PENEMUAN HUKUM DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL (kasus Corfu Channel)

Hukum Internasional

PENEMUAN HUKUM DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL

(kasus Corfu Channel)

Oleh : Irma Hanafi

 

            Manusia dari kelahiran sampai meninggal, hidup diantara manusia lain, yakni hidup di dalam pergaulan dengan manusia lain. Manusia adalah anggota masyarakat. Hal ini telah pada zaman kuno dinyatakan oleh seorang ahli filsafat bangsa Yunani yang bernama Aristoteles. Manusia itu zoon polition, masing-masing anggota masyarakat berkepentingan. Ada anggota yang berkepentingan sama, tetapi ada juga anggota yang mempunyai kepentingan yang bertentangan. Pertentangan antara kepentingan manusia itu dapat menimbulkan kekacauan dalam masyarakat, yaitu bilamana dalam masyarakat tidak ada suatu kekuasaan yakni suatu tata tertib dapat menyeimbangkan (in evenwicht houden). Usaha-uasaha yang dilakukan untuk memenuhi kepentingan yang bertentangan tersebut, upaya perdamaian terutama perdamaian ekonomis dalam masyarakat tetap terpelihara, maka oleh manusia sendiri (golongan yang berkepentingan) dibuat petunjuk hidup (levensvoorschriften). Petunjuk hidup itu diberi nama kaidah (norma) terdapat dalam hukum, kebiasaan, adat istiadat, agama dan kesusilaan. Petunjuk hidup itu menjadi suatu gejala sosial yakni suatu gejala yang terdapat dalam masyarakat. Hukum adalah suatu gejala sosial, dan tiada masyarakat yang tidak mengenal hukum, Hukum adalah himpunan petunjuk hidup  yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah masyarakat itu.[1]

            Pengertian kaedah hukum meliputi asas-asas hukum, kaedah hukum dalam arti sempit atau nilai (norma) dan peraturan hukum konkrit. Kaedah hukum dalam arti luas berhubungan satu sama lain dan merupakan satu sistem, sistem hukum. Disamping kaedah dan sistem hukum yang merupakan sasaran studi ilmu hukum adalah penemuan hukum, oleh kerena hukumnya tidak lengkap sehingga perlu dicari dan ditemukan. Oleh karena itu harus dipelajari pula caranya mencari atau menemukan hukum.[2]

Hukum harus dilaksanakan, berarti bahwa apa yang telah menjadi pedoman dan dianggap patut oleh masyarakat pada umumnya tidak boleh di langgar, bahwa apabila ada pelanggaran maka hukum yang telah dilanggar itu harus dipulihkan, ditegakkan atau dipertahankan. Hukum tidak sekedar merupakan pedoman saja tentang bagaimana kita harus bertindak agar kepentingan mesing-masing terlindungi, akan tetapi kerena fungsinya  sebagai perlindungan kepentingan manusia, harus dilaksanakan dan tidak boleh dilanggar, dan jika dilanggar harus dipulihkan, ditegakkan atau dipertahankan melalui peradilan.[3]

Keadilan adalah kepentingan manusia yang paling luhur di bumi ini . Bagaimanapun juga keadilan itulah yang dicari orang tiada hentinya, diperjuangkan oleh orang dengan gigihnya, dinantikan oleh orang dengan penuh kepercayaan dari pihak kaum penguasa dan orang akan menentang sekeras-kerasnya apabila keadilan tidak diberikan atau keadilan tidak ada. Dari permulaan adanya masyarakat yang teratur, lembaga-lembaga untuk memelihara dan mengatur keadilan merupakan masalah yang terutama diperhatikan. Dalam ilmu hukum berbicara tentang pelaksanaan keadilan (administration of justice) berarti mengatur hubungan-hubungan dan menerbitkan kelakuan manusia di dalam dan melalui pengadilan-pengadilan dari masyarakat yang berorganisasi politik.[4]

Dimana masyarakat yang berorganisasi politik bertambah kuat dan melampaui masyarakat yang teratur secara kesukuan begitu pula organisasi keagamaan  daripada masyarakat, sebagai alat kontrol sosial yang paling luhur, maka kita sampai pada ketertiban hukum , dengan suatu arti hukum menurut pengertian ahli hukum, yaitu sistem pengaturan hubungan-hubungan dan penertiban kelakuan manusia  dengan penerapan secara sistimatis dan teratur kekuatan dari masyarakat yang berorganisasi politik. Penerapan secara sistematis dan teratur memerlukan sekumpulan norma-norma yang berwibawa atau pola-pola cara mengambil yang dapat berguna bagi seseorang sebagai penuntun kelakuan , pun berguna bagi hakim sebagai penuntun untuk putusan-putusannya. Karena itu dalam masyarakat yang telah maju kita mendapatkan arti kedua dari hukum menurut pengertian ahli hukum. Menurut pengertian ini hukum adalah sekumpulan penuntun-penuntun yang berwibawa atau dasar – dasar ketetapan, yang dikembangkan dan ditetapkan oleh suatu teknik yang berwenang atas latar belakang cita-cita tentang ketertiban masyarakat dan hukum yang di terima.[5]

Tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki perdamaian. Perdamaian diantara manusia di pertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dan sebagainya terhadap yang merugikannya.[6]

Sesungguhnya hukum tidak hanya berubah mengikuti matra ruang dan peluang seperti adanya Hukum Belgia, Hukum Amerika Serikat, Hukum Indonesia dan seterusnya, tetapi juga sesuai dengan lintasan waktu. Bahkan kesemuanya ini berlaku bagi sumber-sumber hukum formal, yakni bentuk-bentuk penjelmaan norma-norma hukum maupun isi norma-norma hukum ini. Tatanan-tatanan hukum yang tergolong maju pada umumnya mengenal  sebagai sumber-sumber hukum :

a.       Perundang-undangan (wetgeving), yakni norma-norma hukum yang dikeluarkan oleh penguasa (overheid).

b.      Yurisprudensi ialah seluruh himpunan putusan badan-badan peradilan

c.       Ajaran hukum (doktrin) berupa tulisan-tulisan para ahli pakar dan pakar tentang hukum, dan;

d.      Kebiasaan-kebiasaan hukum (recht gewoonte) yaitu kebiasaan-kebiasaan kemasyarakatan yang oleh para anggota-anggota masyarakat dipandang sebagai suatu yang mengikat serta telah memperolah pengakuan dan pengukuhan pengasa.[7]

Undang-undang dapat dibedakan dalam undang-undang dalam arti materiel dan undang-undang dalam arti formal. Undang-undang dalam arti materiel adalah keputusan penguasa yang dilihat dari segi isinya mempunyai kekuatan mengikat umum. Undang-undang dalam arti formal adalah keputusan penguasa yang diberi nama undang-undang disebabkan bentuk yang menjadikannya undang-undang.[8]

Karena tata hukum memberi kewenangan kepada badan yang menerapkan hukum (law-applying organ) untuk menerapkan norma-norma umum dari hukum per analogiam, ia menjamin badan ini memiliki ruang gerak yang luas bagi kebijaksanaan yang bebas (free discretion) yang dalam batas-batas tersebut yang terakhir dapat menciptakan hukum baru bagi kasus yang tengah ditangani.[9]

Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan, yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum  adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan itu. Proses penegakan hukum menjangkau sampai kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Faktor manusia akan mendapat perhatian yang cukup, karena membicarakan masalah penegakan hukum tanpa menyinggung segi manusia yang menjalankan penegakan itu, merupakan pembicaraan yang steril sifatnya. Apabila kita membicarakan masalah penegakan hukum hanya berpegangan pada keharusan-keharusan sebagaimana tercantum dalam ketentuan-ketentuan hukum, maka hanya akan memperolah gambaran yang kosong dan baru menjadi berisi manakala dikaitkan pada pelaksanaannya yang konkret oleh manusia.[10]

Sebagai keputusan penguasa hukum merupakan serangkaian peraturan-peraturan tertulis, seperti Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah. Peraturan tersebut dibuat oleh yang berwenang, dalam hal ini badan legislatif misalnya Undang-Undang dibuat oleh Presiden bersama DPR, Peraturan Daerah tingkat I oleh DPRD bersama Gubernur.

