KAIN TENUN SEBAGAI PENGETAHUAN TRADISIONAL MASYARAKAT HUKUM ADAT MALUKU

Lingkungan Hidup, Pengelolaan SDA dan Perlindungan

KAIN TENUN SEBAGAI PENGETAHUAN TRADISIONAL

MASYARAKAT HUKUM ADAT MALUKU[1]

Oleh: Sarah S. Kuahaty

Latar Belakang

Pengetahuan tradisional sebagai terjemahan dari Traditional Knowledge merupakan suatu istilah yang akhir-akhir ini sering diperbincangkan baik oleh kalangan intelektual maupun oleh masyarakat umum, semenjak diklaimnnya berbagai macam pengetahuan tradisional milik kebudayaan masyarakat yang telah tumbuh dan berkembang  di Indonesia, misalnya tari pendet, reog ponorogo, bahkan batik oleh negara asing. Tetapi tidak ada satu pengertian yang dapat diberikan untuk mengartikan apa itu pengetahuan tradisional, hal ini disebabkan karena kebudayaan antar masing-masing daerah itu berbeda sehingga tidak mungkin dapat dirangkumkan dalam satu pengertian yang dapat diterima baik secara hukum ataupun teknis oleh seluruh pihak.

Salah satu badan dunia, the World Intellectual Property Organisation (WIPO), selama ini menggunakan terminologi Traditional Knowledge untuk menggambarkan tradition-based literary, artistic, scientific works, performances, inventions, scientific discoveries, designs, marks, names and symbols, undisclosed information, and all other tradition-based innovations and creation.[2] Kalau diterjemahkan secara bebas memiliki batasan bahwa pengetahuan tradisional  berasal dari kegiatan intelektual dalam bidang industri, keilmuan, sastra ataupun seni.

Secara umum pengetahuan tradisional diartikan sebagai pengetahuan yang dimiliki atau dikuasai dan digunakan oleh suatu komunitas, masyarakat, atau suku bangsa tertentu yang bersifat turun temurun dan terus berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan. [3] Namun, ketiadaan sebuah definisi atas pengetahuan tradisional, hendaknya tidak menjadi penghalang dalam memberikan perlindungan. Batasan ruang lingkup dapat digunakan untuk membantu dalam menentukan, menjelaskan, ataupun acuan dalam memberikan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional. Bila mengacu pada pengertian tersebut, maka pengetahuan tradisional dapat diaktegorikan juga sebagai suatu karya yang di lahirkan dari kemampuan intelektual seseorang atau sekelompok orang.

Berbeda dengan hasil karya intelektual lainnya cipta, paten, merek, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, perlindungan varietas tanaman dan rahasia  dagang, yaitu bahwa satu pengetahuan tradisional merupakan satu bentuk karya intelktual yang tumbuh dan berkembang dari dan dalam masyarakat komunal, yang kemudian pelestariannya dilakukan secara turun temurun dari satu generasi kie generasi berikutnya. Dengan kata lain dikatakan bahwa secara umum kepemilikannya atas karya intelektual seperti cipta, paten, merek dan lain-lain kepemilikannya bersifat privat, sedangkan kepemilikan pengetahuan tradisional masyarakat bersifat kolektif dan komunal. Sehingga setiap generasi harus menjaga dan menyimpan secara turun temurun

Salah satu potensi pengetahuan  tradisional masyarakat hukum adat yang ada di Provinsi Maluku adalah ketrampilan kerajinan tangan berupa kain tenun yang bahan baku utamanya berasal dari alam. Kain tenun dalam perkembangannya sekarang ini telah tergantikan dengan industri-industri tekstil yang semakin maju di Indonesia. Hanya sebagian kelompok kecil dan daerah-daerah tertentu saja yang masih memelihara budaya tradisional tersebut misalnya yang berada di daerah Kabupaten Maluku Tenggara, Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Kabupaten Maluku Barat Daya. Kain tenun awalnya dipergunakan hanya untuk acara-acara tradisional dan acara ritual, seperti untuk perkawinan dan acara penguburan kerabat yang meninggal. Untuk setiap acara adat berbeda motif tergantung dari acara adat yang dilangsungkan.

