PERENUNGAN TENTANG KETERPURUKAN HUKUM DI NEGERI INI

Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara

 

PERENUNGAN TENTANG KETERPURUKAN HUKUM DI NEGERI INI

Revency Vania Rugebregt

A. Pengantar

Sejatinya hukum itu ada untuk melindungi masyarakat, agar tercipta kedamaian dan ketentraman serta kebahagiaan. Kenyataannya sekarang hukum tidak lagi bisa memberikan rasa aman untuk masyarakatnya. Dimana-mana terjadi pelanggaran terhadap hukum. Hukum bukan lagi sebagai sarana untuk menciptakan keteraturan dalam masyarakat namun hukum di pergunakan sebagai sarana kekuasaan. Ada standar ganda dimana hukum di tegakan dengan tajam pada orang miskin namun tumpul pada orang yang mempunyai uang dan kekuasaan. Pemerintah yang seharusnya sebagai fasilitator dan mediator serta penjamin hak dari masyarakat pun ikut terlena dengan praktek ketidakadilan. Terjadi konflik social dimana-mana tanpa ada penanganan yang serius. Bahkan gaung sentimen terhadap agama dan etnis di pakai sebagai sarana pemecah belah persatuan dan kesatuan. Pancasila sudah tidak lagi mengakar dalam sanubari dan kecendrungan praktek ideologi lain semakin marak tanpa toleransi sehingga pertikaian terjadi karena ketidak sigapan dan ketidak siapan pemerintah dalam menghadapi gejolak.  Alhasil hukum di negara ini memang sedang mengalami proses pembusukan. Moral para penegak hukum di ragukan, bahkan moral para elite politiknya pun di pertanyakan. Akhirnya  kita berada pada sebuah pertanyaan klasik yaitu akan di dibawa kemana Negari ini? Dan akan seperti apakah Negari ini ke depannya? Pertanyaan yang membutuhkan perenungan panjang karena keterpurukan hukum terlalu dalam terasa.

B. Pluralisme haruskah penyebab keterpurukan?

            Pendiri negara ini  adalah kumpulan orang-orang bijaksana dengan pemikiran jauh kedepan sehingga menjadikan Pancasila sebagai landasan ideologi bangsa. Namun  sebelum Pancasila dirumuskan dan disahkan sebagai Dasar Filsafat  dan ideology Negara nilai-nilainya  telah ada pada bangsa Indonesia yang merupakan pandangan hidup yaitu berupa nilai-nilai adat istiadat  serta nilai-nilai kausa materialis Pancasila. Dengan demikian antara Pancasila dengan bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan sehingga Pancasila adalah Jati Diri bangsa Indonesia.

Setelah bangsa Indonesia mendirikan Negara maka oleh pembentuk Negara,  Pancasila disahkan menjadi dasar Negara Republik Indonesia. Sebagai suatu bangsa dan Negara, Indonesia memiliki cita-cita yang dianggap paling sesuai dan benar sehingga segala cita-cita, gagasan-gagasan, ide-ide tertuang dalam Pancasila. Maka dalam pengertian inilah Pancasila berkedudukan sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia dan sekaligus sebagai Asas Persatuan dan Kesatuan bangsa dan Negara Indonesia. Dengan demikian Pancasila sebagai dasar filsafat Negara, secara objektif diangkat dari pandangan hidup yang sekaligus juga sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia yang telah ada dalam sejarah bangsa sendiri.  Pandangan hidup dan filsafat hidup ini sendiri merupakan kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia yang menimbulkan tekad bagi dirinya untuk mewujudkannya dalam sikap tingkah laku dan perbuatannya. Pandangan hidup dan filsafat hidup itu merupakan motor penggerak bagi tindakan dan perbuatan dalam mencapai tujuannya. Nilai-nilai Pancasila ini telah tercermin dalam khasanah adat istiadat, serta kehidupan keagamaannya.  Ketika pendiri Negara Indonesia menyiapkan berdirinya Negara Indonesia merdeka, mereka sadar sepenuhnya untuk menjawab suatu pertanyaan yang fundamental, “ diatas dasar apakah negara Indonesia didirikan”. Dengan jawaban yang mengandung makna hidup bagi bangsa Indonesia sendiri yang merupakan perwujudan dan pengejawantahan nilai-nilai yang dimiliki, diyakini, dihayati kebenarannya oleh masyarakat sepanjang masa dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhan bangsa sejak lahir.

