POLITIK HUKUM DAERAH TENTANG KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
BIDANG KESEHATAN DI KEPULAUAN MALUKU[1]
Oleh : Arman Anwar
Pengantar
William Zevenberger mengutarakan bahwa politik hukum (legal policy) adalah mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan kearah mana hukum akan dibangun. Dengan kata lain, politik hukum memberikan landasan terhadap proses pembentukan hukum yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi, kultur serta nilai yang berkembang di masyarakat dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.[2] Inilah yang disebut oleh Bellefroid dengan istilah, hukum untuk masa yang akan datang (hukum yang dicita-citakan).[3] Mochtar Kusumaatmadja menggunakan terminologi hukum pembangunan.[4] Utrecht menyebutnya sebagai hukum yang sesuai dengan kenyataan sosial (sociale werkelijkheid).[5] Semua pengertian tersebut dibenarkan oleh Machfud MD karena memiliki persamaan substansial. Menurutnya politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi: Pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.[6] Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa Politik hukum adalah bagian dari ilmu hukum yang mengkaji perubahan hukum yang telah ditetapkan atau hukum yang berlaku (ius constitutum) menjadi hukum yang seharusnya berlaku atau hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).
Hukum tidak mungkin ada secara tiba-tiba melainkan sebelumnya dibuat dengan suatu tujuan dan alasan tertentu yang jelas. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu politik hukum. Politik hukum itu ada, oleh karena dibalik itu ada tujuan dan alasan yang hendak dicapai dari dibentuknya hukum tersebut. Menurut Hikmahanto Juwana, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, politik hukum sangat penting, paling tidak, untuk dua hal. Pertama sebagai alasan mengapa diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Kedua, untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan ke dalam kalimat hukum dan menjadi perumusan pasal. Dua hal ini penting karena keberadaan peraturan perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan ‘jembatan’ antara politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan dari politik hukum tersebut dalam tahap implementasi peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan undang-undang tidak lain adalah pencapaian apa yang diikhtiarkan dalam politik hukum yang telah ditetapkan (furthering policy goals).[7]
Berdasarkan pemikiran tersebut maka politik hukum dapat dibedakan dalam dua kepentingan. Kepentingan pertama tercermin dari apa yang menjadi alasan dasar atau kebijakan dasar (basic policy). Dalam dimensi ini maka permasalahan yang terjadi didalam masyarakat sehingga dibutuhkan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai solusinya adalah merupakan alasan atau sebab dari politik hukum untuk membentuk peraturan dimaksud. Contoh kebijakan dasar dibentuknya Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) adalah karena alasan atau sebab tidak adanya lembaga yang berkompeten untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dengan dibentuknya Undang-Undang MK maka permasalahan diatas dapat diselesaiakan. MK dapat memberikan landasan hukum atas eksistensi lembaga ini dan memberikan legitimasi atas putusan yang dikeluarkan. Sedangkan kepentingan kedua dari politik hukum adalah tercermin dari tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakukan peraturan perundang-undangan. Kepentingan ini, disebut juga dengan kebijakan pemberlakuan (enactment policy). Hal ini mengingat peraturan perundang-undangan kerap dijadikan instrumen politik oleh kepentingan pemerintah atau penguasa, baik untuk tujuan positif maupun negatif.[8]
Berdasarkan penjelasan tentang politik hukum diatas maka jika pemikiran teoritis tersebut ditarik dan dekatkan ke arah pembahasan yang lebih spesifik yaitu “politik hukum daerah tentang kebijakan pembangunan bidang kesehatan di Kepulauan Maluku”, hal itu dapat diartikan sebagai proses pembuatan dan pelaksanaan regulasi daerah yang dapat menunjukkan sifat dan kearah mana kebijakan pembangunan bidang kesehatan di Kepulauan Maluku hendak dibangun, atau dengan kata lain kebijakan pembangunan bidang kesehatan dimasa yang akan datang di Kepulauan Maluku yang seperti bagaimanakah yang ingin kita cita-citakan. Untuk itu perlu diketahui lebih dahulu tentang apa yang menjadi alasan dasar atau kebijakan dasar (basic policy) dari politik hukum yang akan atau sedang dilaksanakan dan tujuan apa yang hendak dicapai dibalik kebijakan pemberlakukannya (enactment policy).
