Prinsip-Prinsip Good Governance Dalam Pengelolaan Wilayah Laut
Sherlock Halmes Lekipiouw, S.H.,M.H
- PENDAHULUAN
Dalam ketentuan Pasal 25A UUD NRI Tahun 1945, disebutkan bahwa
"Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang".
Konsep Wilayah Negara yang diadopsi ke dalam gagasan Pasal 25A UUD NRI Tahun 1945 dapat dipahami adanya dua elemen pokok, yakni pertama tentang penegasan terhadap "Prinsip Negara Kepulauan" dan kedua tentang "Ciri Nusantara".
Terhadap yang Pertama, dapat diketahui bahwa Prinsip Negara Kepulauan telah melahirkan konsepsi tentang wawasan nusantara, dimana laut bukan lagi sebagai pemisah tetapi pemersatu bangsa Indonesia dan sikapi sebagai wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demikian halnya juga dengan yang Kedua mengenai Ciri Nusantara menggambarkan adanya rangkaian pulau-pulau dan wilayah perairan dan laut di antara pulau-pulau itu, termasuk segala isi yang terkandung di dalam air, di daratan, dan di udara di atasnya[1]. dalam pengertian yang demikian, menurut Jacub Rais[2], yakni :
" bahwa wilayah laut nusantara bukan lagi sebagai pemisah, akan tetapi sebagai alat pemersatu bagi bangsa Indonesia dan memiliki makna dan fungsi yang sangat berarti serta disikapi sebagai wilayah kedaulatan mutlak Negara Kesatuan Republik Indonesia"
Pengaturan lebih lanjut mengenai Wilayah Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut diatas, diatur di dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008[3]. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1, disebutkan bahwa :
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut sebagai wilayah negara adaalah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara diatasnya, termasuk seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Sementara itu, ruang lingkup dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah meliputi wilayah darat, wilayah perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya[4].
Disamping itu, Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, menentukan pula bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat"
Makna dalam frasa ”dikuasai oleh negara” dimaknai sebagai bagian dari fungsi mengatur (regelendaad) dan fungsi negara sebagai pengelola (beheersdaad) sebagai bagian dari tanggung jawab negara. Pengurusan yang dimaksud adalah kewenangan negara (pemerintah) untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licencie), dan konsesi (concessie). Fungsi tersebut juga berkonsep dengan tanggung jawab negara semata-mata, tetapi juga sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi manusia.
Dalam persfektif konsep hak asasi manusia, dalam hal hubungan negara dengan warganya, rakyat berposisi sebagai pemegang hak (right holder), sementara di sisi lain negara berkedudukan sebagai pengemban kewajiban (duty holder), dimana kewajiban negara yang mendasar adalah melindungi dan menjamin hak asasi warganya (rakyat) segaimana dijamin oleh konstitusi (undang-undang dasar).
Selain itu, rumusan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 ini tidak saja mencakup adanya Hak Menguasai Negara[5] akan tetapi mencakup pula di dalamnya adalah tanggung jawab negara pengelolaan wilayah negara (termasuk wilayah laut dan pesisir) beserta seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945[6].
Tanggung jawab dalam pengelolaan wilayah laut mencakup 2 (dua) hal penting yakni pertama, faktor eksternal yaitu menata batas-batas maritim dengan negara-negara tetangga sesuai dengan ketentuan internasional yang berlaku, dan kedua, faktor internal yaitu menata wilayah laut, khususnya batas-batas peruntukan lahan laut sebagai suatu pengaturan pemanfaatan lahan laut yang mengakomodasi semua kepentingan dengan tetap mengutamakan asas persatuan dan kesatuan bangsa.[7]
Kedua faktor diatas, merupakan hal pokok sebagai kosekuensi dari keberadaan Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan. Oleh karena itu, pengelolaan wilayah laut dimaksudkan untuk dapat memanfaatkan nilai dan manfaat dari sumber daya laut dan pesisir bagi pengembangan wilayah nasional secara berkelanjutan serta menjamin kepentingan umum secara luas (public interest).
Beranjak dari uraian diatas, dapat kita ketahui bahwa penetapan dan penataan batas wilayah laut bagi Indonesia secara eksternal akan berakibat yuridis bagi negara lain untuk menghormati hak-hak dan kedaulatan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan secara internal tentunya berkonsep dengan pengaturan mengenai batas-batas pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut yang didasarkan pada batasan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
Dalam perkembangannya, pengelolaan wilayah laut tidak mendapatkan pengaturan yang jelas dan masih bersifat sektoral[8], sehingga menimbulkan perbedaan penafsiran dan pemahaman tentang wewenang pengelolaan wilayah laut dalam hubungan dengan sistem penataan ruang nasional. Salah satu sebab ketidakjelasan ini tentunya adalah pengaturan wewenang pemerintahan (bestuursbevoegheid) dalam pengelolaan wilayah laut.
Wewenang itu sendiri dimaknai dalam konsep hukum publik sehingga dalam konsep yang demikian wewenang merupakan dasar bagi pengelolaan wilayah laut. Hal ini berarti bahwa perolehan dan penggunaan wewenang dalam pengelolaan wilayah laut (termasuk mengenai pengaturan tata ruang wilayah laut), dapat dilakukan apabila berdasarkan ketentuan perundang-undangan pemerintah memiliki kewenangan untuk itu.
Seperti dikatakan oleh Philipus M.Hadjon[9] bahwa Dalam konsep hukum publik wewenang merupakan suatu konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi. Dalam hukum tata negara wewenang (bevoegheid) didiskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). jadi dalam konsep hukum publik wewenang berkaitan dengan kekuasaan.
Sebagai konsep hukum publik, wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu :
- Komponen pengaruh;
- Komponen dasar hukum; dan
- Komponen konfrimitas hukum.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum. Komponen dasar hukum, bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya dan komponen konfrimitas hukum, mengandung makna adanya standar wewenang, yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu) [10]
Terkait kewenangan publik, dalam konsep hukum administrasi juga dikenal tiga macam penggunaan kewenangan publik yaitu: kewenangan mengatur, mengontrol, dan pemberian sanksi atau penegakan hukum.[11] Lebih lanjut dijelaskan bahwa : [12]
Kewenangan mengatur berkaitan dengan pemberian beban pada masyarakat untuk menjaga ketertiban. Kewenangan mengatur dapat dilakukan melalui undang-undang dalam arti formal (legislasi), atau dilakukan melalui pembentukan aturan umum atas kuasa delegasinya (regulasi). Kewenangan mengontrol dilakukan dengan cara membuat batasan-batasan (restrictions) tertentu pada masyarakat. Kewenangan pemberian sanksi pada dasarnya adalah pembebanan atau perampasan hak asasi. Dalam konsep hukum publik perampasan hak asasi hanya dapat dilakukan oleh undang-undang. Sanksi merupakan alat pemaksa yang diperlukan untuk menjalankan kewenangan mengatur dan mengontrol agar aturan ditaati. Sanksi juga dapat dikatakan sebagai alat penegakan hukum pada ketentuan yang berisi larangan atau kewajiban.
