Pendidikan Budaya Hukum Anti Korupsi

Hukum Pidana

Pendidikan Budaya Hukum Anti Korupsi[1]

Oleh Erwin Ubwarin[2]

 

A.    Pengantar

                 Indonesia adalah salah satu negara besar di dunia yang akan mendapatkan bonus demografi pada 100 Tahun Negara ini berdiri, pada tahun 2013 Jumlah Penduduk Indonesia  dengan jumlah 249,9 juta orang menurut data Bank Dunia Tahun 2014 dan menurut Badan Pusat Statistik  248,8 juta orang, diprediksikan Indonesia pada tahun 2045 akan mempunyai usia produktif dari jumlah penduduk Indonesia sebesar 48.7% . Usia produktif dari umur 15-64 Tahun[3], hal ini merupakan potensi sumberdaya manusia yang berkualitas dan berinteritas merupakan sumber pontesial bagi pembagunan Indonesia.

                 Data penanganan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah di Eksekusi adalah 300 Kasus,[4] dengan bonus demografi yang begitu besar Indonesia harus mempersiapkan sumberdaya manusia yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, penanggulangan tindak pidana korupsi dilakukan dengan bukan saja dalam bentuk respresif namun juga preventif, tidakan preventif seperti dalam bentuk pendidikan budaya hukum anti korupsi, sehingga dapat mencegah calon pelaku tindak pidana korupsi sehingga dapat menekan jumlah tindak pidana korupsi yang terus meningkat.

 

B.     Upaya Non-Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan

                 Kebijakan penanggulangan kejahatan atau biasa dikenal dengan istilah politik kriminal menurut G. P. Hoefnagels upaya penanggulanagn kejahatan dapat ditempuh dengan :[5]

a.       Penerapan hukum pidana (criminal law application);

b.      Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);

c.       Memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan lewat mass media (influencing views of society on crime and punuishment/mass media).

                 Dengan demikian, upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur “penal” (Hukum Pidana) dan jalur “nonpenal” (bukan/di luar Hukum Pidana). Dalam pembagian G. P. Hoefnagels di atas, upaya-upaya yang disebut dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukan dalam kelompok upaya “non-penal”.

                 Penanggulangan kejahatan dengan memakai jalur penal lebih menitik beratkan pada “tindakan respressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non-penal menitik beratkan pada “tindakan preventif” (Pencegahan/Penangkalan/Pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.[6]

                 Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non-penal” lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya non-penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya pilitik kriminal. Posisi kunci strategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahayan, ditegaskan pula dalam berbagai kongres PBB mengenai “The Prevention of Crime and Treatmen of Offenders” sebagai berikut :

a.       Pada Kongres PBB ke-6 Tahun 1980 di Caracas, Venuzeula antara lain dinyatakan di dalam pertimbagan resolusi menengenai “Crime tends and crime prevention strategies”.[7]

b.      Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas lingkungan hidup yang layak

c.       Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan.

d.      Bahwa penyebab utama dari kejahatan dibanyak negara ialah ketimpangan sosual, diskiriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebodohan di antara golongan pendududuk

Setelah mepertimbangkan hal-hal diatas, maka resolusi itu dinyatakan antara lain :
“menghimbau semua anggota PBB untuk mengambil tindakan dalam kekuasaaan mereka untuk menghapus kondisi-kondisi kehidupan yang menurunkan martabat kemanusian dan menyebabkan kejahatan, yang meliputi masalah pengangguran, kemiskinan, kebodohan, diskriminatif rasial dan nasional serta bermacam-macam ketimpangan sosial.

Dalam padangan beberapa para sarjana upaya penganggulan kejahatan dengan penal belum maksimal harus juga adanya upaya non-penal, antara lain :

a.       Schultz menyatakan, bahwa naik turunnya kejahatan di suatu negara tidak berhubungan dengan perubahan-perubahan di dalam hukumnya atau kecenderungan-kecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat.[8]

b.      Johannes Andenaes menyatakan, bahwa berkerjanya hukum pidana selamanya harus dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum dengan faktor-faktor lain yang membentuk sikap dan tindakan-tindakan kita.[9]

c.       R. Hood dan R. Sparks menyatakan pendapat aspek dari “general prevention”, seperti “reinforcing social values”, strengthening the common consciense”, alleviating fear”, dan “providing a sense of communal security” sulit untuk diteliti.[10]

d.      Karl O. Christiansen pada waktu membicarakan beberapa pertimbangan mengenai kemungkinan suatu politik kriminal yang rasional, mengemukakan antara lain :[11]

“Pengaruh pidana terhadap masyarakat luas sangat sulit diukur. Pengaruh itu (maksudnya pengaruh dalam arti “general prevention”, pen.) terdiri dari sejumlah bentuk aksi dan reaksi yang berbeda dan saling berkaitan erat, yang disebut dengan berbagai macam nama, misalnya pencegahan (deterrence), pencegahan umum (general prevention), memperkuat kembali nilai-nilai moral (reinforcement of moral values), memperkuat kesadaran kolektif (strengthening the collective coledaroty), menegaskan kembali/memperkuat rasa aman dari masyarakat (reaffirmation of the public feeling of security), mengurangi atau meredahkan ketakutan (alliviation of fears), melepaskan ketegangan-ketegangan agresif (release of aggressive tensions), dan sebagainya.”

