TANAH ADAT DAN PEMANFAATANNYA BAGI
PENGEMBANGAN INVESTASI MASYARAKAT HUKUM ADAT
DI MALUKU[1]
Mahrita. A. Lakburlawal
Pendahuluan
Hidup manusia tidak dapat dilepas pisahkan dari tanah. Sehingga apabila kita membicarakan eksistensi manusia maka secara tidak langsung kita juga membicarakan tentang tanah. Di atas tanah manusia melakukan semua aktifitasnya dan dari tanah manusia memperoleh sumber untuk melanjutkan kehidupannya. Oleh karena itu semakin berkembangnya peradaban manusia, semakin tinggi pula kebutuhan akan tanah, yang pada akhirnya menimbulkan berbagai persoalan menyangkut tanah.
Permasalahan tanah tidak semata-mata hanya menyangkut aspek ekonomi dan kesejahteraan saja, tetapi tetapi jua meliputi aspek sosial, cultur, politik, hukum dan religious. Oleh karena itu dalam penyelesaiannya tidak hanya mengindahkan aspek hukumnya saja, tetapi juga harus memperhatikan asas kesejahteraan, keamanan dan kemanusiaannya juga.
Diantara permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan masalah tanah tersebut, adalah persoalan tanah yang berada dalam lingkungan atau wilayah suatu masyarakat hukum adat. Di satu pihak ada masyarakat hukum adat dengan hak ulayat dan di pihak lain ada pemanfaatan tanah-tanah untuk kepentingan pembangunan oleh pemerintah. Benturan kewenangan antara masyarakat hukum adat dan pemerintah ini sering dianggap dapat menghambat pembangunan di Negara Indonesia.
Di provinsi Maluku persoalan sengketa lahan terjadi terutama terkait dengan batas wilayah antar desa/negeri, klaim kepemilikan adat oleh kelompok warga yang berbeda, konflik akibat tumpang tindih wilayah adat dengan wilayah administratif.
Program Sistem Pemantau Kekerasan Nasional (National Violence Monitoring System, NVMS) memantau konflik kekerasan yang terkait dengan sumber daya yang mencakup kepemilikan dan pemanfaatan tanah, sumber daya alam/buatan, akses atas pekerjaan,dan pencemaran lingkungan mencatat sebagian besar (69 %) insiden kekerasan yang terjadi di Indonesia merupakan masalah tanah, dan hampir setengahnya terjadi di provinsi Maluku yang memiliki sejarah panjang sengketa tanah ulayat[2]. Akar dari sengketa lahan yang terus berulang tersebut adalah sistem kepemilikan lahan yang tumpang tindih serta akses penggunaan tanah yang tidak tercatat.
Konflik ini semakin rumit dengan hadirnya pemerintah dan para investor terutama investasi yang berhubungan dengan penggunaan lahan secara signifikan (luas) seperti perkebunan, pertambangan, industri manufaktur, termasuk juga kehutanan. Insvestasi pada sektor tersebut akan memberikan tekanan terhadap penggunaan lahan yakni tanah.
Pemerintah Provinsi Maluku terus berupaya mendorong peningkatan iklim investasi yang bertujuan untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi, memperluas kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, serta mengurangi tingkat kemiskinan. Berbagai langkah berupa pengembangan sistem informasi penanaman modal, penyederhanaan prosedur perizinan dan pelayanan penanaman modal[3], diharapkan dapat meningkatkan tingkat investasi di Maluku.
Penyederhanaan prosedur perizinan dan pelayanan penanaman modal merupakan bentuk fasilitas yang harus diperoleh perusahaan penanam modal dari pemerintah, seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Salah satu bentuk kemudahan yang harus diperoleh perusahaan penanaman modal dari pemerintah adalah berupa kemudahan pelayanan dan/ atau perizinan untuk memperoleh hak atas tanah (pasal 21 butir a UU Penanaman Modal).
Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dapat diberikan dan diperpanajang sekaligus dan dapat diperbaharui kembali, berupa : Hak Guna Usaha (HGU) yang dapat diberikan dengan jumlah 95(Sembilan puluh lima) dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbaharui selama 35 (tiga puluh lima) tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbaharui selama 30 (tiga puluh) tahun, dan Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh Puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan dapat diperpanjang dimuka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbaharui selama 25(dua puluh lima) tahun.
Dalam kaitannya dengan hak guna usaha, berdasarkan pasal 28 Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960 yang dimaksudkan dengan hak guna usaha adalah “hak untuk mengusahakan tanah yang kuasai langsung oleh Negara”. Pada kenyataannya di Maluku tidak hanya terdapat tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, tetapi terdapat juga hamparan tanah-tanah adat. Hamparan tanah-tanah adat tersebut, dapat digolongkan ke dalam tiga golongan tanah adat yaitu tanah negeri atau tanah hak petuanan, tanah dati yang dimiliki oleh kerabat atau persekutuan, dan tanah pusaka yang merupakan milik perorangan. Ketiga golongan tanah tersebut masih diatur menurut ketentuan-ketentuan hukum adat.
Kedudukan tanah-tanah adat di Maluku diperkuat dengan peraturan daerah (Perda) Provinsi Maluku nomor 14 Tahun 2005 tentang Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Masyarakat hukum Adat Dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku, menyatakan bahwa salah satu syarat agar seseorang dapat mengklaim hak-hak adat adalah memiliki hubungan historis dengan wilayah. Masyarakat yang tidak memenuhi syarat tersebut masuk ke dalam desa administrative. Perda Kabupaten Maluku Tengah No. 1 Tahun 2006 secara eksplisit menyatakan bahwa semua tanah dimiliki secara adat. Hal ini berarti bahwa masyarakat di desa administrative tidak bias mengklaim hak kepemilikan secara adat[4]. tanah-tanah tersebut dalam kenyataannya masih ada, walaupun dalam kondisi yang hampir musnah, terdesak oleh kepentingan penyediaan lahan untuk kepentingan pembangunan yang seharusnya bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tetapi berdampak terbalik terhadap keberadaan masyarakat hukum adat yang menjadi terasing dan tersingkirkan dari wilayahnya sendiri, oleh karena kebijakan pembangunan.
Pemanfaatan Tanah Adat Oleh Masyarakat Adat di Maluku
Tanah dalam hukum adat mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu:
Karena sifatnya yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga akan tetapi masih bersifat tetap dalam keadaannya bahkan kadang-kadang malah menjadi lebih menguntungkan. Selain itu karena faktanya yaitu kenyataan bahwa tanah adalah merupakan tempat tinggal persekutuan (masyarakat), memberikan penghidupan kepada persekutuan, merupakan tempat dimana para warga persekutuan (masyarakat) yang meninggal dikuburkan, dan yang terakhir merupakan pula tempat tinggal bagi dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh-roh para leluhur persekutuan (masyarakat). [5]
Fakta tersebut di atas menunjukan bahwa antara persekutuan (masyarakat) hukum adat dengan tanah yang didudukinya terdapat hubungan yang sangat erat. Hubungan ini bersifat religio-magis. Sifat religio-magis inilah yang menjadi dasar persekutuan memiliki hak untuk menguasai tanah yang duduki, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan dan atau pepohonan yang hidup di atas tanah tersebut, serta juga berburu binatang yang hidup di atas tanah tersebut.
Hak persekutuan atas tanah wilayahnya ini disebut sebagai hak pertuanan atau hak ulayat. Van Vollenhoven menyebutkan hak ini sebagai “Beschikkingsrecht”. Istilah yang dipergunakan untuk menyebutkan hak ini dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa-bahasa daerah pengertiannya adalah sebagai “lingkungan kekuasaan” sedangkan “beshikkingsrecht” menggambarkan tentang hubungan antara persekutuan dengan tanah itu sendiri. Namun kini istilah hak ulayat dipergunakan sebagai terjemahan dari beshikkingsrecht[6].
