PENEMPATAN WAHANA RUANG ANGKASA
DI WILAYAH INDONESIA
Oleh : Irma Hanafi
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dari masa ke masa, dan dengan hasil di satu pihak maupun meningkatkan kesejahteraan manusia akan tetapi di lain pihak juga menjadi alat pemusnah dan di tambah lagi dengan dampak-dampaknya terhadap lingkungan hidup, telah menyadarkan manusia bahwa hasil yang dicapai oleh ilmu dan teknologi itu memerlukan perangkat hukum. Perangkat hukum ini diharapkan dapat mengatur agar segala hasil ilmu dan teknologi dapat dimanfaatkan tanpa merugikan manusia dan juga lingkungan di mana dia hidup.[1]
Sejarah mencatat bahwa sejak ditemukannya balon-balon udara di akhir abad ke-19 dan diterbangkannya pesawat udara yang lebih berat dari udara oleh Wright bersaudara (1903), maka ruang udara (air space) sebagai sumber daya alam (natural resources) telah makin diperhatikan baik untuk penerbangan sipil maupun militer.[2]
Keberhasilan Uni Soviet dengan Sputnik I telah mendorong PBB untuk memberikan pengarahan yang tepat dalam rangka usaha negara-negara memanfaatkan ruang angkasa (outer space). Usaha pertama yang menghasilkan ialah diterimanya Resolusi Majelis Umum PBB. No. 1348 (XIII) Question of the Peaceful Uses of Outer Space (13 Desember 1958). Resolusi ini merupakan landasan bagi dibentuknya sebuah komite ad hoc yang ditugaskan untuk meneliti segala sesuatunya yang berkaitan dengan ruang angkasa (UNCOPUOS). Resolusi yang berikutnya ialah Resolusi Majelis Umum PBB No. 1472 (XIV) International Co-operation in the Peaceful Uses of Outer Space(12 Desember 1959). Resolusi yang juga dianggap penting ialah Resolusi Majelis Umum PBB No. 1721 (XVI) International Co-operation in the Peaceful Uses of Outer Space (20 Desember 1961), selanjutnya Resolusi No.1802 (XVII) dan akhirnya Resolusi Majelis Umum PBB No. 1962 (XVIII) Declaration of Legal Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Uses of Outer Space. Di dalam resolusi yang terakhir ini dicantumkan 8 prinsip yang kemudian merupakan isi pasal-pasal pokok dari Space Treaty 1967.[3]
Berdasarkan Resolusi Majelis Umum No. 2222 (XXI), tanggal 9 Desember 1966, PBB telah mengesahkan secara aklamasi Treaty on Principles Governing the activities of states in the Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies, 1967 (Traktat mengenai Prinsip-Prinsip yang Mengatur Kegiatan Negara-Negara dalam Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa, Termasuk Bulan dan Benda-Benda Langit Lainnya, 1967), yang disingkat Outer Space Treaty, 1967 (Traktat Antariksa, 1967), yang telah ditandatangani pula oleh Indonesia pada tanggal 27 Januari 1967 di London, Moscow, dan Washington. Indonesia memahami kedudukan Space Treaty, 1967 sebagai induk perjanjian keantariksaan lainnya, yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta sejalan dengan konsepsi kedirgantaraan nasional untuk memantapkan dukungan bagi kepastian hukum, baik secara nasional maupun internasional.[4]
Sebagai perjanjian induk internasional di bidang ruang angkasa, Space Treaty 1967, hanya memuat prinsip-prinsip pokok yang memayungi pengaturan lebih lanjut isu-isu ataupun masalah-masalah yang berkaitan dengan ruang angkasa.[5]
Pada tahun 2007, negara-negara di dunia beramai-ramai melakukan aktivitas eksplorai ruang angkasa putaran baru, adanya eksplorasi terhadap bulan dan planet lainnya telah dicanangkan. Pada tanggal 26 bulan November 2007, Tiongkok mengumumkan grafis bulan pertama yang dikirim kembali oleh satelit Chang’e no 1 yang merupakan satelit eksplorasi pertama Tiongkok, hal itu menandakan bahwa rencana eksplorasi bulan Tiongkok telah mencapai sukses, dan mempunyai arti yang sangat penting bagi perkembangan teknologi penerbangan luar angkasa Tiongkok.
Amerika Serikat yang mewujudkan manusia mendarat di bulan pada tahun 1960-an mempersiapkan kembali pendaratan ke bulan pada bulan Oktober tahun 2008, Amerika Serikat berencana meluncurkan satu wahana orbit eksplorasi bulan yang bertujuan melakukan persiapan demi pembangunan pangkalan di bulan. Eksplorasi terhadap bulan terbagi dalam tiga tahap, yakni eksplorasi bulan, mendarat dan menempati bulan. Kini eksplorasi bulan dan mendarat di bulan, Amerika Serikat telah selesai, selanjutnya bakal membangun pangkalan di bulan. Kalangan luar angkasa internasional pada umumnya berpendapat, setelah pertengahan abad lalu, gelombang tinggi eksplorasi bulan oleh manusia kedua kali telah tiba.[6]
Walaupun kemajuan teknologi berjalan cepat dan menambah perkembangan peradaban di dunia, namun demikian tak selamanya perkembangan teknologi ini terutama teknologi ruang angkasa tidak dapat mengakibatkan kerugian-kerugian bagi masyarakat dunia pada umumnya dan bagi negara Indonesia pada khususnya.
