Implikasi Hukum versus Kekuasaan Bagi Negara Demokrasi Pancasila

Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara

Implikasi Hukum versus Kekuasaan Bagi Negara Demokrasi Pancasila

Oleh

Reny Heronia Nendissa[1]

 

1. Pengantar

Siapa yang kuat, maka dialah yang menang dan berhak melakukan apa saja bahkan kepada siapa saja. Itulah realitas yang dirasakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari – hari. Kekuatan yang dimiliki dikarenakan adanya kekuasaan. Akibat kekuasaan yang dimiliki, seseorang dapat melakukan hal – hal yang diingini oleh pemilik kekuasaan.

Sulit dibantah bahwa keinginan berkuasa ada pada individu atau kelompok. Inti dari kekuasaan adalah hasrat untuk mendominasi pihak lain dan menundukkan mereka dibawah pengaruh dan kontrolnya. Kekuasaan dalam bentuknya berupa tindakan kesewenangan dalam kehidupan sosial. Dorongan akan kekuasaan menjelma dalam berbagai bentuk bergantung kepada kualitas dan kapasitas individu tersebut. Dorongan tersebut dapat berupa keinginan akan kekuasaan politis, finansial, atau kekuasaan intelektual.[2]

Jika seseorang memiliki kekuasaan untuk melakukan atau tidak melakukan apa saja yang disukai atau tidak disukai, maka adakah yang dapat membatasi kekuasaan seseorang tersebut ? Namun, jika dikaji berdasarkan eksistensi hukum sebagai pengatur kehidupan bermasyarakat, apakah hukum dapat membatasi kekuasaan atau apakah kekuasaan berpengaruh terhadap eksistensi hukum?

 

2. Konsep Hukum

Hakikat hukum dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu definisi tentang hukum. Sampai saat ini menurut van Apeldoorn sebagaimana dikutipnya dari Immanuel Kant, para ahli hukum masih mencari tentang apa definisi hukum ( Noch suchen die juristen eine definition su ihren Begriffe von Recht).[3]

Berdasarkan berbagai literatur dan pendapat pakar, pengertian hukum dapat diklasifikasikan sebagai rujukan dalam mendefinisikan pengertian hukum, diantaranya yaitu : (1) Hukum dianggap sebagai norma atau kaidah hukum; (2) Hukum sebagai gejala perilaku dalam masyarakat; dan (3) hukum sebagai kenyataan hukum yaitu sebagai ilmu pengetahuan.[4]

Radbruch menggunakan istilah ilmu hukum dalam arti sempit sebagai ilmu yang mempelajari makna obyektif tata hukum positif, yang disebutnya juga dogmatik hukum, dan dikatakannya sebagai ilmu hukum dalam arti “strict” atau Legal Science Proper.[5]

Soerjono Sorkanto memberikan pendapat bahwa ada 11 (sebelas) macam arti hukum, yaitu :

  1. Hukum sebagai ilmu pengetahuan;
  2. Hukum sebagai disiplin;
  3. Hukum sebagai kaidah;
  4. Hukum sebagaitata hukum;
  5. Hukum sebagai keputusan penguasa;
  6. Hukum sebagai petugas
  7. Hukum sebagai proses pemerintah;
  8. Hukum sebagai sikap tindak atau perilaku ajeg (teratur dan terus menerus);
  9. Hukum sebagai jalinan nilai – nilai
  10. Hukum sebagai lembaga sosial
  11. Hukumsebagai sarana sistem pengendalian sosial;
  12. Hukum sebagai seni.[6]

 

3. Konsep Kekuasaan

Kekuasaan mempunyai arti yang bermacam – macam, namun definisi yang paling umum membatasi kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan atau tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan, baik mempengaruhi secara langsung dengan jalan memberi perintah maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan alat atau cara yang tersedia.

Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau kelompok orang untuk mempengaruhi orang atau kelompok lain sehingga sesuai dengan keinginan orang yang mempunyai kekuasaan tersebut. Kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebjakan umum pemerintah baik terbentuknya maupun akibat – akibatnya sesuai dengan keinginan pemilik kekuasaan.[7]

MacIver merumuskan kekuasaan sebagai kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan memberi perintah, maupun secara tidak langsung dengan menggunakan segala alat dan cara yang tersedia.[8] Menurutnya kekuasaan tersebut bisa dicapai dengan kekuatan, tetapi untuk mempertahankan kekuasaan orang tidak bisa selalu menyandarkan diri pada kekuatan. Cara untuk melanggengkan kekuasaan tersebut harus diberi sandaran hukum, atau kekuasaan tersebut harus diubah menjadi wewenang.[9]

 

4. Implikasi Hukum versus Kekuasaan Bagi Negara Demokrasi Pancasila

Hubungan Hukum dan Kekuasaan, dapat dijelaskan dalam dua pandangan sebagai berikut :[10]

  1. Hukum tidak sama dengan kekuasaan. Hal ini didasarkan pada dua alasan :
  2. Hukum kehilangan artinya jika disamakan dengan kekuasaan karena hukum bermaksud menciptakan suatu masyarakat yang adil. Tujuan ini hanya tercapai jika pemerintah juga adil dan tidak semena – mena dengan kekuasaannya.
  3. Hukum tidak hanya membatasi kebebasan individual terhadap kebebasan individual yang lain, melainkan juga kebebasan (wewenang) dari yang berkuasa dalam negara.
  4. Hukum tidak melawan pemerintah negara, sebaliknya membutuhkannya guna mengatur hidup bersama. Yang dilawan adalah kesewenang – wenangan individual. Hal ini didasarkan pada dua alasan :
  5. Dalam masyarakat yang luas, konflik hanya dapat diatasi oleh entitas yang berada di atas kepentingan individu-individu, yaitu pemerintah.
  6. Keamanan dalam hidup bersama hanya terjamin bila ada pemerintah sebagai petugas tertib negara.

Dari dasar pemikiran diatas maka bisa disimpulkan bahwa antara hukum dan kekuasaan saling berhubungan dalam bentuk saling berpengaruh satu sama lain. Antara hukum dan kekuasaan saling berpengaruh satu sama lain atau bisa disebut saling melengkapi. Sehingga di satu sisi hukum yang dipengaruhi oleh kekuasaan begitu sebaliknya.

Namun tetap tidak dapat dipungkiri bahwa proporsi dari kekuasaan dalam mempengaruhi hukum lebih berperan atau menyentuh ke ranah substansial dalam artian hukum dijadikan “kendaraan” untuk melegalkan kebijakan-kebiajakn dari yang berkuasa. Sedangkan hukum dalam mempengaruhi kekuasaan hanya menyentuh ke ranah-ranah formil yang berarti hanya mengatur bagaimana cara membagi dan menyelenggarakan kekuasaan seperti yang ada dalam konstitusi.

Konteks negara demokrasi, demokrasi sebagai konsepi bernegara menurut Jimly Asshiddiqie mengkonstruksikan kekuasaan (i) berasal dari rakyat, (ii) dilakukan oleh rakyat melalui wakil-wakil atau utusannya, (iii) kegiatan – kegiatan kekuasaan itu diselenggarakan bersama –sama dengan rakyat, serta (iv) semua fungsi penyelenggaraan kekuasaan ditujukkan untuk kepentingan rakyat.[11] Lebih lanjut dapat diartikan bahwa demokrasi memberikan kebebasan yang memerlukan kerangka aturan sehingga dapat diselenggarakan dengan tertib dan beraturan. Dalam hal ini aturan juga berfungsi sebagai pengimbang kebebasan.

Demokrasi tanpa adanya pengimbangan berdasarkan prinsip negara hukum akan tergelincir kepada kekuasaan mayoritas yang merupakan ciri utama demokrasi, baik dari sisi teori maupun parktik. Demokrasi dalam makna demikian adalah suatu kondisi dimana kebijakan publik dibuat atas dasar suara mayoritas oleh para wakil rakyat yang tunduk pada pengawasan publik melalui pemilihan umum yang diselenggarakan secara berkala.