Van Vollenhoven dalam bukunya yang berjudul “Miskenningan in het Adatrecht” dan “De Indonesier en Zijn grond” menyimpulkan 6 (enam) ciri-ciri dari hak ulayat , yaitu :
1. Persekutuan dan anggotanya berhak untuk memanfaatkan tanah, memungut hasil dari segala sesuatu yang ada di dalam tanah dan yang tumbuh dan hidup di atas tanah ulayat;
2. Hak individual diliputi oleh hak persekutuan. Mengenai hubungan antara hak persekutuan dan hak perorangan ini, terkenal pendapat dari Ter Haar yang disebut Teori Bola. Menurut teori ini hubungan antara hak persekutuan dan hak individual adalah bersifat timbale balik, yang berarti semakin kuat hak individual atas sebidang tanah, semakin lemah hak persekutuan atas tanah itu, dan sebaliknya semakin lemah hak perseorang atas sebidang tanah, semakin kuat hak persekutuan atas tanah tersebut;
3. Pimpinan persekutuan dapat menentukan untuk menyatakan dan menggunakan bidang-bidang tanah tertentu ditetapkan untuk kepentingan umum. Dan terhadap tanah ini diperkenankan diletakkan hak perseorangan.
4. Orang asing yang mau menarik hasil dari tanah-tanah ulayat harus terlebih dahulu minta izin dari kepala persekutuan, dan harus membayar uangpengakuan, dan setelah panen harus membayar uang sewa.
5. Persekutuan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di atas lingkungan ulayat.
6. Larangan mengasingkan tanah, yang termasuk tanah ulayat artinya baik persekutuan maupun anggota-anggotanya tidak diperkenankan memutuskan secara mutlak sebidang tanah ulayat sehingga persekutuan sama sekali hilang wewenangnya atas tanah tersebut[7].
Kehidupan masyarakat di Maluku sebagiannya tergantung dengan tanah. Tanah dengan segala sumber dayanya adalah bagian yang tidak terlepas pisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari. Ikatan spiritual dan cultural antara masyarakat adat dengan tanah inilah yang kemudian menjadi ciri yang paling menonjol yang membedakan antara masyarakat adat dengan masyarakat yang bukan masyarakat adat yang hanya memandang tanah hanya sebatas sebagai barang ekonomi saja.
Sebagian besar tanah-tanah di maluku adalah tanah adat yang tunduk atau dikuasai oleh hak petuanan dari desa atau negeri dimaksud. Batas-batas petuanan suatu negeri / desa adat di Maluku biasanya bukan hanya dalam ruang lingkup tanah tempat tinggal atau kebun tempat berusaha saja melainkan juga meliputi hutan, sungai dan segala hasil yang terdapat di dalamnya. Pada umumnya batas-batas dari suatu wilayah petuanan sebuah desa adat ditandai dengan tanda alam misalnya tanda batas alam berupa aliran sungai, gunung atau bukit, bebatuan, hutan, dll.
Penentuan batas wilayah petuanan sebuah desa pada awalnya ditetapkan oleh para leluhur atau datuk-datuk lewat saniri negeri atau badan pemerintahan adat sebuah persekutuan adat di masa lalu melalui suatu kesepakatan bersama antara persekutuan-persekutuan adat yang berbatasan .
Seiring dengan perkembangan jumlah jiwa anggota suatu persekutuan adat / negeri tanah-tanah petuanan suatu negeri adat dalam perkembangan selanjutnya dikelola oleh anggota persekutuan tersebut menjadi milik atau hak perorangan dimana hak penguasaan atau pengolahannya lebih kuat dari hak petuanan.
Peranan persekutuan adat tidak hilang begitu saja walau secara perseorangan tanah tersebut telah dikuasai oleh seseorang/keluarga/kelompok , pemerintah negeri dari persekutuan adat tersebut masih memiliki peran untuk membatasi (mengatur) perbuatan hukum yang dilakukan oleh si pemilik tanah tadi guna menjaga ketertiban sebagaimana diharapakan bahwa pembukaan atau pengelolahan suatu tanah petuanan dapat menciptakan kemakmuran atau kesejahteraan bagi anggota persekutuan tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka sesungguhnya masyarakat hukum adat di Maluku, memiliki suatu kewenangan terhadap tanah-tanah yang ada di dalam lingkungan dan pada persekutuan tersebut. Wewenang tersebut berpangkal pada suatu hak penguasaan tanah ulayat berdasarkan hak masyarakat hukum adat dengan mengelola tanah-tanah tersebut untuk kepentingan bersama.