April 2008, LAPAN memberi peringatan kemungkinan jatuhnya pecahan satelit di wilayah Indonesia. Satelit tersebut berdimensi 2,4 x 3,6 meter dengan 18 meter rentang panel surya hancur oleh gesekan atmosfir. Empat puluh tujuh persen badan satelit itu jatuh ke bumi menjadi 42 serpihan baja dan titanium. Logam ini panas dan keras, mengandung logam beracun. Benda berbobot 1,4 ton ini melayang ke arah muka bumi dalam gerak spiral, melintasi langit Indonesia 16 kali sehari dengan putaran yang kian mendekat ke bumi. Tetapi akhirnya pecahan satelit tersebut jatuh di Samudra Pasifik kepulauan Kiribaki dan Galapagos. Masyarakat Indonesia boleh bernafas lega karena pecahan satelit tersebut tidak jatuh di wilayah Indonesia.
Adanya suatu pengaturan hukum tentang akibat atau dampak dari explorasi ruang angkasa yang dilakukan negara-negara di dunia, dapat mencegah dan melindungi Indonesia dari kemungkinan kerugian yang akan di timbulkan akibat adanya explorasi ruang angkasa tersebut. Hal ini juga merupakan salah satu manfaat dari pada pengesahan Space Treaty 1967 oleh Indonesia.
Sebagaimana diketahui menurut hukum internasional wilayah negara terdiri dari tiga matra yaitu darat, laut dan udara. Wilayah laut merupakan perluasan dari wilayah daratan , wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah negara di darat dan dilaut. Hal ini tercermin dalam Paris Convention for the Regulation of Aerial Navigation tahun 1919 yang mengakui kedaulatan negara penuh negara di ruang udara di atas wilayah daratan dan laut teritorialnya. Pada awalnya kedaulatan negara tidak ditetapkan batas jaraknya secara vertical (usque ad coelum) yang kemudian dibatasi dengan adanya pengaturan tentang ruang angkasa.[7]
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dari masa ke masa, dan dengan hasil di satu pihak maupun meningkatkan kesejahteraan manusia akan tetapi di lain pihak juga menjadi alat pemusnah dan di tambah lagi dengan dampak-dampaknya terhadap lingkungan hidup, telah menyadarkan manusia bahwa hasil yang dicapai oleh ilmu dan teknologi itu memerlukan perangkat hukum. Perangkat hukum ini diharapkan dapat mengatur agar segala hasil ilmu dan teknologi dapat dimanfaatkan tanpa merugikan manusia dan juga lingkungan di mana dia hidup.[8]
Pemanfaatan ruang angkasa melalui penempatan berbagai satelit di ruang angkasa melalui berbagai bandar antariksa di dunia dengan jumlah aplikasinya antara lain untuk penginderaan jauh, telekomunikasi, penyiaran navigasi hingga keperluan penelitian dan pengembangan serta militer telah dirasakan manfaatnya bagi umat manusia. Namun di lain pihak kegiatan pemanfaatan ruang angkasa juga mengandung resiko yang cukup besar bagi umat manusia dan lingkunganhidupnya di bumi, karena roket dan atau satelit yang diluncurkan ke ruang angkasa ada kemungkinannya untuk jatuh kembali ke bumi baik pada waktu peluncurannya maupun apabila masuk kembali ke bumi (re-entry). Pada saat peluncuran roket dan satelit dari suatu Bandar antariksa, maka pecahan roket yang biasanya terdiri dari dua atau tiga tingkat akan jatuh lagi kembali ke bumi sesuai dengan titik drop zone nya yang telah ditentukan, atau di tempat lain apabila terjadi mal function. Jatuh bagian-bagian dari roket peluncur dan atau satelit tersebut tentunya dapat membahayakan dan menimbulkan kerugian bagi manusia dan harta bendanya di bumi.[9]
Dalam kegiatan ruang angkasa, kecelakaan yang sering terjadi adalah masuknya kembali pesawat ruang angkasa ke atmosfer karena tidak dapat dikendalikan. Ada tiga kemungkinan kondisi yang dapat dialami pesawat ruang angkasa pada saat re-entry. Pertama pesawat terbakar habis di atmosfer dan dapat menyebabkan kontaminasi radio-aktif secara global.[10]
Sebanyak 5000 satelit buatan telah diluncurkan di orbit bumi sejak Sputnik I pada tahun 1957 akan tetapi semua satelit tidak dikirimkan ke orbit yang sama. Dalam orbit yang biasa wahana ini akan bergerak mengelilingi bumi pada ketinggian sekitar 400 km. Pada ketinggian ini, satelit akan bergerak dengan kecepatan kira-kira 28.800 km per jam dalam orbit melingkar. Bila satelit berada pada orbit yang lebih tinggi, kecepatannya tidak perlu sebesar itu karena gravitasi bumi semakin lemah. Sebagian besar satelit ditempatkan pada orbit berbentuk elips yang mempunyai titik terjauh (apogee) dan titik terdekat (perigee) di atas bumi.[11]
Masyarakat Indonesia boleh bernafas lega karena april 2008 Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional telah memperingati kemungkinan kejatuhan satelit BeppoSAX yang dioperasikan agen Antariksa Italia jatuh di daerah wilayah Indonesia, namun ternyata jatuh di Samudra Pasifik kepulauan Kiribaki dan Galapagos. Satelit berdimensi 2,4 x 3,6 meter dengan 18 meter rentang panel surya hancur oleh gesekan atmosfir..[12]
Bagi bangsa Indonesia yang berdiam dalam sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan letak yang strategis ditinjau dari berbagai aspek kehidupan, maka aspek security dan prosperty menjadi penting yang harus dibangun dan ditegakkan. Tanpa kemampuan mengamankan negara dengan segala isinya, bangsa Indonesia tidak mampu meningkatkan kesejahteraan, tanpa menciptakan rasa aman dalam arti yang hakiki.