Sekarang ini kain tenun selain memiliki nilai kultural juga mempunyai nilai komersial. Melalui kain tenun yang merupakan kain tradisional dapat melihat kekayaan warisan budaya, tidak saja dilihat dari segi teknik dan aneka corak serta jenis kain yang dibuat, tetapi secara mendalam dapat tersurat dan tersirat berbagai macam fungsi dan arti kain dalam kehidupan masyarakat, yang mencerminkan tentang kepercayaan, adat istiadat, cara berpikir, identitas dan jati diri suatu bangsa yang berbudaya. Sampai saat ini kain tenun yang merupakan kain tradisional terus digali dan dikembangkan, misalnya dengan cara membuat tenun adat untuk keperluan upacara adat. Lebih membahagiakan lagi bahwa perancang mode saat ini banyak menggunakan kain-kain tradisional sebagai bahan dasar rancangannya.

 

Pengetahuan Tradisional Sebagai Bagian Dari Hak atas Kekayaan Intelektual

Pada dasarnya hak atas kekayaan intelektual merupakan hak pribadi yang berkaitan dengan perlindungan atas hasil proses kreatif seseorang.  Hak atas kekayaan intelektual terdiri dari berbagai jenis perlindungan yang berbeda yang tergantung bentuk kekayaan intelektual yang dilindungi. Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) sebagai aturan internasional memberikan tujuh kategori bidang pengaturan yang termasuk dalam ruang lingkup HKI yang terdiri dari :[4]

a)        Hak Cipta dan hak-hak terkait (copyright and neighbouring rights)

b)        Merek Dagang (Trademarks)

c)        Indikasi Geografis (Geographical Indications)

d)       Desain Industri ( Industrial Design)

e)        Paten (Patent), termasuk perlindungan varietas tanaman (plant variety Rights)

f)         Desain tata letak sirkuit terpadu (Layout Design of Integrated Circuits)

g)        Informasi Rahasia (undisclosed information)

Saat ini dilingkup internasional tengah berkembang isu baru yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual, yaitu perlindungan terhadap pengetahuan tradisional. Pentingnya perlindungan pengetahuan tradisional ini disebabkan komunitas lokal atau tradisional ternyata memiliki banyak karya-karya kreatif yang perlu dilindungi. Kekayaan intelektual komunitas lokal sangat beragam dan luas cakupannya, mulai dari cerita rakyat, seni tradisional, sistem kepercayaan, aktivitas upacara adat, pengobatan hingga berbagai bentuk teknologi tradisional yang dimiliki dan dikembangkan oleh masyarakat lokal.

Untuk mengetahui kedudukan pengetahuan tradisional dalam sistem hak atas kekayaan intelektual, maka terlebih dahulu harus dibahas konsep dari pengetahuan tradisional  dan hak atas kekayaan intelektual itu sendiri. Secara garis besar pengetahuan tradisional  dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu, pengetahuan yang berhubungan dengan tekhnologi dan pengetahuan tradisional  yang berhubungan dengan seni. Pengetahuan tradisional  yang dimasukkan dalam bidang-bidang HKI yaitu : [5]

1.        Pengetahuan Tradisional dan Hak Cipta

Hak cipta melindungi ciptaan dibidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra dengan syarat bahwa ciptaan itu asli artinya ciptaan itu tidak semata-mata meniru dapat pula perkembangan dari yang sebelumnya. Hak cipta dilindungi sejak ciptaan tersebut dilahirkan (Declarative stelsel).

Pada umumnya pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan yang digunakan secara turun-temurun dan diciptakan berabad-abad yang lalu sehingga kebanyakan dari pengetahuan tradisional adalah public domain. Selain itu beberapa pengetahuan tradisional biasanya diilhami oleh adat dan merupakan pola yang meniru pola lain secara berturut-turut dalam jangka waktu yang panjang sehingga unsur keaslian tidak terpenuhi. Lebih parah lagi bahwa kebanyakan pengetahuan tradisional  tidak diwujudkan dalam bentuk yang dapat diproduksi secara independen serta tidak terdokumentasi secara baik.

2.        Pengetahuan Tradisional dan Paten.

Obyek dari Paten adalah Invensi di bidang teknologi. Invensi ini harus baru (novelty), memiliki langkah inventif (inventive step), dan dapat diterapkan dalam bidang industry (industrially applicable). Syarat fundamental paten adalah kebaruan. Kalau melihat syarat kebaruan sebagai salah satu syarat untuk perolehan paten, maka akan sulit kemungkinan bagi pengetahuan tradisional  khususnya traditional technology untuk bisa diberi perlindungan paten. Hal itu dikarenakan kebanyakan pengetahuan tradisional  digunakan secara turun temurun dan berpuluh-puluh tahun, mengingat sifatnya yang tradisional sehingga pengetahuan tradisional  tersebut tidak baru yang berarti gagal memenuhi syarat kebaruan.

