IMPLEMENTASI HAK-HAK ANAK di INDONESIA (Kajian Terhadap Usaha Perlindungan Anak Korban Kekerasan Selama Konflik Di Maluku)

Hukum Pidana

IMPLEMENTASI HAK-HAK ANAK di INDONESIA

(Kajian Terhadap Usaha Perlindungan Anak Korban Kekerasan Selama Konflik Di Maluku)

 

Oleh : John Dirk Pasalbessy

 

Abstrac

Pemenuhan kesejahteraan anak dengan pendekatan perlindungan dari berbagai aspek yang  selama ini telah diusahakan belumlah memuaskan.  Diakui, bahwa walaupun kebijakan perlindungan anak dan kebijakan kesejahteraan anak telah mengakomodasikan berbagai kepentingannya, namun jika hal itu tidak ditunjang oleh sarana dan prasarana pendukung, tidak mungkinakan  membawa hasil. Dalam konteks perlindungan hak asasi manusia, perlindungan anak bukan semata-mata merupakan masalah nasional suatu bangsa,  tetapi  juga merupakan masalah internasional. Hal  terlihat dalam beberapa dokumen internasional yang  mencantumkan hak-hak anak,  baik di bidang sosial, budaya, ekonomi, politik, maupun hukum, yang disahkan berlaku dengan KEPRES No. 36 Tahun 1990,.

Guna memberikan perlindungan terhadap kepentingan kesejaheraan anak di Indonesia, maka Undang-Undang Nomor : 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia merupakan undang-undang payungi terhadap kepentingan anak diberbagai peraturan.  Kaitannya dengan anak korban kekerasan di Maluku, selama dan pasca konflik, tidak banyak yang dapat diharapkan. Kepedulian terhadap anak-anak korban kekerasasn Maluku selama ini lebih banyak dilakukan  oleh  kalangan lembaga swadaya masyarakat  ketimbangan peran pemerintah. Karena itu kedepan yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengimplementasikan hak-hak anak korban kekerasan di Maluku  guna memulihkanikeberadaan mereka selama ini.

 

 

A.  Latar Belakang

Umumnya dalam membicarakan implementasi hak dalam kaitannya dengan perundang-undangan di Indonesai, orang sering mengkaitkannya dengan penerapan aturan hukum. Pandangan demikian tidaklah keliru karena  secara fungsional, hukum (dalam arti undang-undang) dapat dilihat dari berbagai perspektif, dan dalam keadaan yang konkrit hukum dilihat dan dinilai sebagai apa yang seharusnya terjadi.

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, (1979) dalam kaitan ini mengakui,bahwa sebagai sub sistem budaya dan sosial, hukum mempunyai  fungsi tertentu, antara lain fungsi mempertahankan pola dan integritas. Jawaban atas fungsi dimaksud dapat didekati dari pemahaman akan pengetian hukum itu sendiri.  Menurut kedaua hali hukum itu,  kemungkinan arti yang diberkan pada hukum meliputi   :

 

 

a.       Hukum dalam arti disiplin, yaitu sistem ajaran;

b.      Hukum dalam arti ilmu pengetahuan;

c.       Hukum dalam arti kaidah;

d.      Hukum dalam arti tata hukum;

e.       Hukum dalam arti petugas;

f.       Hukum dalam arti keputusan pejabat;

g.      Hukum dalam arti proses pemerintahan;

h.      Hukum dalam arti perilaku yang “ajeg”;

i.        Hukum dalam arti jalinan nilai-nilai.

 

Terlepas dari persepsi yang demikian, yang jelasnya bahwa jika dikaji dari perpektif kebijakan (policy) antara penerapan (aplikasi) aturan-aturan hukum dengan proses pembuatan hukum (law making process) ada keterpaduan (integrated), dalam arti sinkron (serasi, selaras, seimbang), baik ditinjau dari aspek substansi, struktur maupun kulutr hukum (undang-undang) itu sendiri.

Sama halnya dengan implementasi hak-hak anak di dalam berbagai perundang-undangan di Indonesia selama ini. Berbagai komentar yang datanganya dari berbagai kalangan dalam masyarakat terhadap kehidupan dan masa depan anak selama ini merupakan sebuah korekesi dan harapan agar anak mendapat perlindungan sesuai dengan harkat dan martabatnyta. Pandangan ini beralasasn, karena pemenuhan hak-hak anak selama ini masih jauh dari yang diharapkan, padahal dalam tataran masyarakat di manapun anak sering dijadikan sebagai alasan untuk merubah suatu situasi tertentu.