Putusan hakim termasuk hukum sebagai keputusan penguasa, karena ia mempunyai kekuatan hukum sebagai manifestasi atau perwujudan di dalam masyarakat.  Peraturan dari keputusan penguasa adalah para penegak hukum. Mereka diberi wewenang oleh pemerintah untuk mengatur dan membimbing agar hubungan anggota masyarakat sesuai dengan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Peraturan-peraturan tersebut merupakan petunjuk bagaimana orang harus hidup bermasyarakat. Polisi, jaksa dapat memaksa anggota masyarakat untuk menaati hukum tersebut dan hakim berkuasa untuk mengadilinya. Dengan demikian hukum adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dan mempunyai sifat memaksa.[11]

Salah satu kewajiban yang diamanahkan oleh undang-undang ke pundak hakim adalah kewajiban hakim untuk menemukan hukum yang hidup dalam masyarakat. Tentunya tidak sekedar menemukan, melainkan juga menerapkan dalam putusannya. Terhadap kewajiban hakim untuk menemukan hukum yang hidup dalam masyarakat, Undang-Undang No 4, Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal 28 menentukan bahwa : hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dari ketentuan yang terdapat dalam pasal 28 tersebut, jelas ada kewajiban hakim untuk mengetahui dan mendalami kesadaran hukum dari masyarakat sehingga dapat pula mengetahui hukum yang hidup didalamnya. Unsur keyakinan hakim juga dipersyaratkan oleh undang-undang dapat dijadikan wadah yang saling sambung menyambung dengan unsur kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat, untuk diimplementasikan ke dalam suatu putusan hakim. Dengan demikian tidak pantas jika hakim masih didudukan di menara gading (ivory tower) yang mempunyai sekat yang tebal dengan masyarakatnya. Disamping itu, ungkapan hakim hanya sebagai corong undang-undang juga tidak sepantasnya diberlakukan secara mutlak. Karena undang-undang tidak pernah dibuat secara lengkap. Akan tetapi undang-undang juga menentukan bahwa kedudukan hakim adalah independen, dalam arti bebas dari pengaruh siapapun. Pasal 24 dari Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen ke 3) menentukan bahwa “ Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan….”. Dari ketentuan tersebut terlihat dengan jelas bahwa profesi hakim merupakan profesi yang independen. Independen dalam hal ini adalah bebas dari pengaruh siapapun, terutama babas dari pengaruh pemerintah selaku badan eksekutif maupun bebas dari pengaruh Dewan Perwakilan Rakyat selaku badan legislatif tugas hakim merupakan tugas badan yudikatif. Semua terpulang kepada hakim itu sendiri untuk menggali hukum yang hidup dalam masyarakat dan menerapkan dalam putusannya tanpa masyarakat atau siapapun mempengaruhi putusan yang dibuat oleh hakim.[12]

Apabila pengertian hukum diartikan secara terbatas sebagai keputusan penguasa dan dalam arti yang terbatas lagi sebagai keputusan hukum (pengadilan), yang menjadi pokok masalah adalah tugas dan kewajiban hakim dalam menemukan apa yang dapat menjadi hukum, sehingga melalui keputusannya hakim dapat dianggap sebagai salah satu faktor pembentuk hukum. Tugas penting dari hakim ialah menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal nyata di masyarakat. Apabila undang-undang tidak dapat di jalankan menurut arti katanya, hakim harus menafsirkannya. Dengan lain perkataan apabila undang-undang tidak jelas, hakim wajib menafsirkannya sehingga ia dapat membuat suatu keputusan yang adil dan sesuai dengan maksud hukum yaitu mencapai kepastian hukum. Karena itu orang dapat mengatakan bahwa menafsirkan undang-undang adalah kewajiban hukum dari hakim .

Sekalipun penafsiran merupakan kewajiban hukum dari hakim, ada beberapa pembatasan mengenai kemerdekaan hakim untuk menafsirkan undang-undang.  Logeman mengatakan bahwa hakim harus tunduk kepada kehendak  pembuat undang-undang. Dalam hal kehendak itu tidak dapat dibaca begitu saja dari kata-kata peraturan perundangan, hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata tersebut, dalam sistem undang-undang atau dalam arti kata-kata seperti itu yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari. Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang, karena ia tidak boleh membuat tafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu. Setiap tafsiran adalah tafsiran yang dibatasi oleh kehendak pembuat undang-undang. Karena itu hakim tidak diperkenankan menafsirkan undang-undang secara sewenang-wenang. Cara penafsiran ditentukan oleh: a) materi peraturan perundangan yang bersangkutan, b) tempat perkara diajukan, dan c) menurut zamannya. [13]

Dalam lingkungan hukum internasional putusan hakim tergambar dalam putusan Mahkamah Internasional.

Para pihak yang bersengketa dapat mencari penyelesaian dengan memajukan pertikaian mereka kepada Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yang dibentuk sejak tahun 1946 sebagai badan utama Perserikatan Bangsa-bangsa. Mahkamah ini menggantikan Permanent Court of International Justice yang di bentuk oleh Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1926. Mahkamah Internasional terdiri dari 15 hakim yang independent yang tugasnya untuk menyelesaikan tuntutan atas dasar hukum internasional dan mengeluarkan keputusan secara final dan tidak dapat diajukan appeal dan yang mengikat para pihak. Cara yang paling efektif untuk suatu penyelesaian yang definitif dari jenis tertentu dari pertikaian internasional adalah suatu keputusan Mahkamah Internasional yang mengikat. Baik Permanent Court of International Justice maupun International Court of Justice telah menangani beberapa kasus persengketaan yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa untuk diselesaikan secara hukum (judicial settlement) yang semuanya itu menyangkut masalah penafsiran atau penerapan perjanjian-perjanjian intrenasional atau perhatian terhadap masalah khusus seperti:

a.       Masalah-masalah yang berkaitan dengan kedaulatan terhadap wilayah-wilayah tertentu dan pertikaian mengenai perbatasan; (status Eastern Greenland antara Denmark dan Norwegia)

b.      Masalah-masalah mengenai delimitasi maritim dan masalah-masalah hukum lainnya yang berhubungan dengan perselisihan laut (masalah perikanan antara Inggris dan Norwegia)

c.       Masalah-masalah yang timbul akibat terjadinya penggunaan kekerasan (kasus Corfu Channel antara Inggris dan Albania)

d.      Berbagai kasus lainnya yang melibatkan pelaksanaan kontrak-kontrak dan pelanggaran terhadap asas-asas hukum kebiasaan  internasional (kasus S S Lotus antara Perancis dan Turki).[14]

Fakta – fakta hukum dari kasus Corfu Chennel ini antara lain, pada tanggal 22 Oktober 1946, dua cruisers Inggris dan dua kapal perusak, datang dari selatan memasuki Selat Corfu Utara. Selat yang mereka susuri yang berada di perairan Albania dinyatakan sebagai aman: selatnya pernah disapu pada 1944 dan disapu kembali pada tahun 1945. Salah satu kapal perusaknya, Saumarez membentur ranjau dan rusak parah. Kapal perusak yang lain, Volage dikirim untuk membantu kapal Saumerez dan ketika sedang mendereknya, membentur ranjau lain dan rusak lebih parah lagi. Empat puluh lima perwira dan pelaut Inggris kehilangan hidupnya dan 42 lainnya terluka.

