24]Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam memperingati “Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat Sedunia pada tanggal 9 Agustusn 2006. Dalam pidatonya merasa prihatin dengan keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia yang selalu diperlakukan tidak adil sesuai dengan hak-hak mereka yang telah diakui dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan menyerukan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk memperlakukan mereka secara proporsional dan adil, dengan tetap mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara tanpa mengorbankan hak masyarakat hukum adat.

[25] Erica Irene Daes dalam Rafael Edy Bosko,Op Cit hal 71.

[26] Satjipto Rahardjo, dalam buku HM Wahyudin Husen dan H. Hufron,  Hukum Politik dan Kepentingan, Op Cit hal 74.

 

Tinggalkan Balasan