Berdasarkan rumusan Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, menunjukan Indonesia adalah suatu negara demokrasi, karena implementasi dari kedaulatan rakyat diwujudkan dalam demokrasi. Menurut Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi, makna kedaultan rakyat itu sendiri adalah kekuasaan tertinggi dalam negara Indonesia berada di tangan rakyat. Ini berarti bahwa dalam negara Indonesia tidak ada kekuasaan lain yang melebihi kekuasaan rakyat. Meskipun demikian, kedaulatan rakyat di Indonesia harus berlandaskan pada nilai – nilai Pancasila. Dengan dilandasinya kedaulatan rakyat oleh sila –sila Pancasila, maka demokrasi di Indonesia disebut dengan Demokrasi Pancasila.[12]

H Kaelan berpendapat bahwa demokrasi negara Indoensia, memiliki dua dasar yang kuat, yaitu :[13]

  • Dasar filsafat negara Indonesia adalah Pancasila, terutama dalam kaitannya dengan sila keempat.
  • Dasar politik negara, yaitu negara yang berkedaulatan rakyat, dan dasar politik negara ini pada hakikatnya merupakan penjelmaan dari dasar filsafat negara Indonesia mempunyai keududukan yang sangat kuat bahkat terletak pada kelangsungan hidup negara Indonesia.

Selain itu lebih lanjut dikemukakan oleh H Kaelan, bahwa terdapat dasar filsafat yang terdalam yaitu sesuai dengan sila keempat, maka inti sila tersebut adalah kata “kerakyatan” yang berarti koherensi (kesesuaian) sifat – sifat, struktur dan keadaan negara dengan hakikat “rakyat”. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa segala aspek penyelenggaraan negara harus koheren dengan hakikat rakyat.[14]

Berdasarkan berbagai uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa baik hukum maupun kekuasaan memiliki konsep dan unsur masing – masing. Secara realitas baik hukum maupun kekuasaan saling mempengaruhi, namun yang perlu diperhatikan bahwa hukum versus kekuasaan jika diperhadapkan pada negara demokrasi Pancasila, maka secara yuridis baik Pembukaan maupun Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 telah menegaskan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat atau disebut dengan kedaulatan rakyat, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi bahkan Pancasila sebagai Landasan Filsafat Bangsa dan Negara menjiwai seluruh aspek hukum dan kekuasaan itu sendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal dimaksud dimaknai bahwa kedaulatan rakyat memiliki koherensi yaitu kesesuaian sifat – sifat, struktur dan keadaan negara dengan hakikat pada rakyat. Sehingga kekuasaan dibatasi oleh kepentingan rakyat dan hukum bertujuan demi kesejahteraan rakyat.

 

DAFTAR   PUSTAKA

 

A. Buku, Jurnal,Makalah

 

Abdul Gafur Anshori, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2009.

Djokosoetono, Hukum Tata Negara, dihimpun oleh Harun Alrasid, Ind Hill-co, Jakarta, 2006.

Jimly Asshiddiqie, Konsttusi Ekonomi, Kompas,Jakarta, 2010.

H.Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila, Paradigma,Yogjakarta, 2013.

 

Moh.Kusnardi dan Bintan R Saragih, Ilmu Negara, Gramedia,Jakarta,2005.

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta,2009.

Soerjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta2003.

Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka, Jakarta 2006.

Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila,Nusa Indah, Bandung2014.

 

B. Lainnya

UUD NRI Tahun 1945

 

[1] Dosen Bagian HTN/HAN Fakultas Hukum Universitas Pattimura.

[2] Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta,2009,hal.80.

[3] Abdul Gafur Anshori, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,2009, hal.35.

[4] Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka, Jakarta 2006, hal.26.

[5] Ibid

[6] Soerjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2003,hal.33-34.

[7] Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit,hal.147.

[8] Moh.Kusnardi dan Bintan R Saragih, Ilmu Negara, Gramedia,Jakarta,2005,, hal.116.

[9] Djokosoetono, Hukum Tata Negara, dihimpun oleh Harun Alrasid, Ind Hill-co, Jakarta, 2006,hal.23-24.

[10] Ibid,hal.147-148.

[11] Jimly Asshiddiqie, Konsttusi Ekonomi, Kompas,Jakarta, 2010,hal.361-362.

[12] Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila,Nusa Indah, Bandung, 2014, hal.84.

[13] H.Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila, Paradigma,Yogjakarta,2013,,hal.378.

[14] Ibid,hal.378-379.