HUKUM VERSUS KEKUASAAN DI NEGARA DEMOKRASI PANCASILA
Oleh : Dr. Saartje Sarah Alfons, SH, MH
Hukum, kekuasaan dan demokrasi merupakan sesuatu yang saling berkaitan dalam negara yang menganut sistem demokrasi. Hukum dipergunakan untuk melegitimasi kekuasaan, agar kekuasaan tersebut bisa diakui, sebaliknya hukum dipergunakan untuk mengontrol kekuasaan agar tidak bertentangan dengan demokrasi. Demokrasi yang pernah berlaku di Indonesia adalah demokrasi Pancasila yang secara subtansi sangat berbeda dengan demokrasi Barat.
Jika hukum tanpa kekuasaan adalah lumpuh namun kekuasaan tanpa hukum merupakan kekuasaan belaka. Hukum dan kekuasaan sebagai dua sistem kemasyarakatan. Hukum dan kekuasaan sangat erat kaitannya, manakala ketika hukum tidak selalu dapat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, atau penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mampu memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang seharusnya diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum[1].
Idealnya, kekuasaan itu bersumber pada wewenang formal yang memberikan wewenang atau kekuasaan kepada seseorang atau lembaga tertentu. Ini berarti, kekuasaan tersebut bersumber pada hukum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur pemberian wewenang tadi.[2] Jadi, jelaslah bahwa sejak dahulu sampai sekarang, masalah kekuasaan terutama di dalam negara, selalu menjadi bahan pikiran dan renungan, lebih-lebih setelah rakyat suatu negara sadar akan kedudukannya di dalam masyarakat dan negara. Karena sadar bahwa kekuasaan di manapun mempunyai kecenderungan untuk disalahgunakan, maka rakyat melalui pemimpin-pemimpinnya berusaha untuk memberikan pembatasan terhadap kekuasaan tersebut. Salah satu pembatasan yang telah lama dilakukan ialah melalui konstitusi ebagai sumber hukum formalnya[3].
A. Hukum dan Kekuasaan
Dalam bahasa Indonesia “hukum” dipergunakan sebagai sebutan untuk mengganti istilah lain dalam bahasa Belanda “recht”. Recht dalam bahasa Latin “rectum” berarti lurus, pimpinan atau memimpin. Dengan demikian, dalam arti ini, hukum disamakan dengan sesuatu yang memimpin atau meluruskan. Namun, ntuk dapat memimpin atau meluruskan harus ada hal yang lain yang sangat penting yaitu kewibawaan.
Immanuel Kant menyatakan, yang mewajibkan kita menyesuaikan diri secara mutlak kepada norma atau patokan moral adalah hukum. Hukum bukanlah merupakan pembatasan-pembatasan yang tanpa dalih, akan tetapi, hukum memimpin manusia kepada tujuannya, yaitu kebahagiaan hidup bersama dengan anggota masyarakat yang lain. Hukum tidak bertentangan dengan kebebasan, melainkan justru membebaskan manusia dari keterikatannya, karena ketidaktahuan dan kekeliruan pengertian bahwa kebebasan merupakan daya untuk mengarahkan diri menuju kebaikan dengan perantaraan hukum, sebab hukum adalah pengaturan atas dasar kerja akal yang diumumkan oleh pemerintah atau penguasa, dengan tujuan kebahagiaan umum. Oleh karena itu, bentuknya harus memerintah, isinya selaras dengan budi dan tujuannya adalah mengabdi kepada masyarakat. Oleh karena itu, ketaatan terhadap ciptaan pemerintah tersebut, hukum serta peraturan – peraturan yang lain harus berdasarkan pada kerelaan masyarakat. Individu-individu itu harus jadi tuan bagi dirinya sendiri.[4]
Tujuan lebih jauh dari hukum adalah mewujudkan kedamaian sejati di dalam masyarakat, sehingga dapat terasa ketentraman dalam bathin setiap warga masyarakat. Walaupun disadari bahwa hukum itu membawa pelbagai pembatasan dan pengorbanan, tetap dinilai jauh lebih baik kalau dibandingkan dengan keadaan tanpa hukum. Oleh karena itu, masyarakat bersedia untuk menerima hukum karena masyarakat juga sadar bahwa kadang-kadang kepentingan individual lebih kuat ketimbang penilaian itu, tatanan normatif itu dikokohkan dengan sistem sanksi. Karena tatanan itu hanya berguna kalau semua terikat olehnya, maka jelas bahwa bukan sembarang tatanan normative yang dipaksakan boleh disebut hukum. Penerimaan dan legitimasi masyarakat termasuk ke dalam hakikat hukum[5].