Implementasi hak-hak anak adalah,  upaya  sinkronisasi hak dan kebebasan anak yang diakui sebagai hak dasar dan bersifat kodrati, serta yang melekat sejak lahir sebagai bagian dari hak asasi manusia. Hak mana memang diakui dan dilindungi, baik secara universal bagi semua bangsa-bangsa di dunia, maupun pengakuan dan perlindungannya menurut hukum nasional suatu negara.  Pengakuan dan perlindungan hukum terhadap berbagai hak dan kebebasan anak (fundamental rights and freedom of children) ini dimaksudkan untuk memenuhi berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan dan masa depan anak.

Dalam perkembangannya, perlindungan anak telah berlangsung sejak lama. Munculnya pengadilan anak (juvenille court) pertama di daerah Illionis Amerika Serikat tahun 1899 yang didasarkan  pada “asas parens patrtae”  menandakan keinginan kuat agar anak patut dilindungi. Perjuangan ini kemudian dilanjutkan dengan diakomdirnya Resolusi PBB Nomor : 1386 (XIV), 20 Nopember 1959, yang kemudian berpuncak pada Resolusi PBB No. 44/25, tertanggal  20 Nopember 1989 tentang  “Convention on the Rights of the Chlid”, di mana jiwa dari resolusi ini terlihat dalam Mukadimah, yakni “Umat manusia berkewajiban untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak”.

Gaun konvensi hak-hak anak ini memang memilik makna besar dalam konteks perjuangan dan pemberian perlindungan anak dilingkungan masyarakat internasional.  Karena itu yang menjadi persoalan selanjutnya adalah, (a) seberapa jauh implementasi hak-hak anak ini ke dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia selama ini; (b) apakah implementasi tersebut telah memberikan makna dan harapan bagi masa depan anak selama ini; (c) lalu bagaimana dengan anak-anak yang berada pada situasi dan dampak konflik sosial dan militer selama ini, seperti Aceh, Papua, Maluku Posso dan beberapa daerah lainnya.

Implementasi hak-hak anak yang terjabar di dalam usaha perlindungan anak memiliki ruang lingkup yang luas, mengingat kesejahteraan anak tidak hanya mencakup kebutuhan sosial dan ekonomi saja, tetapi juga aspek lainnya, seperti perlindungan dibidang peradilan, anak terlantar, anak jalanan, anak korban kekerasan baik fisik maupun seksual dan lain sebagainya. Pemikiran ini memang sejalan dengan pengertian perlindungan anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor : 23 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Anak, yang menyebutkan bahwa  perlindungan anak adalah :

Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisdipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

 

Arti, makna, hakikat dan tujuan perlindungan anak ini setidaknya memberikan ketegasan bahwa anak dan segala hak yang melekat pada dirinya perlu mendapat jaminan perlindungan, baik sosial, budaya, ekonomi, politik maupun hukum. Hal ini dimaksudkan agar anak dalam perkembangannya memiliki hak untuk hidup dan berkembang sesuai kemampuan intelektualnya, dan melalui kemampuan tersebut, anak mampu menyesuaikan diri dengan sesamanya ataupun orang tua dan manusia lain sesuai harkat dan martabaytnya.

 

B. Hak-Hak Anak di dalam Dokumen Internasional

Pengaturan terhadap hak-hak anak di dalam berbagai deklarasi maupun instrumen mencakup perlindungan yang cukup luas, bukan saja mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, tetapi juga mencakup perlindungan dibidang peradilan, seperti  yang kita  temu dalam beberapa dokumen, antara  lain (UN, 1993) : 

1.      Deklarasi Jenewa tentang Hak-Hak Anak Tahun 1924, yang kemudian dikukuhkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 1386 (XIV), tanggal, 20 Nopember 1959 mengenai “Declaration of The Rights of The Child”;

2.      Resolusi Majelis Umum PBB 40/33 tanggal, 30 Nopember 1985  mengenai United Nations Standar Minimum Rules for the Adminstration of Juvenille Justice (The Beijing Rules);

3.      Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/85, tanggal 29 Nopember 1985 mengenai The Prevention of Juvenille Delinquency”;

4.      Resolusi Majelis Umum PBB No. 41/85 tanggal, 3 Desember 1986 mengenal Declaration an Social and Legal Principles Relating to the Protection and Welfare of Childern, with Sepecial Reference to Foster Plecement and Adoption Nationally and Internationally:

5.      Resolusi Majelis Umum PBB No. 43/121 tanggal, 8 Desember 1988 mengenai “the use of children in the illicit traffict in narcotic dugrs”,

6.      Resolusi  Majelis Umum PBB No. 44/25 tanggal, 20 Nopember 1989 mengenai Convention of the Rights of the Child”;

7.      Resolusi ECOSOC 1990/33, tanggal 26 Mei 1990 mengenai “The Prevention of Drug Consemption among yong persons”;

8.      Resolusi Majelis Umum PBB 45/112 tanggal, 14 Desember 1990 mengenai “United Nations Guidilines for the Prevention of Juvenille Delinquency” (The Riyadh Guidellines);

