KEWASPADAAN NASIONAL TERHADAP PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN OLEH KELOMPOK PEMILIK MODAL DAPAT MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL
Oleh : M.J.Saptenno
I. PENDAHULUAN
Hakikat Kewaspadaan nasional adalah suatu sikap dalam hubungan dengan nasionalisme yang dibangun dari rasa peduli dan rasa tanggungjawab serta perhatian seorang warga negara terhadap kelangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dari suatu potensi ancaman.[1]
Terkait dengan makna kewaspadaan nasional di atas maka hal itu merupakan manifestasi kepedulian dan rasa tanggungjawab terhadap keselamatan dan kelangsungan hidup bangsa Indonesia.
Disini sangat dibutuhkan sikap nasionalisme dari setiap warga negara terkait dengan rasa tanggungjawab yang dalam, terhadap kelangsungan hidup bangsa dan negara. Kelangsungan hidup bangsa dan negara tidak ditentukan oleh kebijakan pemerintah atau penguasa saja, namun seluruh warga negara bertanggungjawab untuk tetap menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nasionalisme sebenarnya terkait wawasan kebangsaan yakni keIndonesian yang majemuk, yang mengandung unsur -unsur wawasan, faham dan semangat kebangsaan, saling berpengaruh dan saling bergantung.[2]
Nasonalisme membutuhkan kepedulian terhadap berbagai isu maupun fakta, yang merupakan ancaman baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang bisa menghancurkan kelangsungan kehidupan bangsa Indonesia.
Setiap warga negara harus menunjukkan sikap dan kepedulian itu secara jelas dan tegas dalam seluruh aktifitas kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan, sehingga bangsa yang besar dan sangat plural ini bisa tetap eksis dan mampu mencapai tujuan atau cita cita nasional yakni masyarakat yang adil dan makmur.
Terkait dengan upaya pemerintah dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan nasional menuju kemandirian bangsa, ternyata sumberdaya tanah yang merupakan penopang pembangunan pertanian, selalu merupakan masalah serius yang harus dipecahkan secara bersama.
Disinyalir banyak sekali pemilik modal besar yang menguasai lahan lahan subur bagi kegiatan pertanian dan perkebunan, namun dibiarkan terlantar tanpa dimanfaatkan secara optimal, demi kepentingan pembangunan pertanian.
Pada hal petani khususnya di Pulau Jawa, sebagian besar tidak memiliki lahan pertanian, karena rata rata petani hanya memiliki seperempat hektare, malah banyak yang menjadi petani penggarap.
Menurut Sugiyanto, kecilnya kepemilikan lahan petani tidak dianggap masalah mendasar. Akibatnya program proforma agrarian ( land reform ) yang disiapkan oleh Orde Lama, dikesampingkan. Sejak Reformasi 1998, ternyata nasib petani tidak berubah. Petani gurem dan tuna lahan masih banyak. Mereka termajinalkan dalam proses pembangunan. Kebijakan negara sering tidak memihak petani.[3]
Sikap dari kelompok kecil masyarakat ini perlu dikaji lebih mendalam dan diberikan pemahaman serta solusi, sehingga masalah ini tidak menjadi ancaman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang sementara membangun dalam berbagai bid!ang.
Rasa nasionalime sebenarnya terkait dengan upaya untuk membebaskan bangsa Indonesia dari kemiskinan, keterbelakangan. Nasionalisme merupakan kebanggaan, kepada bangsa sendiri, harkat, martabat dan kemuliaannya.
Indonesia berada dalam situasi krisis pangan yang belum pernah tejadi sebelumnya, dan bahkan situasinya semakin mengkhawatirkan karena faktor perubahan iklim menjadikan produksi pangan penuh ketidakpastian.