Hukum memerlukan suatu kekuasaan untuk mendukungnya. Ciri utama inilah yang membedakan adanya hukum di satu pihak dengan norma-norma lainnya di pihak lainnya dan norma agama. Kekuasaan itu diperlukan karena hukum bersifat memaksa. Tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan hukum di masyarakat akan mengalami hambatan-hambatan. Semakin tertib dan teratur suatu masyarakat, makin berkurang diperlukan dukungan kekuasaan.
Hukum itu sendiri sebenarnya juga adalah kekuasaan. Hukum merupkan salah satu sumber dari kekuasaan, di samping sumber-sumber lainnya seperti kekuatan (fisik dan ekonomi), kewibawaan (rohaniah, intelegensia, dan moral). Selain itu, di dalam hukum sendiri terdapat empat unsur yaitu perintah (command), sanksi (sanction), kewajiban (duty), dan kedaulatan (saveregnty)[6].
Kekuasaan pada hakikatnya adalah sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan atau kesejahteraan. Apalagi dalam era modernisasi, peran dan kekuasaan negara mendesak untuk makin tampil sebagai pengontrol dan regulator masyarakat dalam menjaga batas dan mengendalikan konflik secara rasional[7]. Dalam rana empirik, sebaliknya kekuasaan justru menimbulkan ketidakadilan atau kesengsaraan dimana-mana. Hal ini terjadi ketika hukum harus tunduk kepada kekuasaan atau ketika hukum dianggap sebagai bagian dari kekuasaan, dan sebaliknya. Akibatnya, hukum tidak dapat diharapkan lagi sebagai kekuatan pengontrol, justru menjadi mesin kekuasaan untuk menindas kelompok-kelompok yang tidak sejalan dengan kekuasaan. Keputusan-keputusan hukum yang menyangkut kekuasaan sering memberikan pembenaran terhadap perilaku kekuasaan[8].
B. Hukum dan Demokrasi Pancasila
Hubungan antara hukum dan demokrasi dapat diibaratkan dengan dua sisi mata uang, dalam arti bahwa kualitas hukum suatu Negara menentukan kualitas demokrasinya. Artinya, Negara-negara yang demokratis akan melahirkan pula hukum-hukum yang berwatak demokratis, sedangkan Negara-negara yang otoriter atau non demokratis akan lahir hukum-hukum yang non demokratis[9].
Secara historis tercatat bahwa prinsip demokrasi lahir sebagai saudara kembar dari prinsip hukum dalam negara-negara modern. Ketika gagasan demokrasi muncul kembali setelah tenggelam karena takluknya Romawi terhadap Eropa Barat, maka pemunculan itu diikuti oleh prinsip hukum sebagai prosedur untuk memproses aspirasi rakyat dan prosedur untuk menegakkannya. Jadi dapat diketahui bahwa revolusi Prancis yang merupakan tonggak berdirinya demokrasi sekaligus disusul pula dengan lahirnya negara hukum. Jadi demokrasi dan hukum itu lahir dari ibu kandung yang sama[10]
Menurut Prof. Padmo Wahjono, S. H, demokrasi Pancasila adalah demokrasi secara genius bearti pemerintahan oleh rakyat, yang dengan demikian mendasarkan hal-ihwal kenegaraannya pada kekuasaan rakyat dengan mekanisme demokrasi.
Secara konstitusional rumusan demokrasi Pancasila berpedoman kepada pasal 1 ayat 2 UUD 1945. Rumusan tersebut mendeskripsikan, bahwa demokrasi Pancasila digali dari kultur dan adat masyarakat Indonesia, sehingga demokrasi Pancasila itu merefleksikan demokrasi asli bangsa Indonesia yang memiliki karakteristik tersendiri dari demokrasi yang dipahami oleh masyarakat Barat. Dengan demikian, Pancasila merupakan jiwa dari sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, tiap-tiap sila dalam Pancasila menjadi dasar bagi demokrasi Indonesia[11].
Menurut Notonegoro demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang dijiwai oleh Pancasila, yang di antara sila-silanya saling berkaitan. Maka, dapat dirumuskan bahwa demokrasi Pancasila adalah demokrasi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berketuhanan Yang Maha Esa, yang berkeprikemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Demokrasi Pancasila tidak mengenal pemisahan kekuasaan (Sparation of Power) antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tetapi pembagian kekuasaan (distribution of power). Hal ini bisa dilihat pada stuktur organisasi pemerintahan negara. Menurut UUD 1945, antara kekuasaan eksektutif dan legislatif tidak terpisahkan. Ketentuan ini dapat dilihat pada pasal 5 ayat 1 UUD 1945, yang telah menggariskan adanya kerjasama antara presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif dalam tugas pembuatan perundang-undangan.