9.      Resolusi Majelis Umum PBB No. 45/113, tanggal 14 Desember 1990 mengenai “United Nations Rules for the Protection of Juvenille Deprived of Their Liberty”;

10.   Resolusi Majelis Umum PBB No. 45/115 tanggal 14 Desember 1990 mengenai “The Instrumental use of children in criminal activities:;

11.  Resolusi KOMISI HAM PBB (Commission on Human Rihgts) 1993/80, tertanggal 10 Maret 1993 mengenai “The application of the international standards concerning the human rights of detained juveniles”;

12.   Resolusi Komisi HAM 1990/90 tanggal, 9 Maret 1994 mengenai “The Aced to adopt effective internmational measure for the prevention amd  eradication of the sale of children, child prostitution and child pornogragphy”:;

13.  Resolusi Komisi HAM 1994/92 tanggal, 9 Maret 1994 mengenai “The Special Reporting on the sale of children, child prostitution and pornography”;

14.  Resolusi Komisi HAM 1994/93 tanggal 9 Maret 1994 mengenai “The Rlight of Streert Children”;

15.   Resolusi Komisi HAM 1991/93 tanggal 9 Maret 1994 mengenai “The effecets of armed conflicts on childern’s lives”;

16.  Kongres PBB ke IX tahun 1995, mengenai “The Prevention of Crime and The Treatmen of Offenders”, yang mengajukan 2 (dua) draft resolusi, yakni :

§  Application of United Nations Standards and Norms in Juvenille Justce (Document A/CONF. 159/15) dan;

§  Elemenation of Viol for Againt Childerns.

Dokumen/instrumen internasional ini merupakan dasar pertimbangan dan perlindungan pada tingkat internasional, walaupun harus diakui masih dalam bentuk perjanjian (deklarasi), atau juga perjanjian/persetujuan bersama (konvensi), maupun resolusi, namun haruslah dianggap sebagai  pedoman (guidelines).  Jelasnya bahwa dokumen internasional ini merupakan refleksi dari kesadaran serta keprihatinan masyarakat internasional terhadap perlindungan akan keadaan buruk yang menyedihkan dan telah menimpa berjuta-juta anak di seluruh dunia saat ini .

Pengakuan dan perlindungan terhadap anak-anak sebagaimana tergambar dalam berbagai dokumen/instrumen internasional di atas merupakan komitmen masyarakat bangsa-bangsa, yang bukan saja ditujukan pada hak-hak anak secara umum, tetapi mencakup pula komitmen terhadap perlindungan hak-hak anak bermasalah baik fisik, kejiwaan (mental) maupun sosial, budaya, ekonomi dan politik. Dalam pada itu, maka usaha perlindungan hak-hak anak sangat ditentukan oleh adanya kebijakan perlindungan anak (child protection policy) dan kebijakan kesejahteraan anak (child welfare policy) yang kondusif terhadap usaha-usaha perlindungan hak-hak anak itu sendiri. (Hadisuprapto, 1996)

Instrumen internasional mengenai perlindungan hak-hak anak sebagaimana tertuang dalam Resolusi PBB 44/25  tertanggal, 20 November 1898 tentang Convention on the Rights of The Child  (Konvensi Hak-Hak Anak), yang kemudian diatur dalam Resolusi PBB 1386/XIV, tanggal 20 Desember 1959 tentang Declaration of the Rights of the Chlid (Deklarasi Hak-Hak Anak, Tahun 1959), memuat  10 (sepuluh) asas pokok, yang meliputi :

1.      Anak berhak menikmati semua haknya sesuai ketentuan yang terkandung dalam Deklarasi ini. Bahwa setiap anak tanpa kecuali harus dijamin hak-haknya tanpa membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain, kebangsaan atau tingkatan sosial, kaya miskin, kelahiran atau status lain, baik yang ada pada dirinya maupun keluarganya;

2.      Anak berhak memperoleh perlindungan khusus, dan harus memperoleh kesempatan yang dijamin oleh hukum dan sarana lain, agar menjadikannya mampu untuk memgembangkan diri sercara fisik, kejiwaan, moral, spiritual dan kemasyarakatan dalam situasi yang sehat, normal sesuai kebebasan dan harkatnya.