Selain perubahan iklim, yang mulai mempengaruhi produksi pertanian, kenaikan produksi ppangan terutama beras berhadapan dengan harga yang tinggi. Bersamaan dengan itu, impor pangan terus meningkat, sementara Indonesia punya lahan menganggur 7, 3 juta hektar.[4]
Data kementrian Pertanian Republik Indonesia, disebutkan bahwa secara nasional sekitar 110 ribu hektar lahan pertanian setiap tahun berubah fungsi untuk kegunaan lain dan dominan terjadi di pulau Jawa.[5]
Hal ini memang sangat memprihatinkan, karena tanah tidak pernah bertambah, teurtama lahan pertanian, disamping itu ternyata sulit ditemukan lahan pertanian yang representatif dan subur seperti di pulau Jawa.
Oleh karena itu perlu adanya kewaspadaan terhadap pemilik modal yang senantiasa berupaya memiliki tanah atau lahan sebanyak mungkin, namun tidak bertanggungjawab untuk memanfaatkannya demi kepentingan orang banyak terutama para petani, untuk peningkatan produksi pertanian, menuju ketahanan pangan nasional.
Lahan sudah dimiliki seharusnya bertanggungjawab untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin, demi kepentingan orang banyak, bukan diterlantarkan atau dibiarkan tidak produktif.
Berdasarkan uraian di atas maka masalah dalam penulisan ini sebagai berikut: bagaimana rasa tanggungjawab dan sikap nasionalisme sebagai pemilik modal wujud dari prinsip kewaspadaan nasionall dalam memanfaatkan lahan tidur yang dikuasai untuk kepentingan peningkatan ketahanan pangan nasional.
II. PEMBAHASAN
1. Penguasaan dan Pengelolaan Lahan Pertanian oleh Petani
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992, tentang Sistem Budidaya Tanaman, disebutkan bahwa pengeolaan lahan wajib mengikuti tata cara yang dapat mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup dan pencemaran lingkungan berdasarkan asas manfaat, lestari dan berkelanjutan.
Terkait dengan keberlanjutan lingkungan merujuk pada kemampuan manusia untuk memelihara lingkungan tersebut agar lestari dalam kehidupan sehari-hari.[6]
Konversi lahan sawah menjadi lahan non pertanian diperkirakan 110 hektar setiap tahun. Diperkirakan terdapat kurang lebih 9 juta hektar lahan tidur yang ditutupi semak belukar dan alang alang.[7]
Makin menyempitnya rata rata luas lahan pertanian pasti mempengaruhi penguasaan lahan oleh petani. Kehadiran Undang –Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang bertujuan untuk melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, ternyata belum sepenuhnya memberikan dampak positif dalam upaya mencegah alih fungsi lahan pertanian produktif.
Tujuan dibentuknya Undang Undang ini adalah menjamin ketersediaan lahan pertanian secara berkelanjutan dapat mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan, melindungi kepemilikan lahan pangan milik petani, meningkatkan kemakmuran, serta mensejahterakan petani dan masyarakat, meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani, meningkatkan penyediaan lapangan pekerjaan bagi kehidupan yang layak, serta mewujudkan revitalisasi pertanian.[8]
Salah satu dampak yang dapat dirasakan, ketika tidak terjadi perubahan kebijakan secara signifikan adalah meningkatnya urbanisasi karena para petani yang tidak memiliki lahan, pasti beralih profesi menjadi pekerja dibidang jasa yang cenderung pindah ke wilayah perkotaan.
Terkait dengan alih fungsi lahan di atas, maka salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk Peraturan Daerah, untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan yang terjadi secara meluas dan pasti berdampak buruk bagi pengembangan pertanian dan peningkatan produksi hasil pertanian atau pangan.