Adanya rencana pembangunan suatu wahana bandar antariksa oleh Australia yang bekerjasama dengan Pemerintah Rusia, yang rencananya akan ditempatkan di wilayah Australia khususnya di Christmas Island. Sebagaimana diketahui Christmas Island adalah suatu gugusan kepulauan yang berada di sebelah selatan Jawa Barat Indonesia, kurang lebih berjarak 360 km dari Jakarta atau waktu penerbangan dari Jakarta kurang dari 1 jam dengan posisi 106,5 derajad BT dan 10,5 derajad LS. Mengingat dekatnya wahana yang akan dibangun tersebut dengan negara Indonesia, diperlukan adanya kajian dan pemikiran mengenai dampak yang dapat ditimbulkan khususnya kerugian dan kemungkinan konpensasinya dikaitkan dengan pengaturan hukum internasional.[13]
Aksi pro dan kontra peluncuran satelit Rusia dari Bandara Frans Kaisiepo telah melanda Kota Biak di tanah Papua. Keberatan masyarakat adat setempat tidak pernah diberitahukan mengenai dampak positif maupun negatif dari peluncuran satelit. Apalagi melihat kemungkinan terjadinya kecelakaan dalam peluncuran satelit yang harus digandeng ke orbit oleh sebuah roket yang sering dialami AS dan Rusia.
Rabu 5 September 1996 roket Proton-M milik Rusia yang membawa satelit komunikasi Jepang meledak sesudah lepas landas di kosmodrom Baikonur di Kazakhstan pukul 2.43 dini hari waktu Rusia. Roket bertingkat 18 itu meledak setelah terjadinya gangguan pada mesin dan gangguan dalam pelepasan tingkat dua roket, 139 menit setelah terbang, dan jatuh di stepa Kazakhstan, 50 km sebelah tenggara Kota Dzhezkazgan. Masih banyak kecelakaan saat peluncuran roket Rusia dan negara eks Uni Soviet lainnya. Diantaranya pada 20 Mei 1996, roket Soyuz-U meledak 49 detik setelah lepas landas dari Baikonur. Pada 4 Juni 1996 roket Soyuz-U meledak setelah lepas landas dari Plesetsk. Pada 20 Mei 1997, roket Zenit-2 yang membawa satelit militer Cosmos meledak 48 detik setelah lepas landas. Tanggal 10 September 1998 gangguan computer pada roket Ukrainia yang membawa 12 satelit komersial menjatuhkan roket itu setelah lepas landas dari Baikonur.
Kalau kecelakaan serupa terjadi dalam peluncuran satelit dari Bandara Frans Kaisiepo, kepingan-kepingan roket dan satelit bias terhambur ke antero Teluk Saireri yang padat penduduk, perahu,dan kapal. Ini yang dikhawatirkan cendikiawan di Tanah Papua, apalagi bila roket peluncur satelit Rusia bertenaga nuklir. Kekhawatiran itu beralasan karena melihat rekor kecelakaan roket Rusia sejak masih bagian dari Uni Soviet menurut data yang dihimpun Palm Beach Post dari NASA dan Christian Sciene Monitor.
Kemajuan teknologi tanpa disadari ketentuan-ketentuan hukum yang mengaturnya akan mengakibatkan malapetaka yang tidak terbayangkan bagi umat manusia, dan hukum yang tidak disesuikan dengan perkembangan masyarakat tidak akan berguna. Oleh karena itu hukum dan teknologi harus berkembang bersama sama, bahkan ideal hukum itu harus dapat dibayangkan perkembangan teknologi dimasa yang akan datang, sedikitnya dapat sedini mungkin mendeteksi dan mengatur permasalahan hukum yang berkaitan dengan aspek teknologi.[14]
Pengaturan Hukum Ruang Angkasa
Hukum internasional mengakui status hukum ruang angkasa sebagai res communis, sehingga tidak ada satu bagianpun dari ruang angkasa dapat dijadikan menjadi bagian wilayah kedaulatan negara. Hal ini tampak jelas dari berbagai resolusi Majelis Umum PBB yang dikeluarkan setelah terjadinya perkembangan teknologi ruang angkasa yang dimulai dengan peluncuran satelit bumi pertama oleh Uni Sovyet tahun 1957. Resolusi Majelis Umum tahun 1962 (XVII) yang diterima pada tahun 1963, menetapkan beberapa asas hukum yang antara lain menetapkan bahwa penggunaan dan eksplorasi ruang angkasa serta benda angkasa (celestial bodies) dapat dilaksanakan oleh negara manapun secara adil dan sesuai dengan hukum internasional. Ruang angkasa dan benda angkasa tidak dapat dijadikan bagian dari wilayah atau tunduk kepada hukum negara manapun.[15]
Menurut sub Komite Hukum Ruang angkasa PBB didasarkan pada: (1). Larangan pemilikan nasional atas ruang angkasa atas benda-benda langit, (2) hak-hak yang sama bagi semua negara untuk secara bebas memanfaatkan ruang angksa sepanjang mengindahkan kelestariannya, (3) kebebasan melakukan penyelidikan ilmiah di ruang angksa, (4) melindungi hak-hak berdaulat negara-negara atas objek ruang angkasa yang diluncurkan oleh mereka, (5) kerjasama negara-negara dengan tujuan memberikan bentuan pada awak-awak kapal rung angkasa dalam suatu peristiwa darurat.[16]