Khususnya mengenai pengaruh dari pidana penjara, dikemukakan olehnya bahwa kita mengetahui pengaruhnya

 

Dari pendapat diatas ditemukan bahwa sarana penal belum cukup dalam menanggulangi kejahatan, untuk itu perlu untuk terus mengali, memanfaatkan dan mengembangkan upaya-upaya non-penal untuk mengimbangi kekurangan dan keterbatasan sarana penal

 

D.    Pendidikan Budaya Hukum Anti Korupsi

Lawrene Friedmann  mengatakan ada 3 (tiga) komponen sistem hukum yaitu :[12]

1.      Struktur

2.      Substansi

3.      Kultur (Budaya Hukum)

 

            Suatu sistem hukum harus memenuhi, pertama struktur, dalam hal ini sistem hukum terus berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya, ada pola jangka panjang yang berkesinambungan struktur sistem hukum, dengan memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Kedua sistem hukum mempunyai substansi, yang dimaksud dengan substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku manusia yang nyata dalam sistem hukum. Dan yang ketiga, sistem hukum mempunyai kultur (budaya hukum) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, di dalamnya terdapat kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapan.

 

            Berbicara soal budaya hukum maka akan diperlukan pastisipasi masyarakat, dan bagaimana membentuk budaya hukum didalam masyarakat, dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dalam Bab V tentang Peran Serta Masyarakat Pasal 41 ayat (1) disebutkan; “masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi” peran ini diwujudkan dalam bentuk :

a.       Hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tidak pidana korupsi;

b.      Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;

c.       Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertangung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;

d.      Hak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;

e.       Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :

1.      Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c

2.      Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli, sesuai ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku

 

Dari pasal diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat juga mempunyai peran dalam melakukan pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi, untuk itu diperlukan pendidikan budaya hukum kepada masyarakat dalam melakukan pencegahan.

 

            Menurut Undang-Undang Nomor 13Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan , usia produktif  yaitu masyarakat yang berusia 15-64 tahun yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja, maupun yang sedang aktif mencari pekerjaan. Dalam usia ini maka para perkerja baik di bidang swata maupun pemerintah harus dibentuk menjadi masyarakat yang mempunyai budaya hukum anti korupsi.

           

            Indonesia pada Tahun 2045 akan berusia 100 Tahun atau Indonesia Emas, untuk mempersiapkan masyarakat Indonesia yang akan mendapatkan bonus demografi dengan jumlah penduduk dengan usia 15-64 tahun yang terbanyak ke 4 di dunia maka harus

dipersiapkan manusia yang mempunyai budaya anti korupsi. Pendidikan budaya anti korupsi ini dimulai kepada anak-anak dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, sampai pada Perguruan Tinggi, karena mereka inilah yang kemudian akan menjadi penerus bangsa.

            Didalam Komisi Tindak Pidana Korupsi kita kenal dengan Deputi Penindakan dan Deputi Pencegahan, fungsi Deputi Pencegahan sebagai berikut :[13]

a.       Perumusan kebijakan untuk sub bidang Pendaftaran dan Penyelidikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara (PP LHKPN), Gratifikasi, Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat serta Penelitian dan Pengembangan;

b.      Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui pendataan, pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN;

c.       Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui penerimaan pelaporan dan penanganan gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara

d.      Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui pendidikan anti korupsi, sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi dan kampanye antikorupsi;

e.       Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui penelitian, pengkajian dan pengembangan pemberantasan korupsi;

f.       Koordinasi dan supervisi pencegahan tindak pidana korupsi kepada instansi terkait dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik;

g.      Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumberdaya di lingkungan Deputi Bidang Pencegahan.

h.      Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan hubungan kerja pada sub bidang Pendaftaran dan Penyelidikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara (PP LHKPN), Gratifikasi, Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat serta Penelitian dan Pengembangan;

i.        Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan bidangnya.