Alih fungsi lahan pertanian subur selama ini kurang diimbangi oleh upaya upaya terpadu mengembangkan lahan melalui pemanfaatan lahan marginal. Disisi lain alih fungsi lahan pertanian menyebabkan berkurangnya penguasaan lahan pertanian , sehingga berdampak pada menurunnya pendapatan petani. Oleh karena itu diperlukan pengendalian laju alih fungsi lahan pertanian pangan melalui perlindungan lahan pertanian pangan.[9]
Selanjutnya menyangkut pengelolaan lahan khususnya lahan tidur salah satu masalah yang dihadapi dalam upaya peningkatan produksi pertanian adalah terjadinya konversi lahan subur yang cenderung semakin cepat. Lahan sawah yang beralih penggunaannya untuk keperluan non pertanian seperti industri, pemukiman, jalan dan lain-lain diperkirakan 30.000 ha setiap tahunnya.[10]
Pada hal diwilayah wilayah yang subur pada umumnya telah tersedia infrastruktur yang memadai sehingga sangat mempengaruhi produksi pertanian.
Dibeberapa lokasi telah terjadi konversi lahan dan pemanfaatan lahan dilokasi lainnya ternyata masih belum optimal. Data statistik menunjukkan bahwa hingga tahun 1991, masih terdapat 0.7 juta ha lahan sawah dan 7,8 ha lahan kering yang belum diusahakan secara optimal dan terlantar .[11]
Bersamaan dengan itu pada lahan yang telah dimanfaatkan ternyata intensitas pertanamannya masih relatif randah yaitu disawah 130 % dan lahan kering 52 %. Lahan lahan yang belum dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian produktif dapat dikategorikan sebagai lahan tidur.[12]
Contoh lahan tidur, misalnya lahan yang pernah dibuka untuk pertanian atau diambil kayunya untuk keperluan industri, lalu tidak digunakan lagi atau terlantar. Kondisi lahan tersebut umumnya terbuka atau telah ditutupi oleh tumbuh tumbuhan yang tidak produktif seperti alang alang, semak belukar dan lain lain.[13]
Dapat dibayangkan berdasarkan data yang disampaikan di atas, ternyata sudah sejak tahun 1994 berarti sudah delapan belas tahun yang lalu kondisinya sudah sangat parah, apalagi kondisi saat ini memang sangat memprihatinkan.
Menurut Sugiyanto, selama ini kebutuhan pangan nasonal dipasok oleh petani. Petani Indonesia bukan malas bekerja atau tidak punya ketrampilan bertani. Masalah dasarnya adalah sempitnya lahan petanisn. Para petani tidak mampu membeli lahan yang harganya terus meningkat. Sementara itu pemodal besar mampu membeli tanah, termasuk tanah petani gurem baik untuk lahan pertanian atau dikonversi bagi keperluan non pertanian yang lebih menjanjikan keuntungan.[14]
Berkembangnya pembangunan dalam bidang industri ternyata membawa dampak terhadap pembangunan pertanian. Lahan-lahan pertanian menjadi berkurang karena digunakan untuk pembangunan perumahan dan pabrik pabrik tertentu.
Hal ini sebenarnya perlu mendapat perhatian serius dari pihak pemerintah termasuk pihak swasta, karena berdampak signifikan bagi peningkatan produksi pangan nasional. Artinya lahan yang semakin berkurang mengkibatkan petani sulit mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan pertanian demi peningkatan produksi pangan.
Sebagai negara agraris seharusnya masalah pertanian menjadi primadona dan berbagai kebijakan pemerintah diharapkan lebih tegas dan sesuai dengan sistem penguasaan lahan yang lebih baik bagi para petani.
Penguasaan lahan oleh pihak swasta atau pemilik modal perlu selalu diwaspadai karena itu merupakan bagian dari rasa tanggungjawab warga negara atau individu, bagi pembangunan bangsa dan negara. Artinya sebagai pemilik lahan mestinya sadar bahwa lahan adalah anugerah Tuhan yang harus dimanfatkan bagi kepentingan banyak orang, bukan harus dibiarkan atau diterlantarkan tanpa digunakan secara optimal.
Dalam kenyataan petani sulit mendapatkan lahan, namun para pemilik modal besar dengan mudah membeli lahan dari para petani untuk kepentingan lain diluar aspek pertanian.