Keberhasilan Uni Soviet dengan Sputnik I telah mendorong Perserikatan Bangsa Bangsa untuk memberikan pengarahan yang tepat dalam rangka usaha negara-negara memanfaatkan ruang angkasa (Outer space). Usaha pertama yang menghasilkan ialah diterimanya Resolusi Majelis Umum PBB No. 1348 (XIII)
“Question of the Peaceful Uses of Outer Space” (13 Desember 1958). Resolusi ini merupakan landasan bagi dibentuknya sebuah Komite ad hoc yang ditugaskan untuk meneliti segala sesuatunya yang berkaitan dengan ruang angkasa (UNCOPUOS). Resolusi yang berikutnya ialah Resolusi Majelis Umum PBB No. 1472 (XIV) “International Co-operation in the Peaceful Uses of Outer Space” (12 Desember 1959). Resolusi yang juga dianggap penting ialah Resolusi Majelis Umum PBB No. 1721 (XVI) “International Co-operation in the Peaceful Uses of Outer Space” (20 Desember 1961), selanjutnya Resolusi No.1802 (XVII) dan akhirnya Resolusi Majelis Umum PBB No. 1962 (XVIII) “ Declaration of Legal Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Uses of Outer Space”. Di dalam resolusi yang terakhir ini dicantumkan 8 prinsip yang kemudian merupakan isi pasal-pasal pokok dari Space Treaty 1967.[17]
Berdasarkan Resolusi Majelis Umum Nomor 2222 (XXI), tanggal 9 Desember 1966, PBB telah mengesahkan secara aklamasi Treaty on Principles Governing the activities of states in the Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies, 1967 (Traktat mengenai Prinsip-Prinsip yang Mengatur Kegiatan Negara-Negara dalam Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa, Termasuk Bulan dan Benda-Benda Langit Lainnya, 1967), disingkat Outer Space Treaty, 1967 (Traktat Antariksa, 1967), yang telah ditandatangani pula oleh Indonesia pada tanggal 27 Januari 1967 di London, Moscow, dan Washington. Bahwa Indonesia memahami kedudukan Traktat Antariksa, 1967 sebagai induk perjanjian keantariksaan lainnya, yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta sejalan dengan Konsepsi Kedirgantaraan Nasional untuk memantapkan dukungan bagi kepastian hukum, baik secara nasional maupun internasional.[18]
Ada dua perjanjian internasional yang memuat ketentuan-ketentuan dasar mengenai tanggung jawab dalam hukum ruang angkasa : 1) Treaty on Principles Governing the Activities in the Exploratian and Use of Outer Space, including Moon nad Other Celestial Bodies ( Space Treaty) 1967; dan 2) The Convention on International Liability for Damage Caused by the Space Objects, 1972 (Liability Convention)
Tanggung jawab untuk kegiatan-kagiatan ruang angkasa dikemukakan secara umum dalam pasal VI dan VII Spece treaty. Ketentuan-ketentuan ini dirinci lagi dalam Spece Liability Convention.[19] Indonesia telah meratifikasi Liability Convention dengan Keputusan Presiden No. 20 tahun 1996, pada tanggal 27 Februari 1996 dan meratifikasi Space Treaty dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2002.
Sebagai perjanjian induk internasional di bidang keantariksaan, Traktat Antariksa 1967, hanya memuat prinsip-prinsip pokok yang memayungi pengaturan lebih lanjut isu-isu ataupun masalah-masalah yang berkaitan dengan keantariksaan.[20] Hal positif yang tampak dimana bahwa Speace Treaty ini berhasil meletakan dasar atau prinsip umum di lingkungan masyarakat Internasional tentang tata cara pemanfaatan ruang angkasa bagi manusia.[21]
Kemampuan pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan iptek mengalami peningkatan. Berbagai hasil penelitian, pengembangan dan rekayasa teknologi telah dimanfaatkan oleh pihak industri dan masyarakat. Jumlah publikasi ilmiah terus meningkat meskipun tergolong masih sangat rendah di tingkat internasional. Hal itu mengindikasikan peningkatan kegiatan penelitian, transparansi ilmiah, dan aktivitas diseminasi hasil penelitian dan pengembangan. Walaupun demikian, kemampuan nasional dalam penguasaan dan pemanfaatan iptek dinilai masih belum memadai untuk meningkatkan daya saing.[22]
Christmas Island dan Air Launch Biak
Satelit buatan adalah wahana ruang angkasa yang paling banyak dijumpai dan semuanya berada di ruang angkasa selama beberapa tahun. Satelit mempunyai berbagai kegunaan: Komunikasi, Astronomi, dan Pengamatan bumi beserta dengan atmosfirnya dari ruang angkasa. Sebuah satelit mencapai orbitnya ketika sudah bergerak pada kecepatan yang cukup cepat untuk mengatasi gaya tarik gravitasi bumi yang mencoba menariknya kembali ke bumi, sementara itu pada saat yang sama, kecepatannya yang belum cukup cepat untuk membuat satelit lepas sama sekali dari gravitasi bumi dan pergi menjauh.