3.      Anak sejak dilahirkan berhak akan nama dan kebangsaan;

4.      Anak berhak dan harus dijamin secara kemasyarakatan untuk tumbuh dan berkembang secara sehat;

5.      Anak yang cacat fisik, mental dan lemah kedudukan sosialnya akibat suatu keadaan tertentu harus memperoleh pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus;

6.      Agar supaya kerpibadian anak tumbuh secara maksimal dan harmonis, ia memerlukan kasih sayang dan pengertian. Sedapat mungkin ia dibesarkan dibawah asuhan dan tangungjawab orang tuanya sendiri, dan bagaimanapun harus diusahakan agar tetap berada dalam suasana yang penuh kasih sayang. Sehat jasmani dan rohani;

7.      Anak berhak mendapat pendidikan wajib secara cuma-cuma sekurang-kurangnya pada ditingkat sekolah dasar. Mereka harus mendapat perlindungan yang dapat meningkatkan pengetahuan umumnya, atau yang memungkinkannya atas dasar kesempatan yang sama guna mengembangkan kemampuan, pendapat pribadinya dan perasaan tanggungjawab moral dan sosialnya, sehingga mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Anak juga mempunyai kekebasan untuk bermain dan berrekreasi yang diarahkan untuk tujuan pendidikan, masyarakat dan pemerintah yang berwenang harus berusaha meningkatkan pelaksanan hak ini.

8.      Dalam keadaan apapun anak harus didahulukan dalam menerima perlindungan dan ertolongan;

9.      Anak harus dilindungi dari sebagai bentuk kealpaan, kekerasaan, penghisapan. Ia tidak boleh dijadikan subjek perdagangan, artinya anak tidak boleh bekerja sebelum usia tertentu, ia tidak boleh dilibatkan dalam pekerjaan yang dapat merugikan kesehatan atau pendidikannya, maupun yang dapat mempengaruhi perkembangan tubuh, jiwa atau akhlaknya;

10.   Anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi sosial, agama maupun bentuk-bentuk diskriminasi lainnya.

Kesepuluah asas ini merupakan “declaratory statement”,  yang lebih bersifat “binding piece of international legislation”,  yakni suatu ketentuan yang lebih bersifat mengikat dan terperinci dan yang tertuang dalam pasal-pasal konvensi. Karena itu asas-asas pokok pelindungan anak ini merupakan pencerminan dari suatu pendekatan yang sifatnya holistic, artinya hak-hak anak tidak dilihat secara sempit, tetapi harus dilihat secara luas, sesuai ruang lingkup perlindungan hak asasi manusia, seperti hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

C.  Issue Perlunya Perlindungan  Anak

Bertolak dari pengaturan dan jaminan perlindungan hukum bagi hak-hak anak sebagaimana ditegaskan dalam deklarasi/instrumen internasional di atas, maka perlindungan hukum bagi hak-hak anak mencakup berbagai aspek kehidupan,  seperti :

1.      Perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak;

2.      Perlindungan anak dalam proses peradilan;

3.      Perlindungan kesejahteraan anak  (dalam lingkungan keluarga, pendidikan dan lingkungan sosial);

4.      Perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan kemerdekaan;

5.      Perlidnungan anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan, perdagangan anak, pelacuran dan pornografi, perdagangan dan penyalahgunaan obat-obatan, memperalat anak dalam melakukan kejahatan);

6.      Perlindungan terhadap anak-anak jalanan;

7.      Perlindungan anak dari akibat-akibat peperangan/konflik bersenjata;

8.      Perlindungan anak dari tindakan kekerasan

Cakupuan terhadap perlindungan anak sebagaimana diidentifikasi di aatas ternyata tidak hanya mencakup perlindungan dalam proses peradilan saja atau anak bermasalah, tetapi juga mencakup berbagai aspek kehidupan anak yang luas.

Pada pertemuan kelompok ahli PBB (United Nations Experts Group Meeting) di Vienna, Austria, 1994 perlindungan anak hendaknya ditekankan pada usaha untuk  menanggulangi masalah (Barda Nawawi Arief, 1997)

1.      Working Children, di mana banyak anak-anak yang menjadi pekerja penuh, (full time child labour) perdagangan anak (sale fo children), prostitusi anak (child prostitution), perbudakan anak (child bondage), ponografi anak (child pornography)  akibat meningkatnya “sex tourism”’;

2.       Street Childern, di mana diperkirakan ada sekitar  100-150 juta anak jalanan diseluruh dunia saat ini. Yang memprihatinkan adalah bahwa disamping mereka berjuang untuk mempertahankan hidup secara materiil, mereka juga menjadi sasaran  dari penyalahgunaan dan eksploitasi, seperti street theieves, street prostitution, drug trade, dam aktivitas kejahatan terorganiser lainnya;