Permasalahan Pembangunan Kesehatan di Maluku
Alasan dasar atau kebijakan dasar politik hukum daerah tentang kebijakan pembangunan bidang kesehatan di Kepulauan Maluku adalah disebabkan banyaknya permasalahan mendasar pembangunan kesehatan di Maluku. Kompleksitas permasalahan kesehatan yang muncul merupakan akumulasi dari berbagai faktor. Diantaranya adalah karakterisitik wilayah Maluku yang merupakan provinsi kepulauan. Karakteristik akuatik teristerial dengan wilayah laut yang luas seperti Provinsi Maluku menjadi tantangan tersendiri dalam pembangunan kesehatan, seperti diantaranya adanya tingkat keterisolasian wilayah secara geografis (dari total luas wilayah 712.479,69 Km2, 92,40% adalah lautan), masyarakat tersegregasi dalam teritorial pulau-pulau kecil dan dengan penyebaran yang tidak merata (tersebar pada 1.340 pulau) dan masyarakatnya masih berada pada tingkat kemiskinan yang cukup tinggi (mencapai 22,45% pada September 2011). Kondisi seperti ini menyebabkan intervensi pembangunan kesehatan menjadi cukup sulit karena jauhnya rentang kendali pemerintahan (tugas pokok pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat menjadi lamban), sementara untuk membuka sipul keterisolasian melalui akses dan kenektivitas antar daerah dan pulau dibutuhkan pembangunan infrastruktur yang cukup mahal.
Permasalahan diatas diakui oleh Meikyal Pontoh, bahwa jauhnya rentang kendali dengan letak kecamatan dan kurang tersedianya fasilitas transportasi antar pulau menyebabkan pelayanan kesehatan dalam bentuk intensitas kunjungan tenaga medis ke pulau-pulau dapat dikatakan relatif minim. Masalah ini belum termasuk pengaruh kondisi alam yang harus diperhitungkan dalam jadwal kunjungan dimaksud. Begitupun, kelangkaan fasilitas kesehatan yang memadai dengan sendirinya ikut mempengaruhi keadaan gizi masyarakat, kesehatan ibu dan anak, serta kesehatan lingkungan pada umumnya.[9]
Dari sisi akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan, rendahnya aksesibilitas masyarakat terhadap fasilitas kesehatan tidak saja terkait dengan minimnya ketersediaan fasilitas dimaksud di suatu pulau, tetapi juga ketersediaan transportasi yang memungkinkan warga masyarakat dapat menjangkau fasilitas kesehatan yang terletak dipulau lainnya.[10]
Kepulauan Maluku yang berbatasan langsung dengan negara tetangga tentunya juga membutuhkan langkah strategis melalui berbagai kebijakan pemerintah daerah dalam rangka mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi. Dinamika yang terjadi diwilayah perbatasan dapat menjadi potensi konflik termasuk potensi gangguan kesehatan bagi warga di daerah perbatasan mengingat rentan terhadap penyebaran penyakit berbahaya dan menular yang ditulari melalui interaksi masyarakat setempat dengan orang asing maupun dengan media barang perdagangan.
Interaksi masyarakat dengan orang asing juga banyak terjadi pada beberapa tempat dimana terdapat pelabuhan perikanan. Daerah disekitar lokasi pelabuhan perikanan tersebut kini berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi masyarakat. Namun dibalik ramainya aktivitas ekonomi ternyata juga disinyalir menjadi tempat praktek prostitusi yang pelanggannya kebanyakan adalah ABK kapal penangkap ikan yang rata-rata memperkerjakan nelayan asing. Sudah menjadi rahasia umum kalau pada lokasi-lokasi tersebut diketahui menjadi tempat penyebaran penyakit menular berbahaya seperi HIV/AIDS.
