PERLINDUNGAN MEREK DAN PENGARUHNYA BAGI
PERLINDUNGAN KONSUMEN
LILI HALIM
A. Pengantar
Dalam perkembangannya merek hanyalah sebuah tanda agar konsumen dapat membedakan produk barang/jasa satu dengan yang lainnya. Melalui merek konsumen lebih mudah mengingat sesuatu yang dibutuhkan, dan dengan cepat dapat menentukan apa yang akan dibelinya.
Secara filosofis merek dapat membangun image baik dan buruk sebagai bagian dari nilai good-will perusahaan. Hal ini menunjukan bahwa pesatnya pertumbuhan dalam bidang perekonomian terutama dalam bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah banyak menghasilkan berbagai variasi barang dan jasa termasuk berbagai jenis produk dengan berbagai jenis merek yang beredar di tengah masyarakat perkotaan maupun pedesaan. Hal ini menimbulkan kebebasan dalam hal memilih berbagai jenis merek produk tertentu dan kualitasnya sesuai dengan kemampuan serta keinginan konsumen[1].
Dalam perkembangannya posisi seorang konsumen selalu lebih lemah dibandingkan posisi seorang produsen. Salah satu faktor utama lemahnya kedudukan seorang konsumen adalah masih rendahnya tingkat pendidikan atau pengetahuan masyarakat dalam bidang perlindungan konsumen sehingga konsumenkurang mencermati merek dari suatu produk tertentu yang dikonsumsinya.
Hal ini menyebabkan konsumen hanya dijadikan obyek bisnis dalam rangka meraih keuntungan sebesar-besarnya. Kondisi ini dapat dilihat dari dua produk mie instant dibawah ini. Dimana, mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa kedua merek tersebut sebenarnya berasal dari perusahaan yang berbeda. Sekilas produk tersebut memang sama, dilihat dari corak dan warna hurufnya pun hampir sama, tetapi setelah diamati terdapat perbedaan penulisan pada kata sedap di mana yang satu menuliskan dengan aa dan satunya lagi aaa.
Jika di pasaran, konsumen yang kurang teliti akan menganggap kedua produk tersebut sama karena sebenarnya kata-kata sedap lah yang biasa didengar dan muncul di benak konsumen. Oleh karena itu saat mereka melihat tulisan sedap yang tertera di kemasan, tanpa sempat memperhatikan jumlah huruf “a” nya, mereka langsung membeli produk tersebut.
Hal tersebut dapat dilihat dalam bambar dibawah ini:
(1) | (2) |
Kondisi tersebut menyebabkan beberapa konsumen menganggap Mie Sedaap dan Supermi Sedaaap adalah satu produsen, apalagi Supermi bisa dikatakan sebagai induk dari semua mi instant di Indonesia, jadi bukan suatu hal yang mustahil jika masyarakat akhirnya lebih memilih Supermi yang lebih punya nama dibandingkan dengan Mie Sedaap yang asli. Hal ini tentunya sangat merugikan produsen mie sedaap karena adanya persamaan pada pokoknya tersebut dapat berdampak pada merosotnya omzet penjualan produk Mie Sedaap itu sendiri. Selain itu, juga merugikan konsumen yang memang menggemari “Mie Sedaap” karena mereka merasa tertipu apabila mereka salah membeli produk hanya karena tidak memperhatikan jumlah huruf “a” pada merek[2].
Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan daridari tulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen yang keliru dalam menggunakan atau mengkonsumsi suatu produk dengan merek tertentu ?
B. Pembahasan
1. Tinjauan Tentang Merek
a. Definisi Merek
Merek menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek adalah tanda atau simbol yang dapat berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Sementara itu, menurut A.B Susanto. dan Wijanarko, merek adalah nama atau simbol yang diasosiasikan dengan produk atau jasa dan menimbulkan arti psikologis atau asosiasi[3]. Hal ini menunjukan bahwa produk adalah apa yang dibuat oleh pabrik. Sedangkan, apa yang sesungguhnya dibeli oleh konsumen/pelanggan adalah mereknya. Dengan demikian merek bukan hanya apa yang dibentuk oleh produk atau kemasannya, tetapi juga apa yang ada di benak konsumen dan bagaimana konsumen mengasosiasikan[4].