Sebagaimana jelaskan sebelumnya bahwa salah satu sebab ketidakjelasan ini tentunya adalah pengaturan wewenang pemerintahan (bestuursbevoegheid) dalam pengelolaan wilayah laut. Ketidakjelasan pengaturan tersebut juga tentunya akan berakibat pada tidak adanya aturan mengenai penataan ruang wilayah laut.
Apabila dicermati dengan jelas, dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007[13], tidak ditemukan secara eksplisit maupun implisit berkenaan dengan pengelolaan wilayah laut terutama berkaitan dengan pengaturan tata ruang wilayah laut. Hal ini tercermin dalam rumusan Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, yang menyebutkan bahwa dalam pengelolaannya “ruang laut” diatur dengan undang-undang tersendiri.
Pengaturan yang demikian secara substantif bertentangan dengan pola pengaturan tata ruang itu sendiri sebagai satu kesatuan yang dilakukan secara berjenjang dan komplementer sebagaimana dimaksudkan dalam Ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007[14]
Ketentuan tersebut, menghendaki adanya sinergitas dalam proses penataan ruang yang meliputi wilayah darat, laut dan udara sehingga akan bersinergi satu dengan yang lain guna menghindari tumpang tindih kewenangan dalam penyelenggaraan penataan ruang itu sendiri.
Ulasan mengenai pentingnya pengaturan mengenai pengelolaan wilayah laut dalam konstek pengaturan tata ruang laut, perlu kita perhatikan pendapat sebagaimana dikemukakan oleh Dina Sunyowati[15], yang menyatakan bahwa:
”… meski secara aktual penataan terhadap ruang laut dan dan ruang udara hampir tidak pernah dilakukan, namun pencantuman kedua ruang tersebut dalam undang-undang perlu dilakukan, karena secara geopolitik ketiganya merupakan satu kesatuan geografis yang tidak dapat dipisahkan dan berkaitan dengan kedaultan negara”
Dari pendapat tersebut diatas, dapat dipahami bahwa seyogyanya proses penataan ruang tidak hanya mengatur mengenai ruang daratan semata akan tetapi haruslah meliputi di dalamnya juga adalah ruang laut dan ruang udara sebagai satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena hal tersebut menyangkut pula dengan kedaulatan negara.
Namun demikian, tidak ditemukan secara ekplisit maupun implisit berkenaan dengan pengaturan mengenai pengelolaan wilayah laut terutama berkonsep dengan pengelolaan wilayah laut, termasuk pengaturan mengenai wewenang, serta upaya-upaya yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan dalam hal ini pemerintah (pusat dan daerah) maupun para stakeholders lainnya dalam pemanfaatan ruang pada wilayah laut.
Pengaturan yang demikian sangat penting sebagai upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pembangunan dibidang kelautan yang dilaksanakan oleh berbagai sektor terkait serta penyesuaian terhadap ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan (baik yang berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan pengelolaan wilayah laut yang saling melengkapi dan mengintegrasikan serta menghindari terjadinya tumpang tindih kewenangan[16] dan benturan kepentingan[17].
Dalam perkembangan mengenai wilayah laut hingga saat ini masih menimbulkan ketidakjelasan dalam pengaturannya. Hal ini menimbulkan pertentangan-pertentangan dan konflik dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut itu, termasuk adanya konflik norma dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan wilayah laut yang lebih banyak tersebas pada masing-masing sektor (bidang). Padahal ketidakjelasan batas suatu kaidah hukum akan berpengaruh pada jaminan kepastian hukum (rechtszekerheid).[18]
Kaidah hukum (rechtsnorm) dalam hal ini diartikan sebagai isi dari aturan hukum (rechtsregel).[19] Isi kaidah (norm inhoud) adalah keseluruhan ciri (unsur-unsur) yang mewujudkan kaidah itu, sedangkan lingkup kaidah (norm omvang) adalah wilayah penerapan (toepassingsgebied) kaidah yang bersangkutan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada dua dalil yaitu:[20]
- Isi kaidah menentukan wilayah penerapan
- Isi kaidah berbanding terbalik dengan wilayah penerapan.
Sedangkan terkait dengan “kepastian hukum” perlu kita perhatikan pendapat sebagaimana dikemukakan oleh Tatiek Sri Djatmiati,[21] yakni bahwa :
”Kepastian hukum (rechtszekerheid) secara lebih tegas dengan kata reele rechtszekerheid (kepastian hukum riil). Yang dimaksudkan dengan reele rechtszekerheid tidak hanya het juridische rechtszekerheid begrip (konsep kepastian hukum), tetapi lebih dari pada itu meliputi, (i) Adanya aturan hukum yang konsisten dan dapat diterapkan, yang diterapkan oleh negara; (ii) Aparat pemerintah menerapkan aturan hukum tersebut secara konssiten dan berpegang pada aturan hukum tersebut; (iii) Sebagain besar rakyat pada dasarnya konfrom pada aturan tersebut (iv) Hakim yang bebas dan tidak memihak secara konsisten menerapkan aturan hukum tersebut; dan (v) Putusan hakim dilaksanakan secara nyata”
Dari unsur-unsur tersebut diatas, tampak bahwa dalam konsep yuridis, kepastian hukum mengandung dua komponen utama yaitu, aturan hukum yang konsisten yang dibuat oleh negara dan penerapan hukum secara konsisten[22].
Beranjak dari uraian diatas, maka terlihat adanya pertentangan isi dari aturan-aturan hukum terkait dengan pengelolaan wilayah laut. Sesuai kedua dalil di atas, semakin sedikit isi kaidah hukum memuat ciri (unsur-unsur), semakin besar wilayah penerapan hukumnya. Sebaliknya semakin banyak isi kaidah hukum memuat ciri (unsur-unsur), semakin kecil wilayah penerapan hukumnya.[23]
Dari uraian ini tampak bahwa unsur utama terkait pertentangan kaidah adalah diperlukannya aturan hukum konsisten dan yang diterapkan secara konsisten. Aturan hukum dan penerapan yang tidak konsisten akan mempengaruhi jaminan kepastian hukum (rechtszekerheid), sedangkan jaminan kepastian hukum diperlukan dalam pengelolaan wilayah laut guna meminimalisir potensi konflik dan benturan kepenitngan dari berbagai stakehodres dalam pengelolaan wilayah laut.