3.        Pengetahuan Tradisional  dan Merek

Merek diartikan sebagai  tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa. Dari pengertian tersebut, pada dasarnya merek merupakan tanda untuk membedakan barang/jasa sejenis, yang berarti merek berfungsi sebagai identitas suatu komoditas. Jika diperhadapkan dengan karakterisitik merek, maka pengetahuan tradisional sulit untuk mendapatkan perlindungan merek.

4.        Pengetahuan Tradisional  dan Desain Industri

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri menyebutkan bahwa Desain Industri adalah kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang komoditas industri, atau kerajinan tangan.

Berdasarkan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 hak atas desain industri diberikan untuk desain industri yang baru. Suatu desain dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan desain industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya. Karena kebanyakan desain tradisional telah dipakai secara luas bahkan secara turun menurun, maka kemungkinan besar desain tradisional tidak dapat memenuhi syarat kebaruan. Hal ini berarti bahwa desain tradisional tidak dapat masuk dalam lingkup perlindungan desain industri yang mensyaratkan desain yang baru.

 

5.        Pengetahuan Tradisional  dan Perlindungan Varietas Tanaman

Perlindungan varietas tanaman diberikan untuk varietas tanaman yang baru, unik, seragam dan stabil. Suatu varietas dianggap baru jika pada saat penerimaan permohonan hak perlindungan varietas tanaman, bahan perbanyakan atau hasil panen dari varietas tanaman tersebut belum pernah diperdagangkan. Dianggap unik, jika varietas tersebut dapat dibedakan secara jelas dengan varietas yang lain yang keberadaannya sudah diketahui umum. Dianggap seragam, apabila sifat-sifat utama atau penting pada varietas terbukti seragam dan dianggap stabil, apabila sifat-sifat tersebut tidak mengalami perubahan setelah ditanam berulang-ulang atau diperbanyak melalui siklus perbanyakan khusus.

Terkait dengan perlindungan pengetahuan tradisional sebagai bagian dari hak atas kekayaan intelektual, sebagaimana telah diuaraikan diatas, maka pengetahuan tradisional lebih erat kaitannya dengan hak cipta. Hal ini disebabkan karena baik paten, merek, maupun hak-hak yang lainnya dalam persyaratannya lebih mengutamakan unsur kebaruan. Sedangkan sebuah pengetahuan tradisional merupakan sesuatu yang diturunkan secara turun temurun.

Instrumen perlindungan yang diberikan di Indonesia adalah rezim hak cipta sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Sejauh ini pengaturan terkait pengetahuan tradisional hanya diatur dalam pasal 10 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “ Negara memegang  Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi dan karya seni lainnya.” Lebih lanjut dalam penjelasan pasalnya dijelaskan bahwa “folklor dimaksudkan sebagai sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh sekelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun, termasuk:

a.         cerita rakyat, puisi rakyat;

b.        lagu-lagu rakyat dan musik instrumen tradisional;

c.         tari-tarian rakyat, permainan tradisional;

d.        hasil seni antara lain berupa lukisan, gambar, ukir-ukiran, pahatan, mosaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik dan tenun tradisional.”

Bila dikaitkan dengan pengertian pengetahuan tradisional secara umum seperti yang telah diuraikan sebelumnya, maka pengetahuan tradisional ini dapat dikategorikan sebagai folklor sebagaimana diatur dalam undang-undang hak cipta.

 

Karakteristik Kain Tenun Maluku

Seperti telah diuaraikan sebelumnya, bahwa pengetahuan tradisional  dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu, pengetahuan yang berhubungan dengan tekhnologi dan pengetahuan tradisional  yang berhubungan dengan seni. Terkait dengan pengetahuan yang berhubungan dengan teknologi, maka dalam proses pembuatan sebuah kain tenun tentunya tak terlepas dari teknologi dalam hal ini alat yang dipergunakan dalam proses pembuatannya. Alat-alat yang dibutuhkan untuk menenun selembar kain adalah:

1.    Nasle, alat unuk mengeluarkan biji kapas.

2.    Wuhure, semacam busur panah untuk melembutkan bahan kapas.

3.    Ahwiur, tempat penyimpanan bahan kapas yang telah lembut dibuat dari daun koli.

4.    Pokrau, alat untuk memintal benang yang dibuat dari kayu dan bambu.

5.    Dijkwaku, alat pemberat pokrau pada saat diputar.

6.    Apono, tempat kapur/abu untuk melicinkan tangan pada waktu memutar benang.

7.    Uluwali, alat pemindahan yang telah diputar oleh pokrau. Alat ini berfungsi juga sebagai ukuran oleh penenun untuk mengukur jumlah benang yang dibutuhkan dalam menyelesaikan suatu tenunan.