Pada Januari 1969 pesawat roket bulan Cosmos 305 kehilangan tenaga dan tetap diorbit mengelilingi bumi, melepas radiasi nuklir di atmosfir bagian atas. Musim gugur 1969 pesawat roket bulan tak berawak membakar habis bahan bakarnya dan melepas radioaktif di atmosfir bagian atas. Kepingan pesawat itu diperkirakan jatuh ke lantai samudera. 1982 peluncuran roket Cosmos 1402 gagal. Reaktor nuklirnya terlepas dari pesawat dan jatuh ke bumi secara terpisah pada Februari 1983 meninggalkan jejak radioaktif di atmosfir dan jatuh di Samudera Atlantik bagian selatan. Tidak diketahui apakah sampah radioaktif mencapai muka bumi atau lautan. April 1998 satelit radar pengamat Soviet gagal dilepaskan dari roket Cosmos 1900. Reaktor inti terdorong ke orbit cadangan 50 mil di sebelah bawah ketinggian yang direncanakan. Pada Februari 1993 Roket Cosmos 1402 jatuh di Samudra Atlantik sebelah selatan membawa 68 pound Uranium 235. November 1996 roket Mars 96 jatuh berkeping-keping di atas Chile atau Bolivia yang kemudian menyebarkan setengan pound Plutonium. [23]
Dalam pengoperasian suatu Bandar antariksa aspek utama yang perlu mendapat perhatian adalah aspek keselamatan, baik keselamatan para penyelenggara maupun pihak-pihak lainnya. Dalam kaitan dengan aspek keselamatan pengoperasian bandar antariksa dapat dikemukakan data hasil penelitian dari Atlas Histori yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat, bahwa tingkat kegagalan dari setiap peluncuran roket adalah sebesar 10 persen hingga 20 persen. Sehubungan dengan hal tersebut kiranya dapat diperkirakan bahwa kemungkinan tingkat kegagalan peluncuran roket dari Christmas Island juga akan berkisar antara 10 persen hingga 20 persen sehingga peluang untuk jatuhnya sisa-sisa roket Aurora di wilayah Indonesia tetap ada, terutama untuk wilayah Indonesia bagian timur seperti Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, bagian selatan Maluku dan Irian Jaya (Papua). Kemungkinan tersebut terutama untuk peluncuran kea rah timur atau dikenal dengan flightpath A. Disamping itu diketahui bahwa rencana penggunaan bandar antariksa di Christmas Island bukan hanya untuk roket peluncur Aurora, tetapi juga untuk Air Launch system Polyot. Direncanakan jalur lintasan Polyot ada lima lintasan, yaitu untuk orbit dengan sudut inklinasi 10 derajad, inklinasi 0 derajad, inklinasi 27 derajad, inklinasi 45 derajad, dan inklinasi 125 derajad. Khusus untuk peluncuran ke orbit dengan sudut inklinasi 0 derajad direncanakan untuk menggunakan lapangan terbang Biak di Irian Jaya, sedangkan peluncuran dengan orbit inklinasi 27 derajad lintasannya (MW 62) akan melalui wilayah Indonesia terutama Indonesia bagian timur. Berdasarkan kenyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa wilayah Indonesia berpotensi untuk menjadi victim area dari jatuhan roket/komponen roket yang diluncurkan dari Christmas Island. Sebagai diketahui bahwa pengeporasian suatu bandar antariksa juga berpotensi untuk menimbulkan polusi, baik polusi udara akibat sisa gas buang peluncuran roket maupun polusi suara bagi wilayah di sekitarnya. Berbagai polusi tersebut akan dapat mengganggu lingkungan sekitar wilayah peluncuran, dan kemungkinan pula sisa gas buang akan terbawa angin menuju ke wilayah Indonesia terutama di pulau Jawa dan Bali yang berpenduduk padat. Kemungkinan-kemungkinan dampak tersebut akan sangat mengganggu kehidupan di wilayah Indonesia termasuk kehidupan ekonomi masyarakat dan juga perkembangan pariwisata, terutama di pulau Bali.[24]
Yang menjadi dasar keberatan Indonesia dari rencana operasi peluncuran di atas adalah resiko Indonesia kejatuhan roket, dimana kemungkinan jatuhnya korban jiwa atau kerusakan lingkungan. Keberatan ini beralasan karena berdasarkan lintas terbangnya Roket Aurora memiliki potensi bahaya yang amat besar bagi Indonesia, terdapat area drop zone yang merupakan lokasi tempat menjatuhkan roket tahap 1,2,3. Diketahui bahwa Australia memiliki wilayah di benuanya yang disebut Cape York. Jika peluncuran dilakukan di tempat itu maka prestasi peluncuran yang diinginkan bias dicoba tanpa harus mengganggu negara manapun.[25]
Menyangkut proyek peluncuran yang dilaksanakan berdasarkan kesepakatan Pemerintah Indonesia dengan Rusia yang akan meggunakan Bandara Kaisiepo Biak menjadi tonggak baru perkembangan teknologi peroketan di dunia karena menggunakan sistem Air launch, adalah sistem peluncuran satelit dengan menggunakan pesawat terbang dan roket. Karena selama ini peluncuran roket dilaksanakan dari darat, dari anjungan di lepas pantai dan dari kapal laut. Pesawat kargo Antonov AN-124-100 yang berdaya angkut maksimal 120 ton akan membawa roket Polyot berisi satelit dan akan terbang pada ketinggian 10 km. Dari ketinggian tersebut roket dikeluarkan dari pesawat dan dinyalakan. Polyot ini akan membawa satelit ke orbit tepat di garis katulistiwa atau berjarak 350 hingga 400 kilometer sebelah utara Biak. Roket yang dilengkapi dengan parasut tersebut akan diterjunkan dari pintu di belakang pesawat. Kemudian dengan kendali jarak jauh roket akan diaktifkan dan meluncur ke ruang angkasa.