            Nilai-nilai ini sebagai buah hasil pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan dasar bangsa Indonesia tentang kehidupan yang dianggap baik. Mereka menciptakan tata nilai yang mendukung tata kehidupan social dan tata kehidupan kerohanian bangsa yang memberikan corak, watak dan ciri masyarakat dan bangsa Indonesia yang membedakannya dengan masyarakat atau bangsa lain.

            Berpangkal tolak dari struktur sosial dan struktur kerohanian asli bangsa Indonesia, serta diilhami ole ide-ide besar dunia, maka pendiri Negara kita yang terhimpun dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan terutama dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), memurnikan dan memadatkan nilai-nilai yang dimiliki, diyakini, dan di hayati kebenarannya oleh bangsa Indonesia menjadi Pancasila yang rumusannya tertuang dalam UUD 1945, sebagai ideologi Negara, pandangan hidup bangsa, Dasar Negara, dan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.

            Seperti kita ketahui bersama, secara geografis dan demografis, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini mempunyai kemajemukan dan kebhinnekaan agama, sosial, budaya, politik, ekonomi. Dll. Kita tahu bersama bahwa negara Indonesia terdiri atas lebih dari 17.500 pulau besar-kecil, jumlah penduduk lebih dari 220 juta jiwa, berbagai suku bangsa dan bahasa daerah serta adat istiadat. Keanekaragaman dan kemajemukan tersebut merupakan bentuk rahmat Tuhan yang kita syukuri. Namun, yang perlu diwaspadai oleh seluruh komponen bangsa adalah disintegrasi bangsa akibat adanya perubahan pada tataran global, regional, dan nasional. Pada era Indonesia yang sedang berubah saat ini, dalam menghadapi perubahan pada tataran global, regional, nasional, dan tingkat lokal, diperlukan suatu sikap dan komitmen dalam rangka peningkatan semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pengaruh globalisasi dengan ekonomi pasar bebas dan pengaruh budaya luar dapat mengusik adat budaya masyarakat kita. Ekses negatif reformasi memunculkan ketidakadlilan, menurunnya kesediaan untuk saling menghargai/menghormati perbedaan, kecenderungan primordialisme yang diwarnai fanatisme etnik, agama dan kedaerahan. Berbagai ekses negatif proses berdemokrasi menimbulkan kerawanan social dan potensi kesenjangan. Pengelolaan sumberdaya-alam tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat munculnya kekecewaan yang berdampak negatif bagi kehidupan berbangsa. Selain itu, pluralitas masyarakat majemuk Indonesia yang begitu tinggi ternyata masih menyimpan potensi laten konflik yang sering memprihatinkan masyarakat luas. Perbedaan etnik, suku, asal-usul golongan, dan agama masih sering dieksploitasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengobarkan api permusuhan. Sejumlah anggota masyarakat ternyata belum mampu secara tulus untuk bersikap toleran atas perbedaan pendapat di ruang public yang terbuka. Kekerasan, ancaman, intimidasi, dan aksi teror masih sering digunakan untuk menyampaikan pesan dan aspirasi sekelompok masyarakat kepada masyarakat lainnya yang dianggap berbeda. Konflik ternyata juga bisa diawali oleh kurang mampunya masyarakat menerima kekalahan dari sebuah persaingan politik. Hal ini masih cukup nyata terlihat sebagai gejala yang muncul pascapilkada. Walaupun sejumlah besar pilkada dapat diselenggarakan secara sangat baik, di beberapa wilayah, namun pilkada masih diikuti oleh konflik berkepanjangan yang diwarnai oleh kekerasan, ancaman dan perusakan, baik terhadap kelompok lawan politik, maupun terhadap KPUD yang bersangkutan.

Kekerasan yang tidak diselesaikan secara tegas berdasarkan hukum telah menjadi preseden bagi kekerasan lain, yang pada akhirnya menciptakan kondisi chaos dan anarkis di dalam masyarakat luas. Akhirnya hukum tidak lagi memiliki rasa manis bagi penikmatnya, namun menjadi candu bagi kekuasaan karena uang bisa membeli kenikmatan hidup meskipun menjadi pesakitan. Padahal Indonesia lahir dari keberagaman dan seharusnya keberagaman menjadi pemersatu dalam Negara ini sesuai cita-cita awal bahwa negara ini berlandaskan Pancasila karena terdiri dari keberagaman untuk Bhinka Tunggal Ika.