Berdasarkan definisi merek menurut undang-undang di atas, dapat diketahui unsur-unsur apa saja yang harus dipenuhi dalam menentukan sesuatu sebagai merek. Penjelasan berikut ini adalah Ilustrasi yang dapat diuraikan berdasarkan isi pasal tersebut. Merek adalah tanda atau simbol, yang berupa:
(1) Gambar. Misalnya merek yang menggunakan gambar gajah, hal ini bisa dilihat pada merek sarung Gajah Duduk ;
(2) Nama. Merek yang menggunakan nama orang untuk merek parfum misalnya Charlie, atau coklat Van Houten dan lain-lain;
(3) Kata. Merek yang menggunakan kata, misalnya Family untuk merek kue ;
(4) Angka. Misalnya, angka 555 digunakan sebagai merek rokok;
(5) Huruf. Misalnya kumpulan huruf-huruf. Merek ABC untuk macam-macam produk makanan dan minuman;
(6) Susunan warna. Susunan warna merah, hijau, kuning, biru. Misalnya warna pelangi yang digunakan untuk merek pensil berwarna;
(7) kombinasi dari itu semua dari nomor (1) – (6). Misalnya pada kemasan rokok Djie Sam Soe. Ada kumpulan kata, simbol beberapa bintang, angka 234[5].
Sementara itu, secara teknis ada beberapa macam bentuk merek, yaitu:
(1) Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya (Pasal 1 angka 2 UU No 15 Tahun 2001).Misalnya Toyota.
(2) Merek barang atau jasa, adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya. misalnya merek yang digunakan atau dilekatkan pada barang atau jasa atau kemasannya yang diperdagangkan. Misalnya merek Kijang, Tiki (jasa pengiriman)/ (Pasal 1 angka 3 UU No 15 Tahun 2001) .
(3) Merek Kolektif adalah Merek yang digunakan pada barang dan atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya. Misalnya Ayam Suharti, Es Teller 77, dll (Pasal 1 angka 4 UU No 15 Tahun 2001).
b. Perlindungan Hukum Terhadap Merek
Salah satu satu aspek yang berperan didalam memberikan perlindungan hukum terhadap suatu merek tertentu adalah pendaftaran merek. Pendaftaran merek penting, karena dapat berguna sebagai alat bukti yang sah atas merek terdaftar. Selain itu, menurut Pasal 6 UU No 15 tahun 2001 pendaftaran merek juga berguna sebagai dasar penolakan terhadap merek yang sama keseluruhannya atau sama pada pokoknya yang dimohonkan oleh orang lain untuk barang atau jasa sejenis. Selain itu, sebagai dasar mencegah orang lain memakai merek yang sama pada pokoknya atau secara keseluruhan dalam peredaran barang atau jasa.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seseorang akan memiliki hak terhadap suatu merek tertentu jika ia telah melakukan pendaftaran terhadap merek tersebut. Dimana, jika terdapat dua orang atau lebih mengklaim atau menyatakan hak terhadap suatu merek tertentu, maka pihak yang telah melakukan pendaftaran terhadap merek tersebutlah yang berhak atas merek.
Tidak semua merek dapat didaftarkan. Dimana, merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beretikad tidak baik. Pemohon beritikad tidak baik adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara tidak layak dan tidak jujur, ada niat tersembunyi misalnya membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran menimbulkan persaingan tidak sehat dan mengecohkan atau menyesatkan konsumen[6].