Selain kepulauan Maluku terletak pada jalur perdagangan dan perikanan, Maluku juga terletak di daerah hutan hujan tropis dengan tingkat kelembaban yang tinggi sehingga kepulauan Maluku menjadi tempat hidup yang ideal bagi vektor. Akibatnya, penyebaran penyakit menular seperti malaria mudah terjadi. Disamping itu juga apabila terjadi perubahan iklim global akan mudah terasa pengaruhnya, karena penyakit demam berdarah dengue, pes dan filariosis sangat sensitif terhadap perubahan cuaca. Kondisi semacam ini dapat berdampak pada rentannya kesehatan masyarakat di wilayah tersebut
Namun ironisnya, dari sisi sumberdaya tenaga kesehatan, relatif sedikit yang bersedia mengabdi di pulau-pulau kecil pada wilayah kepulauan. Kepala Dinas Kesehatan Maluku dr. Meikyal Pontoh menyampaikan kesedihannya dengan mengatakan bahwa untuk mendapatkan tenaga dokter tidak tetap (dokter PTT) saja sangat susah.[11] Kurangnya animo tenaga kesehatan untuk mengabdi di sana disebabkan karena disamping terbatasnya sarana dan prasarana juga disebakan karena tingkat pendapatan yang rendah sementara biaya hidup relatif tinggi karena kemahalan yang ada. Sulitnya bagi dokter perawatan primer untuk mendapatkan penghasilan yang layak di pulau-pulau kecil karena begitu banyak pasien mereka yang tidak memiliki kemampuan finansial apalagi asuransi kesehatan. Mereka juga khawatir mengalami penurunan kualitas akibat keterisolasian secara profesional, karena mengingat minimnya sarana informasi dan komunikasi yang tersedia di pulau kecil yang dapat mereka gunakan untuk meningkatkan akses pengetahuan mereka terhadap perkembangan dunia kedokteran terkini yang semakin maju dan modern. Sehingga dapat dimengerti jika kemudian kebanyakan dokter tidak ingin menghabiskan hidup mereka di pulau kecil bergaji rendah dengan beban kerja yang berat karena terpaksa harus bertugas sendiri memberikan layanan 24 jam kepada masyarakat. Apalagi harus keluar dari arus utama profesi mereka karena keterisolasian profesional.
Sangat sedikitnya dokter yang bersedia mengabdi di pulau kecil apalagi di pulau perbatasan, telah berakibat pada unit pelayanan kesehatan sering tidak memiliki tenaga dokter dan terkadang semuanya harus dilayani hanya oleh tenaga perawat. Akhirnya tidak mengherankan kalau ratio tenaga medis pada daerah kepulauan cukup memprihatinkan,[12] Hal ini sudah pasti akan berdampak pada IPM di kepulauan Maluku menjadi sangat rendah.[13]
Dari sisi ketersediaan layanan farmasi, unit pelaksana teknis dinas kefarmasian sebagai unsur pelaksana teknis operasional Dinas Kesehatan di bidang farmasi (UPTD) pada Kabupaten/Kota juga diperhadapkan pada berbagai permasalahan seperti biaya distribusi obat relatif kecil sementara cakupan pelayanannya begitu luas belum lagi tingkat kesulitan yang tinggi karena baratnya wilayah yang harus dijangkau. Apalagi sarana transportasi untuk penyaluran obat milik UPTD kefarmasian sangat minim. Masalah lainnya seperti tidak adanya biaya operasional dan sarana pendukung dan penunjang pemeliharaan obat sehingga mempengaruhi mutu obat yang berakibat rusaknya beberapa jenis obat karena paparan suhu panas, maupun organisme hidup lainnya, ditambah lagi dengan lemahnya kerjasama antara Dinas Kesehatan, Puskesmas dengan UPTD Kefarmasian, menyebabkan unit pelaksana teknis ini kesulitan dalam membuat perencanaan pengadaan obat yang baik dan sesuai dengan kebutuhan. sebagai contoh misalnya sebagian besar laporan Napsa tidak dikirim oleh Rumah Sakit, Puskesmas, atau Apotek ke UPTD kefarmasian. Belum lagi masalah kurangnya SDM yang kompeten di bidang Kefarmasian di UPTD Kabupaten/Kota, dan masih banyak lagi masalah yang lain seperti banyaknya program kefarmasian selain pengadaan obat yang tidak diakomodir, program kegiatan peningkatan kapasitas petugas pengelola obat di Puskesmas maupun di Kabupaten ataupun kegiatan lainnya. Masalah selalu bersifat klasik yaitu karena ketiadaan anggaran. Karena tidak tersedianya anggaran juga telah menjadi alasan lemahnya pengawasan peredaran obat di masyarakat terutama di apotek, apotek rakyat, toko obat, atau warung/kios dan lain-lain. [14] Semuanya ini menyebabkan masyarakat di kepulauan Maluku berada pada posisi yang termarginalkan dalam pelayanan kesehatan.[15]
Dengan demikian maka fenomena empirik yang terlihat secara konkrit terkait dengan karakteristik daerah kepulauan di atas adalah, (a) terbatasnya sarana dan prasarana pelayanan dasar; (b) terbatasnya kemampuan keuangan daerah; (c) sarana dan prasarana tranportasi laut dan udara yang sangat minim; (d) biaya tranportasi dalam rangka pelayanan pemerintahan yang sangat mahal; (e) terbatasnya aksesibilitas masyarakat secara umum; (f) masih adanya isolasi fisik dan sosial; (g) adanya ketergantungan fiskal yang sangat tinggi kepada Pemerintah; (h) belum berkualitasnya berbagai layanan pemerintahan baik layanan publik maupun sipil; (i) masih adanya disparitas ekonomi antar daerah; (j) rendahnya kualitas sumberdaya manusia.[16]
Semunya ini merupakan permasalahan mendasar yang menjadi alasan dasar atau kebijakan dasar (basic policy) diperlukannya politik hukum daerah dalam pembangunan kesehatan di kepulauan Maluku.