 

B. Keadilan menuju kebahagiaan

 “”Sumber kehidupan telah cukup tersedia di dunia, sehingga tak boleh ada seorang pun yang lapar…” (Amartya Sen dalam The Poverty and Famines, 1981). Demikian diungkapkan oleh Seorang ekonom dan filusuf terkenal dari India Amartya Sen.

Seharusnya sebagai bangsa yang kaya, masyarakat Indonesiapun hidupnya harus sejahtera. Namun kenyataan masih jauh api dari panggang.  Keadilan di negara ini “bagai mimpi yang tak terbeli”. sehinggai tikuspun mati dalam lumbung padi. ironisnya semua sumberdaya alam stelah tersedia untuk di kelola sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kenyataannya masih banyak nasi aking yang jadi rebutan. Berjatuhannya korban rebutan angpao senilai Rp. 5000 atau bahkan cuma Rp.1000 yang dengan bangganya dibagikan orang kaya pada  hari raya. Nyawa sudah tidak ada nilai dan sementara masyarakat hidup dalam kultur kekerasan yang di pandang wajar-wajar saja. Sementara negara hanya menjadi penjaga ketertiban berlangsungnya praktek ketidakadilan yang di pandang sebagai wujud demokrasi dan konsekwensi dari reformasi.

 Masyarakat masih hidup dalam ketidakbahagiaan akibat keadilan yang di jungkirbalikan. Atas nama kepentingan umum tanah-tanah rakyat di rampas untuk dialih fungsikan. Sumberdaya alam dikelola dengan rakusnya. Pembangunan menggunakan pendekatan kebutuhan bukan bukan pendekatan hak asasi manusia. Atas nama kepentingan rakyat banyak padahal kepentingan pribadi, banyak air mata menetes. Berbagai bentuk peraturan perundang-undangan yang di buat seharusnya menguntungkan rakyat ternyata menjadi senjata kelaliman, belum lagi kebijakan ngawur pejabat pemerintah dengan mengeluarkan izin pengelolaan sumberdaya alam kepada pihak swasta tanpa pengawasan dan pertimbangan semakin memperpanjang sejarah penderitaan rakyat. Inilah potret kelam bangsa ini. Pertanyaan muncul adalah apakah dengan Menyatakan kebenaran aku telah menjadi musuhmu? ( Galatia 3). Reformasi memunculkan manusia-manusia Esau berhati Yacub, menjagal akhirnya di jagal seperti dalam Kisah alkitab (kasus-kasus korupsi yang marak terjadi sekarang). Banyak orang yang menyatakan kebenaran justru yang terpenjara. Orang lalu takut menyatakan suara kenabian, karena semua para kaum ulama dan pendeta sudah senang menjadi selebriti. Di masa kemiskinan Indonesia, para kaum cendikiawan dan elite sibuk memamerkan harta dan wakil rakyat sibuk uji kelayakan mobil Ferari apakah pantas di bawa untuk sidang di gedung DPR yang terhormat.  Untuk kesekian kali jangan salahkan rakyat jika mereka turun kejalan untuk menyuarakan suara hati, meskipun mereka tahu konsekwensinya adalah tragedi yang mereka dapatkan. Seharusnya kebahagiaan di negeri ini tumpah ruah karena terlalu banyak harta kekayaan yang di miliki. Hanya saja apakah kebahagiaan itu bisa di capai jika keadilan hanya menjadi milik orang kaya dan berkuasa? Nyatanya keadilan hanya bersembunyi di balik topeng hukum dan kekuasaan tanpa bisa muncul karena kalah dengan politik  kekuasaan.