8.    Dodomor, alat untuk mengkaitkan benang dari uluwali berbentuk lingkaran untuk gulungan sehingga penenun duduk saja sambil menarik benang pada waktu menenun.

9.    Auwunuku, alat pengatur benang yang kemudian diikat-ikat untuk membentuk gambar ragam hias. Bahan pengikat dari daun lontar yang telah dikikis bersih sehingga lembut dan memudahkan cara mengikat.

10.  Auhunare, alat untuk mengatur dan menambah benang pada awanuku, diselang seling sesuai dengan kehendak pemakai.

11.  Wakuwenerek/Wenerek, benang-benang yang telah diatur membentuk kain pada Auhunare digantungi wakuwenerek selama dua sampai tiga hari demi menegangkan benang.

Bahan baku penghasil benang adalah kapas, yang dapat memberi hasil yang baik pada waktu musim kemarau. Seperti yang disebut diatas bahwa pekerjaan menenun hanya berlangsung pada waktu cuaca baik, selain menghasilkan benang untuk tenun yang cukup baik, hasil kapaspun sebagai penghasil benang hanya dipanen pada waktu musim kemarau. Kemajuan pertekstilan dengan teknik penghasil kain dengan corak motif modern tidak merupakan halangan, karena tenunan tradisional adalah suatu warisan dalam arti ilmu kepandaian yang telah turun temurun dipraktekkan oleh masyarakat setempat sehingga ia akan tetap hidup ditengah-tengah masyarakat tersebut.

Secara tradisional, sebelum adanya bahan pewarna modern seperti sekarang ini, masyarakat telah mempunyai pengetahuan tentang warna yang didapati dari beberapa jenis bahan tumbuhan. Prosesnya sederhana sekali dan sangat dikagumi karena tidak luntur. Teknik pewarnaan melalui pencelupan didalam cairan warna ini yang sedang panas, setelah benang-benang tadi diikat untuk menentukan corak ragam hias. Beberapa bahan pewarna itu antara lain:

1.  Nenu, disebut juga mengkudu penghasil warna ungu. Akar dari tumbuhan ini diambil dan tumbuk, dicampur dengan air kemudian dimasak. Benang yang telah diikat ragam hias, ataupun polos, dicelupkan kedalamnya selagi panas.

2.  Karum, disebut juga tarum penghasil warna hitam. Bahan tumbuhan daun direbus dengan sedikit kapur sirih, selanjutnya benang dicelup selagi masih panas.

3.  Limeere, disebut juga kunyit penghasil warna kuning pada umbinya.

Proses menenun dimulai dengan proses pembuatan kapas menjadi benang. Benang yang telah dihasilkan, kemudian digantung tegang, benang tersebut kemudian dilepaskan dan diberi yoon pepehe dan akame (nakam) istilah bahasa setempat, yang membagi benang-benang yang telah diatur atas dua bagian secara vertikal. Selanjutnya howone berfungsi sebagai alat untuk memasukkan benang secara horizontal (pakan) kekiri dan kekanan antara papehe dan yoon. Willy, merupakan alat pengatur pemantapan susunan benang, yang dipukul-pukul kurang lebih lima kali. Proses howone dan willy dikerjakan secara berulang-ulang sampai selesainya kain tenun tersebut.

Letekem berfungsi menjaga pengaturan benang perlembaran dari kain yang disusul oleh willy dan howone. Orro merupakan gambar dan pengatur gambar  yang ada pada kain yang telah dibuat oleh penenun ketika berada di Awunuku. Puik, semacam pelepah sagu berfungsi sebagai pengalas pinggang penenun. Kali wunuke nelehe adalah tali yang diikat pada tenunan yang kemudian  dililitkan dibelakang penenun.

 

Kain Tenun dari Maluku yang masih rutin di produksi sampai dengan saat ini adalah kain Tenun dari daerah Maluku Tenggara. Daerah ini mempunyai potensi tenunan tradisional yang tinggi sejak dahulu kala. Hal ini sangat dibanggakan dengan hasil-hasil produksi para penenun yang sampai dewasa ini masih berkembang dan hidup sebagai sumber mata pencahariannya dengan hanya menggunakan peralatan tradisional yang masih tetap dipertahankan. Menenun merupakan pekerjaan yang telah dilatih sejak kecil dari setiap generasi wanita dari daerah ini secara turun temurun. Pekerjaan menenun bukan saja sebagai suatu sumber kehidupan, tetapi lebih daripada itu sebagai suatu keharusan adat kepada generasi wanita sebelum memasuki jenjang perkawinan, dan merupakan harta warisan dari orang tua, nenek moyangnya, kepada setiap generasi berikutnya.