Pasal 5 UU No 15 tahun 2001 tentang Merek menyatakan bahwa merek tidak dapat didaftar bila:
a) tanda yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Misalnya kata atau lukisan/gambar yang melanggar kesusilaan, menyinggung kehormatan dan perasaan agama;
b) merupakan tanda yang terlalu sederhana dan tidak memiliki daya pembeda. Contohnya garis atau titik. Terlalu rumit, misalnya benang kusut, susunan puisi;
c) tanda yang sudah menjadi milik umum. Misalnya jempol;
d) tanda yang merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang yang dibubuhi merek tersebut. Misalnya gambar jeruk untuk sirup jeruk mengandung rasa jeruk;
Selain itu, permohonan suatu merek harus ditolak dengan alasan mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang/jasa sejenis dengan alasan (Pasal 6 ayat (1)UU No 15 tahun 2001):
a) ada merek pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu.
b) ada merek yang sudah terkenal milik pihak lain.
c) berkaitan dengan indikasi geografis yang sudah terkenal.
Yang dimaksud dengan Persamaan Pada Pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antar merek yang satu dan merek lainnya. Menurut yurisprudensi persamaan pada pokoknya adalah sebagai berikut[7]:
a) Persamaan pada pokoknya yang menyangkut bunyi. Misalnya kasus Salonpas dengan Sanoplas. Akhirnya merek Sanoplas harus dihapus; Merek Sony dengan Sonni.
b) Persamaan pada gambar. Misalnya kasus Miwon dan Ajinomoto yang keduanya bergambar mangkok merah, walau mangkok dalam posisi berbeda.
c) Persamaan yang berkaitan dengan arti sesungguhnya.
d) Persamaan pada pokoknya karena tambahan kata. Misalnya kasus minuman air mineral Aqua dengan Aquaria.
e) Indikasi Geografis. Misalnya Kopi Toraja yang berasal dari daerah Toraja. Brem Bali dari Bali, Batik Pekalongan dari Pekalongan, dan lain-lain.
Selain itu, Permohonan Pendaftaran merek juga harus ditolak bila Merek tersebut merupakan[8]:
a. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;
b. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang;
c. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
Berdasarkan berbagai uraian tersebut, dapat diketahui bahwa apabila konsumen membeli atau memanfaatkan suatu produk lain yang mirip dengan produk yang diasosiasikannya maka hal tersebut menunjukan bahwa konsumen tidak mendapatkan perlindungan sebagai seorang konsumen.
2. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :
1). Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2). Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3). Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
4). Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5). Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Terkait dengan kelima asas ini, maka menurut Miru dan Yodo, bahwa kelima asas diatas jika dikaji substansinya maka dapat dibagi dalam tiga asas[9], yaitu:
1). asas kemanfaatan yang juga meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen
2). asas keadilan yang juga meliputi asas keseimbangan
3). asas kepastian hukum
Pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), menyatakan bahwa Perlindungan konsumen bertujuan :
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;
f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Lebih lanjut, Pasal 4 UUPK menetapkan bahwa Hak konsumen adalah :
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sementara itu, Pasal 7 UUPK menetapkan bahwa Kewajiban pelaku usaha adalah :
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Dalam Pasal 8 UUPK ditetapkan bahwa:
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
3. Pengaruh Perlindungan Merek terhadap Perlindungan Konsumen
Istilah “konsumen” secara formal definisinya dapat kita temukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Dalam ketentuan UUPK yang dinamakan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahkluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Sedangkan pengertian dari pelaku usaha dapat ditemukan pada ketentuan Pasal 1 butir 3 yang intinya adalah mereka (baik perorangan maupun badan usaha) yang menyelenggarakan kegiatan dalam bidang ekonomi.
Secara umum lahirnya peraturan dalam bidang perlindungan konsumen ini merupakan suatu bentuk upaya pemerintah untuk menjaga iklim usaha yang sehat dan upaya terciptanya keseimbangan kedudukan antara pelaku usaha dan para konsumen. Sebab seperti telah lama diketahui, bahwa pesatnya perkembangan dalam bidang perindustrian dan perdagangan mengakibatkan kedudukan yang tidak seimbang antara pelaku usaha dengan konsumen, dimana konsumen cenderung hanya menjadi obyek bisnis untuk meraih keuntungan. Oleh karena itu, dalam UU ini dimuat ketentuan mengenai hak dan kewajiban, baik bagi para pelaku usaha maupun bagi para konsumen.