2. Penguasaan Lahan Pertanian oleh Pemilik Modal
Pemilik modal adalah kelompok kecil namun mempunyai kemampuan ekonomi dan modal yang kuat, sehingga dengan mudah menguasai lahan pertanian maupun lahan perkebunan tertentu.
Disinyalir kelompok kecil ini menguasai lahan pertanian yang cukup luas pada berbagai wilayah di Indonesia, namun tidak dimanfaatkan secara maskimal. Lahan yang dikuasai sangat produktif, dan posisinya strategis, karena tidak ada pemilik modal yang menanamkan modalnya, dengan cara membeli tanah pada wilayah wilayah gersang dan tidak produktif.
Hampir seluruh tanah yang dikuasai pasti bernilai ekonomis tinggi, karena tanah sering dijadikan agunan bank, untuk membiayai proyek proyek lain. Praktek ini telah berlangsung lama, namun belum ada kebijakan pemerintah yang dapat menyentuhnya. Dikatakan demikian karena pemilik modal mempunyai posisi bargaining yang kuat dengan pemerintah atau penguasa, sehingga dalam banyak kasus, ternyata sulit untuk dilakukan perubahan secara signifikan.
Andaikata mereka tidak mempunyai relasi yang baik, dan ternyata ketika ada masalah maka dengan mudah diselesaikan dengan penguasa, karena mereka memiliki uang yang cukup. Kondisi ini memang sangat memprihatinkan dan harus dianggap sebagai isu atau hambatan yang datang dari dalam negara.
Masalah ini jangan dianggap sebagai hal hal yang biasa, karena lahan pertanian semakin menyempit, namun praktek penjualan tanah atau sawah dari para petani kepada para pemilik modal berlangsung terus.
Kondisi ini jika dikaji aspek kewaspadaan nasional maka perlu dipertanyakan sikap nasionalisme dari pemilik lahan yang dibiarkan tanpa dikelola secara baik demi kepentingan orang banyak. Disamping itu juga terkait dengan rasa tanggungjawab dalam memanfaatkan potensi yang tersedia, karena mempunyai hubungan langsung dengan masalah pangan yang merupakan hajat hidup orang banyak.
Nilai-nilai kebangsaan ( nasionalime ) harus diwujudkan melalui rasa tanggungjawab yang tinggi, karena hal tersebut merupakan aspek penting yang harus dipahami dan dimiliki oleh seluruh masyarakat dalam rangka membangun bangsa dan negara ke dapan. Tanpa rasa kebangsaan yang tinggi maka yang muncul adalah indiviualisme atau kepentingan diri sendiri , kepentingan kelompok atau etnis tertentu, suku, agama, dan sebagainya , yang bisa menghancurkan sendi sendi kehidupan berbangsa dan bernagara.
Hal ini jika dibiarkan berlarut larut maka diwaktu yang akan datang, sulit untuk dibendung dan pada akhirnya kebijakan pemerintah tidak didasarkan pada kepentingan nasional namun kepentingan pemilik modal atau kelompok ekonomi kuat. Apa yang disampaikan bukan tidak beralasan, sebab pengalaman membuktikan bahwa ketika pemilik modal memiliki kekuasaan ekonomi yang kuat, maka pemerintah tak berdaya menghadapi mereka, karena posisi bargaining yang kuat, baik pada tataran nasional maupun internasional ( global ).
Politik ekonomi dengan cara menguasai lahan pertanian produktif, sebenarnya tidak relevan dengan konsep negara agraris. Pasti akan muncul tuan tuan tanah baik dalam jumlah kecil dan mungkin diwaktu mendatang akan lebih besar, dan akhirnya akan sulit dikontrol dan dikendalikan. Terkait dengan masalah ini ternyata hukum di Indonesia juga memberikan peluang yang signfikan, dalam hal penguasan tanah oleh individu. Disini sebenarnya bukan substansi aturan hukum semata, namun proses penegakan hukum juga, sangat rancu dan lemah.