C. Kapan hukum membawa kebahagiaan ?

            Berbicara tentang hukum sama halnya kita berbicara tentang cinta. Karena keduanya berbicara tentang rasa. Seberapa jauh rasa itu ada sehingga sanggup menjaga komitmen, tergantung dari tiap pribadi. Ketika kita jatuh cinta semua terasa indah dan sempurna. Bagaikankan mimpi tanpa terbangun, dan bagaikan burung yang terbang menembus langit dan cakrawala sehingga bisa melihat semua keindahan bumi. Namun apakah cinta yang kelihatan itu benar-benar cinta ataukah cinta karena harta dan materi. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ketika wilayah-wilayah dalam Nusantara menyatakan bergabung dalam Indonesia itulah pertama kalinya masyarakatnya  jatuh cinta pada negara yang namanya Indonesia. Yang karena kecintaan,  rela berperang melawan penjajah apapun taruhannya. Sama halnya ketika seorang wanita jatuh cinta kepada seorang laki-laki, wanita tersebut rela mengorbankan apa saja demi orang yang dicintai. Namun jika orang yang di cintai tidak lagi bisa memberikan rasa aman dan tidak lagi bisa melindungi serta membahayakan hidup,  Apakah cinta masih harus di pertahankan? Pertanyaan yang sama jika di tujukan  kepada negara jawaban apa yang harus kita terima? Dari kacamata saya sebagai masyarakat biasa, negara itu ibarat laki-laki matrealistis yang hedonis. Dan masyarakat ibarat wanita kaya raya yang sangat cinta kepada pria tersebut, sehingga sanggup berkorban apa saja. Pria kaya tersebut tidak punya apa-apa kecuali gaya yang kelihatan kaya, namun si wanita, kaya dengan sumberdaya alamnya. Untuk menunjang gaya dan kehidupan hedon, sang lelaki tidak ingin melepaskan wanita kaya tersebut dan akan melakukan apa saja sehingga wanita tersebut tetap berada di sampingnya. Dari cerita ini, penulis hanya ingin mengungkapkan bahwa, jika rasa cinta itu muncul karena sesuatu dan bukan dalam arti ketulusan, maka semua hal yang di lakukan akan sia-sia. Dan jika hukum itu di buat karena keberpihakan pada penguasa dan demi kepentingan penguasa maka rasa keadilan itu akan jauh dan kebahagiaan akan semakin semu di capai. Terjadinya pelanggaran dan ketidak adilan di sebabkan karena nilai moral dan nilai kebenaran akibat kebutuhan ekonomi yang terlalu berlebihan dibandingkan dengan kebutuhan psikhis yang seharusnya berbanding sama. Usaha penyelesaiannya adalah tidak lain harus kembali kepada hakikat manusia dan untuk apa manusia itu hidup. Hakikat manusia adalah makhluk budaya yang menyadari bahwa yang benar , yang indah dan yang baik adalah keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan kebutuhan psikhis dan inilah yang menjadi tujuan hidup manusia. Kebahagiaan jasmani dan kebahagiaan rohani tercapai dalam keadaan seimbang artinya perolehan dan pemanfaatan harta kekayaan terjadi dalam suasana tertib, damai dan serasi (nilai etis, moral). Dalam hal ini negara sebagai penjamin hak dan sebagai fasilitator hendaknya dapat memberikan rasa aman sesungguhnya bagi rakyatnya. Moral dan mental para pejabat harus di bina dan di kembalikan kepada hakikat sesunggunhya sebagai pelayan masyarakat.

 

D. Etika dan Moral Dalam kehidupan berbangsa

Etika dan moral merupakan panduan universal yang merawat cita-cita kehidupan bernegara untuk mencapai tujuan asasinya, yaitu kehidupan yang berjalan di atas nilai-nilai budaya bangsa. Setiap sikap dan perilaku di ruang publik, harus mencerminkan nilai-nilai itu, agar cita-cita dan keutuhan masyarakat tetap terjaga. Konsepsi dasar etika dan moral sebuah negara, perlu terus mengacu pada konsensus nilai-nilai yang ada, yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, terutama nilai-nilai mayoritas yang menjadi sebuah keniscayaan dalam mewarnai tata perilaku warga bangsa. Hal ini akan terjadi, jika politik kekuasaan berjalan di atas landasan demokrasi dan menempatkan rakyat sebagai yang berdaulat.

Etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia didalam kelompok sosialnya. Dalam pengertian secara khusus dikaitkan dengan interaksi sosial kita, etika dirupakan dalam bentuk aturan tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada; dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk mengontrol segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang. Dengan demikian, etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control“, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial itu sendiri.