Kebijakan Pemberlakukan
Berbeda dengan alasan dasar atau kebijakan dasar yang lebih bersifat netral/murni obyektif maka sebaliknya kebijakan pemberlakukan memiliki muatan politis karena sangat bergantung pada apa yang diinginkan oleh pembuat regulasi didaerah.
Kebijakan pemberlakuan suatu regulasi daerah dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar daerah Maluku, misalnya kebijakan pembangunan bidang kesehatan dari pemerintah pusat secara nasional yang terlalu berorientasi kedaerah daratan (kontinental), seperti misalnya program bantuan pengadaan mobil untuk difungsikan sebagai Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) keliling. Mereka mungkin lupa atau sengaja tidak tahu bahwa pada provinsi yang berkarakteristik kepulauan tentu yang lebih diperlukan adalah kapal yang difungsikan sebagai Puskesmas Keliling. Mencermati hal tersebut, Agus Purwadianto mengingatkan agar penanganan pelayanan kesehatan masyarakat harus memperhatikan kondisi keragaman masing-masing daerah. Perbedaan karakteristik suatu daerah dengan daerah lain perlu diperlakukan berbeda dalam pelayanan kesehatan dan disesuaikan dengan kebutuhan daerah yang bersangkutan.[17]
Demikian juga, pengaturan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana dalam UU No. 33 Tahun 2004 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005, selalu menguntungkan daerah dengan karakteristik kontinental, terutama terkait dengan Dana Alokasi Umum (DAU) yang menyangkut indikator luas wilayah yang hanya memperhitungkan luas wilayah darat. Setelah Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan dimana di dalamnya bergabung 7 (tujuh) Provinsi Kepulauan memperjuangkannya barulah Pemerintah memperhatikannya, akan tetapi formula perhitungan DAU masih tetap mengabdi pada PP Nomor 55 Tahun 2005 tersebut. Dalam konteks ini cara menghitung luas wilayah yang hanya wilayah darat. Hal ini dapat merugikan masyarakat pada daerah-daerah kepulauan. Perhitungan DAU seperti ini dapat dinilai sebagai suatu kebijakan yang diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 25A, Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Seharusnya, cara menghitung DAU harus dilakukan dengan rumus “daerah kontinental (wilayah kecil dan penduduk banyak) sama dengan daerah kepulauan (wilayah besar dan penduduk sedikit tapi tersebar)”. Hal ini penting karena, perhitungan luas wilayah laut masih mengacuh pada Pasal 18 ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2004, dimana cara menghitung luas wilayah lautnya masih berorientasi pada daerah kontinental. Demikian juga halnya dalam pembagian dana bagi hasil perikanan masih dirasa tidak adil bagi Maluku. Jumlah DAU dan dana bagi hasil yang kecil dan tidak adil bagi Provinsi Maluku sangat berdampak pada ketersediaan anggaran yang memadai bagi pembiayaan pembangunan termasuk bidang kesehatan di Kepulauan Maluku. Akibatnya pembangunan infrastruktur kesehatanpun menjadi lambat.
Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam daerah Maluku seperti keinginan individu, atau kelompok yang memegang kekuasaan membentuk regulasi daerah, keinginan partai politik, keinginan lembaga swadaya masyarakat, serta keinginan masyarakat di daerah Maluku.
Kebijakan pemberlakuan memiliki muatan politis karena kebijakan pemberlakuan pada dasarnya bergantung pada kehendak pembuat regulasi didaerah. Ini berbeda dengan kebijakan dasar yang lebih bersifat netral dan bergantung pada nilai obyektif.