Sebuah insiden juga terjadi di perairan ini, pada bulan Mei 1946: sebuah battery Albania menembakkan ke arah dua cruisers Inggris. Pemerintah Inggris memprotes dan menyatakan bahwa innocent passage lewat selat adalah hak yang dikenal dalam hukum internasional. Pemerintah Albania menyatakan bahwa kapal perang asing dan kapal dagang di larang masuk laut teritorial Albania tanpa izin sebelumnya, dan pada Agustus ke dua 1946, pemerintah Inggris menyatakan bahwa apabila dimasa depan tembakan di lepaskan kepada kapal perang Inggris yang melintasi selat maka kapal Inggris akan membalasnya.

 

Setelah ledakan tanggal 22 Oktober Pemerintah Inggris mengirimkan nota ke Albania perihal niatnya untuk melakukan sweeping di Corfu Chennel. Jawaban Albania adalah bahwa ijin tidak dapat diberikan kecuali operasi penyapuan ranjau berada di luar laut teritorial Albania dan bahwa penyapuan ranjau yang dilakukan di perairan-perairan tersebut merupakan  pelanggaran kedaulatan Albania, penyapuan yang dilakukan oleh Angkatan Laut Inggris terjadi pada tanggal 12-13 November 1946, di laut teritorial Albania dan berada dalam jarak yang sebelumnya di sapu, 22 ranjau dijinakkan, ranjau-ranjau tersebut adalah tipe GY buatan Jerman.

Inggris menuntut ganti rugi atas kerusakan kapal-kapalnya dan korban-korban yang meninggal. Albania menolak tuntutan tersebut. Inggris mengajukan kasus ini kepada Mahkamah Internasional pada tanggal 22 Mei 1947.

Perdebatan para pihak

Pemerintah Albania mengatakan bahwa ranjau yang ditemukan pada tanggal 13 November, mungkin ditempatkan di situ setelah tanggal 22 Oktober, sehingga kerusakan yang dialami kepal-kapal perang tersebut tidak mungkin disebabkan oleh apa yang terdapat pada daerah tersebut. Namun ahli-ahli Malta berpendapat bahwa kerusakan-kerusakan kapal disebabkan oleh ranjau yang identik dengan ranjau yang ditemukan di ladang ranjau. 

Inggris menuntut bahwa ladang ranjau telah diadakan oleh Albania atau dengan persetujuan dan sepengetahuan Albania atau sebagai alternatif pemerintah Albania telah mengelabui tentang ladang ranjau yang telah berada di dalam perairan teritorialnya. Hal ini adalah melanggar Konvensi Den Haag ke delapan tahun 1907 dan telah gagal memperingatkan negara-negara lain tentang adanya ladang ranjau. Selanjutnya pemerintah Albania telah mengetahui kedatangan kapal-kapal Angkatan Laut Inggris dan telah gagal memberi peringatan tentang adanya ranjau dan adanya ladang ranjau tanpa pemberitahuan adalah pelanggaran dari hak lintas damai oleh kapal-kapal asing melalui perairan internasional seperti Selat Corfu. Inggris menuntut ganti rugi 825.000 poundsterling untuk perbaikan kerusakan kepada kedua kapalnya dan 50.000 poundsterling untuk pensiun dan pengeluaran lain-lain bagi awak kapal yang meninggal dan luka-luka.

            Albania menyanggah bahwa tidak ada bukti yang diajukan, bahwa ranjau-ranjau yang menyebabkan kerusakan kapal-kapal Inggris ditanamkan oleh Albania dan tidak ada bukti yang diajukan bahwa ranjau-ranjau diletakkan oleh pihak ke tiga atas nama Albania dan tidak ada bukti yang diajukan bahwa ranjau-ranjau ditampatkan dengan bantuan, persetujuan atau sepengetahuan Albania. Bahwa nagara pantai berhak dalam hal-hal luar biasa, mengatur lalu lintas kapal-kapal perang asing melalui perairan teritorialnya dan pengaturan ini diterapkan pada Selat Corfu. Bahwa keadaan luar biasa tersebut terdapat pada waktu kejadian tersebut, sehingga kapal-kapal perang asing harus terlebih dahulu memperoleh izin untuk melewati perairan teritorial Albania. Bahwa perlintasan kapal-kapal tanggal 22 Oktober 1946 tanpa izin merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional.

Bahwa perlintasan kapal-kapal tanggal 22 Oktober 1946 tanpa izin merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional bahwa perlintasan kapal-kapal Inggris bukanlah merupakan lintas damai, bahwa pembersihan ranjau tanggal 12-13 November 1946, belum memperoleh izin di perairan Albania merupakan pelanggaran hukum internasional. Untuk alasan-alasan tersebut, Albania berpendirian tidak perlu membayar ganti rugi kepada Inggris, malahan seharusnya Inggris memberikan ganti rugi kepada pemerintah Albania atas pelanggaran-pelanggaran dari hukum internasional.

Putusan Mahkamah Internasional

Kedua pihak kemudian sepakat melalui bagian pertama dari Persetujuan khusus (special Agreement) mengajukan pertanyaan kepada Mahkamah Internasional :

1.      Apakah Albania bertanggungjawab untuk peledakan yang terjadi pada tanggal 22 Oktober 1946 di perairan Albania dan apakah Albania berkewajiban membayar ganti kerugian kerusakan kapal-kapal Inggris dan korban-korban?

Mahkamah Internasional dalam hal ini menyatakan bahwa ternyata tidak ada upaya yang diambil oleh pemerintah Albania untuk mencegah malapetaka. Kelalaian yang menimbulkan musibah ini merupakan tanggungjawab menurut hukum internasional atas ledakan-ledakan yang terjadi pada tanggal 22 Oktober 1946 di perairan Albania serta atas kerusakan dan korban-korban dan Albania berkewajiban membayar ganti rugi kepada Inggris.

2.      Apakah Inggris melanggar kedaulatan Albania menurut hukum internasional dengan perbuatan kapal-kapal Angkatan Lautnya di perairan Albania pada tanggal 22 Oktober serta pada tanggal 12-13 November 1946, dan apakah dalam hal ini ada kewajiban untuk konpensasi.

 

Mengenai pertanyaan kedua ini Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kerajaan Inggris tidak melanggar kedaulatan Republik Rakyat Albania dengan alasan kegiatan-kegiatan dari Angkatan Laut Inggris di perairan Albania tanggal 22 Oktober 1946.

Keputusan Mahkamah internasional diambil atas pemungutan suara sepuluh lawan enam suara, sedangkan untuk pertanyaan kedua diatas , keputusan Mahkamah Internasional diambil berdasarkan empat belas lawan dua suara den dengan suara bulat (unanimous). Mahkamah Internasional memberikan keputusan bahwa perbuatan Angkatan laut Inggris di perairan Albania tanggal 12-13 November 1946 adalah melanggar Kedaulatan Republik Rakyat Albania, dan bahwa pernyataan sedemikian oleh Mahkamah Internasional mengandung arti di dalamnya untuk suatu konpensasi yang wajar.

Dari beberapa kasus persengketaan yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa kapada Mahkamah Internasional  untuk diselesaikan secara hukum (judicial settlement) yang semuanya itu menyangkut masalah penafsiran atau penerapan perjanjian-perjanjian intrenasional salah satunya adalah Corfu Channel Case.

Perkara Selat Corfu adalah suatu persengketaan antara Albania dan Inggris yang diadili oleh Mahkamah Internasional pada tahun 1949. Pada tanggal 15 Mei 1946 kapal-kapal perang Inggris yang lewat di Selat Corfu di laut wilayah Albania ditembaki meriam-meriam pantai Albania. Kemudian Pada tanggal 22 Oktober 1946, dua kapal Inggris yang lewat di Selat Corfu melanggar ranjau laut sehingga timbul kerusakan dan korban diantara awak kapal. Dalam bulan November, 1946 satuan-satuan Angkatan Laut Kerajaan Inggris melakukan penyapuan ranjau (operation retail) di bagian selat Corfu yang terletak di perairan Albania tanpa seizin pemerintah Albania.