Moral lebih mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia, menuntun manusia bagaimana seharusnya ia hidup atau apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dalam kehidupan sosial, semua masyarakat mempunyai aturan moral yang membolehkan atau melarang perbuatan tertentu. Tata laku itu harus diikuti oleh anggota masyarakat dan akan menimbulkan “hukuman” bagi pelanggarnya. Ukuran moral harusnya didasarkan pada nilai budaya yang timbul dan berkembang di masyarakat dan/atau agama yang dianut.

Etika dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dapat digali dari Pancasila yang merupakan dasar negara. Pancasila memancarkan nilai-nilai etika dan moral yang harus ditumbuhkembangkan dan diimplementasikan oleh setiap individu warga negara Indonesia. Etika dan moral berbangsa dan bernegara perlu dianggap sebagai etika terapan karena aturan normatif yang bersifat umum, diterapkan secara khusus sesuai dengan kekhususan dan kekhasan bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai etika khusus, etika dan moral berbangsa merupakan kontekstualisasi aturan moral umum dalam situasi konkret.

Etika dan moral lahir dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, yang tujuannya adalah menjalin kebersamaan, merawat kesatuan, dan mencapai kehidupan yang tenteram, harmonis, dan sejahtera. Nilai merupakan landasan perilaku dalam seluruh sendi kehidupan, bukan sebagai legitimasi atau hiasan belaka. Moral dan etika dalam perilaku masyarakat, termasuk dalam politik bernegara adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, karena menafikkan salah satunya berarti menarik kegiatan politik dari dimensi sosial dan hanya menjadi urusan pribadi.

Pada saat ini banyak sekali orang melakukan pelanggaran hak-hak negara dan hak masyarakat tetapi merasa tidak bersalah karena merasa tidak melanggar hukum formal. Mereka dengan seenaknya merampok hak-hak masyarakat tetapi karena tidak bersalah menurut hukum formal maka mereka merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Hukum formal kemudian dijadikan alasan untuk berlindung dari kejahatan etik dan moral padahal hukum formal itu merupakan legalisasi dari etika dan moral. Artinya sebenarnya hukum formal itu adalah etika dan moral yang diformalkan. Oleh sebab itu seharusnya etika dan moral itu lebih diutanakan dari sekedar formalitas-formalitas hukum.

Penegakan hukum harus dilakukan dengan tegas tanpa pandang bulu terhadap pelaku pelanggaran hukum. Untuk itu dalam pelaksanaannya dilakukan dengan penuh dedikasi dan rasa tanggung jawab serta integritas moral yang tangguh. Sebab dari fenomena yang ada, karena kurangnya ketegasan atau karena kegamangan dalam menghadapi pelanggaran hukum, maka banyak pelanggar-pelanggar hukum yang lolos dari jerat hukum atau dengan kata lain lepas dari pengusutan. Sehingga ada pameo yang mengatakan, bahwa “hukum yang diterapkan saat ini ibarat jaring laba-laba”, artinya mereka yang melakukan tindak pidana dalam kategori kelas kakap lolos dari jeratan hukum, sedangkan yang terjerat hanya kelas teri.

 Diakui atau tidak, proses penegakan hukum masih mengalami hambatan. Untuk itu diperlukan aparat penegak hukum yang bertanggung jawab dan konsisten terhadap nilai-nilai moral. Karena aparat penegak hukum yang bertanggung jawab dan bermoral tidak akan berani melakukan manipulasi hukum, dan  tidak akan berani mempertaruhkan harga dirinya dengan membohongi hati nuraninya.

 Standar etika dan moral para penegak hukum bahkan cenderung menurun. Mereka menjadi kurang responsif terhadap berbagai permasalahan bangsa dan penyakit sosial yang kian hari semakin menjadi. Korupsi yang seharusnya diproses secara hukum demi mewujudkan keadilan tidak jarang malah melahirkan kejahatan baru berupa pemerasan, penyuapan, dan jual beli kasus. Kesadaran dan ketataan penegak hukum tampaknya memudar.