Dalam konteks pengelolaan wilayah laut, kebutuhan akan adanya pengaturan hukum yang jelas dan tegas pengaturan tata ruang pada wilayah laut, mengingat hal tersebut berpengaruh terhadap penggunaan wewenang pemerintah (pusat dan daerah) dalam pengaturan tata ruang wilayah itu sendiri[24].
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa pengelolaan wilayah laut dimaksudkan untuk dapat memanfaatkan nilai dan manfaat dari sumber daya laut dan pesisir bagi pengembangan wilayah nasional secara berkelanjutan dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan (pelayanan publik) serta menjamin kepentingan umum secara luas (public interest).
Dalam kajian hukum administrasi, konsep pelayanan publik (public service), menurut Tatiek Sri Djatmiati[25] adalah:
"The publik service was an activity of the state (later extended to local goverment and public corporations) in brave public service is a legal strukturre by which a need of public interest is satisfied"
Lebih lanjut dijelaskan bahwa terdapat 4 (empat) elemen penting dalam pelayanan publik, yaitu :[26]
- the purpose for which an activity is under taken (the public interest)
- the institution which decides it of to under taken (the state or another public body)
- the mechanism by which this under taken (the use of public power, la puissance publique, or contract)
- and those who are involved in providing the service (the civil service, la fuction publique, or private person)
Sementara itu berkenaan dengan pelaksanaan fungsi pemerintahan, maka hal tersebut berkaitan erat dengan konsep Good Governance. Philipus M. Hadjon[27], mengemukakan bahwa dalam sudut paandang hukum administrasi berkatian dengan aktifitas pelaksanaan fungsi untuk menyelenggarakan kepentingan umum.
E. Utrecht[28] menyebutkan bahwa penyelenggaraan kepentingan umum oleh negara dapat dilakukan melalui beberapa tindakan yaitu:
"administrasi negara sendiri; subyek hukum (badan hukum) lain yang tidak termasuk administrasi negara dan yang mempunyai hubungan istimewa atau hubungan biasa dengan pemerintah, baik diatur dengan hukum publik maupun privat, seperti penanaman modal asing; subyek hukum lain yang tidak termasuk administrasi negara dan yang menyelenggarakan pekerjaan berdasarkan suatu konsesi (concessie) atau berdasarkan suatu izin (vergunning) yang diberikan oleh pemerintah; subjek hukum yang lain yang tidak termasuk administrasi negara dan yang diberi subsidi pemerintah, seperti sekolah swasta; pemerintah bersama-sama dengan subjek hukum lain (beberapa subjek hukum) yang tidak termasuk administrasi negara dan kedua belah pihak itu bergabung dalam bentuk kerja sama tertentu yang diatur dalam hukum privat atau menempatkan tenaga pengawas; yayasan yang didirikan atau diawasi pemerintah; koperasi didirikan atau diawasi pemerintah; perusahan negara; subjek hukum lain yang tidak termasuk administrasi negara tetapi diberi suatu kekuasaan pemerintah (delegasi perundang-undangan).
Pada bagian tulisanya yang lain, Philipus M. Hadjon[29] mengemukakan bahwa :
"Good Governance berkenaan dengan penyelenggaraan tugas dasar pemerintahan yaitu (1) menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat (to guarante the security of all persons and society itself); (2) mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor publik, sektor swasta dam masyarakat (to manange an effective framwork fo the public sector, the private sector and sicil society); and (3) memajukan sarana ekonomi, sosial dan bidang lainnya sesuai dengan kehendak rakyat (to promote economic, social and other aims in accordance wiyh the wishes of the population)"
Beranjak dari pendapat tersebut diatas, konsepsi mengenai good governance menjadi bagian penting yang dapat dijadikan landasan dalam merumuskan prinsip-prinsip berkatian dengan pengelolaan wilayah laut. Makna prinsip, dalam bahasa inggris adalah principle (jamak : principles) Prinsip-prinsip yang dimaksudkan disini berkaitan dengan asas dan ratio atau filosofi. Asas atau ratio bukanlah "prinsip hukum" (rechtsbeginsel) [30]. Dengan pengertian tersebut, pembahasan akan dilakukan terhadap masalah pokok yakni prinsip-prinsip good governance dalam kaitan dengan pengelolaan wilayah laut.
Beranjak dari apa yang dikemukakan diatas, maka permasalahan dalam penulisan ini adalah prinsip-prinsip Good Governace dalam pengelolaan wilayah laut. Fokus penulisan ini dimaksudkan untuk menemukan prinsip-prinsip Good Governace dalam pengelolaan wilayah laut.
- ANALISIS
- Konsep dan Karakter Good Governance
Kekuasaan bebas (discretionary power, discretionary bevoegdheid) yang semula seakan-akan tidak terjemah oleh "rechtmatigheidstoetsing" sudah lama ditinggalkan. kriteria hukum (jurisdische criteria) yang digunakan untuk menilai segi "rechtmatigheid" kekuasaan itu di Belanda disebut "Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur"[31] Philipus M Hadjon[32], mengemukakan bahwa :
"dalam hukum administrasi memang diperdebatkan apakah term governance sama dengan administration. dari sudut pandang hukum administrasi, konsep good governance, berkaitan dengan aktifitas pelaksanaan fungsi untuk menyelenggarakan kepentingan umum"
Good Governance berkenaan dengan penyelenggaraan tiga tugas dasar pemerintah yaitu :[33]
- Menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat (to guarantee the security off all persons and society itself)
- Mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor publik, sektor swasta dan masyarakat (to manage an effectivve framwork for the publicsector, the private sector and civil society)
- Memajukan sarana ekonomi, sosial dan bidang lainnya dengan kehendak rakyat (to promote economic, social and other aims in accordance with the wishes of the population)
Disamping itu, UNDP (the United Development Programs) merumuskan karateristik good goverment, yaitu :[34]
(1) participation; (2) rule of law; (3) transparency; (4) responsivenness; (5) consensus orientation; (6) equity; (7) effectiveness and afficiency; (8) ccountability; (9) strategic vicion
Menelaah sembilan karateristik tersebut dari kacamata hukum, khususnya Hukum Tata Negara dan diikuti Hukum Administrasi, 9 karakter tersebut bersumber pada dua landasan utama Hukum Tata Negara, yaitu (1) Asas negara hukum; dan (ii) Asas demokrasi[35]
Dengan demikian, dari sudut pandang Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi, permasalahan istrumen hukum utama dalam mewujudkan good governance, pada hakekatnya adalah fungsi Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi mewujudkan asas negara hukum dan asas demokrasi.