Rasa bertanggungjawab terhadap berbagai masalah atau isu penting bangsa dan negara, tidak hanya datang dari pemerintah atau para pemimpin bangsa, namun hal itu juga harus dimiliki oleh seluruh bangsa Indonesia pada semua tataran. Rasa tanggungjawab sebenarnya dapat terwujud melalui kegiatan kegiatan yang dapat membawa hal hal yang sifatnya positif, bukan saja bagi diri sendiri, tetapi bagi orang banyak. Hal itu dapat dilakukan oleh siapa saja dan dalam bentuk yang sangat variatif serta kegiatan kegiatan yang lingkupnya kecil sekalipun.
Lahan pertanian dalam bentuk apapun tidak boleh diterlantarkan ( lahan tidur ) harus dimanfaatkan atau dikelola dengan baik, sehingga membawa nilai tambah, bukan saja bagi pemilik, namun berguna juga bagi orang lain.
Jika pemanfaatannya secara proporsional atau sesuai dengan peruntukannya, maka pasti akan meningkatkan ketahanan pangan nasional. Dikatakan demikian karena lahan pertanian selalu berhubungan dengan pangan dan ketahanan pangan. Tanpa lahan pertanian yang memadai dan produktif, maka sulit meningkatkan produksi pertanian dalam rangka ketersediaan pangan nasional, menuju ketahanan pangan nasional.
Ketersediaan pangan nasional merupakan aspek penting dalam peningkatan ketahanan pangan nasional. Jadi diharapkan muncul kesadaran dari pemilik lahan khususnya pemilik modal atau pengusaha, agar dapat mendayagunakan lahan pertanian produktif itu dengan baik, karena jumlahnya jutaan hektar.
3.Kesadaran dan Rasa Tanggungjawab Pemilik Modal dalam Mengelola Lahan Tidur, ditinjau dari Aspek Kewaspadaan Nasional.
Sebelum diuraikan lebih jauh tentang sikap dan rasa tanggungjawab dari pemilik modal terhadap lahan pertanian produktif yang dimiliki, maka perlu diuraikan beberapa hal tentang kondisi faktual pengelolaan pertanian saat ini.
Sebenarnya dengan menyempitnya lahan pertanian atau banyak petani yang tidak memiliki lahan pertanian maka hal itu pasti berdampak bagi peningkatan produksi pertanian. Jika produksi pertanian menurun maka hal itu berdamapk pada ketahanan pangan nasional.
Kondisi ini sebenarnya sudah merupakan suatu isu yang cukup memprihatinkan di Indonesia, namun sampai saat ini, seakan tidak ada langkah-langkah kebijakan untuk mencegahnya. Hal ini dapat dikatakan sebagai bentuk pembiaran, karena terus berlangsung dan masyarakat khususnya petani, berada pada suatu kondisi yang cukup memprihatinkan. Namanya petani sebenarnya harus memiliki lahan dan mempunyai pendapatan yang cukup, tetapi dalam kenyataan miskin dan malah sangat miskin, karena tidak memiliki lahan, juga tidak mempunyai posisi bargaining yang kuat, dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jadi kebijakan penguasaan lahan perlu dikaji ulang oleh pemerintah. Beberapa alternatif yang ditawarkan antara lain koorporasi dengan pihak swasta dan kecendrungan liberalisasi pertanian. Salah satu hasilnya adalah Indonesia menjadi produsen tersebsar CPO, namun ini bertumpu pada produksi inti koperasi swasta dan mengerdilkan peran plasma petani kecil. Pilihan kedua berbasis negara yang dijalankan BUMN. Pemerintah berupaya memperluas lahan padi 1000 ha pada tahun 2012, bahkan ditargetkan 1 juta ha pada tahun 2014.