Alasan Rusia menggandeng Indonesia dalam kerjasama antariksa ini adalah karena Indonesia memiliki lokasi strategis bagi peluncuran roket. Lokasi strategis tersebut adalah Pulau Biak yang berada di utara Papua. Beberapa kelebihan yang dimiliki pulau Biak yaitu wilayahnya yang dilintasi garis katulistiwa. Melalui Biak, jarak jelajah (manuver) roket untuk sampai ke garis orbit geostasioner lebih dekat di bandingkan bila harus diluncurkan dari Rusia yang berada di kawasan subtropics. Hal ini berarti dapat menghemat bahan bakar tiga hingga empat kali lipat. Penghematan bahan bakar dan biaya peluncuran roket menurut Anatoly Karpov, President Air Launch, dapat di reduksi sampai 50 persen dan peluncuran diatas Samudra Pasifik merupakan kawasan yang bebas kerena itu tidak memberi dampak negative bagi manusia dan lingkungan. Lokasi peluncuran dipilih di daerah aman yaitu sekitar 200-an kilometer dari pulau Biak. Selain sebagai tepat tinggal landas dan pendaratan Antonov 124-1000, Biak yang telah memiliki landas pacu berstandar internasional juga akan menjadi tempat pengisian bahan bakar roket dan pesawat terbang.
Menurut Toto Marnanto, Kepala Pusat Teknologi Elektronika Dirgantara Lapan, tersedianya fasilitas peluncuran roket memungkinkan tumbuhnya kegiatan ekonomi si pulau Biak, seperti jasa penginapan dan pengisianbahan bakar serta perawatan pesawat. Proyek ini juga akan meningkatkan jumlah wisatawan yang datang ke Indonesia untuk melihat peluncuran roket dan kegiatan di sekitar kompleks peluncuran. Dalam kerjasama strategis ini juga terbuka kemungkinan alih teknologi karena teknisi dan tenaga ahli Indonesia dapat mempelajari teknologi peroketan dan satelit.
Analisa Hukum
Terlepas dari adanya perhitungan untung rugi terhadap kegiatan Air Lunch di Biak dan kegiatan di Christmas Islan Australia, kegiatan-kegiatan ini dapat menimbulkan dampak bagi negara Indonesia yaitu kemingkinan jatuhnya satelit di wilayah Indonesia. Konsep pertanggungjawaban negara dalam hukum ruang angkasa di satu pihak dirumuskan dalam bentuk pembatasan terhadap kebebasan melakukan aktivitas, dan dilain pihak berupa kewajiban memberikan ganti rugi apabila aktivitas tersebut menimbulkan kerugian kepada pihak lain.
Dua perjanjian internasional yang memuat ketentuan dasar mengenai tanggungjawab dalam hukum ruang angkasa, yakni; Space Treaty 1967) dan Leability Convention 1972). [26] Ketentuan-ketentuan di dalam pasal-pasal Space Treaty 1967 sedikit banyak menentukan tata tertib penggunaan ruang angkasa untuk kemanusiaan dan perdamaian, tampak bahwa Space Treaty hanya membatasi diri pada prinsip-prinsip yang sifatnya umum saja. Prinsip-prinsip ini berusaha memberi batasan tentang norma-norma yang berkaitan dengan kegiatan negara-negara (yang mampu) bila mana mereka melakukan eksplorasi atau eksploitasi ruang angkasa, bulan dan benda-benda langit lainnya.[27]
Aktivitas harus dilakukan untuk keuntungan dan kepentingan semua negara berdasarkan prinsip nondiskriminasi (pasal I Space Treaty), larangan apropriasi terhadap ruang angkasa (pasal II Space Treaty), penggunaan ruang angkasa, termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya hanya untuk tujuan damai (Mukadimah dan pasal IV Space Treaty), kewajiban melindungi lingkungan ruang angkasa dan aktivitas ruang angkasa lainnya (pasal IX Space Treaty)
Pasal VI Space Treaty menyatakan bahwa negara peluncur bertanggung jawab atas segala akibat kegiatannya di ruang angkasa. Pengertian negara peluncur di atur dalam Liability Convention 1972 pasal I bagian (a) menyatakan bahwa “ Pengertian kerugian berarti: kematian, luka-luka atau bentuk lain dari tertanggungnya kesehatan seseorang atau hilangnya atau rusaknya harta milik negara atau milik pribadi, atau badan hukum atau harta benda organisasi internasional antar pemerintah.”