Penemuan Hukum Internasional

Sumber penemuan hukum tidak lain adalah sumber atau tempat terutama bagi hakim dapat menemukan hukumnya.[15] Bagi hukum internasional positif  hanya pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional sajalah yang penting. Pasal 38 ayat (1) mengatakan bahwa dalam mengadili perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah Internasional akan mempergunakan:

(1)   Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa

(2)   Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum

(3)   Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradap

(4)   Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum.[16]

Perjanjian internasional dalam ruang lingkup yang lebih sempit yaitu: Kata sepekat antara dua atau lebih subjek hukum internasional (negara, tahta suci, kelompok pembebasan, organisasi internasional) mengenai suatu objek tertentu yang dirumuskan secara tertulis dan tunduk pada atau yang diatur oleh hukum internasional.[17]

Tidak boleh ada perjanjian perdamaian yang dianggap absah apabila di dalamnya terkandung maksud tersembunyi untuk mempersiapkan perang dimasa depan. Sebab kalau begitu perjanjian itu kiranya tak lain dari gencatan senjata semata, penangguhan sikap permusuhan bukan perdamaian sesungguhnya.[18]

Hukum kebiasaan internasional adalah kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum. Azas-azas hukum umum adalah azas-azas hukum yang mendasari sistem hukum modern. Yang dimaksudkan dengan sistem hukum modern adalah sistem hukum positif yang didasarkan atas azas-azas dan lembaga-lembaga hukum negara barat yang untuk sebahagian besar didasarkan atas azas-azasdan lembaga-lembaga hukum romawi. Keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana merupakan merupakan sumber subsidier atau sumber tambahan, artinya keputusan-keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaedah hukum internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan atas sumber-sumber primer yakni perjanjian internasional, kebiasaan dan azas-azas hukum umum.[19]

Disamping tugasnya menerapkan hukum, tugas pengadilan atau hakim adalah memberikan keputusan dalam perkara antara kedua pihak yang berperkara di pengadilan yang masing-masing dapat mengartikan ketentuan undang-undang yang sama secara berlainan dan berbeda. Pengadilan mempunyai kedudukan penting karena ia melakukan fungsi yang pada hakikatnya melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis melalui pembentukan hukum (rechtvorming) dan penemuan hukum (rechtsvinding).

Dengan kata lain hakim/pengadilan mempunyai fungsi membuat hukum baru (creation of new law). Fungsi membentuk hukum oleh pengadilan /hakim harus mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara karena hukum tidak jelas atau tidak ada. Fungsi yang sangat penting ini dilakukan hakim dengan jalan interpretasi, konstruksi dan penghalusan. [20]

Wewenang interpretasi juga dapat diberikan kepada hakim berdasarkan suatu perjanjian. Pasal 36 Statuta Mahkamah Internasional berbunyi: Mahkamah mempunyai wewenang untuk memeriksa sengketa-sengketa yang berkenaan dengan interpretasi suatu perjanjian.

Menurut Dharma Pratap, interpretasi merupakan penjelasan setiap istilah dari suatu perjanjian perjanjian apabila terdapat pengertian ganda atau tidak jelas dan para pihak memberikan pengertian yang berbeda terhadap istilah yang sama atau tidak dapat memberikan arti apapun terhadap istilah tersebut.

Tujuan utama interpertasi adalah menjelaskan maksud sebenarnya dari para pihak atau merupakan suatu kewajiban memberikan penjelasan mengenai maksud para pihak seperti dinyatakan dalam kata-kata yang digunakan oleh para pihak dilihat dari keadaan-keadaan yang mengelilinginya. [21]

Menurut Starke, prinsip-prinsip umum tentang penafsiran dapat dikelompokkan menjadi,

a.       Gramatical Interpretation and the intention of the perties, dalam hal ini pertama harus dilihat kata-kata atau susunan kata-kata yang harus diartikan sesuai dengan artinya yang biasa dan wajar kemudian dilihat maksud para pihak pada saat instumen di buat.

b.      Object and Context of Treaty, Apabila kata atau susunan kata meragukan para konstruksinya harus dikaitkan dengan tujuan umum dari perjanjian tersebut.

c.       Reasonableness and Consistency, yang dimaksudkan dengan kepatutan dan kesesuaian adalah bahwa perjanjian harus ditafsirkan dengan mengutamakan arti yang wajar dari kata-kata dan kalimat dengan memperhatikan keselarasan kata-kata dan kalimat dengan memperhatikan keselarasan dengan bagian-bagian lainnya dari perjanjian tersebut.

d.      The Principle of Effectiveness, prinsip keefektifan ini terutama ditandaskan oleh Mahkamah bahwa merupakan suatu syarat apabila perjanjian harus ditafsirkan secara keseluruhan yang akan menjadikan perjanjian itu paling efektif dan bermanfaat.

e.       Resource to Extrinsic Materials, biasanya pengadilan melakukan penafsiran dibatasi pada isi perjanjian tersebut atau pada apa yang tercantum di dalam perjanjian itu.[22]

Dalam hukum internasional dikenal tiga aliran mengenai interpretasi, yaitu:

a). Intection-school, aliran ini berpendapat pada kehendak para pembuat perjanjian terlepas dari teks perjanjian. Aliran ini menggunakan secara luas pekerjaan pendahuluan (travaux preparatorie) dan bukti-bukti lain yang menggambarkan kehendak para pihak.

b). Textual-School, aliran ini berpendapat bahwa terhadap naskah perjanjian hendaknya diberikan arti yang lazim diberikan dan terbaca dari kata-kata itu. Jadi menurut aliran ini unsur terpenting adalah teks perjanjian itu, kemudian kehendak dari para pihak pembuat perjanjian serta objek dan tujuan dari perjanjian itu.

c). Teleological-school, aliran ini menitik beratkan pada interpretasi dengan melihat pada objek dan tujuan umum dari perjanjian itu yang berdiri sendiri terlepas dari kehendak semula para pembuat perjanjian. Dalam hal ini teks suatu perjanjian dapat diartikan secara luas dan ditambah pengertiannya selama masih sesuai atau sejalan dengan tujuan umum tersebut dan dapat berbeda dengan kehendak semua dari pihak pembuat perjanjian.[23]

Konstruksi digunakan apabila hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, dimana hakim tidak lagi berpegangan pada bunyi teks itu, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.[24] Langkah-langkah dalam konstruksi hukum: Hakim meninjau kembali sistem meterial yang mendasari lembaga hukum yang dihadapinya sebagai pokok perkara, hakim berusaha membentuk suatu pengertian hukum (rechtsbegrip) baru dengan cara membandingkan beberapa ketentuan di dalam lembaga hukum yang bersangkutan yang dianggap memiliki kasamaan-kasamaan tertentu, Setelah pengertian hukum itu dibentuk maka pengertian hukum itulah yang digunakan sebagai dasar mengkonstruksi suatu kesimpulan dalam penyelesaian perkara.