Wewenang masyarakat adat atas tanah dan sumber daya yang dimaksud umumnya mencakup;
1. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman, bercocok tanam,dll) persediaan (pembuatan pemukiman/perladangan baru dll) dan pemeliharaan tanah.
2. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan hak tertentu kepada subyek tertentu)
3. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenan dengan tanah (jual beli, warisan dll).[8]
Kewenangan masyarakat adat tidak hanya terpaut pada obyek tanah, tetapi juga atas obyek-obyek sumber daya alam lainnya yaitu semua yang ada di atas tanah (pepohonan, binatang, bebatuan yang memiliki makna ekonomis); didalam tanah (bahan-bahan galian), dan juga sepanjang pesisir pantai, juga diatas permukaan air, di dalam air maupun bagian tanah yang berada didalamnya.
Sebagai anggota persekutuan setiap individu mempunyai hak untuk mengumpulkan hasil-hasil hutan seperti kayu, rotan dan sebagainya, memburu hewan liar yang hidup di wilayah wewenang persekutuan, mengambil hasil dari pohon-pohon yang tumbuh liar termasuk tanaman obat, membuka tanah dan mengerjakan tanah-tanah itu terus menerus.
Pemanfaatan tanah oleh masyarakat adat di Maluku adalah untuk pemukiman, pekuburan serta untuk bercocok tanam yaitu untuk areal perkebunan dengan komoditas utamanya meliputi kelapa, cengkeh, pala, kakao dan jambu mete, untuk tanaman pangan, yang meliputi padi dan tanaman palawija seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau dll.
Setiap orang yang ingin mendapatkan manfaat atas sebidang tanah-tanah adat yang berada dalam wilayah persekutuan harus atas sepengetahuan dan seizin kepala masyarakat adat setempat (dalam masyarakat adat Maluku disebut pamerentah/raja).
Pemanfaatan Tanah Adat Bagi Pengembangan Investasi di Maluku
Otonomi daerah dengan asas desentralisasi memberikan kewenangan yang besar dan nyata kepada pemerintah daerah untuk mengelola sekaligus membiayai kegiatan pembangunan didaerahnya. Dengan kewenangan yang dimiliki, setiap daerah terus berupaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi didaerahnya masing-masing, termasuk juga Provinsi Maluku.
Berdasarkan RKP Provinsi Maluku tahun 2012 Pertumbuhan ekonomi provinsi Maluku pada tahun 2007 sebesar 5,79% dan mengalami kenaikan hingga 6,02%, sampai tahun 2010 pertumbuhan ekonomi provinsi Maluku mencapai 6,47 % dengan indeks iklim investasi sampai pada tahun 2008 adalah 54,44% atau peringkat 23. Ini menunjukan bahwa perkembangan investasi di Maluku masih rendah, hal ini dikarenakan investasi swasta baik berupa Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) di wilayah Maluku masih sangat kecil. Minimnya infrastruktur wilayah serta rendahnya iklim investasi yang ditandai dengan belum berkembangnnya industri yang memiliki nilai tambah, menjadi salah satu kendala utama, selain juga persoalan jaminan kepastian hak, hukum, perlindungan dan rumitnya prosedur perizinan serta rendahnya pelayanan.
Penyederhanaan prosedur perizinan dan pelayanan penanaman modal merupakan bentuk fasilitas yang harus diperoleh perusahaan penanam modal dari pemerintah, seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Salah satu bentuk kemudahan yang harus diperoleh perusahaan penanaman modal dari pemerintah adalah berupa kemudahan pelayanan dan/ atau perizinan untuk memperoleh hak atas tanah (pasal 21 butir a UU Penanaman Modal).
Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dapat diberikan dan diperpanajang sekaligus dan dapat diperbaharui kembali, berupa : Hak Guna Usaha (HGU) yang dapat diberikan dengan jumlah 95(Sembilan puluh lima) dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbaharui selama 35 (tiga puluh lima) tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbaharui selama 30 (tiga puluh) tahun, dan Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh Puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan dapat diperpanjang dimuka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbaharui selama 25(dua puluh lima) tahun.
Dalam kaitannya dengan hak guna usaha, berdasarkan pasal 28 Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960 yang dimaksudkan dengan hak guna usaha adalah “hak untuk mengusahakan tanah yang kuasai langsung oleh Negara”. Pada kenyataannya di Maluku tidak hanya terdapat tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, tetapi terdapat juga hamparan tanah-tanah adat. Hamparan tanah-tanah adat tersebut, dapat digolongkan ke dalam tiga golongan tanah adat yaitu tanah negeri atau tanah hak petuanan, tanah dati yang dimiliki oleh kerabat atau persekutuan, dan tanah pusaka yang merupakan milik perorangan. Ketiga golongan tanah tersebut masih diatur menurut ketentuan-ketentuan hukum adat.
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan tanah adat bagi orang diluar persekutuan masyrakat hukum adat, hak ulayat mempunyai daya berlaku eksternal,artinya bahwa orang-orang asing yang bukan anggota persekutuan baik para pendatang maupun juga yang berasal dari persekutuan tetangga, dapat memanfaatkan tanah adat dengan lebih dahulu mendapatkan izin dari kepala persekutuan dengan membayar sejumlah uang pengakuan terlebih dahulu dan sebuah ganti rugi yang dibayar kemudian, yang didalamnya orang asing pada prinsipnya tidak dapat memperoleh hak individual atas tanah yang lebih lama dari hak menikmatinya ialah satu periode panen (hak menikmati), dan bahwa para pendatang dari luar ialah orang-orang nonpersekutuan tidak diperkenankan mewarisi, mewariskan maupun membeli dan menerima gadai atas tanah-tanah pertanian, bahkan memasuki daerah hak ulayat dapat saja dilarang secara hukum adat atau diikat dengan persyaratan-persyaratan(terlepas dari pertanyaan apakah secara hukum tata Negara hal tersebut masih dimungkinkan)[9].
Terhadap hal tersebut diatas, terdapat pemahaman yang berbeda antara pemerintah dengan masyarakat hukum adat. Dalam hal pemanfaatan tanah adat untuk pembangunan Pada sektor perkebunan misalnya, pemberian sejumlah uang dalam perspektif pemerintah diartikan sebagai bentuk pelepasan hak. Artinya mayarakat adat melepaskan tanahnya kepada negara, negara kemudian menerbitkan izin berupa HGU untuk perusahaan. Ketika HGU habis maka tanah akan kembali ke dalam bentuk semula.
“Semula” disini tentu adalah tanah negara karena pemerintah bersandar kepada UUPA yang mengatur bahwa HGU ada di atas tanah negara. Sementara dalam perspektif masyarakat hukum adat, “semula” diartikan sebagai “tanah ulayat”. Hal ini dikerenakan pemberian sejumlah uang dalam perspektif masyarakat hukum adat bukanlah pelepasan hak, melainkan hanyalan sebagai suatu pertanda bahwa mereka hanyalah orang luar persekutuan sehingga ketika segala perizinan yang dibebankan di tanah tersebut habis, maka tanah akan kembali kepada Mayarakat adat.
Di samping itu, pengelolaan tanah ulayat dan sumber-sumber agraria oleh pihak ketiga juga sering menimbulkan masalah dalam proses pelaksanaannya. Hal ini dikarenakan kesepakatan-kesepakatan yang dilahirkan seringkali tidak berpihak kepada masyarakat adat. Di samping itu, aktivitas yang dilakukan oleh pihak ketiga kadangkala tidak sesuai dengan izin ataupun kesepakatan yang telah dibuat, bahkan ada yang tidak memenuhi kesepakatan sama sekali. Sehingga mengakibatkan kondisi masyarakat adat jauh dari kesan sejahtera.