3.      Childern in Armed conflict, di mana dalam sutiasi konflik, banyak anak-anak yang menjadi korban, seperti terbunuh, cacat, mengungsi bahkan ada yang hilang. Belum lagi yang menjadi korban perkosaan dan menderita tekanan kejiwaan (stress dan trauma). Permasalahan yang sulit dihadapi adalah melakukan pembinaan dan reorientasi mereka dari situasi/budaya konflik ke budaya damai (culture of peace);

4.       Urban war zones, di mana suasana kekerasaan dan ketidak-terntraman dalam lingkungan kehidupan sehari-hari baik di kota maupun pada wilayah “zona peperangan” yang menempatkan anak-anak dalam resiko yang sangat gawat (grave risk), terutama jika timbul kemelaratan, penggunaan obat bius dan senjata serta kejahatan sebagai kenyataan hidup sehari-hari;

5.      The Instrumenal use of Chlidern, yang merupakan persoalan khusus dari kalangan para pakar pada pertemuan di Roma, Italia tahun 1992. Masalah ini juga dijadikan Rekomendasi Kongers PBB ke-8/1990 kemudian menjadi Resolusi PBB No. 45/115 Tahun 1990. Ditegaskan bahwa salah satu faktor kondusif terjadinya praktek memperalat anak dalam/untuk melakukan kejahatan adalah tidak adanya UU khusus yang memidana orang dewasa yang melakukan ekploitasi terhadap anak-anak.

Apa yang diakomodir di atas sangatlah beralasan, karena ternyata usaha perlindungan anak merupakan usaha yang rasional, yang harus ditanggulangi secara bersama dan bukan secara perorangan saja. Karena itu perlu dipertanyakan seberapa jauh kebijakan (policy) pemerintah terhadap perlindungan anak selama ini.

Arif Gosita (1983 : 169) ketika membicarakan masalah perlindungan anak menandasakan :

Dalam rangka pembahasn masalah perlindungan anak perlu kita mempunyai pengertian tentang keadilan yang tepat. Rasa keadilan seseroang akan mempengaruhi adanya kelangsungan kegiatan perlindungan anak. Keadilan di sini adalah suatu kondisi di mana setiap orang dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat.

Selanjutnya dikkatakan oleh Gosita, “jika dikaitkan dengan perlindungan anak, maka di mana ada keadilan, di situ seharusnya terdapat pula perlindungan anak yang baik”.

Di dalam Pasal 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, ditegaskan bahwa “anak berhak atas  pemelihraan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan”. Anak juga  berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan yang wajar.

Penegasan ini sebenarnya ingin menegaskan dan mendorong kita semua bahwa perlindungan anak dalam rangka mengusahakan kesejhateraan anak dan perlakuan yang adil terhadap anak merupakan bahagian dari kehidupan yang santa penting. Karena itu adalah wajar jika yang mengusahakan perlindungan anak (kesejahteraan anak) adalah tanggungjawab bersama antara “pemerintah dan masyarakat”.  Di dalam Undang-Undang Nomor : 23 Tahun 2002 Tentang Pelindungan Anak, dinyatakan bahwa kesejhateraan anak i adalah, “hak dari setiap anak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa usaha perlindungan anak dalam arti mengusahakan kesejaherataan anak selain merupakan seruan dan dambaan masyarakat internasional, juga merupakan komitmen nasional untuk melindungi anak dari berbagai masalah yang mereka hadapi.

Persoalannya kini, bagaimana implemenasi perlindungan anak yang terakomdir dalam Deklarasi Hak-Hak Anak selama ini.

D. Implementasi Konvensi Hak-Hak Anak  

Implementasi hak-hak anak sebagaimana tertuang di dalam dokumen/instrumen internasional selama kurun waktu beberapa tahun terakhir ini tampak dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, seperti :

1.      Kepres No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan berlakunya Konvensi Hak-Hak Anak.

2.      Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

Di dalam undang-undang ini diyatakan tentang HAK  ANAK, yang meliputi  :

a)      Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarganya maupun di dalam asuh khusus untuk tumbuh mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya.

b)      Hak  atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya;

c)      Hak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan, maupun sesudah dilahirkan;

d)     Hak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

Perwujudan terhadap hak-hak anak ini memang penting dan  bergantung dari sejauhmana peran serta kewajiban orang tua dalam memenuhi berbagai kebutuhan mereka, baik fisik, jasmaniah maupun sosial. Orang tua yang terbukti melalaikan tanggungjawab sehingga mengakibatkan hambatan dalam perkembangan dan pertumbuhan anak, maka kuasa asuhnya dapat dicabut  melalui keputusan hukum, dengan tidak menghapuskan kewajibannya untuk membiayai kemampuannya, penghidupan, pemeliharaan, dan pendidikan anak.