Segala ungkapan-ungkapan yang ditimbulkan oleh warna dan bentuk-bentuk ragam hias dihubungkan dengan unsur-unsur kepercayaan magis. Melalui bentuk-bentuk alam nyata, menggambarkan motif flora fauna, dan manusia yang diabstraksikan. Motif yang digambarkan pada kain tenun merupakan hal yang digemari dan dialami oleh para leluhurnya selama mereka masih hidup. Yang termasuk daerah tenunan di Maluku Tenggara ini adalah kepulauan Tanimbar, Kisar, Leti, dan Wetar.

Pengetahuan tradisional yang berhubungan dengan seni dapat dilihat pada motif atau ragam hias. Untuk motif kain Tenun Maluku dapat diuraikan sebagai berikut.[6]

a)      Ragam hias pohon, sering pohon itu digambarkan bersama-sama dengan manusia yang melambangkan nenek moyang, para leluhur yang hidup di alam yang lain, seterusnya berdasarkan salah satu motif dari kain tenun Arabil Ira.[7]

b)      Ragam hias manusia, menurut ragam hias yang melambangkan manusia (keadaan bentuknya).

c)      Ragam Hias Ikan, menggambarkan kekayaan alam dan cara kebiasaan dari masyarakat setempat tentang kehidupan para leluhurnya selama mereka masih hidup.

d)     Ragam Hias Katkatan, Katkatan adalah salah satu bagian alat tenun yang biasanya dipergunakan oleh seseorang pada saat akan membuat kain tenun. Motif ini menggambarkan bahwa para kaum wanita daerah ini pandai menenun kain, sekaligus menggambarkan bahwa daerah tersebut telah sangat maju kebudayaannya.

e)      Ragam Hias Katkatan Yanan (anak katkatan), Ragam hias ini menggambarkan bahwa kepandaian menenun bukan saja diketahui oleh orang dewasa, tetapi juga diketahui oleh anak-anak, sebagai pewaris ilmu pengetahuan dari para leluhurnya.

f)       Ragam Hias Vatvedan (penyumbat), Ragam hias ini merupakan salah satu ragam hias berupa garis-garis yang putus yang letaknya secara simetris melindungi garis lurus ditengahnya. Motif ini menggambarkan suatu tantangan terhadap musuh, agar tidak masuk ke dalam kampung halaman.

g)      Ragam Hias Bunga-bunga, menggambarkan akan tibanya masa remaja dari seorang anak yang dianggap sebagai seorang muda/pemuda harapan bangsa.

h)      Ragam Hias Sair Sikaras (bendera bergerigi), melambangkan seorang wanita yang telah kawin.

i)        Ragam Hias siaha (Anjing), melambangkan kesetiaan (siaha). Biasanya anjing tersebut dipelihara sebagai hewan kesayangan di rumah dan teman berburu di hutan.

j)        Ragam  Hias Kembang Dengan Jambangan, lambang kesetiaan, harapan, dan kesuburan.

k)      Ragam Hias Niri (lebah), Niri adalah salah satu hewan penghasil madu yang banyak terdapat di hutan-hutan dan menggambarkan kerja keras.

l)        Ragam Hias abo (Perahu), Ragam hias ini turut membuktikan bahwa di daerah ini masyarakat juga pandai membuat perahu.

m)    Ragam Hias Tamar Akar (Ruas Bambu), Ragam hias ini menggambarkan bambu sebagai alat tempat penyimpanan.

n)      Ragam Hias Wulan Lihir (bulan sabit), Kedua ragam hias ini melambangkan kesuburan dan kewaspadaan seseorang dalam kekasih.

o)      Ragam Hias Ular Fangat (ular cincin), Ular fangat atau ular cincin, adalah sejenis ular berwarna merah yang jalannya lambat sekali serta melingkar-lingkar seperti seorang wanita. Ragam hias ini melambangkan keayuan seorang wanita.

p)      Ragam Hias Kembang mayang (Enau), menggambarkan kejadian-kejadian mulai dari keluarnya tandan sampai dengan proses pengolahannya.

q)      Ragam Hias iwar ihin (Kenari), ragam hias ini melambangkan tabiat atau kelakuan seseorang dalam bertutur kata, yaitu berbicara kalau perlu dan tidak berbohong.

r)       Ragam Hias Ngarngar Wulan (Katak), Katak banyak terdapat di daerah ini. Suara katak biasanya digunakan orang sebagai pertanda senja telah tiba dimana matahari akan terbenam di ufuk barat.

s)       Ragam Hias Kilun Loan Koa (Bunga Luang Kecil), Kecantikan atau keindahan dari bunga kecil ini menggambarkan wanita-wanita sebagai makhluk khayalan yang turun ke bumi.

t)       Ragam Hias Sula (Laor), melambangkan sifat kegembiraan.

u)      Ragam Hias Kilun Eet (lipan), Melalui motif ragam hias yang terlukis pada kain tenun seolah-olah memberikan suatu peringatan kepada pemakai supaya berhati-hati terhadap binatang tersebut, karena gigitannya yang berbahaya.