Selanjutnya dalam pendekatan Hukum Administrasi, dengan studi perbandingan, ada tiga pendekatan utama yaitu :[36]
- pendekatan terhadap kekuasaan pemerintah
- pendekatan hak asasi (rights based approach)
- pendekatan fungsionaris
Konsep good governance merupakan konsep yang sangat luas. Oleh karena itu, perlu untuk memahami konsep good governance dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB). Dalam uraiannya mengenai asas-asas umum pemerintahan yang baik (algeme geginselern van behoorlijk bestuur), seperti yang dikeukakan oleh Philipus M. Hadjon[37], yakni apa saja yang termasuk unsur-unsur "behoorlijkheid" yakni :
- asas "fairplay" (het beginsel van fairpaly)
- asas kecermatan (zorgvuldigheid)
- asas sasaran yang tepat (zuiverheid van oogmerk)
- asas keseimbangan (evenwichtigheid)
- asas kepastian hukum (rechtszekerheid)
Selanjutnya dalam yurisprudensi AROB (peradilan administrasi Belanda) asas-asas terkenal meliputi :[38]
- asas pertimbangan (motiveiringsbeginsel)
- asas kecermatan (zorgvuidigheidsbeginsel)
- asas kepastian hukum (rechtszekerheidsbeginsel)
- asas kepercayaan atau asas menanggapi harapan yang telah ditimbulkan (vertrouwensbeginsel of beginsel van opgewekte verwachtingen)
- asas persamaan (gelijkheidsbeginsel)
- asas keseimbangan (gelikheidsbeginsel)
- asas kewenangan (bevoegheidsbeginsel)
- asas fairplay (beginsel van fairplay)
- larangan "detournement de pouvoir" (het verbod van detournement de pouvoir)
- larangan bertindak sewenang-wenang (het verbod van wille keur)
Dalam pemaparan mengenai Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) dalam Korelasinya dengan Hukum Administrasi. Paulus Effendie Lotulung,[39] mengemukakan bahwa terdapat perbedaan dan persamaan antara good governance dan AAUPB dalam hukum administrasi, walaupun tidak dapat disangkal bahwa ada korelasi dan hubungan satu sama lain antara kedua pengertian yang erat.
Terhadap adanya perbedaan dan persamaan antara good governance dan AAUPB, lebih lanjut dijelaskan bahwa :[40]
- Perbedaannya, adalah bahwa kedua pengertian tersebut diatas digolongkan pada ranah disiplin ilmu yang berbeda yaitu good governance termasuk dalam disiplin ilmu Public administration, sedangkan AAUPB termasuk dalam ranah hukum yaitu Administrative Law. good governance bisa terkait pula denagn aspek Rule of Law, dan salah satunya adalah bidang Hukum Administrasi dimana meliputi AAUPB. jadi dapat dikatakan bahwa kriteria good governance merupakan pengertian genus, sedangkan AAUPB merupakan pengertian species-nya yaitu khusus dalam bidang Hukum Administrasi.
- Persamaannya, adalah bahwa kedua ajaran dan pemikiran itu sama-sama bertumpuh pada pemerintahan, yang sama-sama mempunyai idealisme mencapai pemerintahan yang baik walaupun dengan kriteria yang masing-masing lebih spesifik.
Beranjak dari pendapat kedua sarjana tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa dari aspek Hukum Administrasi dapat dipergunakan sebagai dasar bertindak bagi pemerintah didasarkan pada asas-asas pemerintahan menurut hukum (Wen-En Rechtmatig Bestuur), khususnya menyangkut penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara.
Salah satu undang-undang yang dengan komprehensif memuat asas-asas good governance adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan[41] dengan mencantumkan asas kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan di dalam penyelenggaraan kehutanan. Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa :
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, dimaksudkan agar tiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan keadilan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu, dalam pemberian wewenang pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan harus dicegah terjadi praktek monopoli, monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni. Penyelenggaranaan kehutanan berasaskan kebersamaan, dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergis antara masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD, dan BUMS Indonesia, dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, menengah, dan koperasi. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterbukaan dimaksudkan agar setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan mengikutsertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterpaduan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor lain, dan masyarakat setempat.
- Prinsip-Prinsip Good Governance Dalam Pengelolaan Wilayah Laut
Dalam penyelenggaraan pemerintahan berkenaan dengan penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah seyogyanya didasarkan pada norma pemerintahan baik tertulis maupun tidak tertulis yang dalam prakteknya dikenal dengan sebutan Asas-Asas Umum Pemerinatah Yang Baik (Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur). Hal ini tentunya didasarkan pada Pertama, asas bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan (wetmatigheid) yang meliputi wewenang, prosedur dan substansi, dan Kedua, bertindak sesuai dengan AAUPB sebagai hukum tidak tertulis.[42]
Mengacu pada pendapat tersebut diatas, maka dalam konteks pengelolaan wilaya laut perlu diletakan pada penetapan prinsip-prinsip umum (general principles) pemerintahan dan peraturan perundangan yang mencerminkan good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan, sebagaimaan dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Sejalan dengan hal tersebut, Dietriech G. Bengen[43] mengemukakan bahwa :
Kegagalan penanganan hambatan pembangunan berkelanjutan selama ini telah membuka ruang untuk koreksi, dari pendekatan yang mengandalkan pengaturan dan pengawasan ke arah pendekatan yang lebih mengandalkan inisiatif otonom perorangan atau lembaga. Sudah saatnya, penanganan pembangunan didekati dengan paradigma good-governance sebagai sebuah paradigma sosial baru yang oleh Frijdorf Capra (1986) didefinisikan sebagai himpunan konsep, nilai, persepsi dan tindakan yang diterima oleh masyarakat, yang membentuk cara pandang terhadap realitas dan kesadaran kolektif sebagai dasar masyarakat menata dirinya sendiri
Dari pendapat tersebut diatas, dapat kita katakan bahwa tuntutan terhadap upaya penataan wilayah laut haruslah dilakukan secara terintegrasi, dan saling terkait sebagai satu kesatuan dengan kata kunci yaitu keterpaduan. Asspek keterpaduan menjadi salah satu prinsip yang mendasar dalam kerangka penataan ruang yang berfungsi untuk memberikan landasan untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan baik yang bersifat kewilayaan maupun sektoral, khususnya dalam kerangka pemanfaatan sumber daya alam. Selain itu, keterpaduan merupakan salah satu asas dalam kerangka penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 2 butir (a) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007[44]. Salah satu asas yang penting dalam kaitan dengan unsur prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan wilayah laut yakni unsur kepastian hukum (legal certainty).