 

Pendidikan budaya anti korupsi dilakukan kepada siswa maupun mahasiswa dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1.      Melakukan pendidikan dengan mengenalkan budaya anti tindak pidana korupsi

2.      Membuat media untuk siswa dan mahasiswa dapat berkreasi dalam mengkampanyekan budaya anti korupsi

3.      Melakukan evaluasi terhadap perkembangan siswa dan mahasiswa yang telah melakukan aksi dalam mengkampayekan budaya anti korupsi

 

Ad. a Melakukan pendidikan dengan mengenalkan budaya anti tindak pidana korupsi

Pendidikan merupakan sarana yang dilaksanakan baik dengan sosialisasi, ceramah untuk memperkenalkan kepada siswa dan mahasiswa apa itu tindak pidana korupsi, bagaimana pencegahannya dan apa peran kita sembagai calon pemimpin bangsa dalam mengahadapi perilaku korupsi;

Ad.b. Membuat media untuk siswa dan mahasiswa dapat berkreasi dalam                                     mengkampanyekan budaya anti korupsi

Setelah melakukan pendidikan, mahasiwa dan siswa harus membuat recana aksi dalam mengejawantakan apa yang mereka telah dapat selama mereka mendapatkan pendidikan anti korupsi di tingkat SD, SMP, SMA dan PT, contohnya Mading, “Kantin Jujur” dimana siswa dan mahasiswa diajarkan untuk bersikap jujur dalam melakukan pembelian ataupun mengambil uang kembali pada tempat uang yang telah disediakan, ia harus menaruh uang sesuai dengan apa yang dimakan oleh siswa dan mahasiwa. Siswa dan mahasiwa selalu menyakan asal uang bayak yang diberikan kepadanya darimana sumberdana, dalam menabung selalu mencantumkan sumberdana yang ia tabung, tidak perna memberikan uang/prestasi untuk mempercepat pengurusan dalam pelayanan publik;

Ad. c Melakukan evaluasi terhadap perkembangan siswa dan mahasiswa yang telah                     melakukan aksi dalam mengkampayekan budaya anti korupsi

Dengan melihat perilaku siswa dan mahasiswa seperti contoh ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa telah terciptanya budaya hukum, namun hal ini akan dibuktikan ketika seorang siswa atau mahasiswa mempunyai jabatan dan dia tidak melakukan tidakan abuse of power dalam dunia pekerjaan. Untuk itu perlu diadakan evaluasi secara berkelanjutan terhadap siswa dan mahasiswa yang telah mengikuti pendidikan budaya hukum

 

Semoga Bermanfaat J

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembagan Penyusunan    Konsep KUHP Baru), Cet. Ke-6 Edisi 2 (Kecana Prenada Media Group,Semarang, 2011)

 

Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Tujuh Tipe Pidana Korupsi             Berdasarkan UU RI. No 31 jo. No 20 Tahun 2001, Mandar Maju, Bandung 2010

 

H. D. Hart (ed), Punishment: For and Against, New York, 1971.

 

J. Andenas, Does Punishment Deter Crime? dalam Philosophical Perspective or    Punisment,Gertrude Ezorsky (Ed.) New York, 1972.

 

Karl O. Cristiansen, Some Consideration on the Posibility of Rational Criminal Policy,    Resource Materia Series No. 7, UNAPEI 1974

 

Lawrence Meir Fridman, American Law An Introduction, PT. Tata Nusa, Jakarta, 2000.

 

R. Hood & R. Sparks, Key Issues in Criminologi, 1967,

 

R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Ed. II),    Sinar Grafika, Jakarta, 2012

 

Sixth United Nations Congress, Report, 1981.

 

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, 1981.

 

 

Peraturan Perundang Undangan

 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak         Pidana Korupsi  sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tenga Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor           31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan         Korupsi

 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja

 

Website

http://www.kpk.go.id/id/


                [1]Penyuluhan Pendidikan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi  di GMKI Cabang Ambon, 14 Maret 2015

                [2] Dosen Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon

                [3] Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja

                [4] Tabulasi Data Penanganan Korupsi (oleh KPK) Tahun 2004-2015 (per 27 Februari  2015)

                [5] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembagan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Cet. Ke-6 Edisi 2 (Kecana Prenada Media Group,Semarang, 2011) Hal. 45

                [6] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, 1981. Hal. 118

                [7] Sixth United Nations Congress, Report, 1981. Hal 5

                [8] H. D. Hart (ed), Punishment: For and Against, New York, 1971. Hal 21. 

                [9] J. Andenas, Does Punishment Deter Crime? dalam Philosophical Perspective or Punisment,Gertrude Ezorsky (Ed.) New York, 1972. Hal 346

                [10] R. Hood & R. Sparks, Key Issues in Criminologi, 1967, hal 173.

                [11] Karl O. Cristiansen, Some Consideration on the Posibility of Rational Criminal Policy, Resource Materia Series No. 7, UNAPEI 1974, hal 58

                [12] Lawrence Meir Fridman, American Law An Introduction, PT. Tata Nusa, Jakarta, 2000. Hal. 7

                [13]  http://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-pencegahan

Tinggalkan Balasan