Regulasi daerah salah satunya adalah peraturan daerah (Perda). Perda adalah aturan daerah dalam arti materiil (in materieele zin). Perda mengikat (legally binding) terhadap warga dan penduduk daerah otonom. Regulasi Perda merupakan bagian dari kegiatan legislasi lokal dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang berkaitan dengan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Kedudukan Perda pada era otonomi luas dewasa ini sangat penting dan menjadi lebih kuat.[18]
Kebijakan pemberlakuan atas sebuah Perda dapat diketahui dengan menganalisa substansi perda tersebut yang secara eksplisit terdapat dalam konsideran menimbang atau penjelasan umum. Sayangnya Perda menyangkut bidang kesehatan di Maluku sangatlah sedikit sehingga sangat sedikit pula yang dapat dianalisa.
Hasil analisa terhadap Perda yang ada, ditemukan bahwa kebijakan pemberlakukannya masih jauh dari alasan dasar atau kebijakan dasar (basic policy) sebagai tujuan dari politik hukum daerah dalam pembangunan kesehatan di kepulauan Maluku. Pada umumnya Perda tentang kesehatan di Maluku hanya mengatur tentang retribusi daerah bidang kesehatan yang orientasinya hanya pada upaya bagaimana menggali potensi daerah dalam bidang kesehatan guna dijadikan sebagai sumber penerimaan daerah untuk membantu meringankan pembiayaan pengeluran daerah. Seperti Perda Provinsi Maluku No. 16 Tahun 2008 tentang Pengawasan, Pengendalian dan Peredaran Minuman Beralkohol. Perda Kabupaten Maluku Tenggara No. 14 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan, Perda Kabupaten Maluku Tenggara No. 16 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan, dan Perda Kabupaten Buru No. 15 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan. Selebihnya masih berkutat pada pengaturan internal organisasi seperti Perda Kabupaten Buru No. 02 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Buru, Perda Kabupaten Maluku Tenggara No. 05 Tahun 2011 tentang Susunan Organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Maluku Tenggara.
Adapun keinginan pembentukan Perda yang substansinya mengarah pada politik hukum daerah yang semestinya yaitu yang sesuai dengan kebijakan pembangunan kesehatan di kepulauan Maluku nampaknya mulai ada titik terang dengan lahirnya beberapa Ranperda seperti Ranperda Provinsi Maluku tentang Pemberian Dana Cadangan Pembangunan Rumah Sakit Pendidikan dan Ranperda Kota Ambon tentang Pengelolaan Wilayah Teluk dan Pesisir Pantai. Semoga Ranperda dimaksud bisa menjadi cikal bakal ius constituendum bagi daerah Maluku dan mempertegas garis politik hukum daerah dalam kebijakan pembangunan bidang kesehatan di Maluku.
Supremasi hukum didaerah yang dilandasi oleh sistem yang adil dan akomodatif terhadap kepentingan masyarakat daerah kepulauan merupakan salah satu tuntutan semangat reformasi sebagai wujud perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Oleh sebab itu pembangunan hukum harus diselaraskan dengan permasalahan daerah agar pembangunan yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan karakteristik daerahnya. Permasalahan pembangunan kesehatan di wilayah kepulauan penting diperhatikan karena sangat urgen bagi eksistensi dan kesejahteran masyarakat di wilayah tersebut.
Pemerintah daerah memiliki peranan dan tanggung jawab besar untuk melindungi kesehatan seluruh masyarakat. Termasuk menjaga kondisi lingkungan yang sehat bagi warganya. Pemerintah daerah dengan kemampuan yang dimiliki harus membuat kebijakan yang pro rakyat dibidang pelayanan kesehatan. Peraturan Daerah adalah salah satu sarana pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang dapat memberikan pelayanan kesehatan secara maksimal kepada masyarakat. Berbagai upaya tersebut harus dilakukan kearah kesatuan pembangunan kesehatan untuk seluruh masyarakat yang menyeluruh terpadu dan berkesinambungan mencakup upaya peningkatan (promotif), upaya pencegahan (preventif), upaya penyembuhan (kuratif) dan upaya pemulihan (rehabilitatif).[19]
Munculnya kesadaran masyarakat yang tinggi akan haknya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal sementara dalam realitasnya masih terdapat unit-unit pelayanan kesehatan dimasyarakat yang tidak memiliki tenaga kesehatan telah membuat sebagian warga masyarakat di kepulauan Maluku (apalagi rakyat miskin) masih melihat kesehatan sebagai barang mewah. Untuk itu Perda harus mengatur dan memberikan koridor yang jelas terhadap hak-hak masyarakat dan menjamin adanya kepastian hukum serta keadilan bagi masyarakat miskin melalui Jamkesda.