Masalah kepastian hukum merupakan salah satu unsur "behoorlijkheid" yakni asas kepastian hukum (rechtszekerheid). Asas ini kiranya patut mendapatkan perhatian yang serius dalam konteks pengelolaan wilayah laut. Dalam hal ini dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Rumusan Pasal 73 secara lengkap disebutkan bahwa :
Pasal 73
(1) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (7), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.
Beranjak dari ketentuan tersebut diatas, dari segi teknis norma ketentuan tersebut mengandung cacat berkenaaan dengan pengenaan sanksi bagi pejabat (ayat1). Dalam hal ini, perlu kita perhatikan pendapat sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon[45], yakni bahwa :
"Perbedaan antara sanksi administrasi dan sanksi pidana dapat dilihat dari tujuan pengenaan sanksi itu sendiri. Sanksi administrasi ditujukan kepada perbuatan pelanggarnya, sedangkan sanksi pidana ditujukan kepada si pelanggar dengan memberi hukuman berupa nestapa. sankis administrasi dimaksudkan agar perbuatan pelanggar itu dihentikan. sifat sanksi adalah 'reparatoir' artinya memulihkan kepada keadaan semula. disamping itu perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi adminstrasi ialah tindakan penegakan hukumnya. sanksi administrasi diterapkan oleh pejabat tata usaha negara tanpa harus melalui prosedur pengadilan, sedangkan sanksi pidana hanya dijatuhkan oleh hakim melalui proses peradilan"
Pendapat tersebut diatas, menegaskan bahwa tidak sepatutnya terhadap pejabat yang bersangkutan (ayat 2) dikenakan "pidana tambahan berupa diberhentikan secara tidak dengan hormat dari jabatannya"
Selain itu pula, rumusan norma sebagaiman dimaksud dalam Pasal 73 tersebut diatas, disatu sisi bertentang dengan prinsip kepastian hukum dan dipihak lain bertentangan pula dengas asas praduga 'rechtmatig' (vermoeden van rechtmatigheid; praesumptio iusta causa) bahwa setiap tindakan pemerintahan termasuk keputusan, harus dianggap 'rechtmatig' sampai ada pembatalannya.
Hal itu tidak berarti bahwa tidak boleh mencabut keputusan yang keliru. terhadap hal ini pula, Philipus M. Hadjon[46], kembali menegaskan bahwa :
"Keputusan yang keliru atau keputusan yang mengandung catat lainnya dapat saja dicabut dengan memperhatikan ketentuan hukum administrasi, baik tertulis maupun berupa asas-asas hukum, sehingga tidak setiap kekeliruhan dalam keputusan lahir wewenang bagi pemerintah (pejabat yang menerbitkannya) untuk mencabutnya. wewenang untuk mencabut keputusan yang keliru tidak tergantung pada klausule yang disebut sebagai klausule pengaman (veiligheidsclausule)….."
Merujuk pada pendapat diatas, maka terhadap pejabat tersebut tidak dikenakan sanksi pidana namun perlu diperhatikan ketentuan-ketentuan hukum administrasi, baik tertulis maupun berupa asas-asas hukum.
Selain asas kepastian hukum (rechtszekerheidsbeginsel) yang mendasari diwujudkannya prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan wilayah laut, penting pula untuk memperhatikan asas kewenangan (bevoegheidsbeginsel) sebagai dasar dalam pengelolaan wilayah laut. Kewenangan itu haruslah jelas diatur secara jelas dan ditetapkan dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Hal ini berarti bahwa, perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan dalam pengaturan tata ruang laut hanya dapat dilakukan apabila daerah berdasarkan ketentuan perundang-undangan memiliki kewenangan untuk itu, sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon[47], yakni, bahwa :
”…minimal dasar kewenangan harus ditemukan dalam suatu undang-undang, apabila penguasa ingin meletakan kewajiban-kewajiban di atas para warga masyarakat. Dengan demikian di dalamnya terdapat suatu legitimasi yang demokratis. Melalui undang-undang, parlemen sebagai pembentuk undang-undang yang mewakili rakyat pemilihnya ikut menentukan kewajiban-kewajiban apa yang pantas bagi warga masyarakat. Dari sini, atribusi dan delegasi kewenangan harus didasarkan undang-undang formal, setidak-tidaknya apabila keputusan itu meletakan kewajiban-kewajiban pada masyarakat”
Sementara itu, Tatiek Sri Djatmiati[48], dalam disertasinya menguraikan hubungan antara hukum administrasi dengan kewenangan, yakni bahwa :
”Hubungan administrasi atau hukum tata pemerintahan (administratiefrecht atau bestuursrecht) berisikan norma-norma hukum pemerintahan. Norma-norma pemerintahan tersebut menjadi parameter yang dipakai dalam penggunaan kewenangan yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah. Adapun parameter yang dipakai dalam penggunaan wewenang itu adalah kepatuhan hukum ataupun ketidakpatuhan hukum (improper legal or improper ilegal) , sehingga apabila terjadi penggunaan kewenangan dilakukan secara “improper ilegal” maka badan pemerintah yang berwenang tersebut harus mempertanggungjawabkan”
Pendapat terakhir ini, dihubungkan dengan adanya standar wewenang, yakni standar umum (untuk semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu) maka standar wewenang tersebut digunakan untuk menguji penggunaan wewenang (wewenang pemerintahan). Pengujian terhadap penggunaan wewenang tersebut didasarkan norma hukum administrasi yakni norma umum dan norma khusus (asas-asas umum pemerintahan yang baik).