Terkait dengan perlindungan konsumen, maka pelanggaran terhadap hak merek dapat memberikan dampak yang cukup fatal bagi konsumen, hal ini disebabkan karena merek memiliki keterkaitan dengan kebutuhan konsumen[10].
Menurut Miru dan Yodo pengaturan mengenai penggunaan merek dapat memberikan pengaruh terkait dengan pemakaian barang tertentu yang terindikasi memiliki kesamaan dengan merek yang telah ada, ataupun merek yang terindikasi merupakan merek palsu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa konsumen yang telah terbiasa menggunakan merek-merek tertentu akan mengalami kerugian karena mengkonsumsi secara keliru barang tertentu yang kualitasnya berbeda dengan biasanya.
Dengan demikian bahwa, agar konsumen dapat diberikan perlindungan sehingga tidak keliru didalam mengkonsumsi suatu produk, maka salah satu unsur yang menentukan bahwa suatu merek memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya, adalah dapat menyebabkan kekeliruan dan kekacauan bagi khalayak ramai[11].
Dimana, suatu merek tertentu yang terindikasi:
a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau sejenisnya.
c. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal[12].
Persamaan Pada Pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antar merek yang satu dan merek lainnya. Menurut yurisprudensi persamaan pada pokoknya adalah sebagai berikut[13]:
a) Persamaan pada pokoknya yang menyangkut bunyi. Misalnya kasus Salonpas dengan Sanoplas. Akhirnya merek Sanoplas harus dihapus; Merek Sony dengan Sonni.
b) Persamaan pada gambar. Misalnya kasus Miwon dan Ajinomoto yang keduanya bergambar mangkok merah, walau mangkok dalam posisi berbeda.
c) Persamaan yang berkaitan dengan arti sesungguhnya.
d) Persamaan pada pokoknya karena tambahan kata. Misalnya kasus minuman air mineral Aqua dengan Aquaria.
e) Indikasi Geografis. Misalnya Kopi Toraja yang berasal dari daerah Toraja. Brem Bali dari Bali, Batik Pekalongan dari Pekalongan, dan lain-lain.
Dengan demikian, maka segala bentuk merek yang terindikasi memiliki kemiripan dengan suatu merek yang terlebih dahulu ada berdampak memberikan kerugian bagi pelaku usaha yang memiliki merek yang telah ada terlebih dahulu, maupun bagi kkonsumen.
Kerugian bagi pelaku usaha yang memiliki merek yang ditiru yaitu, pemasaran produknya dapat terganggu. Dimana karena konsumen mengalami kekeliruan dalam membeli produk yang mirip tersebut, maka produk yang asli mengalami penurunan penjualan, hal ini tentunya menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha tersebut. Sementara itu, bagi konsumen yang keliru dalam membeli produk dapat mengakibatkan tidak adanya kepuasan dalam menikmati produk tersebut karena kualitas produk yang dihasilkan berbeda walaupun mirip. Hal ini menunjukan bahwa baik secara hukum maupun psikologis, produsen bertanggung jawab terhadap konsumen terkait dengan suatu merek produk yang dihasilkan.
Terkait dengan itu, maka menurut Prasetya bahwa tujuan penggunaan merek agar konsumen dapat mengetahui siapa yang memproduksi atau memperdagangkan barang tersebut. Dengan demikian, merek merupakan tanda bagi konsumen untuk dapat mengetahui dan menilai kualitas barang atau jasa tertentu berdasarkan pengalaman menggunakan merek tersebut. Berdasarkan hal inilah maka, suatu merek tertentu dapat memberikan pengaruh terhadap konsumen untuk selalu menggunakan merek tersebut karena konsumen merasa aman untuk menggunakan merek tersebut. Hal ini tentunya akan memberikan pengaruh terhadap keuntungan bagi sang produsen[14].