 

Perlindungan Terhadap Kain Tenun Maluku

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa pengaturan terhadap kain tenun yang ada di Indonesia sampai saat ini masih berada dalam naungan Undang-undang Hak Cipta, khususnya pasal 10 tentang penguasaan hak cipta folklor. Negara sebagai pemegang hak cipta sudah berupaya memberikan perlindungan terhadap kain tenun tersebut, dimana pada undang-undang dijelaskan tentang  folklor  yang merupakan bagian dari kerajinan tangan, dan kerajinan tangan yang dimaksud didalamnya juga termasuk kain tenun. Tetapi walaupun telah diberikan perlindungan sampai saat ini masih saja terjadi pengambilan tanpa izin terhadap kerajinan tangan yang merupakan suatu pengetahuan tradisional. sebagai contoh Malaysia mengklaim batik sebagai ciri khas negara tersebut. hal ini menunjukan bahwa peraturan mengenai hak kekayaan intelektual nampaknya belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan atas pengetahuan tradisional ini.

Ada beberapa alasan pengetahuan tradisional pada kain tenun ini tidak mampu diberikan perlindungan melalui pendekatan HKI, pertama pengetahuan tradisional merupakan kreasi yang dihasilkan secara komunal dan bersifat turun temurun, sedangkan hak kekayaan intelektual merupakan kreasi yang dihasilkan secara individual. Atas dasar ini, sangat sulit rasanya pengetahuan tradisional dilindungi berdasarkan HKI. Kedua, pengetahuan tradisional merupakan kreasi yang umumnya telah terpublikasikan, sehingga aspek kebaruan (novelty) yang semestinya dipenuhi dalam beberapa persyaratan HKI (seperti paten dan desain industri) tidak terpenuhi. Ketiga, pengetahuan tradisional yang saat ini dapat dilindungi oleh ketentuan hukum HKI (seperti hak cipta) ternyata tidak memberikan suatu pengaturan yang tuntas. Hasilnya pengetahuan tradisional tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.

Perlindungan pada pengetahuan tradisional dikatakan tidak tuntas karena walaupun materi pengetahuan tradisional telah diatur dalam undang-undang nomor 19 tahun 2002, namun masih saja terdapat pengambilan tanpa izin dari pengetahuan tradisional khususnya tersebut. Dalam ketentuan hukum HKI, jangka waktu perlindungan pengetahuan tradisional menurut undang-undang nomor 19 tahun 2002 yaitu dilindungi seumur hidup ditambah 50 tahun sesudah meningggal, seharusnya tidak ada jangka waktu tersebut karena pengetahuan tradisional dilindungi selama masyarakat hukum adat tersebut masih berada dan terus berkembang sesuai dengan yang diamanatkan dalam pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dari masalah ini, sudah jelas terlihat permasalahan pengetahuan tradisional pada kain tenun ini belum mendapatkan perlindungan dalam HKI dan agak sulit untuk dapat dilindungi mengingat adanya paradigma dan filosofi yang berbeda atas objek pengetahuan tradisional dengan HKI itu sendiri, maka apapun langkah yang diambil saat ini oleh pemerintah atau oleh lembaga swasta yang berupaya melindungi pengetahuan tradisional melalui pendekatan HKI merupakan suatu kekeliruan dan sekaligus merupakan pengingkaran atas penerapan sistem HKI.

Ada dua hal yang dapat dilakukan guna memberikan perlindungan hukum atas kain tenun. Pertama, untuk jangka pendek seharusnya kain tenun sekarang ini dilindungi dengan sistem inventarisasi/dokumentasi pengetahuan tradisional yang tidak saja sekedar memberikan fungsi informatif tetapi dapat juga digunakan sebagai fungsi pembuktian hukum.