Salah satu konsep dalam konsep hukum administrasi yakni 'hukum untuk" berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Bidang ini berkaitan dengan norma tentang wewenang pemerintahan. Bagian-bagian utama bidang ini, menurut Philipus M. Hadjon[49], antara lain meliputi :
- sumber wewenang; atribusi, delegasi dan mandat
- asas penyelenggaraan pemerintahan. Berdasarkan asas negara hukum, asas dasar adalah asas legalitas (rechtmatigheid van bestuur)
- diskresi
- prosedur penggunaan wewenang
Mengenai atribusi, dijelaskan bahwa, atribusi dari bahasa Latin dari kata ad tribuere artinya memberikan kepada. Konsep teknis hukum tata negara dan hukum administrasi mengartikan wewenang atribusi adalah wewenang yang diberikan atau ditetapkan. Sedangkan delegasi berasal dari bahasa Latin delegare yang artinya melimpahkan. Dengan demikian, konsep wewenang delegasi adalah wewenang pelimpahan. Sementara itu, mandat berasal dari bahasa Latin mandare yang artinya memerintahkan. Dengan demikian konsep mandat mengandung makna penugasan. bukan pelimpahan wewenang[50]
Setiap wewenang dibatasi oleh materi (substansi), ruang (wilayah;locus) dan waktu (tempus). diluar batas-batas itu suatu tindakan pemerintahan merupakan tindakan tanpa wewenang (onbevoegheid). tindakan ini bisa berupa onbevoegheid ratione materiae, onbevoegheid ratione loci (wilayah), onbevoegheid ratione temporis (waktu)[51].
Berdasarkan uraian tentang konsep wewenang, pertanyaannya yang dikedepankan dalam kaitan dengan pengelolaan wilayah laut adalah apakah wewenang pengelolaan wilayah laut tersebut merupakan wewenang pemerintah ataukah pemerintah daerah (provinsi dan/atau kabupaten/kota)? Jawaban atas pertanyaan tersebut diawali dengan analisis atas konsep wewenang. Wewenang itu sendiri merupakan konsep hukum publik. Oleh karena itu wewenang hanya bisa diperoleh melalui atribusi, delegasi dan mandat.
Dalam rumusan ketentuan Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 disebutkan bahwa "Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri". Rumusan diatur dengan undang-undang yang terdapat di dalam ketentuan tersebut diatas, diberi makna hal yang diatur dalam ketentuan itu harus dirumuskan dalam sebuah undang-undang yang khusus diterbitkan untuk kepentingan itu.
Dengan didasarkan pada komponen dasar wewenang yakni komponen dasar hukum, bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya dan komponen konfrimitas hukum, mengandung makna adanya standar wewenang, yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu), maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah tidak mungkin pemerintah (pusat maupun daerah) dapat melakukan pengelolaan terhadap wilayah laut?
Untuk menganalisis jawaban atas pertanyaan tersebut diatas, dapat dilakukan dengan menggunakan intepretasi hukum. Mengenai hal ini Philipus M. Hadjon[52] menjelaskan bahwa :
"Dalam kaitan dengan inteprestasi, menarik untuk disimak prinsip Contextualism dalma inteprestasi seperti yang dikemukakan oleh Ian Mcleoad, dalam bukunya Legal Method, yakni :
- Asas Noscitur a Sociis. Suatu hal diketahui daaari aassociatednya. artinya suatu kata harus diartikan dalam rangkaiannya
- Asas Ejusdem Generis. artinya sesuai genusnya, artinya suatu kata dibatasi makna secara khusus dalam kelompoknya
- Asas Expressio Unius Ezclusio Alterius. Artinya, kalau satu konsep digunakan untuk satu hal, berarti tidak berlaku untuk hal lain"
Dengan merujuk pada ketiga asas tersebut diatas, maka dapat dilakukan pengkajian terhadap wewenang pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut. Selain itu pula, berbagai peraturan perundang-undangan (baik yang langsung atau tidak langsung) berkaitan dengan pengelolaan wilayah laut yang tersebar dalam undang-undang sektoral berpotensi memimbulkan multitafsir dan multiintepretasi terhadap makna dalam rumusan normanya baik bersifat terbuka (open texture) maupun norma yang kabur (vague norm)
Dengan dipisahkannya pengaturan tersendiri ruang pada wilayah laut, secara substantif bertentangan dengan pola pengaturan tata ruang itu sendiri sebagai satu kesatuan yang dilakukan secara berjenjang dan komplementer sebagaimana dimaksudkan dalam Ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007. Ketentuan tersebut menghendaki adanya sinergitas dalam proses penataan ruang yang meliputi wilayah darat, laut dan udara sehingga akan bersinergi satu dengan yang lain guna menghindari tumpang tindih kewenangan dalam penyelenggaraan penataan ruang itu sendiri.
Pada bagian lain, kehadiran Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007[53] juga belum dapat menjawab permasalahan yang dihadapi dalam penataan ruang laut itu sendiri. Hal tersebut terlihat jelas dalam pola dan ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir. Dalam ketentuan Pasal 2 Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 disebutkan bahwa :
Ruang lingkup pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai.
Ketentuan tersebut diatas, akan menimbulkan perbedaan penafsiran jika dikaitkan dengan Undang Undang Nomor 6 Tahun 1996, yakni berkonsep dengan cakupan pengertian mengenai mengenai “Perairan Indonesia” yang meliputi laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman.
Lebih lanjut disebutkan pula bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesi.[54]
Memperhatikan batasan dan ruang lingkup pengaturan kedua ketentuan tersebut diatas, jelas bahwa Undang Undang Nomor 6 Tahun 1996 mengatur mengenai pembagian wilayah laut terkait dengan batas kedaulatan suatu negara (dalam hal ini Indonesia). Sedangkan pada Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007, mengatur mengenai batas-batas administrasi wilayah pesisir sesuai dengan pemanfaatannya dalam pengelolaan sumber daya alam[55].
Selanjutnya penetapan ruang lingkup wilayah pesisir sebagaimana diatur Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 dalam implementasinya, ke arah laut ditetapkan sejauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Sedangkan ke arah daratan ditetapkan sesuai dengan batas kecamatan untuk kewenangan provinsi. Kewenangan kabupaten/kota ke arah laut ditetapkan sejauh sepertiga dari wilayah laut kewenangan provinsi sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004[56], sedangkan ke arah daratan ditetapkan sesuai dengan batas kecamatan.
Penetapan wilayah pesisir terkait dengan wewenang daerah dalam pengelolaan sumber daya laut. Dengan kata lain, tidak ada kedaulatan atas wilayah laut bagi daerah yang bersifat parsial. Hal ini disebabkan oleh karena secara yuridis formal kedaulatan teritorial atas wilayah laut harus dipahami dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga dalam konsep yang demikian pelimpahan kewenangan tersebut tidak dipahami sebagai upaya pengkaplingan daerah atas wilayah laut.