Menyangkut tanggung jawab negara peluncur dapat dilihat pada pasal II Liability Convention 1972 yang menyatakan bahwa “negara peluncuran harus bertanggung jawab secara mutlak untuk membayar ganti rugi atas kerugian yang disebabkan oleh benda antariksanya terhadap permukaan bumi atau terhadap pesawat udara dalam penerbangan”
Pasal IV ayat 1 “dalam hal kerugian terhadap benda antariksa negara peluncur atau terhadap personil atau benda yang berada dalam benda antariksa tersebut yang berada di luar permukaan bumi oleh benda antariksa milik negara peluncur lainnya, dan kerusakan tersebut berakibat pada negara ketiga atau terhadap orang-orang atau badan hukum yang secara yuridis berada dinegara ketiga tersebut, kedua negara penyebab kerusakan harus bertanggungjawab secara bersama dan sendiri-sendiri terhadap negara ketiga “
Menyangkut kegiatan di Christmas Island, sesuai dengan ketentuan pasal ini pihak Indonesia dapat menuntut ganti kerugian apabila nanti kegiatan peluncuran di pulau Christmas tersebut mengakibatkan kerugian pada negara Indonesia, dimana yang dapat dikatakan negara peluncur adalah Australia dan Rusia Bagaimana caranya diatur pada pasal IX Liability Convention yang menyatakan bahwa “tuntutan ganti rugi kepada negara peluncur atas kerugian, harus diajukan melalui saluran diplomatic. Bila negara tersebut tidak mempunyai hubungan diplomatic dengan negara peluncur, negara tersebut dapat meminta negara lain untuk mengajukan tuntutan terhadap negara peluncur atau dengan catatan menyatakan maksudnya atas dasar Konvensi ini. Negara tersebut dapat juga mengajukan tuntutannya melalui Sekjen PBB dengan ketentuan keduanya adalah anggota PBB.” Pasal XII “ Besarnya ganti rugi yang harus dibayarkan dan merupakan tanggungjawab peluncur ditentukan sesuai dengan hukum internasional dan prinsip keadilan “equity” agar supaya dapat melakukan perbaikan dalam keadaan semula terhadap orang-orang, pribadi dan badan hukum, negara atau organisasi internasional yang diwakilinya dikembalikan seperti keadaan/kondisi sebelum terjadi kerugian/kerusakan”.
Menyangkut kegiatan Air Launch di Biak, sesuai dengan ketentian pasal I Liability Convention 1972 pasal I bagian (c) menyatakan bahwa “pengertian negara peluncur berarti : 1) negara yang meluncurkan atau ikut berperan serta dalam pelaksanaan peluncuran benda antariksa. 2) negara yang wilayah atau fasilitasnya digunakan untuk peluncuran benda antariksa.”
Pasal V ayat (1) “bilamana dua atau lebih negara bersama meluncurkan sebuah benda antariksa, mereka secara bersama atau sendiri-sendiri bertanggung jawab atas setiap kerusakan yang disebabkan oleh mereka.” Ayat (2) negara peluncur yang telah membayar ganti rugi atas kerugian mempunyai hak untuk menuntut penggantian kepada negara peserta lainnya yang ikut dalam peluncuran tersebut…” ayat (3) bahwa ”negara yang wilayah atau fasilitasnya digunakan untuk meluncurkan benda antariksa harus dianggap sebagai peserta dalam peluncuran bersama” Dari dua pasal diatas dapat dilihat bahwa apabila kegiatan wahana antariksa Rusia tersebut di lakukan di pulau Biak, maka Negara Indonesia dapat dikatakan sebagai Negara Peluncur dalam hal ini Negara Indonesia harus siap dengan segala resiko yang nanti akan terjadi apabila ada tuntutan ganti rugi dari negara lain.
Pasal VII Apabila terjadi kerugian maka konvensi ini tidak berlaku terhadap kerugian yang disebabkan oleh objek antariksa dari negara peluncur terhadap: (a) warga negara dari negara peluncur, (b) warga negara asing selama mereka turut berpartisipasi dalam pengoperasian objek antariksa tersebut terhitung mulai saat peluncuran atau pada setiap tahap selanjutnya hingga pendaratan atau selama mereka berada di sekitar daerah peluncuran atau daerah recovery area yang direncanakan atas undangan negara peluncur.” Dari pasal ini dapat dilihat bahwa apabila terjadi kecelakaan akibat kegiatan peluncuran satelit tersebut, Negara Indonesi tidak dapat melakukan penuntutan ganti rugi karena masuk dalam kategori negara peluncuran bersama.
Walaupun telah ada perangkat hukum internasional yang dapat dijadikan landasan bagi penyelesaian kerugian akibat pengoperasian Bandar antariksa di Chritsmas Island dan Bandar Antariksa Biak nantinya, Dengan ditandatanganinya kesepakatan Indonesia dengan Rusia di Moskwa, Indonesia harus siap dengan perangkat hukum nasional menyangkut penempatan bandar antariksa di wilayah negaranya guna mencegah kemungkinan kerugian yang akan timbul akibat kegiatan tersebut. Pasal XXIII Liability Convention menyatakan “tidaksatupun ketentuan dalam konvensi ini dapat mencegah kehendak negara untuk membuat perjanjian internasional untuk melakukan penyempurnaan, penambahan atau perubahan terhadap ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut.”
DAFTAR PUSTAKA
- Buku-Buku
1. Alexander Sindoro, alih bahasa, Ensiklopedia Bergambar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Quality Press, 2006
2. Diederiks-Verschoor alih bahasa Bambang Iriana, Beberapa Persamaan Dan Perbedaan Antara Hukum Udara Dan Hukum Ruang Angkasa, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1991.
3. E Saefullalh Wiradipradja dan Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Angkasa dan Perkembangannya, Remadja Karya, Bandung, 1998.