 Australia sebagaimana diungkapkan oleh Michael Blakeney sudah melakukan dokumentasi terhadap desain-desain yang      dimiliki oleh suku asli Aborigin. Bahkan tidak hanya itu, Australia sudah melakukan dokumentasi pada kesenian-kesenian suku asli Aborigin. Hasilnya adalah pemerintah Australia saat ini sudah mempunyai dokumen lengkap terkait dengan expressions of folklore yang dimiliki oleh suku Aborigin sebagai suku asli Australia.  Selain Australia, negara yang  melakukan dokumentasi adalah China. China sudah melakukan pemilahan dan perekaman kebudayaannya  ke dalam dokumen khusus sejak tahun 1950-an sebelum China membuka diri dengan kebudayaan asing. [8]

Indonesia sendiri sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam memberikan perlindungan kepada pengetahuan tradisional, negara memegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti kerajinan tangan misalnya kain tenun tersebut. Negara memegang hak cipta yang salah satunya secara definitif disebutkan folklor diantaranya pengambilalihan. Dalam praktik selama ini yang diketahui bahwa pengambilalihan dilakukan secara langsung oleh negara tanpa kemudian membicarakan dengan masyarakat adat yang ada dalam komunitas folklor yang merupakan bagian dari kain tenun tersebut. Perlindungan terhadap kain tenun seharusnya tidak saja melindungi kain tenunnya namun juga meliputi perlindungan masyarakat adatnya.

Selama ini memang perlindungan terhadap kain tenun hanya diprioritaskan kepada perlindungan kain tenun saja, sehingga tidak jarang kedudukan masyarakat adat sebagai pihak yang secara berkelanjutan melestarikan kain tenun tersebut menjadi terabaikan. Seperti contohnya, ketika ada pemanfaatan hasil ciptaan tradisional oleh pihak asing secara melawan hukum maka yang dirugikan adalah masyarakatnya. Itulah mengapa, perlindungan masyarakat perlu mendapatkan porsi dalam perlindungan hukumnya. Rumusan tersebut, apabila dilakukan peninjauan kembali dengan undang-undang hak cipta pada rumusan pasal-pasal sebelumnya dapat dilihat bahwa suatu ciptaan dapat berpindah haknya dari satu pihak ke pihak lain dengan mekanisme tertentu.

Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Hak Cipta menyebutkan bahwa Hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, dan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

Pasal tersebut memberikan pengertian bahwa ada mekanisme tertentu untuk mengalihkan sebuah hak cipta kepada pihak lain. Ini mengandung arti ada interaksi yang seharusnya dilakukan dalam hal pengalihan hak cipta. Kemudian pengalihan hak cipta ini dapat dilakukan karena sebab-sebab yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan tidak mendapatkan penjelasan yang jelas mengenai apa batasan sebab-sebab tersebut. Justru dalam penjelasan pasal ini dikatakan bahwa pengalihan tersebut tidak boleh dilakukan secara lisan namun harus dilakukan dengan atau tanpa akta notaris, namun intinya dalam konteks ini harus dilakukan dengan mekanisme tertulis.

\Selama ini pemerintah tanpa melakukan pendekatan komunikasi dengan masyarakat adat kemudian mengambil alih hak cipta terhadap kain tenun tersebut dengan alasan apapun. Oleh karena itu dalam hal ini, kedudukan masyarakat adat menjadi tidak jelas dalam perlindungannya. Permasalahan ini terlihat jelas dalam peraturan bagaimana Indonesia memposisikan masyarakat adat yang sampai sekarang belum terlihat secara jelas di mana posisinya dalam kaitannya dengan hak cipta ini. Undang-undang hak cipta terkesan mengesampingkan keberadaan masyarakat adat itu sendiri. Tidak ada rumusan sama sekali mengenai posisi masyarakat adat dalam perlindungannya. Contoh sederhana, selama ini belum ada konsep yang diterapkan dalam undang-undang ini yang mengatur mengenai bagaimana pengaturan pembagian atau distribusi royalti atau keuntungan ekonomi ketika memang kebudayaan atau folklor (kain tenun) tertentu yang dikuasai oleh negara kemudian dimanfaatkan oleh pihak asing. Ketika negara dalam hal ini memperoleh keuntungan ekonomi, apakah masyarakat adat sebagai komunitas yang melestarikan budaya kain tenun ini mendapat royalti dan berapa besarnya? Hal ini yang sampai sekarang belum didapatkan kejelasannya dari pengaturan pemerintah, padahal hal ini merupakan satu upaya untuk menjamin hak-hak masyarakat adat tersebut. Kalau permasalahan ini tidak mendapatkan pengaturannya, maka undang-undang ini merupakan satu bentuk kolonialisme negara terhadap masyarakatnya, karena negara memonopoli  kekayaan masyarakat atau warga negaranya tanpa kemudian memikirkan bagaimana kesejahteraan yang diperoleh dengan adanya monopoli tersebut. Hal ini menunjukkan tidak komprehensifnya peraturan yang ada, yaitu Undang-undang Hak Cipta dalam menjamin hak-hak masyarakatnya.