Penghalusan hukum yaitu dengan tidak menerapkan atau menerapkan hukum secara lain daripada ketentuan hukum tertulis yang ada. Penghalusan hukum dilakukan apabila penerapan hukum tertulis sebagaimana adanya akan mengakibatkan ketidak adilan yang sangat sehingga ketentuan hukum tertulis itu sebaiknya tidak diterapkan atau diterapkan secara lain apabila hendak dicapai keadilan.[25]

Roscoe Pound menunjuk sedikitnya ada tujuh kesempatan bagi hakim-hakim dalam sistem hukum anglo saxon untuk dapat mempraktikkna diskresinya, sehingga dia dapat menghaluskan hukum, bahkan menciptakan hukum yang baru, yaitu:

1.      Melalui diskresi pengadilan dalam hal penerapan ganti rugi yang layak ( equitable remedies).

2.      Melalui penerapan standar hukum terhadap sikap tindak umum yang menimbulkan kerugian bagi pihak yang dirugikan.

3.      Melalui kewenangan juri dalam hal memberikan putusan umum (general verdict)

4.      Melalui prinsip kebebasan dalam penerapan hukum dalam rangka menemukan hukum.

5.      Melalui usaha penyesuaian hukuman yang layak terhadap tersangka pelaku tindak pidana.

6.      Melalui metode informal dari administrasi pengadilan dalam kasus-kasus kecil.

7.      Melalui pengadilan administratif.[26]

Dalam memeriksa perkara, menerapkan, menemukan, bahkan membuat hukum jika diperlukan pada prinsipnya hakim harus mandiri. Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh pihak-pihak lain, termasuk oleh pihak eksekutif sekalipun. Inilah yang diajarkan oleh teori kebebasan hakim. Pada prinsipnya teori kebebasan hakim ini menguatkan hal-hal sebagai berukut:

1.      Hakim bebas dalam memutuskan perkara dan dapat menggunakan standar apapun yang dianggapnya layak, selama tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaan sebagai hakim (abuse of power).

2.      Terutama untuk keperluan praktis, tidak begitu diperlukan diskusi yang mendalam bagi hakim untuk membenarkan putusan yang dibuatnya.

3.      Baik di negara-negara yang menganut sistem anglo saxon, hakim dapat menyimpang dari putusan hakim sebelumnya.

4.      Putusan pengadilan yang sudah berkekuatan pasti (inkracht) bersifat final tidak mungkin di review oleh instansi manapun, kecuali oleh pengadilan sendiri melalui prosedur yang sangat khusus, yaitu melalui upaya peninjauan kembali.

5.      Hakim bebas menentukan perkara karena pengangkatannya, terutama hakim agung yang dalam pengngkatannya melibatkan juga pihak parlemen dan pemerintah, sehingga hakim memiliki alas kewenangan yang kuat untuk bertindak mengatasnamakan kepentingan masyarakat.[27]

 

Mahkamah Internasional

Mahkamah telah berhasil menyelesaikan banyak persoalan yang menimbulkan masalah hukum yang penting atau persoalan kesulitan penafsiran traktat. Beberapa dari keputusan atau opini ini timbul dari sengketa-sengketa politik yang penting yang dibawa ke hadapan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan keputusan Mahkamah Internasional dalam Corfu Channel, yang memberikan sumbangan kepada perkembangan dan metodologi hukum internasional.[28] Menurut Brownlie secara subtansi International Court Justice merupakan kelanjutan dari Permanent Court of International Justice, hal mana keduanya memiliki kesamaan, statuta kurang lebih sama, jurisdiksi yang dimilikipun mirip. Menjadi pembeda yang fundamental adalah terdapatnya prosedur bagi amandemen dalam Statuta International Court Justice.[29]

Pasal 92 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan bahwa Mahkamah Agung Internasional adalah badan peradilan utama daripada Perserikatan Bangsa-Bangasa. Badan ini akan bekerja sesuai dengan Statuta Mahkamah Tetap Internasional dan Peradilan merupakan bagian yang tidak terpisah dari piagam ini. [30]

Pasal 1, Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional menyatakan bahwa, Mahkamah Pengadilan Internasional yang ditetapkan oleh Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dibentuk dan bekerja sesuai dengan ketentuan dari Statuta. Pasal 2, Mahkamah terdiri dari suatu badan dari hakim-hakim yang tak memihak, yang dipilih tanpa memandang kebangsaan mereka, dari orang-orang yang berbudi luhur, yang memiliki syarat-syarat yang diperlukan dalam negara-negara mereka dalam penunjukan sebagai pejabat hukum tertinggi, atau sebagai penasehat-penasehat hukum yang diakui kemampuannya dalam hukum internasional.[31]

Mahkamah bukan merupakan organ antarpemerintah dan hakim-hakim internasional tersebut bukan merupakan wakil-wakil pemerintah yang bertindak sesuai dengan instruksi pemerintahnya masing-masing. Sehingga untuk menjaga kebebasan mereka para hakim kekebala-kekebalan seperti pejabat diplomatik. Mereka tidak boleh diberhentikan dari fungsi mereka selama masa jabatannya belum berakhir dan tidak boleh malakukan kegiatan prpfesional lainnya. Dalam pemilihan hakim-hakim Statuta Mahkamah juga meminta perhatian agar para hakim-hakim yang dipilih bukan saja mempunyai kualifikasi yang diperlukan tetapi juga harus mewakili berbagai bentuk kebudayaan dari sistem-sistem hukum yang ada di dunia (pasal 9). Dalam pemilihan hakim-hakim juga dipakai sistem pembagian geografis yang adil dan sebagai akibatnya jumlah hakim-hakim Eropa telah berkurang untuk memberikan tempat terutama kepada hakim asia dan afrika.[32]

Pasal 34 ayat (1) Statuta secara kategoris menyatakan hanya negara-negara yang boleh menjadi pihak dalam perkara-perkara dimuka mahkamah. Dari pasal ini dapat saja dikatakan bahwa bukan saja individu-individu, tetapi juga organisasi-organisasi inetrnasional pun tidak dapat menjadi pihak dari suatu sengketa dimuka Mahkamah. Pada prinsipnya Mahkamah hanya terbuka bagi negara-negara anggota dari statuta. Disamping itu Pasal 93 ayat (2) Piagam menyatakan pula bahwa negara yang bukan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat menjadi pihak dalam Statuta Mahkamah, dengan syarat-syarat yang akan ditentukan untuk tiap-tiap permohonan oleh Majelis Umum atas rekomendasi Dewan Keamanan. Dalam prakteknya jarang sekali Dewan diminta untuk menggunakan pasal 94 ayat (2) tersebut karena biasanya negara-negara menerima keputusan Mahkamah kecuali pada beberapa keputusan yaitu mengenai peristiwa Selat Corfu tahun 1949 karena Albania menolak membayar ganti rugi kepada Inggris.

Keputusan Mahkamah adalah keputusan organ hukum tertinggi di dunia dan penolakan suatu negara terhadap keputusan lembaga tersebut akan dapat merusak citranya dalam pergaulan antar bangsa apalagi sebelumnya negara-negara tersebut telah menerima wewenang wajib Mahkamah. Oleh karena itu dengan mengadakan pengecualian terhadap ketentuan tersebut diatas, juga diberikan kemungkinan kepada negara-negara lain yang bukan pihak pada Statuta untuk dapat mengajukan suatu perkara ke Mahkamah. Dalam hal ini juga Dewan keamanan yang menetukan syarat-syaratnya.[33]

Pasal 36 ayat (1), Wewenang dari Mahkamah akan meliputi semua perkara yang diajukan dari pihak-pihak dan semua hal terutama yang ditentukan oleh Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau dalam perjanjian dan konpensi-konpensi yang berlaku. Ayat (2) , Negara-negara peserta statuta ini, pada setiap saat dapat menyatakan bahwa mereka terikat ipso fakto dan tanpa persetujuan khusus, dalam hubungannya dengan suatu negara lain yang menerima kewajiban yang sama, oleh wewenang mahkamah dalam semua sengketa hukum mengenai: a. Penafsiran suatu perjanjian; b setiap persoalan hukum internasional dst.