Posisi Peraturan Daerah yang sangat strategis disadari dapat menjadi sesuatu yang utama (supreme) dalam kehidupan masyarakat lokal. Hal ini sesungguhnya harus difahami oleh pemerintah daerah, elit politik di DPRD dan masyarakat Maluku apalagi setelah keluar dari keterpurukan dalam krisis multi dimensional yang berkepanjangan beberapa waktu lalu. Kegagalan otoritas kekuasaan, tidak transparan dan akuntabilitas pemerintah kepada rakyat serta munculnya berbagai penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dimasa lampau hendaknya menjadi pelajaran sehingga tidak terulang kembali. Oleh karena itu, sudah saat pembangunan bidang kesehatan di Maluku harus diawasi dan didukung melalui Peraturan Daerah yang baik.
Peraturan daerah di kepulauan Maluku paling tidak harus terkait erat dengan beberapa hal seperti penyediaan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai, penyediaan sumber daya manusia yang kompeten dibidangnya masing-masing, dukungan pembiayaan dan insentif serta manajemen program kesehatan secara efektif dan sesuai dengan kondisi kewilayahan.
Sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan, Pemerintah Daerah secara bertahap diakui telah terus menerus berupaya meningkatkan cakupan penyediaan sarana dan prasarana kesehatan di masyarakat melalui pembangunan unit pelayanan kesehatan masyarakat dan pos-pos kesehatan di desa serta peningkatan jumlah dan jenis alat kesehatan dalam menunjang pelayanan kesehatan pada unit-unit pelayanan kesehatan tersebut. Walaupun disadari upaya-upaya yang telah ditempuh tersebut belum sepenuhnya telah memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat.
Upaya pembangunan kesehatan di daerah kepulauan Maluku masih diperhadapkan pada banyak tantangan sehingga dibutuhkan politik hukum daerah dimana kebijakan pembentukan Peraturan Daerah tersebut hendaknya relevan antara alasan dasar atau kebijakan dasarnya (basic policy) dengan kebijakan pembentukannya (enactment policy), sehingga diharapkan kedepan politik hukum daerah dalam kebijakan pembangunan kesehatan di kepulauan Maluku tidak sampai nanti dikatakan jauh panggang dari api.
Daftar Bacaan
Abdul Latif, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, Makalah pada Kerja Latihan Bantuan Hukum, LBH, Surabaya, September 1985
Agus Purwadianto, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Kesehatan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2009
Bahder Johan, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rhineka Cipta, Jakarta, 2005
Bellefroid, JHP, Inleiding tot de Rechswetenschap in Nederlands, Dekker & Van Vegt, Nijmegen Utrecht, 1952
BPS Provinsi Maluku, Maluku dalam Angka 2010
Hikmahanto Juwana, Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23-No 2 Tahun 2004
Karel Albert Ralahalu, Berlayar dalam Ombak Berkarya bagi Negeri Pemikiran Anak Negeri untuk Maluku, Ralahalu Institut, Ambon, 2012,
Kepala UPTD Kefarmasian Dinas Kesehatan Kabupaten Buru, Pemenuhan Obat Pada Unit Pelayanan Kesehatan, Malakah Disampaikan Dalam Rakerkesda Dinas Kesehatan Kabupaten Buru. Namlea, 4 April 2011.
Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar ilmu Hukum Suatu pengantar Pertama Ruang lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Provinsi Kepulauan
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1961
William Zevenberger, Formele Encyclopaedie der Rechtswetenschap, Gebr Belinfante s’Gravenhage, 1925
[1] Tulisan ini diterbitkan dalam sebuah buku KOMPILASI PEMIKIRAN TENTANG DINAMIKA HUKUM DALAM MASYARAKAT (Memperingati Dies Natalis ke -50 Universitas Pattimura Tahun 2013), 2013
[2]William Zevenberger, Formele Encyclopaedie der Rechtswetenschap, Gebr Belinfante s’Gravenhage, 1925, page 9
[3] Bellefroid, JHP, 1952, Inleiding tot de Rechswetenschap in Nederlands, Dekker & Van Vegt, Nijmegen Utrecht, page18
[4] Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar ilmu Hukum Suatu pengantar Pertama Ruang lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hlm 139
[5] Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1961, hlm 53
[6] Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, Makalah pada Kerja Latihan Bantuan Hukum, LBH, Surabaya, September 1985
[7] Hikmahanto Juwana, Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23-No 2 Tahun 2004, hlm 52
[8]Dalam hal positif misalnya pembuatan undang-undang oleh pemerintah dimaksudkan dalam rangka memajukan kesejahteran rakyat, meningkatkan ekonomi, dan lain-lain. Sementara dalam konteks negatif misalnya pada pemerintahan oteriter maka pemerintahan akan berupaya melanggengkan kekuasaannya dengan melegitimasi kekuasaan melalui undang-undang yang dibuatnya.
[9] Meikyal Pontoh, Tantangan dan Masalah Pembangunan Kesehatan Berbasis Gugus Pulau, Dalam Karel Albert Ralahalu, Berlayar dalam ombak Berkarya bagi Negeri Pemikiran Anak Negeri untuk Maluku, Ralahalu Institut, Ambon, 2012, hlm 587
[10] Ibid
[11] Dokter PTT di Maluku masih kurang, dalam http://www.suarapembaharuan.com/, diakses 12 Maret 2013
[12] Ratio jumlah dokter umum di Kabupaten Buru tahun 2009-2010 adalah 10 dokter sementara jumlah penduduk yang harus dilayani adalah 108.362 jiwa (Evaluasi Program Kesehatan Kabupaten Buru 2009, Dinas Kesehatan Kabupaten Buru dalam Rekerkesda Kabupaten Buru di Namlea, 20 – 21 September 2010 ). Dokter spesialis, dari 11 Kabupaten/Kota di Maluku hanya 4 Kabupaten/Kota yang tersedia dokter spesialis yaitu masing-masing Maluku Tenggara Barat: 1, Maluku Tengah: 4, Buru: 2, dan Ambon 21 sementara jumlah penduduk Maluku secara keseluruhan menurut hasil Sensus tahun 2000 adalah 1.200.067 jiwa (BPS Provinsi Maluku, Maluku dalam Angka 2010)
[13] Tiga faktor yang sangat berpengaruh dalam indeks pembangunan manusia (IPM) yaitu pendidikan, kesehatan dan ekonomi, bidang kesehatan paling dominan dalam meningkatkan IPM
[14] UPTD Kefarmasian Dinas Kesehatan Kabupaten Buru, Pemenuhan Obat Pada Unit Pelayanan Kesehatan, Malakah Disampaikan Dalam Rakerkesda Dinas Kesehatan Kabupaten Buru Namlea, 4 April 2011.
[15] Khusus dalam bidang kefarmasian Jumlah Apotik di Maluku relatif masih sedikit di Maluku Tenggara Barat: 2, Maluku Tenggara:3, Maluku Tengah: 9, Buru:2, Seram Bagian Barat: 2, yang terbanyak di Ambon: 41 sementara di Tual, Seram Bagian Timur, Kepulauan Aru, Buru Selatan dan Maluku Barat Daya belum tersedia apotik. (BPS Provinsi Maluku, Maluku dalam Angka 2010).
[16] Naskah Akademik RUU Provinsi Kepulauan, hlm 13
[17] Agus Purwadianto, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Kesehatan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2009, hlm 35
[18] Menurut Bagir Manan, kedudukan Perda begitu kuat sehingga tidak semua Perda yang bertentangan dengan dengan peraturan yang lebih tinggi bisa dibatalkan dengan judicial review, kecuali bertentangan dengan UUD atau UU/Perpu. Jika Perda bertentangan dengan PP atau Perpres, bisa saja ia tetap berlaku sementara yang dibatalkan adalah PP atau Perpres bersangkutan, yakni dalam hal PP atau Perpres itu mengatur masalah yang oleh UU telah diserahkan sebagai urusan daerah (PP dan Perpres itu mengandung ultra vires yakni mengatur hal yang diluar kewenangannya), lihat Abdul Latif, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 115
[19] Bahder Johan, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rhineka Cipta, Jakarta, 2005, hlm 2