Oleh karena itu diperlukan Peraturaan Daerah yang mengatur pemanfaatan tanah ulayat bagi pengembangan investasi yang lebih berpihak pada masyarakat hukum adat sebagai pemegang hak ulayat. Artinya bahwa investor dapat memnfaatkan tanah ulayat berdasarkan kesepakatan dengan masyarakat hukum adat. selaku pemenga hak ulayat masyarakat hukum adat tidak harus melepaskan haknya kepada pihak ketiga tetapi dapat bertindak salah satu pemegang saham dengan prinsip bagi hasil. Namun tentunya kemampuan masyarakat untuk membuat perjanjian-perjanjian kerjasama dengan pihak perusahaan yang dapat merugikan masyarakat adat perlu dikhawatirkan, sehingga disinilah peran pemerintah sangat dibutuhkan sebagai fasilitator.
Pemerintah tidak lagi berperan sebagai pihak dalam perjanjian pemanfaatan tanah adat, tetapi menjadi fasilitator sehingga perjanjian pemanfaatan tanah yang selama ini melibatkan investor Negara dalam hal ini pemerintah dan masyarakat adat, dapat diubah menjadi investor langsung kepada masyarakat hukum adat sebagai suatu badan hukum.
Hanya saja diperlukan suatu tindakan nyata dari negara untuk lebih mempertegas posisi tawar masyarakat hukum adat, yang dilakukan dengan memperbanyak program-program yang lebih memfasilitasi dan memberdayaan masyarakat hukum adat, serta penyusunan suatu Peraturan Daerah yang mengatur tentang pemanfaatan tanah ulayat. Sehingga dapat meminimalisir terjadinya konflik antara masyarakat adat dengan pihak ketiga.
DAFTAR BACAAN
Djaren Saragih, 1996, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung
Martua Sirait,2001, Bagaimana Hak-hak Masyarakat Adat Dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur? Dalam Seri Kajian I Kajian-kajian Hak-hak Masyarakat Di Indonesia; Suatu Refleksi Pengaturan Kebijakan Dalam Era Otonomi daerah, ICRAF- Latin dan P3AE-UI, Jakarta
Ter Haar B, 2011, Asas-asas Dan Tatanan Hukum Adat (Terjemahan), Mandar Maju, Bandung.
Tolib. Setiady, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan, Alfabeta, Bandung
www.snpk-indonesia.com/docs/NVMS_Brief_19072012.pdf, Catatan Kajian Pemantauan Konflik Kekerasan Di Indonesia Peta kekerasan Di Indonesia (Januari-April 2012) edisi 1 Juli 2012
www.siwalimanews.com/, edisi 14 maret 2011 PDRB MALUKU: Picu pertumbuhan ekonomi 6,02%Oleh Newswire on Monday, 7 May 2012
[1] Tulisan ini diterbitkan dalam sebuah buku KOMPILASI PEMIKIRAN TENTANG DINAMIKA HUKUM DALAM MASYARAKAT (Memperingati Dies Natalis ke -50 Universitas Pattimura Tahun 2013), 2013
[2] www.snpk-indonesia.com/docs/NVMS_Brief_19072012.pdf
[3] www.siwalimanews.com/, edisi 14 maret 2011
[4] www.snpk-indonesia.com, Loc. cit
[5] Tolib. Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan, Alfabeta, Bandung, 2009 hal 311.
[6] Ibid hal 312.
[7] Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, 1996, hal 75-76.
[8] Martua Sirait,2001, Bagaimana Hak-hak Masyarakat Adat Dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur? Dalam Seri Kajian I Kajian-kajian Hak-hak Masyarakat Di Indonesia; Suatu Refleksi Pengaturan Kebijakan Dalam Era Otonomi daerah, ICRAF- Latin dan P3AE-UI, Jakarta, hal 6.
[9]Ter Haar B, 2011, Asas-asas Dan Tatanan Hukum Adat (Terjemahan), Mandar Maju, Bandung, hal 55