3.      Undang-Undang Nomor : 23 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak;

Undang-undang ini lebih bersifat procedural, di mana substansinya lebih mengatur tentang bagaimana anak diperlukan selama dan dalam proses pemeriksaan pada lembaga pengadilan, baik kasus perdata maupun kasus pidana.

Dalam pada itu, perlu dipahami bahwa keterlibatan  pengadilan dalam kehidupan anak dan keluarganya senantiasa ditujukan pada upaya penanggulangan keadaan anak yang buruk, pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak, penelantaraan anak, serta eksploitasi anak.

Dibidang peradilan perdata, perlindungan anak dapat meliputi :

a)      Kedudukan anak sah dan hukum waris;

b)      Pengakuan dan pengesahan anak diluar nikah;

c)      Kewajiban orang tua terhadap anak;

Sedangkan di bidang peradilan pidana, diatur hal-hal menyangkut proses pemeriksaan pada tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan pengadilan hingga menjalani pidana. Peneasan merupakan penjabaran dari Artikel 37 dan 40 Konvensi Hak Anak,  yang memuat hal-hal  :

a) Hak untuk tidak disiksa atau dijatuhi pidana dan tindakan yang bersifat kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat;

b)      Hak pengenaan pidana mati atau penjara seumur hidup bagi anak dibawah usia 18 tahun;

c)      Hak penangkapan, penahanan dan pidana penjara hanya dikenakan bagi anak sebagai tindakan dalam upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sangat singkat/pendek;

d)     Hak pemisahan dari orang dewasa dan hak untuk melakukan hubungan dengan keluarganya;

e)      Hak untuk dirampas kemerdekaan secara melawan hukum atau sewenang-wenang;

f)       Hak atas bantuan hukum;

g)      Hak untuk diperlakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan pemahaman anak tentang harkat dan martabatnya, pertimbangan usia ketika diajukan kepangadilan atau pertimbangan usia ketika dijatuhi pidana;

h)      Hak  yang dijamini oleh undang-undang, yakni :

(1)   Asas praduga tak bersalah;

(2)   Pemberitahuan isi tuduhan secara cepat dan langsung melalui orang tua, wali atau kuasa hukumnya;

(3)   Pemutusan perkara tanpa penundaan dan tidak memihak;

(4)   Pemeriksaan tanpa paksaan;

(5)   Peninjauan atas putusan oleh badan/kekuasaan yang lebih tinggi;

(6)   Penghargaan secara penuh kerahasiaan pribadi;

i)        Hak menjalani pidana dengan cara-cara yang sesuai dengan kesejahteraannya dan seimbangan dengan keadaan lingkungan mereka serta pelanggaran yang dilakukannya;

4.      Undang-Undang Nomor : 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;

Ditegaskan bahwa hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingan hak anak itu, diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandung. (Pasal 52 ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999)

Selanjutnya dikenalbeberapa hak anak sebagaimana diatur dalam Pasal 52 s.d. 66, seperti antara lain :

a)      Hak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga dan masyarakat dan negara;

b)      Hak untuk hidup sejak dalam kandungan, mempertahankan hidup dan menginkatkan  taraf kehidupannya;

c)      Hak atas nama sejak kelahirannya dan status kewarganegaraannya;

d)     Hak perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atas biaya negara bagi anak-anak cacat fisik atau mental;

e)      Hak beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi;

f)       Hak untuk mengetahui orangh tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri dan atau walinya;

g)      Hak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarag\hkan dan dimbiing kehidupannya oleh orang tuanya/wali hingga dewasa;

h)      Hak untuk mendapatkan orang tua angkat/wali;

i)        Hak mendapat perlindungan hukum dari berbagai bentuk kekerasan fisik, mental, penelantaraan, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual;

j)        Hak untuk tidak dipisah dari orang tuanya, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah demi kepentingan terbaik bagi anak;

k)      Hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

l)        Hak untuk mencari, menerima dan memberikan indrmasi sesuai dengan tingkat intelektualitasnya;

m)    Hak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berrekreasi sesuai minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri;

n)      Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak;

o)      Hak untuk tidak diabaikan dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dam peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan;

p)      Hak perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi, dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya;

q)      Hak untuk tidak dijadikan sasaran penganiyaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi;

r)       Hak untuk tidak dijatuhi pidana mati pidana seumur hidup;

s)       Hak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum;

t)       Hak untuk mendapatkan dan menjalani pidana penjara sebagai usaha terakhir;

u)      Hak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi;

v)      Hak untuk mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lain ;

w)    Hak membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

Hak-hak anak dalam undang-undang ini merupakan hak yang diakui dan dilindungi, dan merupakan undang-undang payung (umbrella act) yang dimungkinkan untuk dijabarkan lebih kanjut ke dalam  berbagai undang-undang sektoral.