Demikian juga gerakan peningkatan produksi pangan berbasis korporasi ( GPPPK) untuk padi jagung dan kedelai. Jika dana program kemiteraan BUMN dengan petani Rp. 1,1 triliun dan kredit ketahanan pangan dan energi, dari bank Rp 0,7 triliun, kegiatan ini membidik 570 ha dengan target tambahan produksi padi minimal 5, 33 % , jagung 6,82 % dan kedelai 4,01 % dari sasaran nasional.[15]
Menurut Sugiyanto, jika alternatif pertama dan kedua yang dipilih maka produksi pangan akan meningkat. Masalahnya , dapatkah pilihan itu membebaskan petani dari belunggu kemiskinan ?. Pilihan ketiga yakni produksi pangan berbasis petani, sangat rasional bagi peningkatan kesejahteraan petani.
Pilihan ini tidak mudah menurut Sugiyanto, karena ada resiko politik dan perlu jalan berliku untuk mewujudkannya. Oleh karena itu rekontruksi penguasaan dan pemilikan lahan menjadi sangat penting. Demikian pula dukungan input usaha tani, semisal bibit berkualitas dan adaptif pada perubahan cuaca, pupuk ramah lingkungan, modal dan sarana produksi, infrastruktur pertanian, serta bimbingan teknis pada petani. Inilah yang disebut land reform dan access reform.[16]
Apa yang diuraikan di atas ternyata salah satu masalah inti adalah penguasaan lahan oleh petani. Artinya lahan sebagai penopang utama kegiatan pertanian harus mendapat prioritas dalam rangka memecahkan masalah pengan.
Tanpa lahan yang cukup bagi para petani maka sulit untuk meningktakan produksi pangan dalam rangka ketahanan pangan nasional. Begitu pentingnya lahan bagi para petani, sehingga boleh dikatakan bahwa lahan pertanian adalah emas hitam bagi para petani yang digarap tanpa batas waktu. Emas hitam ini memberi sumber kehidupan sepanjang masa selama manusia masih menjaga dan memelihara serta melestarikan sumberdaya tersebut.
Mencermati kondisi yang terjadi saat ini, sebagai warga negara yang baik, bagaimana sikap dan rasa tanggungjawab dari pemilik modal dalam pemanfaatan lahan pertanian. Jika dibiarkan terlantar maka hal tersebut pasti tidak berguna bagi kepentingan yang lebih besar yakni peningkatan produksi pertanian, demi ketahanan pangan nasional.
Sebenarnya dengan adanya luas lahan pertanian yang tidak digunakan maka hal ini sangat tergantung pada pemiliknya dalam rangka memanfaatkan sumberdaya tanah tersebut bagi kepentingan orang banyak. Artinya lahan tidur yang begitu luas harus dipandang sebagai asset yang dapat dgunakan demi kepentingan bangsa. Rasa nasionalisme harus nampak dalam semua sisi kehidupan, termasuk dalam pemanfaatan lahan pertanian.
Rasa tanggungjawab yang sungguh dari pemilik modal untuk memberdayakan orang lain, terutama para petani yang tidak memiliki lahan pertanian, merupakan bagian dari upaya membangun kebersamaan dalam proses pembangunan bangsa dan negara.
Berdasarkan kondisi yang demikian maka dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut :
Hendaknya dikembangkan konsep kerjasama antara pemerintah dengan pihak swasta ( pemilik modal ) untuk memanfaatkan potensi lahan pertanian yang selama ini belum dimanfaatkan ;
Bimbingan dan pengarahan kepada pemilik modal ( swasta ) yang memiliki lahan pertanian yang subur ,merupakan suatu keharusan sehingga muncul rasa memiliki dan rasa bertanggungjawab terhadap sumberdaya tanah yang potensial, namun belum dimanfaatkan secara optimal, demi kepentingan bersama sebagai bangsa;
Perlu dikembangkan suatu program secara terencana, terkait dengan upaya memberdayakan para petani untuk mengelola lahan lahan pertanian yang telah menjadi milik dari pemodal ( pengusaha ) yang belum dikelola secara optimal ;
Penegakan hukum secara tegas untuk membatasi hak kepemilikan atas lahan pertanian produktif , secara besar besaran, merupakan suatu kebutuhan segera yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Perlu adanya ketegasan tentang penataan ruang wilayah pertanian secara baik demi pengembangan metode pertanian terpadu secara efektif dan efisien, sesuai rencana tata ruang wilayah .