Pasal 53 Statuta menyatakan: Bila salah satu pihak tidak muncul di Mahkamah atau tidak mempertahankan perkaranya, pihak lain dapat meminta mahkamah mengambil keputusan mendukung tuntutannya. Masalah ketidakhadiran salah satu pihak dalam perkara di mahkamah pernah terjadi pada waktu mahkamah tetap dan juga terdapat dalam sistem mahkamah yang sekarang, sabagai contoh dapat diambil ketidakhadiran Albania dalam kasus Corfu Channel. Negara bersengketa yang tidak hadir di mahkamah tidak menghalangi organ tersebut untuk mengambil keputusan dengan syarat seperti tercantum dalam pasal 53 ayat (2) Statuta, bahwa sebelum menjatuhkan keputusan kepada pihak yang tidak hadir, mahkamah harus yakin bahwa ia bukan saja mempunyai wewenang tetapi juga keputusannya betul-betul didasarkan atas fakta dan hukum. Dengan demikian pihak yang dihukum walaupun tidak hadir pada prinsipnya tidak dapat menolak keputusan yang telah ditetapkan oleh mahkamah.[34]

Menurut ketentuan ini maka negara-negara fihak Piagam Mahkamah Internasional dapat menerangkan bahwa mereka mengakui kekuasaan Mahkamah Internasional sebagai kekuasaan yang mengikat dan tidak berdasarkan perjanjian istimewa. Adanya optional clause berarti suatu langkah penting ke arah suatu peradilan internasional yang wajib. Mahkamah Internasional harus mendasarkan keputusannya atas hukum, kecuali dalam hal kedua belah pihak terlebih dahulu telah setuju menerima suatu keputusan ex aequo et bono.[35]Terhadap penyelesain kasus Corfu Channel ini kedua belah pihak mengakui adanya wewenang mahkamah dan kedua belah pihak setuju untuk meminta keputusan dari pengadilan Mahkamah Ineternasional. Dalam keputusan Mahkamah tanggal 25 Maret 1948 mengenai perkara Selat Corfu dapat dibaca: Persetujuan pihak-pihak yang bersengketalah yang memberikan wewenang kepada Mahkamah.[36]

Mahkamah Internasional dalam memutuskan suatu perkara mengenai interpretasi pertama-tama menggunakan penjelasan dari teks suatu perjanjian dilihat dalam konteks dari perjanjian itu dan tidak hanya pada arti kata-kata itu. Hanya apabila terdapat kata-kata yang berbeda, Mahkamah akan menggunakan cara interpretasi lain. Mahkamah juga menggunakan “ principle of subsequent practice “ sejauh praktek negara-negara dalam hal melaksanakan ketentuan-ketentuan perjanjian merupakan suatu bukti mengenai apa yang sebenarnya menjadi objek dan tujuan perjanjian itu. Praktek negara-negara ini dapat digunakan sebagai pegangan untuk memahami arti sebenarnya dari kata-kata dalam perjanjian tersebut. Mahkamah juga adakalanya melaksanakan sedapt mungkin “ principle of effevtiveness” dalam hal ini suatu perjanjian diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga memberi akibat hukum kepada objek serta tujuan perjanjian itu sesuai dengan arti yang lazim.[37]

Sebagai suatu lembaga tetap Mahkamah terus menerus mengingatkan pada negara-negara bahwa ada jalur-jalur hukum melalui mana penyelesaian secara damai bagi perselisihan internasional . Karena merupakan lembaga tetap prosedur dan yurisdiksi mahkamah dikenal oleh masyarakat internasional. Peran Mahkamah di masa depan tidak terletak oleh Mahkamah tetapi oleh negara-negara. Statuta Mahkamah menetapkan untuk perlindungan bagi yurisdiksinya oleh negara-negara, tetapi negara-negara harus mau menyerahkan perselisihan-perselisihan mereka kepada pengadilan yang tidak memihak.[38]

Penemuan Hukum dalam kasus Corfu Channel

Pengadilan menemukan bahwa ledakan disebabkan oleh ranjau-ranjau ditemukan di ladang ranjau pada 13 November. Tidak dibantah bahwa ladang ranjau ini ditanam baru-baru saja. Karena ranjau-ranjau ini berada dalam selat, yang sebelumnya pernah disapu dan dinyatakan sebagai aman kemudian ledakan tersebut terjadi. Sifat dari kerusakan menunjukkan bahwa sumbernya berasal dari ranjau yang sama yang dibersihkan pada 13 November mungkin ditanam setelah ledakan pada 22 Oktober terlalu meragukan untuk diterima.

 Pengadilan tidak merasa bahwa dirinya perlu memberikan perhatian serius bahwa Albania sendiri yang menanam ranjau, saran tersebut hanya dikedepankan pro memoria, tanpa bukti-bukti yang mendukungnya dan tidak dapat dihubungkan dengan fakta yang tak terbantahkan bahwa pada keseluruhan teritorial Albania, hanya terdapat beberapa launches dan motor boats.  Tetapi Inggris menuduh bahwa penanaman ranjau oleh 2 kapal Yugoslavia lewat permintaan Albania atau dengan persetujuannya. Pengadilan menemukan bahwa kesimpulan ini tidak dapat di temukan.

Inggris berpendapat bahwa siapapun pelaku dari penanaman ranjau, tidak dapat dilaksanakan tanpa sepengetehuan Albania. Benar bahwa fakta ranjau-ranjau yang ditaruh di perairan Albania tidak melibatkan pertanggungjawaban prima fice maupun menggeserkan beban pembuktian. Dengan kata lain, kontroleksklusif yang dilaksanakan oleh negara di dalam batas negara yang membuatnya tidak mungkin untuk memberikan bukti langsung atas fakta pembuktian langsung yang akan membuktikan pertanggungjawabannya dalam hal pelanggaran hukum internasional. Negara yang menjadi korban harus dalam hal ini diizinkan untuk secara lebih terbuka menyimpulkan fakta dan situasi.

Pertama berakaitan dengan perilaku pemerintah Albania sebelum dan sesudah bencana. Peletakan ranjau terjadi dalam periode dimana terdapat niatan untuk mengawasi laut teritorialnya. Lebih lagi ketika pemerintah Albania telah secara sepenuhnya sadar perihal keberadaan ladang ranjau, ia memprotes secara tegas aktivitas armada Inggris tetapi tidak memprotes peletakan ranjaunya.Tindakan ini apabila dilakukan tanpa persetujuan Albania akan menjadi persoalan serius atas kedaulatan Albania.

Albania tidak memberitahukan kapal-kapal perihal keberadaan ranjau sebagaimana diperlukan oleh Hukum Internasional, dan Albania tidak melakukan tindakan penyelidikan yudisial yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya. Perilaku semacam ini hanya dapat dijelskan apabila Pemerintah Albania ketika mengetahui keberadaan dari peletakan ranjau, menginginkan kejadian tersebut dirahasiakan.

Fakta kedua yang berhubungan dengan kemungkinan mamantau peletakan ranjau dari pantai Albania. Secara geografis, selat tersebut dapat dilihat dengan mudah, ia didominasi oleh ketinggian yang menawarkan titik observasi dan ia berhadapan dekat dengan pantai (ranjau terdekat adalah 500 meter lepas garis pantai). Peletakkan ranjau yang metodikal dan dipersiapkan dengan tertata rapi diperkirakan memakan waktu dua sampai setengah jam di perairan antara Cape Kiephali dan biara St. George. Dalam hal ini ahli kelautan yang ditunjuk oleh pengadilan melaporkan bahwa adalah merupakan fakta yang tidak dapat diperdebatkan apabila observasi normal dilakukan di Cape Kiephali, Denta Point, dan St. George’s Monastery, dan apabila obeservasinya dilengkapi dengan alat keker, dibwah kondisi normal daerah ini, operasi peletakan ranjau pasti telah diketahui oleh penjaga pantai. Keberadaan pos observasi di Denta Point tidak dapat didasarkan tetapi Pengadilan mendasarkan dirinya pada deklarasi Pemerintah Albania bahwa lock-out post terletak di titik lain, mengacu pada beberapa kesimpulan-kesimpulan berikut: bahwa dalam kasus peletakan ranjau 1 dari utara ke selatan para peletak ranjau seharusnya dapat terlihat dari Cape Kieplhali, apabila dari selatan ke utara, mereka pasti terlihat dari Cape Kiephali dan St. George’ Monastery.