Kemudian demokrasi Pancasila mengandung beberapa aspek, yaitu: Pertama, aspek formal, yang menunjukkan bagaimana cara-cara pastisipasi rakyat di atur dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, aspek materiil, yang menegaskan pengakuan atas harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan, yang menghendaki pemerintahannya untuk membahagiakannya dan memanusiakan warga dalam masyarakat negara dan masyarakat bangsa-bangsa. Ketiga, aspek kaidah, yang mengikat negara dan warga negara dalam bertindak, dan menyelenggarakan hak dan kewajiban serta wewenangnya. Keempat, aspek tujuan, yang menunjukkan keinginan atau tujuan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera dalam negara hukum, negara kesejahteraan, dan negara berkebudayaan. Kelima, aspek organisasi, yang mengambarkan perwujudkan demokrasi Pancasila dalam organisasi pemerintahan, kehidupan bernegara, dan masyarakat. Keenam, aspek semangat, yang menekankan bahwa demokrasi Pancasila memerlukan warga negara yang berkepribadian, berbudi luhur, dan tekun dalam pengabdian[12].
C. Penutup
Hubungan antara Negara Hukum dan Demokrasi memiliki keterkaitan yang era Dimana syarat dan unsur dalam sistem demokrasi, seperti misalnya perlunya pembatasan kekuasaan melalui hukum dasar yakni konstitusi,juga merupakan bagian dari konsepsi negara hukum. Demokrasi mempunyai prinsip kemerdekaan dan kebebasan, maka agar demokrasi itu tidak melahirkan kemerdekaaan dan kebebasan yang tanpa batas,maka diperlukan hukum sebagai rambu bagi negara demokrasi. Sedangkan Negara Hukum itu sendiri adalah suatu negara yang apabila tindakan pemerintah dan rakyatnya berdasarkan atas aturan hukum yang berlaku.
Demokrasi Pancasila mengandung beberapa aspek, yaitu: Pertama, aspek formal, yang menunjukkan bagaimana cara-cara pastisipasi rakyat di atur dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, aspek materiil, yang menegaskan pengakuan atas harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan, yang menghendaki pemerintahannya untuk membahagiakannya dan memanusiakan warga dalam masyarakat negara dan masyarakat bangsa-bangsa. Ketiga, aspek kaidah, yang mengikat negara dan warga negara dalam bertindak, dan menyelenggarakan hak dan kewajiban serta wewenangnya. Keempat, aspek tujuan, yang menunjukkan keinginan atau tujuan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera dalam negara hukum, negara kesejahteraan, dan negara berkebudayaan. Kelima, aspek organisasi, yang mengambarkan perwujudkan demokrasi Pancasila dalam organisasi pemerintahan, kehidupan bernegara, dan masyarakat. Keenam, aspek semangat, yang menekankan bahwa demokrasi Pancasila memerlukan warga negara yang berkepribadian, berbudi luhur, dan tekun dalam pengabdian.
Daftar Pustaka
[1] Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2009), h. 7
[2] Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya(Bandung: Remadja Karya CV, 1989), h. 158
[3] Sri Soemantri, Masalah Ketatanegaraan Dewasa Ini(Bandung: Alumni Bandung, 1984), h. 8
[4] Dorothy Pickles, Pengantar Ilmu Politik (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 5
[5] Fransz Magnis Suseno, Etika Politik (Jakarta: PT.Gramedia, 1987), h. 75
[6] Manan, Abdul, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta: Kencana. h. 107
[7] Rahardjo, Satjipto,2006, Hukum dalam Jagat Ketertiban, Jakarta: UKI Press. h.52
[8] Gunaryo, Ahmad, 2001, “Birokrasi dan Pertanggungjawaban Hukum di Indonesia”, dalam Ahmad Gunaryo (ed), Hukum Birokrasi & Kekuasaan di Indonesia, Semarang: Walisongo Reasearch Institute. h. 15
[9] Mahfud MD, Moh, 1999, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta: PT. Gama Media. h. 53
[10] Ibid h. 176
[11] Montoha, 1998, “Hukum dan Kekuasaan Suatu Kajian Fiqh Siyasah”, dalam Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi (ed), Hukum dan Kekuasaan, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. h 122-123
[12] Ibid h. 124