 Etika dalam konteks penegak hukum adalah seperangkat prinsip moral yang membedakan apa yang benar dari apa yang salah, apa yang pantas dan tidak untuk dilakukan oleh seorang penegak hukum. Etika ini harus menjadi pegangan, baik dikala ia menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum

bekerjanya hukum dan penegaknya tidak bisa steril dari masalah non-hukum. Kekuatan-kekuatan lain, mulai dari turunnya integritas moral, hilangnya independensi, politik, ekonomi dan social masyarakat serta ketidakpatuhan terhadap kode etik profesi hukum yang mengikatnya, akan mementukan penegakan hukum di Indonesia. Namun, bila dilihat dari sudut pandang lain, kelemahan substansi kode etik bukan berasal dari tidak adanya sanksi lebih pada ketidakmampuan norma-norma dalam kode etik tersebut untuk menimbulkan kepatuhan pada penegak hukum dan subtansinya.

 Elite politik dan elite penegak hukum mempunyai interes (kepentingan) dalam banyak kasus hukum terutama yang menyangkut uang dalam jumlah besar dan kepentingan politik. Proses rekruitmen penegak hukum tidak mempertimbangkan factor moral. Factor ini juga tidak diprioritaskan dalam menyeleksi orang yang akan menduduki jabatan yang potensial.

 Dalam konteks ini, fakta rusaknya penegak hukum di Indonesia bisa ditafsirkan, sebagai ambruknya nilai “sadar diri”, sehingga jatuhlah nilai dan hakekat hukum. Penegak hukum bukan lagi “tuan” atas perbuatannya, tetapi “tuan” bagi kekuasaan, uang dan jabatan. Haruslah disadari benar bahwa upaya menegakkan hukum tidaklah semudah membalik telapak tangan.

 Untuk menegakkan hukum dan membumikan keadilan dalam kehidupan masyarakat, seorang penegak hukum harus terlebih dahulu taat hukum dan berpegang pada nilai-nilai moral etika dalam berperilaku. Ia harus mampu menegakkan keduanya, menegakkan etika dalam dirinya dan menegakkan hukum dalam kehidupan masyarakat. Kalau kedua hal ini terpenuhi, diharapkan keadilan akan tegak dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

 

E. Solusi terhadap keterpurukan bangsa

Sejak bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya, dalam pembukaaan UUD 1945, bangsa Indonesia telah sepakat untuk  menentukan Pancasila menjadi dasar negara. Dalam perjalanan selanjutnya, Pancasila juga disepakati sebagai ideologi nasional dan pandangan hidup bangsa. Bangsa Indonesia selalu berupaya untuk mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, dalam realisasinya masih terdapat kerancuan mengenai bagaimana implementasi sosialisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dan untuk menghadapi berbagai permasalahan. Pancasila adalah dasar negara. Hal ini terbukti meskipun UUD telah mengalami beberapa kali perubahan, bahwa dalam Pembukaan atau Mukadimah UUD negara selalu dicantumkan Pancasila sebagai dasar negara. Perumusan Pancasila mengalami perubahan pada berbagai UUD, tetapi esensinya tetap tidak berubah Pasca bergulirnya gerakan reformasi, Pancasila dilalaikan oleh banyak pihak. Pancasila tidak lagi menjadi acuan dalam kehidupan politik dan tidak lagi digunakan sebagai kerangka penyelesaian

masalah nasional. Bahkan banyak pihak bersikap sinis dan takut ditertawakan jika berbicara tentang Pancasila. Untuk mengatasi pemikiran tersebut kiranya dan sudah saatnya Pancasila diangkat kembali di tengah hiruk pikuknya permasalahan bangsa, untuk selanjutnya diimplementasikan dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila akan tetap efektif sebagai pedoman bangsa apabila Bhinneka Tunggal Ika tetap terjaga. Pluralitas bangsa Indonesia sudah menjadi kenyataan sehingga perlu kekuatan pemersatu melalui payung semangat Bhinneka Tunggal Ika. Kekuatan pemersatu bukan diposisikan sebagai penyatuan keragaman budaya bangsa, melainkan menjadi semangat dan simbol bagi bekerjanya secara demokratis setiap tradisi dan budaya yang ada. Pancasila sebagai pedoman bangsa justru menemukan efektivitasnya bagi penguatan jati diri dan peningkatan produktivitas bangsa. Untuk

menghadapi fenomena mulai dilupakannya Pancasila, diperlukan upaya untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa yang didasari oleh pemahaman dan penghayatan yang sama atas nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa sekaligus sumber semangat dan kekuatan bangsa sudah seharusnya dijadikan acuan untuk menyelesaikan permasalahan bangsa dan negara. Oleh karena itu, Pancasila perlu disosialisasikan secara berkesinambungan dalam penyelenggaraan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara saat ini dan ke depan yang melibatkan seluruh komponen bangsa.