Dari seluruh fakta dan observasi yang disebutkan di atas Pengadilan mengambil kesimpulan bahwa peletakan ranjau tidak dapat diselesaikan tanpa sepengetahuan Albania. Perihal kewajiban yang didapat darinya atas pengetahuan tersebut tidak diperdebatkan. Adalah tugasnya untuk memberitahukan kapal-kapal dan khususnya untuk memperingatkan kapal-kapal yang melaju melewati selat pada 22 Oktober perihal bahaya yang akan mereka hadapi. Pada faktanya tidak ada hal apapun yang coba dilakukan Albania untuk mencegah bencana terjadi dan kelalaian berat ini menimbulkan pertanggungjawaban berat bagi Albania.

Dalam penilaian Pengadilan, dilampirkan satu deklarasi dan dissenting opinions dari Alvarez,Winiarski, Zoricic, Badawi Pasha, Krylov and Azevedo, dan juga Dr Ecer Hakim ad hoc.[39]

Pengertian kedaulatan dalam perkembangannya mengalami berbagi perubahan, misalnya dalam kepustakaan hukum intrenasional yang disebut sebagai negara berdaulat adalah negara yang mempu dan berhak mengurus sendiri kepentingan-kepentingan dalam negeri maupun luar negeri, dengan tidak bergantung kepada negara lainnya. Jean Bodin menyelidiki kedaulatan ini dari aspek dalam batas-batas lingkungan wilayahnya dimana kedaulatan intern ini adalah kekuasaan tertinggi dari negara untuk mengurus wilayahnya dan rakyatnya. Grotius menyelidiki kedaulatan dari aspek aksternnya, yaitu kedaulatan dalam hubungannya dengan negara-negara lain. Kedaulatan ekstern lebih umum dikenal dengan kemerdekaan dan persamaan derajad.[40]

Prinsip menghormati kedaulatan teritorial suatu negara diperlihatkan oleh keputusan Pengadilan (International Court of Justice) kasus Corfu Channel ini dalam putusan Mahkamah menyatakan bahwa operasi pembersihan ranjau oleh Inggris di perairan teritoral Albania pada bulan November 1946, tiga minggu setelah tenggelamnya kapal-kapal perusak Inggris dan menyebabkan hilangnya nyawa manusia karena ranjau di Channel, merupakan suatu pelanggaran kedaulatan Albania, meskipun Albania dianggap lalai dan tidak cepat tanggap terhadap ledakan ranjau-ranjau tersebut.[41]

Dalam kasus ini International Court Justice menyatakan bahwa segera setelah Pemerintah Albania mengetahui adanya daerah ranjau di perairan teritorialnya di Corfu Channel, maka Albania berkewajiban untuk memberitahukan kapal-kapal dan memperingatkan kapal-kapal Inggris yang mendekati daerah tersebut mengenai adanya bahaya ranjau, dan karena itu Albania bertanggungjawab untuk membayar ganti rugi kepada Pemerintah Inggris bagi kerugian kapal-kapalnya dan hilangnya nyawa disebabkan meledaknya ranjau-ranjau. Mahkamah mengatakan bahwa telah menjadi suatu “prinsip yang diakui umum” bahwa setiap negara memikul kewajiban untuk tidak membiarkan wilayahnya digunakan bagi tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hak-hak negara lain.[42]

Putusan Mahkamah terhadap kasus Corfu Channel merupakan dukungan bagi tanggungjawab kesalahan dimana Albania membiarkan terdapat ranjau pada daerah teritorialnya dimana ledakan ranjau itu menyebabkan kerugian bagi Inggris. Dalam hukum Internasional negara bertanggungjawab atas tindakan-tindakan: (a) pemerintah, (b) setiap sub-divisi politik dari negara, (c) setiap lembaga, pejabat perwakilan resni atau perwakilan lain pemerintahannya atau setiap sub-divisi yang bertindak dalam lingkup pekerjaan mereka.[43]

Hukum tidak sekedar merupakan pedoman saja tentang bagaimana kita harus bertindak agar kepentingan mesing-masing terlindungi, akan tetapi kerena fungsinya  sebagai perlindungan kepentingan manusia, harus dilaksanakan dan tidak boleh dilanggar, dan jika dilanggar harus dipulihkan, ditegakkan atau dipertahankan melalui peradilan.

Salah satu kewajiban yang diamanahkan oleh undang-undang ke pundak hakim adalah kewajiban hakim untuk menemukan hukum yang hidup dalam masyarakat. Tentunya tidak sekedar menemukan, melainkan juga menerapkan dalam putusannya. Fungsi membentuk hukum oleh hakim harus mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara karena hukum tidak jelas atau tidak ada. Fungsi yang sangat penting ini dilakukan hakim dengan jalan interpretasi, konstruksi dan penghalusan.

Dalam putusan Mahkamah Internasional terhadap kasus Corfu Channel, cenderung untuk menggunakan konstruksi hukum. Hal digunakan apabila hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, dimana hakim tidak lagi berpegangan pada bunyi teks itu, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem. Dalam kasus ini Mahkamah tidak berpatokan pada ketentuan-ketentuan hukum internasional saja, tetapi menganalisa kasus ini dengan memakai hukum kebiasaan internasional yang sering berlaku dalam pergaulan masyarakat internasional.

Dalam kasus corfu Channel, fakta dalam kasus ini yaitu pelaku dari kejahatan adalah individu pribadi (private person) dan bukan agen atau negara. Negara dalam hal ini memiliki kemungkinan membiarkan atau setidak-tidaknya tidak memberikan pertolongan yang cukup sebagai tindakan preventif untuk mencegah kejadian. Kasus ini tidak termasuk ke dalam action karena pemerintah Albania tidak memiliki niatan untuk mencelakakan kapal-kapal Inggris dan tidak pula srict liability karena masih terdapatnya elemen mensrea dan kewajiban internasional Albania terhadap Inggris bukanlah obligation of result. Dengan demikian kasus ini merupakan kasus yang disebut juga dengan kealpaan. Albania melakukan pelanggaran terhadap hukum internasional yaitu pelanggaran terhadap kewajiban internasional, dimana Albania memiliki sarana dalam mencegah kejadian. Sarana yang dimiliki Albania adalah peralatan komunikasi, outposts, penjaga pantai serta beberapa kapal boat yang dimilikinya. Albania juga memiliki kesempatan untuk mencegah kejadian karena sacara geografis selat Corfu dapat dilihat dengan mudah. Salah satu fakta ini Albania seharusnya wajib memberikan due diligence berupa peringatan kepada kapal-kapal Inggris yang lewat dan atau melakukan pembersihan ranjau. Pada faktanya tidak ada hal apapun yang dilakukan Albania untuk mencegah bencana terjadi dan kelalaian berat ini menimbulkan pertanggungjawaban internasional.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

1.      Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LL.M dan Dr. B. Arief Sidharta, SH, 2000,  Pengantar Ilmu Hukum, Bandung.

2.      Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, Penerbit Alumni.

3.      Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, 1978, Pengantar Hukum Internasional Buku I Bagian Umum, Bandung, Penerbit Bina Cipta.

4.      Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LL.M dan Dr. B. Arief Sidharta, SH, 2000,  Pengantar Ilmu Hukum, Bandung. Penerbit Alumni.

5.      Dr. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, SH. M.H, 2000, Penafsiran Dan Konstruksi Hukum, Bandung, Penerbit Alumni.

6.      Dr. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, SH, MH., 1999, Imunitas Kedaulatan Negara Di Forum PengadilanAsing, Bandung, Penerbit Alumni

7.      Dr. E. Utrecht, SH, 1962, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta, Penerbit Balai Buku Ichtiar.

8.      Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo SH, 2001, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar,Yogyakarta, Penerbit Liberty

9.      Roscoe Pound, 1965, Tugas Hukum, Terjemahan Drs. Muhammad Radjah, Djakarta, Penerbit Bhratara.

10.  Prof. Dr. Emeritus John Gilissen & Prof. Dr. Emeritus Frits Gorle, 2007, Sejarah Hukum Suatu Pengantar,Terjemahan Drs. Freddy Tengker, SH, CN, Bandung, Penerbit Refika Aditama.