5.      Undang-Undang Nomor : 2 Tahun 1989 Tentang Pendidikan Nasional.

Pasal 5 undang-undang ini antara lain menegaskan bawha “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan”.  Pengertian setiap orang di sini termasuk  anak juga berhak untuk mendapatkan pendidikan. Pengakuan ini bukan saja ditujukan bagi setiap warganegara (anak) yang sehat jasmaniah dan rohaniah, tetapi juga  mereka yang memiliki kelainan fisik dan atau mental melalui pendidikan kura biasa. (Pasal 8).

6.      Undang-Undang Nomor : 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Di dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa hak anak adalah hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga dan masyarakat, pemerintah dan negara.

Dalam Pasal  4 s.d. 18 dinyatakan bahwa hak-hak anak  meliputi :

a)      Hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara wajar;

b)      Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan;

c)      Hak beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai tingkat kecerdasaan dan usianya, dalam bimbingan orang tua;

d)     Hak untuk mengetahui orang tua, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri;

e)      Hak pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial;

f)       Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran. Khusus bagi anak cacat dapat memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan yang unggul mendapatkan pendidikan khusus;

g)      Hak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai tingkat kecerdasan dan usianya;

h)      Hak beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul debfab anak sebaya, bermain, berekreasi sesuai minat dan tingkat kecerdasannya;

i)        Hak anak cacat untuk memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial;

j)        Hak untuk dilindungi dan diperlakukan dari diskriminasi, ekspolitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaraan, kekejaman, kekerasan, penganiyaan, ketidakadilan, perlakuan salah lainnya.

k)      Hak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri;

l)        Hak perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, perlibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan;

m)    Hak memperoleh perlindungan dari sasasran penganiyaan atau penjartuhan pidana yang tidak manusiawi;

n)      Hak memperoleh kekebasan sesuai hukum;

o)      Hak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dipisahkan dari orang dewasa bagi anak yang dirampas kemerdekaannya;

p)      Hak mendapatkan bantuan hukum;

q)      Hak membela diri dari memperoleh keadilan didepan pengadilan.

r)       Hak untuk dirahasikan bagi anak korban kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum;

s)       Hak mendapat bantuan hukum dan bantuan lainnya;

7.      Undang-Undang Nomor : 12 Tahun 1948 Tentang Ketenagakerjaan,

Di mana ditagaskan bahwa anak-anak tidak diperbolehkan menjalankan pekerjaan, dan orang muda tidak diperkenankan melakukan pekerjaan di malam hari.

Dilkaji dari perspektif  politik hukum,  implementasi hak-hak anak ke dalam berbagai peraturan  di Indonesia  perlu dikonsistensikan, baik menyangkut substansi, struktur maupun kulturnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi saling tuding antara pihak pemerintah sebagai pekindung hak-hak anak dengan peran orang tua dan masyarakat, termasuk lembaga swadaya masyarakat sebagai pendukung. Yang jelasnya bahwa perlindungan anak merupakan tanggungjawab bersama yang mesti dilakukan secara bermanfaat dengan penuh rasa keadilan.

Dalam konteks demikian, maka usaha pemenuhan kesejahteraan anak  hendaknya dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan perlindungan anak (child protection policy) dan kebijakan kesejahteraan anak (child welfare policy)..

E. Rasionalisasi Perlindungan Anak Korban Kekerasan di Maluku

Usaha  perlindungan anak (kesejahteraan anak) selama dan pasca konflik Maluku bagi anak korban kekerasan sejak tahun 1999 hingga saat ini boleh dikatakan belum maksimal, dibandingkan dengan apa yang anak-anak hadapi. Diakui bahwa usaha perlindungan anak semestinya dilakukan dalam konteks kebijakan (policy), yakni usaha untuk mengalokasikan kepentingan sosial dan kemanusiaan yang merupakan perhatian pemerintah.  Kebijakan (policy) di sini dirumuskan sebagai suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan secara kolektif. (Barda Nawawi Arief, 1996 : 63)

Tidak dapat disangkal bahwa  selama konflik Maluku, anak-anak yang menjadi korban kekerasan, termasuk mereka yang secara langsung merasakan dampaknya banyak yang terabaikan. Umumnya anak-anak  hidup dalam situasi dan budaya peperangan, ketika konflik pecah (Childern in Armed conflict), yang mengakibatkan terjadinya pengungsian, penderitaan, kesengsaraan, kelaparan dan sebagainya.