Maksud dan tujuan mensosialisasikan Pancasila adalah untuk mengajak seluruh anak bangsa agar Pancasila dapat secara tepat dan mendapatkan ruang terhormat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang selalu menjadi sumber pencerahan dan inspirasi sekaligus orentasi pemecahan masalah bangsa. Amendemen I, II, III dan IV UUD 1945 telah menjadikan konstitusi Indonesia menjadi sebuah konstitusi yang lebih baik, demokratis, dan modern yang berfungsi sebagai panduan dasar dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan berbangsa untuk mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang adil dan makmur dalam wadah NKRI. Semua komponen bangsa wajib memahami, menghayati, dan melaksanakan seluruh ketentuan UUD 1945 yang telah disempurnakan itu yang memiliki makna dan membawa manfaat nyata bagi bangsa. Proses sejarah perjalanan bangsa secara jelas menggambarkan bahwa pada dasarnya keberadaan bangsa dan negara ini dilandasi oleh kesadaran, semangat, dan tekad. Sejarah menunjukkan bagaimana perjuangan kita sejak tahun 1908 Budi Utomo, tahun 1928 Sumpah Pemuda, hingga kini yang merupakan bukti dari kesadaran dan spirit. Dengan kesadaran yang demikian, ada komitmen yang dituangkan dalam tekad yang puncaknya terjadi pada saat Proklamasi 17 Agustus 1945, dengan lahirnya NKRI dari satu proses sejarah tentang keberadaan bangsa Indonesia. Derasnya arus globalisasi dengan isu-isu global yang berkembang pada saat ini sebagai satu keniscayaan yang harus direspons mau tidak mau, suka tidak suka pengaruh global akan masuk. Yang penting, bagaimana secara konsisten kita mengorientasikan respons kita terhadap isu global yang memang tidak mungkin tidak masuk karena keniscayaan. Agar orientasi respons isu global tetap berada pada nilai-nilai yang disepakati bersama dan tidak keluar dari kesadaran, semangat tentang keberadaan kita sebagai bangsa yang kemudian bernegara perlu dijaga agar tetap berada dalam bingkai NKRI. Sasaran sosialisasi Pancasila adalah seluruh rakyat atau komponen bangsa karena Pancasila adalah milik kita bersama sekaligus dasar negara NKRI yang harus dipahami, untuk selanjutnya dilaksanakan secara konsisten dalam hidup berbangsa dan bernegara oleh setiap warga negara tanpa kecuali. Di samping itu, diperlukan metode yang tepat untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila yang lebih cocok dengan situasi saat ini melalui konsep-konsep untuk dikaji secara konseptual guna memecahkan permasalahan terhadap fenomena yang muncul yang disesuaikan dengan dinamika masyarakat. Pendekatan humanis perlu lebih dikedepankan, kebebasan menyatakan pendapat perlu ditambahkan dan tidak lagi menggunakan pendekatan indoktrinatif. Pancasila bukan milik seseorang atau golongan atau sekedar penemuan satu orang, melainkan benar-benar mempunyai akar di dalam sejarah dan batin seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah RI dengan tegas menyatakan bahwa Pancasila berfungsi sebagai jati diri dan wujud kepribadian seluruh bangsa. Pancasila janganlah hanya dimiliki, tetapi harus dipahami dan dihayati agar dapat diamalkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

 

Daftar Pustaka

Kaelan, Filsafat Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Paradigma, Yogyakarta, 2002

Eli Susanti, 2011, Kebebasan Beragama Dan Demokratisasi Di Indonesia

Hukum, moral dan Politik, Materi Studium Generale untuk Martikulasi Program Doktor Bidang Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 23 Agustus 2008

Marzuki Ali, Pemahaman Etika dan Moral Pancasila, Error! Hyperlink reference not valid.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Faktor Sosial, Ekonomi, Dan Politik, ,  Di Poskan Oleh Sigit Priambodo http://filsafat.kompasiana.com /2011/03/27/pemahaman-etika-dan-moral-bangsa/

Tinggalkan Balasan