11.  Dedi Soemardi, SH, 1980, Sumber-Sumber Hukum Positif, Bandung, Penerbit Alumni,

12.  Hans Kelsen, 2006, Hukum Dan Logika, Terjemahan Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH, Bandung, Penerbit Alumni.

13.  Prof. Dr. Satjipto Raharjo. SH, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung, Penerbit Sinar

14.  R. Soeroso, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarata, Penerbit Sinar Grafika.

 

 

15.  Dr. Munir Fuady, SH, M.H, LL.M, 2007, Dinamika Teori Hukum, Bogor, Penerbit Ghalia Indonesia.

16.  Prof. Dr. Sumaryo Suryokusumo. SH., LL.M, 2007, Studi Kasus Hukum Internasional, Jakarta, Penerbit Tatanusa.

17.  I Wayan Parthiana, SH, M.H, 2002, Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, Bandung, Penerbit Mandar Maju.

18.  Immanuel Kant, 2005, Menuju Perdamaian Abadi, Sebuah Konsep Filosofis, Penerjemah Arpani Harun dan Hendarto Setiadi, Bandung, Penerbit Mizan.

19.  Prof. Dr. Achmad Ali, SH, M.H, 2002, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiolagis, Jakarta, Penerbit Gunung Agung.

20.  Dr. Boer Mauna, 2003, Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,  Penerbit Alumni.

21.  J.G. Starke, 2001, Pengantar Hukum Internasional Edisi ke Sepuluh bag 1, Penerjemah Bambang Iriana Djajaatmadja SH, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika.

22.  J.G. Starke, 2007, Pengantar Hukum Internasional Edisi ke Sepuluh bag 2, Penerjemah Bambang Iriana Djajaatmadja SH, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika.

23.  Rebecca M.M. Wallace, M.a, LL.B, Ph.D, 1993, Terjemahan Bambang Arumandi, SH. M.Sc, Semarang, Penerbit IKIP Semarang Press.

24.  Jawahir Thontowi, SH, Ph.D dan Pranoto Iskandar SH, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung, Penerbit Refika Aditama.

25.  Prof. Mr Dr L. J. Van Apeldoorn, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Terjemahan Oetarid Sadino, Jakarta, Penerbit Pradnya Paramita.

26.  Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Bandung, Penerbit Rindang Mukti, 1977.

 



[1]  Dr. E. Utrecht, SH, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta, Penerbit Balai Buku Ichtiar,1962, hlm 5-10.

[2]  Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar,Yogyakarta, Penerbit Liberty, 2001, hlm 4-5.

[3]  Ibid, hlm 3.

[4]  Roscoe Pound, Tugas Hukum, Terjemahan Drs. Muhammad Radjah, Djakarta, Penerbit Bhratara, 1965, hlm 9.

[5] Ibid, hlm 41.

[6] Prof. Mr Dr L. J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Terjemahan Oetarid Sadino, Jakarta, Penerbit Pradnya Paramita, 1993, hlm 10.

[7] Prof. Dr. Emeritus John Gilissen & Prof. Dr. Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar,    Terjemahan Drs. Freddy Tengker, SH, CN, Bandung, Penerbit Refika Aditama, 2007, hlm 1.

[8]  Dedi Soemardi, SH, Sumber-Sumber Hukum Positif, Bandung, Penerbit Alumni, 1980, hlm 5

[9]  Hans Kelsen, Hukum Dan Logika, Terjemahan Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH, Bandung, Penerbit Alumni, 2006, hlm 70.

[10]  Prof. Dr. Satjipto Raharjo. SH,  Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung, Penerbit Sinar Baru, hlm 24.

[11]R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarata, Penerbit Sinar Grafika, 2004, hlm 39.

[12] Dr. Munir Fuady, SH, M.H, LL.M, Dinamika Teori Hukum, Bogor, Penerbit Ghalia Indonesia, 2007, hlm 174.

[13] Dr. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, SH. M.H, Penafsiran Dan Konstruksi Hukum, Bandung, Penerbit Alumni, 2000, hlm 6-9.

[14]  Prof. Dr. Sumaryo Suryokusumo. SH., LL.M,  Studi Kasus Hukum Internasional, Jakarta, Penerbit Tatanusa, 2007, hlm 222.

[15] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar,Yogyakarta, Op.cit, hlm 48.

[16] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, Penerbit Alumni, 2003, hlm 114.

[17] I Wayan Parthiana, SH, M.H, Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, Bandung, Penerbit Mandar Maju, 2002, hlm 13.

[18] Immanuel Kant, Menuju Perdamaian Abadi, Sebuah Konsep Filosofis, Penerjemah Arpani Harun dan Hendarto Setiadi, Bandung, Penerbit Mizan, 2005, hlm 35.

[19] Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional Buku I Bagian Umum, Bandung, Penerbit Bina Cipta, 1978, hm 138-141.

[20] Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LL.M dan Dr. B. Arief Sidharta, SH, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung, Penerbit Alumni, 2000, hlm 99.

[21] Dr. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, SH. M.H, Penafsiran Dan Konstruksi Hukum, Bandung, Op.cit hlm 19.

[22] Ibid, hlm 23-24.

[23] Ibid, hlm 23-26.

[24] Prof.Dr. Achmad Ali, SH, M.H,  Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiolagis, Jakarta, Penerbit Gunung Agung, 2002, hlm 156.

[25] Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LL.M dan Dr. B. Arief Sidharta, SH, Pengantar Ilmu Hukum, Op.cit, hlm 119.

[26] Dr. Munir Fuady, SH, M.H, LL.M, Dinamika Teori Hukum, Bogor, Op.cit, hlm 50.

[27] Ibid, hlm 156.

[28]J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi ke Sepuluh bag 2, Penerjemah Bambang Iriana Djajaatmadja SH, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, 2007, hlm 670.

[29] Jawahir Thontowi, SH, Ph.D dan Pranoto Iskandar SH, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung, Penerbit Refika Aditama, 2006, hlm 240.

[30] Pasal 92 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

[31] Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Bandung, Penerbit Rindang Mukti, 1977, hlm 52.

[32] Dr. Munir Fuady, SH, M.H, LL.M, Dinamika Teori Hukum, Op.cit, hlm 243.

[33] Dr. Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Op.cit,  hlm 249.

[34] Dr. Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Op.cit , hlm 247.

[35] Dr. E. Utrecht, SH, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta, Op.Cit, hlm 593

[36] Ibid, Dr. Boer Mauna, hlm 252

[37] Dr. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, SH. M.H, ibid hlm 32.

[38] Rebecca M.M. Wallace, M.a, LL.B, Ph.D, Hukum Internasional, Semarang,Terjemahan Bambang Arumandi, SH. M.Sc, Semarang, Penerbit IKIP Semarang Press, 1993, hlm 296.

[39] Mohamad Mova Al’Afghani, Konsep Kealpaan Dalam Hukum Pertanggungjawaban Negara, 2005,  hlm 98.

[40] Dr. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, SH, MH., Imunitas Kedaulatan Negara Di Forum PengadilanAsing, Bandung, Penerbit Alumni, 1999, hlm 43.

[41] J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi ke Sepuluh bag 1, Penerjemah Bambang Iriana Djajaatmadja SH, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, 2001, hlm 134.

[42] G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi ke Sepuluh bag 1,Op.cit, hlm 145

[43] Rebecca M.M. Wallace, M.a, LL.B, Ph.D, Hukum Internasional, Terjemahan Bambang Arumandi, SH. M.Sc, Op.cit, hlm 186.

Tinggalkan Balasan