Dengan jatah makan yang secukupnya, anak-naka ini terpaksa menerima apa adanya, tanpa mempertimbangkan gisi dan kualitas makanan. Di mana-nama tidak ada sekolah, tidak ada kesempatan bermain, bahkan tidak ada pula canda dan tawa. Yang ada hanyalah ketakutan dan perelindungi  diri dari desingan peluru dan dentuman granat dan bom.

Ketika konflik mereda, walaupun dalam suasana yang masih mencekam, dengan jiwa penuh tanggungjawab, para volunter dari beberapa lembaga swadaya masyarakat di Kota Ambon berusaha datang dan masuk ke lokasi-lokasi pengungsian untuk membangkitkan semangat anak-anak melalui program rehabilitasi sosia.l. Sekolah darurat dididirikan dengan menggunakan gedung-gedung ibadah ruangan yang dapat menampung anak-anak, tidak perlu daya tampung, yang penting adalah anak bisang berkumpul dan mendengar mata pelajaran. Guru-guru yang mengungsi dilibatkan tanpa mempersoalkan latar belakang asal sekolah, yang menjadi perhatian saat itu anak-anak harus bersekolah, karena selama beberapa sejak konflik pecah tidak ada kegiatan belajar mengajar. Kurikulum sekolah yang digunakan dalam model pendidikan alternatif ini adalah penyesuaian dengan kondisi yang ada disamping “trauma counseling”, dengan melibatkan consuler-consuler yang telah dilatih.

Dalam kondisi demikian, tidak banyak yang diharapkan dan bagaimanapun juga untuk dua atau tiga  generasi anak-anak di Maluku akan mengalami keterpurukan, mengingat sejak konflik, penggunaan suatu lokasi sekolah dapat dijadwalkan untuk digunakan oleh 3 hinggai 4 sekolah dalam sehari, karena itu alokasi waktu beberapa mata pelajaran untuk satu sekolah hanya dipriositaskan pada beberapa mata pelajaran tertentu.

Kondisi demikian tidak merata, ada sekolah yang mempunyai kesempatan untuk melakukan proses belajar mengajar, tetapi ada pula sekolah yang sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas proses belajar mengajar. Belum lagi buku-buku paket pelajaran baik untuk murid sekolah maupun bagi guru.

Persoalan kini bagaimana dengan fungsionalisasi hak-hak anak sebagaimana yang telah terimplementasi dalam peraturan perundangan-undangtan di Indonesia selama ini. Jawabannya memang tidak mudah, sebab usaha perlindungan akan merupakan tanggungjawab bersama semua pihak.

F. Penutup

Ternyata usaha untuk memenuhi kesejahteraan anak melalui berbagai perangkat perundang-undangan selama ini di Indonesia belum dapat dilakukan secara maksimal, padahal diakui bahwa implementasi hak-hak anak telah nampak jelas dalam berbagai peraturan perundang-undangan, hanya saja tidak diiukti dengan kebijakan perlindungan jelas,  sehingga keseeriusan untuk melakukan usaha perlindungan masih saling menunggu.  Alasan klasik seperti terbatasnya dana yang dialokasikan bukanlah merupakan hal yang patud ipersoalkan, sebab usaha perlindungan anak bukan terletak pada persoalan pembiayaan semata. Yangmesti menjadi perhatoan kita adalah, apakah ada keseriusan atau tidak terhadap usaha perlidnungan anak selama ini 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Adji, Oemar Seno,  Hukum dan Hukum Pidana, Erlangga, Jakartal, 1984

Ancel, Marc,  Social Defence a, modern approach to crminal problem,  Routledge & Paul Kegan, London.

Arief, Barda Nawawi,  Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Ananta, Semarang, 1994

————-,  Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung, 1996

Gosita,  Arif,  Masalah Korban Kejahatan, Akademika Presindd, Jakarta, 1983

————–, Perlindungan Anak , Akademika Presindo, Jakarta, 1983

Hadisuprarto,  Juvenille Delinquency (Pemahaman dan Penanggulangannya), UNDIP, Semarang,  1996

Pasalbessy, Tindakan Sebagai Pidana Yang Tepat Bagi Anak Yang Dipersahkan Melakukan Tindak Pidana, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Pattimura, 1987

Pecker, Herberth, The Limits of  The Crminal Sanctions, Stanford, California, Stanford University Press, 1985

Soerjono ,  Sokanto, Penegakan Hukum , BPHN Depkeh, 1983

Sudarto,   Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981           

————,  Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981

————,   Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru,  Bandung, 1983

Tappan, Paul,  Juvenille Delinquency, Mc Graw Hill Book Company, Inc, 1949

United Nations, Human Rights A Compilatonof International Instruments (Volume I Second Part) Universal Instrrumens

————,  A Compilatonof International Instruments (Volume II Forts  Part) Universal Instrrumens

Tinggalkan Balasan