Melihat karakteristik yang berbeda antara HKI dan pengetahuan tradisional, maka akan sulit perlindungan pengetahuan tradisional terhadap kain tenun dimasukkan dalam perundang-undangan HKI. Perlindungan bagi kain tenun yang paling memungkinkan dilakukan pemerintah Indonesia sekarang adalah dengan memperkuat database melalui proses pendokumentasian atas keanekaragaman kain tenun  yang ada di Indonesia. Pendokumentasian pengetahuan tradisional dan mekanisme benefit sharing yang tepat antara masyarakat lokal dengan pihak asing. Model dokumentasi yang tepat adalah model dokumentasi yang mempertimbangkan aspek accessability. Model dokumentasi yang berbentuk digital dengan menggunakan database dianggap sebagai model yang cukup efektif.[9]

Hal ini dilakukan, agar dokumentasi tersebut dapat dipergunakan sebagai dasar bahwa kain tenun  tersebut memang menjadi milik Indonesia, sehingga ketika ada pihak lain yang mengklaim kain tenun sebagai pengetahuan tradisional negaranya, maka Indonesia sudah mempunyai dasar yang kuat untuk menolak. Pada dasarnya dokumentasi bisa dilakukan dengan berbagai macam cara, baik melalui foto, tulisan, atau catatan khusus yang dibuat oleh pemerintah. Cara-cara tersebut adalah cara yang bagus untuk dilakukan. Dalam upaya memberikan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional, Pemerintah Provinsi Maluku telah melakukan pendokumentasian terhadap beramacam ragam hias kain tenun  sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Ini adalah bentuk apresiasi pemerintah terhadap upaya memberikan perlindungan kain tenun.

 

Penutup

Pengetahuan tradisional merupakan suatu karya intelektual yang hidup, tumbuh dan berkembang dalam struktur masyarakat hukum adat yang di pertahankan secara turun temurun. Produk legislatif Indonesia telah memberikan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2002, tetapi dalam perkembangannya ternyata pengetahuan tradisional sebagian masyarakat telah di klaim oleh pihak asing sebagai pengetahuan tradisional dari negaranya. Hal ini disebabkan karena peraturan perundang-undangan ini ternyat masih memiliki kelemahan. Untuk mengani hal tersebut, maka untuk jangka menengah dan panjang, sudah sepantasnya pemerintah segera mengeluarkan ketentuan undang-undang yang secara khusus melindungi pengetahuan tradisional termasuk kain tenun. Dengan demikian, perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional sebagai hak cipta komunal, disamping diarahkan untuk mendorong tumbuhnya kreativitas individu-individu dalam masyarakat, juga diarahkan untuk melindungi kepentingan seluruh anggota masyarakat dari praktek-praktek pelaksanaan Hak Cipta yang menyimpang. Terkait dengan upaya melindungi kain tenun sebagai pengetahuan tradisional, pemerintah daerah provinsi Maluku telah berupaya melakukan proses inventarisasi terhadap bermacam ragam hias kain tenun, tetapi hendaknya upaya dokumentasi juga diikuti dengan memberikan perlindungan hukum misalnya penguatannya dalam sebuah Peraturan Daerah agar perlindungan terhadap pengetahuan tradisional masyarakat hukum adat yang ada di daerah Maluku ini juga memilki perlindungan yang kuat.

 


[1] Tulisan ini diterbitkan dalam sebuah buku KOMPILASI PEMIKIRAN TENTANG DINAMIKA HUKUM DALAM MASYARAKAT (Memperingati Dies Natalis ke -50 Universitas Pattimura Tahun 2013), 2013

[2] Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Hukum Dagang Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2006, h. 12.

[3] Agus Sardjono, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, Alumni, Bandung, 2006 h. 1

[4]Iswi Hariyani, Prosedur Mengurus HAKI Yang Benar, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010, hal 10

[5] Arif Lutviansori, Hak Cipta dan Perlindungan Folklor di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010,

[6]Sumber:  Dinas Perdagang dan Perindustrian Provinsi Maluku, 2013

[7]Arabil Ira adalah Bahasa Tanimbar untuk kain tenun salempang.

[8]Arif Lutviansori, op cit, hal.42-43

[9] Agus Sarjono, op cit, hal. 56

 

Tinggalkan Balasan