Sementara itu, mengenai kewajiban konsumen diatur juga yaitu dalam pasal 5 UUPK, antara lain menyatakan :
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Jika dicermati ketentuan dari Pasal 5 tersebut, maka jelas bahwa tanggung jawab dalam hal keselamatan produk tidak hanya dibebankan sepenuhnya pada pihak pelaku usaha atau produsen. Pihak konsumen sebagai pengguna produk juga mempunyai kewajiban untuk mengupayakan keselamatan dirinya dalam mengkonsumsi produk-produk yang dihasilkan oleh produsen, yaitu dengan melakukan upaya kehati-hatian sebelum membelinya.
Dengan demikian, pengetahuan konsumen terhadap merek tertentu dengan kualitas tertentu pula akan membangun hubungan antara konsumen dengan barang atau jasa pada masa-masa yang akan datang. Hal ini akan berdampak bagi penggunaan barang dengan merek tersebut oleh konsumen secara kontinyu akan memberikan keuntungan bagi produsen[15].
Terkait dengan itu, maka upaya penyadaran dalam hal perlindungan konsumen harus melibatkan produsen dan konsumen. Sehingga tanggung jawab untuk menjaga keselamatan dan kenyamanan bagi para pengguna produk (sesuai ketentuan pasal 4 UUPK) dapat berjalan dengan seimbang. Sementara itu, fakta di lapangan masih sedikit upaya sosialisasi mengenai aspek kewajiban masyarakat selaku konsumen sebagai bagian dari sistem perlindungan konsumen yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan demikian upaya untuk menciptakan suatu perlindungan hukum yang dapat menumbuhkan iklim usaha dan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen dapat terwujudkan.
C. Penutup
Pengaturan mengenai penggunaan merek dapat memberikan pengaruh terkait dengan pemakaian barang tertentu yang terindikasi memiliki kesamaan dengan merek yang telah ada, ataupun merek yang terindikasi merupakan merek palsu. Dimana, pendaftaran merek merupakan salah satu upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen. Dengan didaftarkannya suatu merek tertentu maka dapat dijadikan sebagai dasar penolakan terhadap merek yang sama keseluruhannya atau sama pada pokoknya yang dimohonkan oleh orang lain untuk barang atau jasa sejenis. Selain itu, dapat dijadikan dasar mencegah orang lain memakai merek yang sama pada pokoknya atau secara keseluruhan dalam peredaran barang atau jasa.
Hal ini bermanfaat, agar konsumen dapat mengetahui siapa yang memproduksi atau memperdagangkan barang tersebut. Dengan demikian, merek merupakan tanda bagi konsumen untuk dapat mengetahui dan menilai kualitas barang atau jasa tertentu berdasarkan pengalaman menggunakan merek tersebut. Berdasarkan hal inilah maka dapat memberikan pengaruh terhadap konsumen untuk selalu menggunakan merek tersebut, sehingga pada akhirnya dapat memberikan keuntungan bagi produsen, sekaligus memberikan kenyamanan bagi konsumen dalam menggunakan merek dari suatu produk tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
AB Susanto dan Himawan Wijanarko, 2008, disarikan dari “Power Branding: Membangun Merek Unggul dan Organisasi Pendukungnya” Jakara: Mizan Pustaka.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Minesota departement of Trade and Economic Development dalam Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Ruhi Prasetya dalam Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sudarga gautama, dalam Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=23&id=5212
http://moo-ach.blogspot.com/2010/02/tugas-analisis-kasus-hukum-merek-dagang.html
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
[3]AB Susanto dan Himawan Wijanarko, 2008, disarikan dari “Power Branding: Membangun Merek Unggul dan Organisasi Pendukungnya” Jakara: Mizan Pustaka, hlm 5-6.
[7] Ibid
[8]Pasal 6 ayat (3) UU No 15 tahun 2001
[9] Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hl.26
[10]Ibid, hl. 72
[11]Sudarga gautama, dalam Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hl. 73
[12]Pasal 6 UU No 15 Tahun 2001 tentang Merek
[13] Ibid
[14]dalam Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hl. 74
[15] dalam Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hl. 75