4. Mieke Komar Kantaatmadja, Berbagai Masalah Hukum Udara dan Angkasa, Remadja Karya, Bnadung, 1985.
5. Mochtar Kusumaatmadja, dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasiona, Alumni, Bandung, 2003.
6. Priyatna Abdurrasid, Hukum Antariksa Nasional (penempatan urugensinya), Rajawali Pers, Jakarta, 1986.
7. H. Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Fikahati Aneska, Jakarta, 2003.
8. Robertus Heru Triharjanto, Beda Peluncuran Christmas dan Air Launch Biak, Peneliti Pusat Teknologi Wahana Dirgantara, LAPAN
9. T. May Rudy, Hukum Internasional 2, Refika Aditama, Bandung, 2006
- Dokumen-Dokumen
1. UU RI No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.
- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002, Tentang Pengesahaan Traktat mengenai Prinsip-Prinsip yang Mengatur Kegiatan Negara-Negara dalam Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa, Termasuk Bulan dan Benda-Benda Langit Lainnya, 1967.
- Kepres. No. 20 Tahun 1996, Tentang Pengesahan Konvensi Tanggungjawab Internasional Terhadap Kerugian Yang Disebabkan Oleh Benda-Benda Antariksa 1972.
- Bacaan Elektronik
1. Eksplorasi Ruang Angkasa, melalui <http://indonesian.cri.cn/1/2007/12/25/1@75800htm > [21/5/2008
2. Informasi Benda Jatuh Antariksa, melalui
< http://www.bdg.lapan.go.id/matsa/orbit> [14/05/2008]
3. Kresno Putro, Urgensi Pengesahan Traktat Antariksa 1967 Bagi Indonesia, melalui
< http://www.indoregulation.com is Beta Release > [21/05/2008]
[1] H. Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Fikahati Aneska, Jakarta, 2003, hlm xxi.
[2]E. Saefullah Wiradipradja, Tinjauan Singkat Atas Berbagai Perjanjian Internasional di Bidang Hukum Udara, Lisan, Bandung, 1990, hlm 1
[3] Priyatna Abdurrasid, Hukum Antariksa Nasional (penempatan urugensinya), Rajawali Pers, Jakarta, 1986, hlm 13
[4] Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002, Tentang Pengesahaan Traktat mengenai Prinsip-Prinsip yang Mengatur Kegiatan Negara-Negara dalam Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa, Termasuk Bulan dan Benda-Benda Langit Lainnya, 1967, bagian Menimbang c dan d.
[5] Kresno Putro, Urgensi Pengesahan Traktat Antariksa 1967 Bagi Indonesia, melalui
< http://www.indoregulation.com is Beta Release > [21/05/2008]
[6] Eksplorasi Ruang Angkasa Dalam Demam Langit di Dunia, melalui <http://indonesian.cri.cn/1/2007/12/25/1@75800.htm [21/05/2008]
[7] Mochtar Kusumaatmadja, dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasiona, Alumni, Bandung, 2003, hlm 194
[8] H. Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Fikahati Aneska, Jakarta, 2003, hlm xxi.
[10] Editor: E Saefullalh Wiradipradja dan Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Angkasa dan Perkembangannya, Remadja Karya, Bandung, 1998, hlm 209
[11] Ensiklopedia Bergambar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, alih bahasa Alexander Sindoro, Penerbit Quality Press, 2006, hlm 126
[12]Eksplorasi Ruang Angkasa Dalam Demam Langit di Dunia, melalui <http://indonesian.cri.cn/1/2007/12/25/1@75800.htm [21/05/2008]
[14] Mieke Komar Kantaatmadja, Berbagai Masalah Hukum Udara dan Angkasa, Remadja Karya, Banadung, 1985, hlm 104
[15] Mochtar Kusumaatmadja, dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasiona, Op.cit 196
[16] T. May Rudy, Hukum Internasional 2, Refika Aditama, Bandung, hlm 53
[17] Priyatna Abdurrasid, Hukum Antariksa Nasional (penempatan urugensinya), Rajawali Pers, Jakarta, 1986, hlm 13
[18]Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002, Tentang Pengesahaan Traktat mengenai Prinsip-Prinsip yang Mengatur Kegiatan Negara-Negara dalam Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa, Termasuk Bulan dan Benda-Benda Langit Lainnya, 1967, bagian Menimbang c dan d.
[19]Beberapa Persamaan Dan Perbedaan Antara Hukum Udara Dan Hukum Ruang Angkasa, Prof.DR.IH.Ph.Diederiks-Verschoor alih bahasa Bambang Iriana, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hlm 24
[20] Kresno Putro, Urgensi Pengesahan Traktat Antariksa 1967 Bagi Indonesia, melalui
< http://www.indoregulation.com is Beta Release > [21/05/2008]
[21]Priyatna Abdurrasid, Hukum Antariksa Nasional (penempatan urugensinya), Op.cit, hlm 15
[22] UU RI No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, hlm 40.
[23] http:// www. Suara Pembaruan.com.News/2007/10/22/editor/edit 01.htm.
[25] Beda Peluncuran Christmas dan Air Launch Biak, Robertus Heru Triharjanto, Peneliti Pusat Teknologi Wahana Dirgantara, LAPAN
[26] T. May Rudy, Hukum Internasional 2, Op.cit, hlm 54
[27] Priyatna Abdurrasid, Hukum Antariksa Nasional (penempatan urugensinya), Op.cit, hlm 15