Sementara itu, jika dicermati Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 juga tidak menjelaskan dan mengatur lebih lanjut mengenai wilayah pesisir yang berada diluar 12 mil laut atau wilayah laut dari 12 mil sampai dengan 200 mil kearah laut lepas sebagai batas terluar dari Zona Ekonomi Eksklusif. Hal tersebut disebabkan oleh karena tata cara pengukuran berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi dengan Undang Undang Nomor 17 Tahun 1985 diperuntukan bagi negara, namun tidak dapat diterapkan pada seluruh wilayah negara , dengan tujuan untuk mendapatkan batas-batas terluar dari setiap zona maritim yang memiliki status hukum yang berbeda-beda[57]
Pada bagian lain, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, wewenang daerah (provinsi, kabupaten dan kota) berkonsep dengan pengelolaan sumber daya wilayah laut didasarkan pada ketentuan Pasal 18 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4)[58]. Adanya wewenang yang diberikan kepada daerah dalam pengelolaan dalam konsep dengan pengelolaan sumber daya laut tidaklah dimaksudkan sebagai upaya pengkaplingan laut oleh daerah, akan tetapi menitikberatkan pada pengaturan batas-batas administrasi kewenangan daerah dalam pengelolaan sumber daya di wilayah laut antara lain untuk eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengaturan pemanfaatan, penataan ruang dan penegakan hukum dalam wilayah laut tersebut.
Hal tersebut dikarenakan batas wilayah pengelolaan dan perencanaan yang berkonsep dengan batas wilayah laut di daerah merupakan kosekuensi adanya pengaturan kewenangan daerah dalam pengelolaan wilayah laut sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Namun demikian, apabila dicermati, pengaturan mengenai kewenangan daerah dalam pengelolaan sumber daya laut sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut diatas, menganut sistem pembagian wilayah yang apabila tidak dikaji dengan benar akan mengakibatkan bentuk-bentuk pengkaplingan wilayah laut oleh daerah yang berakibat pada terjadinya konflik pada wilayah laut.
Oleh karena itu, dalam hal terjadinya pertentangan norma hukum dari undang-undang sebagaiaman dikemuakan tersebut diatas, maka perlu ditetapkan norma mana yang harus diterapkan. Langkah yang ditempuh adalah penyelesaian konflik norma. Dalam hal ini, sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon[59], berkaitan dengan asas preferensi hukum (yang meliputi asas lex superior, asas lex spesialis dan asas lex posterior) yaitu : 1) Pengingkaran (dissavowal), 2) Reinterpretasi, 3) Pembatalan (invalidaation), 4) Pemulihan (remedy)"
Daftar Bacaan
Bruggink, (1999), Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa oleh Arief Sidharta, B., Citra Aditya Bakti, Bandung
Dina Sunyowati, (2008), Kerangka Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Berdasarkan Konsep Integral Coastal Managemet Dalam Rangka Pembangunan Kelautan Berkelanjutan, Disertasi, Arlaingga
_______________, (2009), Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Laut, Yuridika, Volume 24, No.1, Januari-April 2009.
E. Utrecht (1960), Pengantar Hukum Administrasi Negara, Cet IV, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Negeri Padjajaran, Bandung, 1960
Jimly Asshiddiqie, (2006), Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta
_______________, (2009), Green Constitution_Nuansa Hijau UUD NRI Tahun 1945, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009, h. 91
Jacub Rais, (2004), Menata Ruang Laut Terpadu, Penerbit, PT Pradnya Paramita, Jakarta
Philipus M.Hadjon, et all, (2010) Hukum Administrasi Dan Good Governance, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2010
_______________, Philipus M. hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadja Mada University Press, November 2005 (Cetakan kedua), Yogyakarta
_______________, (2005), Pengantar Hukum Administrasi Indonesia_Introduction to the Indonesian administrative Law, Gadja Mada universitty Press, Yogyakarta, Maret 2005 (cetakan kesembilan)
_______________, (1997), Tentang Wewenang, Yuridika, Edisi September s/d Desember, 1997, Surabaya
_______________, (2004), Tolak Ukur Keabsahan Tindak Pemerintahan Dan Keputusan Tata Usaha Negara, Makalah, Disampaikan pada penyelenggaraan House Legal Training Hukum Administrasi dan PTUN pegawai BI, tanggal 19-29 Juli 2004.
_______________, Discretionary Power Dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), Buku, tanpa tahun cetakan dan penerbit.
_______________, (1994), Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Pidato Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya
_______________, (1993), Pemerintahan Menurut Hukum (Wet-EN Rechtmatig Bestuur), ISBN 979-585-003-2, Cetakan Pertama, Agustus 1993, Penerbit "Yuridika", Surabaya, h.11
Tatiek Djatmiati, (2004), Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya
_______________, (2011), Pelayanan Publik, Maladministrasi, dan Tindak Pidana Korupsi, Makalah, disampaikan pada Seminar Sehari, Hukum Administrasi Dan Tindak Pidana Korupsi, Ambon
_______________, (2004), Faute Personelle Dan Faute De Service Dalam Tanggung Gugat Negara, Yuridika, Vol.19, No..4, Juli-Agustus 2004
[1] Lihat Jimmly Asshiddiqie, Green Constitution_Nuansa Hijau UUD NRI Tahun 1945, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009, h. 91
[2] Jacub Rais, Menata Ruang Laut Terpadu, Penerbit, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, h.31
[3] Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925
[4] Pasal 4 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara
[5] Hak menguasai dari Negara mengandung makna yakni memberi wewenang kepada negara (pemerintah) untuk (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; (b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; dan (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Lihat Juga Pasal 2 ayat 2Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
[6] Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, mengandung cita-cita luhur dan filosofis mengenai tujuan negara Republik Indonesia. Hal mana nampak dalam alenea keempat menggambarkan visi bangsa Indonesia mengenai bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam rangka melembagakan keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam wadah Negara Indonesia. Lihat Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta 2006, h.176
[7] Jacub Rais, Op Cit, h.33
[8]Sebagian besar peraturan perundang-undangan tersebut bersifat sektoral yang mengatur sektor-sektor pembangunan tertentu, yang secara langsung dan tidak langsung dapat dikaitkan dengan kelautan dan pesisir, seperti misalnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok- Pokok Pertambangan, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perikanan. Sebagian lagi dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan bidang kelautan antara lain Undang-Undang No 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Eksklusif Indonesia; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran;
[9] Philipus M.Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, Edisi September s/d Desember, 1997, Surabaya, 1997, h.1
[10] Ibid
[11] Tatiek Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, h.75
[12] Ibid
[13] Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007, Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725
[14] Dalam penjelasan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa ” yang dimaksudkan dengan asas komplementer adalah bahwa penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota saling melengkapi satu sama lain, bersinergi dan tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam penyelenggaraannya”
[15]Dina Sunyowati, Kerangka Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Berdasarkan Konsep Integral Coastal Managemet Dalam Rangka Pembangunan Kelautan Berkelanjutan, Ringkasan Disertasi, Arlaingga, h. 82
[16]Sebagian besar kawasan pertambangan berada di wilayah hutan; hal ini yang menyebabkan timbulnya benturan antarsektor pertambangan dan kehutanan yang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung. Namun, terdapat pula kasus pemanfaatan sumber daya alam seperti pertambangan yang terdapat pada kawasan-kawasan yang belum ditetapkan statusnya sebagai kawasan lindung tetapi memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Penetapan suatu kawasan sebagai kawasan lindung tidak hanya ditemukan di wilayah hutan, tetapi juga terdapat kawasan lindung di kawasan perairan seperti kawasan mangrove, estuari, dan terumbu karang di wilayah pesisir yang biasanya menjadi tempat pembuangan tailing di bawah laut atau (submarine tailing placement – STP). Salah satu isu tumpang tindih antara sektor pertambangan dan kehutanan adalah mengenai Pasal 38 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang melarang penambangan terbuka di kawasan lindung
[17]Masing-masing stakeholders memiliki kepentingan yang berbeda-beda atas pengelolaan wilayah laut dan pesisir. Mereka masing-masing memandang wilayah laut dengan cara yang berbeda dan dengan harapan-harapan dan tujuan-tujuan yang berbeda pula. Harapan, tujuan, dan kepentingan yang berbeda akan sangat mempengaruhi cara menafsirkan peraturan perundang-undangan. Sebagai akibatnya akan timbul benturan kepentingan.