Terjadinya kesenjangan penguasaan lahan antara yang kaya dan yang miskin perlu dijembatani melalui berbagai kebijakan pemerintah yang pro pada rakyat.
Praktek alih fungsi lahan secara tidak terkendali, yang berdampak pada menyempitnya lahan pertanian produktif, harus segera diantipasi dengan sikap dan tanggungjawab menurut early warning system, sebagai bagian dari kewaspadaan nasional .
III. PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa ; konversi lahan sawah menjadi lahan non pertanian diperkirakan 110 hektar setiap tahun. Diperkirakan terdapat kurang lebih 9 juta hektar lahan tidur yang ditutupi semak belukar dan alang alang.
Dengan begitu luasnya lahan tidur yang tidak dimanfaatkan oleh pemilik modal pada hal lahan tidur merupakan lahan pertanian yang produktif maka dapat dikatakan bahwa rasa tanggungjawab dan nasionalisme dari pemilik lahan yang termasuk kategori pemilik modal sangat rendah.
Lahan tidur yang produk jika dimanfaatkan dengan baik maka akan memberikan lapangan keja bagi para petani penggarap sehingga dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional.
Terkait dengan kesimpulan di atas maka diharapkan kiranya terbangun perubahan sikap dan rasa nasionalisme serta tanggungjawab yang tinggi dari kelompok pemilik modal , sebagai bagian dari kewaspadaan nasional dalam rangka peningkatan ketahanan pangan nasional.
Bahan Rujukan :
Materi Bidang Studi : Kewaspadaan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional RI Tahun 2012.
Rahmawaty, 2002, Rencana Pemanfaatan lahan Tidur Berdasarkan Pendekatan Ekosistem, Fakultas Pertanian Program Studi Kehutanan Universitas Sumatera Utara.
www.erialjamal.blogspor.com, Erizal Jamal, Revitalisasi Pertanian dan Upaya Perbaikan Penguasaan Lahan di tingkat Petani, Edisi 19, April, 2011
www.dodiksetiawan.wordpress.com/2012/01/13, Dodik Setiawan Nur Hariyanto, Perda Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Jurnal Dialog Kebijakan Publik, Edisi 4 November 2011.
Majalah Mingguan , Warta Perundang-Undangan, Edisi April 2012.
www.Lampungpost.com, Sugiyanto, Akses Kepemilikan Lahan Bagi Petani.
www.lampungpost.com, investor daily, 21 November 2011
[1] Materi Bidang Studi Kewaspadaan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional RI Tahun 2012.
[2] Ibid
[3] www.Lampungpost.com, Sugiyanto, Akses Kepemilikan Lahan Bagi Petani.
[4] Jurnal Dialog Kebijakan Publik, 2011. h. 50
[5] Majalah Mingguan , Warta Perundang-Undangan, Edisi April 2012, h.27
[6] Ekins dalam Rahmawaty, 2002, Rencana Pemanfaatan lahan Tidur Berdasarkan Pendekatan Ekosistem, fakultas Pertanian Program Studi kehutanan Universitas Sumatera Utara, h 1
[7] www.erialjamal.blogspor.com, Erizal Jamal Revitalisasi Pertanian dan Upaya Perbaikan Penguasaan Lahan di tingkat Petani, Edisi 19, April, 2011
www.dodiksetiawan.wordpress.com/2012/01/13, Dodik Setiawan Nur Hariyanto, Perda Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
[9] Ibid
[10] Adjid, dalam Rahmawaty, 2002 h.2
[11] Adjid Ibid
[12] Karama dalam Rahmawaty, 2002 h.2
[13] Karama dalam Rahmawaty, 2002, Ibid
[14] www.lampungpost.com Sugiyanto, ibid
[15] www.lampungpost.com, investor daily, 21 November 2011
[16] www.lampungpost.com, Sugiyanto Op Cit, h. 2.