[18] Kepastian hukum juga dapat memberikan rasa keadilan dan keamanan pada masyarakat dalam melaksanakan kegiatan pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir,tanpa intervensi pihak penguasa atau pengguna sumber daya dari daerah lain. Bagi dunia usaha, kepastian hukum memberikan jaminan keamanan investasi jangka panjang serta mengurangi resiko berusaha. Sedangkan bagi Pemerintah Daerah, kepastian hukum dapat menjamin konsistensi dan kebijakan pelaksanaan otonomi daerah secara penuh dan bertanggung jawab.
[19] Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa oleh Arief Sidharta, B., Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 87.
[20] Ibid.
[21] Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, h. 18
[22] Ibid
[23] Ibid.
[24] Pengaturan yang demikian berdampak terhadap upaya penataan ruang wilayah laut bagi daerah, yang menghendaki penegasan yang tegas dan jelas mengenai kewenangan daerah di laut. Hal tersebut dikarenakan batas wilayah pengelolaan dan perencanaan yang berkaitan dengan batas wilayah laut di daerah merupakan kosekuensi adanya pengaturan kewenangan daerah dalam pengelolaan wilayah laut sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
[25] Tatiek Sri Djamiati, Pelayanan Publik, Maladministrasi, dan Tindak Pidana Korupsi, Makalah, disampaikan pada Seminar Sehari, Hukum Administrasi Dan Tindak Pidana Korupsi, Ambon, 2011, h. 1. Lihat juga Tatiek Sri Djatmiati, Faute Personelle Dan Faute De Service Dalam Tanggung Gugat Negara, Yuridika, Vol.19, No..4, Juli-Agustus 2004, h.355
[26] Ibid
[27] Philipus M.Hadjon, et all, Hukum Administrasi Dan Good Governance, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2010, h. 9
[28] Utrecht. E., Pengantar Hukum Administrasi Negara, Cet IV, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Negeri Padjajaran, Bandung, 1960, hal. 79 – 80.
[29] Philipus M. Hadjon, Tolak Ukur Keabsahan Tindak Pemerintahan Dan Keputusan Tata Usaha Negara, Makalah, Disampaikan pada penyelenggaraan House Legal Training Hukum Administrasi dan PTUN pegawai BI, tanggal 19-29 Juli 2004, h. 4
[30] Principle : a fundamental truth or doctrine, as of law; a comprehensive rule or doctrine which furnishes a basis or origin for a others. Bandingkan juga Tatiek Sri Djatmiati, Op Cit, h. 75
[31] Phlipus M. Hadjon, Discretionary Power Dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), Buku, tanpa tahun cetakan dan penerbit, h. 10
[32] Philipus M.Hadjon, et all, Hukum Administrasi Dan Good Governance, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2010, h. 9
[33] Ibid, h.10
[34] Ibid, h. 5
[35] Ibid
[36] Ibid, h. 8
[37] Phlipus M. Hadjon, Discretionary Power Dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), Buku, tanpa tahun cetakan dan penerbit, h. 10
[38] Ibid
[39] Paulus Effendi Lotulung, dalam Philipus M. Hadjon, et all, Hukum Administrasi Dan Good Governance, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2010, h. 47
[40] Ibid, h.48
[41] Lihat ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
[42] Philipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Pidato Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994, h. 10
[43] Dietriech G. Bengen, Urgensi Pengelolaan Wilayah Terpaadu, dalam Buku Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Inodesia, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Bekerja sama dengan Mitra Pesisir/ Coastal Resources Management Project II, Jakarta, 2005, h.109-110
[44] Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan ’keterpaduan’ adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan anatara lain adalah Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
[45] Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia_Introduction to the Indonesian administrative Law, Gadja Mada universitty Press, Yogyakarta, Maret 2005 (cetakan kesembilan), h. 247.
[46] Philipus M. Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum (Wet-EN Rechtmatig Bestuur), ISBN 979-585-003-2, Cetakan Pertama, Agustus 1993, Penerbit "Yuridika", Surabaya, h.11
[47] Philipus M. Hadjon, et all, 2005, Ibid, h. 130
[48] Tatiek sri Djatmiati (2004), Loc Cit, h. 62-63
[49] Philipus M. Hadjon, et all (2009, Loc Cit, h. 20-21
[50] Ibid
[51] Ibid
[52] Philipus M. hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadja Mada University Press, November 2005 (Cetakan kedua), Yogyakarta, h. 26-27
[53] Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisr dan Pulau-Pulau Kecil; Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 84; Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4739 (disingkat Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007)
[54] Lihat Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
[55] Lihat juga Dina Sunyowati, (2009), Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Laut, Yuridika, Volume 24, No.1, Januari-April 2009, h.43-44
[56] Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437 (selanjutnya disingkat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004).
[57] Dina Sunyowati, (2008), Ibid, h. 55
[58] (Ayat 1)Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut; (Ayat 3) Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; pengaturan administratif; pengaturan tata ruang; penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara; (Ayat 4) Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut untuk Daerah Provinsi adalah paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk Daerah Kabupaten/Kota.
[59] Ibid, h. 31-32