Problematika Penegakan Hukum dan HAM di Indonesia

Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara

Problematika Penegakan Hukum dan HAM di Indonesia

 

  1. Pendahuluan

Dalam bukunya Nomoi, Plato menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik ialah yang diatur oleh hukum. Kemudian dikembangkan oleh Aristoteles, yang menyatakan bahwa suatu Negara yang baik adalah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum[1]. Menurut Aristoteles, bahwa yang memerintah dalam Negara bukanlah manusia tetapi pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik-buruknya suatu hukum[2].

Berdasarkan hal tersebut, maka esensi dari Negara hukum menurut Sjahran Basah[3] adalah,  kekuasaan tertinggi didalam suatu negara terletak pada hukum atau tiada kekuasaan lain apapun, terkecuali kekuasaan hukum semata yang dalam hal ini bersumber pada pancasila selaku sumber dari segala sumber hukum.

Terkait dengan hal tersebut, maka Negara Kesatuan Republic Indonesia sebagai Negara hukum juga harus menempatkan hukum sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keberadaan Indonesia sebagai Negara Hukum dapat ditemukan dalam Dalam penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen disebutkan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat), yang berarti Indonesia berdasarkan hukum dan tidak berdasarkan pada kekuasaan semata (machtsstaat). Hal tersebut, kembali dipertegas pada amandemen UUD NRI Tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan ketentuan Konstitusi tersebut, maka negara Indonesia diperintah berdasarkan hukum yang berlaku, termasuk penguasa pun harus tunduk pada hukum yang berlaku[4].

Akan tetapi, bekerjanya hukum di Indonesia saat ini menggambarkan bahwa implementasi konsep negara hukum hanya sebatas formalistas belaka. Dimana, pada satu sisi, muncul berbagai kecendrungan perilaku anggota masyarakat yang sering menyimpang dari berbagai aturan yang dihasilkan oleh Negara. Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya kriminalitas, dan yang mencemaskan ialah bahwa meningkatnya kriminalitas bukan hanya dalam kuantitas atau volume saja, tetapi juga dalam kualitas atau intensitas. Kejahatan-kejahatan lebih terorganisir, lebih sadis serta di luar peri kemanusiaan: perampokan-perampokan yang dilakukan secara kejam terrhadap korban-korbannya tanpa membedakan apakah mereka anak-anak atau perempuan, pembunuhan-pembunuhan dengan memotong-motong tubuh korban.

Selain itu, banyaknya kasus korupsi yang kata orang sudah ”membudaya” di Indonesia, serta praktek suap tidak terbilang banyaknya, sehingga sudah dikatakan”membudaya” juga, sehingga orang mengikuti saja apa yang dilakukan oleh orang lain asal tercapai tujuannya.

Sementara itu, pada sisi yang lain praktek penegakan hukum yang terjadi di negeri ini juga mengalami penyakit yang serius. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya issue-issue yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa maupun hakim. misalnya, tentang banyaknya para koruptor yang dibebaskan oleh pengadilan, dan kalaupun dihukum hanya sebanding dengan hukuman pencuri ayam[5].

Kenyataan yang berbeda terjadi pada masyarakat biasa, dimana orang miskin akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan. Dengan demikian, dapat dihasilkan kesimpulan bahwa praktek hukum di Indonesia berjalan dengan diskriminatif dan seakan-akan hanya memihak golongan tertentu saja. Orang berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan sedangkan sebaliknya masyarakat biasa begitu jauh dari keadilan. Dengan kata lain bahwa putusan pengadilan dapat diukur dengan uang, karena yang menjadi parameter untuk keringanan hukuman dalam peradilan lebih pada pertimbangan berapa jumlah uang untuk itu daripada pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan kebenaran.

Dampaknya kehidupan hukum menjadi tidak terarah dan terpuruk. Keterpurukan hukum di suatu negara, akan berdampak negatif yang mempengaruhi sektor kehidupan lain misalnya kehidupan ekonomi, politik dan budaya. Bagaimanapun upaya para pakar ekonomi maupun politik dalam mengatasi masalah dan ketimpangan ekonomi dan politik, akan sia-sia belaka jika keterpurukan hukum masih terjadi. Untuk itu, hendaknya hukum menjadi panglima dalam setiap dimensi kehidupan bernegara[6].

Berbagai uraian tersebut menimbulkan berbagai isu didalam masyarakat adalah adanya perlindungan hukum dan HAM hanya berlaku bagi masyarakat tertentu saja, yaitu yang dekat dengan kekuasaan dan memiliki banyak uang, selain itu dalam penyelenggaraan pemerintahan terdapat adagium yang menyatakan bahwa kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat? Bahkan hubungan penguasa dengan masyarakat sering melekat dengan berbagai pernyataan yang menyatakan bahwa: Pasal 1. Penguasa tidak pernah salah, Pasal 2, Kalau penguasa Salah, lihat Pasal 1.

Berbagai hal tersebut kemudian menimbulkan Persoalan bagaimana implementasi penegakan hukum dan HAM di Indonesia, mengingat NKRI adalah Negara hukum yang wajib memberikan perlindungan terhadap seluruh masyarakatnya secara menyeluruh tanpa adanya pengecualian.

 

B. Pembahasan

  1. Konsep Negara Hukum

Pemikiran mengenai Negara hukum dimulai sejak abad XIX s/d abad XX, pada hakekatnya Negara hukum berakar dari konsep teori kedaulatan hukum yang pada prinsipnya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi didalam suatu Negara adalah hukum, oleh sebab itu seluruh alat perlengkapan Negara apapun namanya termasuk warganegara harus tunduk dan patuh serta menjunjung tinggi hukum tanpa kecuali[7]

Dalam teori Negara hukum terdapat dua sistem hukum yaitu rechtstaat dan rule of law.  Burkens, et.al., mengemukakan pengertian Rechtsstaat secara sederhana seperti yang dikutip A. Hamid S. Attamimi,[8] yaitu negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Dalam Rechtsstaat, menurutnya adalah ikatan antara negara dan hukum tidaklah berlangsung dalam ikatan yang lepas atau pun bersifat kebetulan, melainkan ikatan yang hakiki. Dari pandangan tersebut, mengandung arti bahwa kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara bersumber pada hukum dan sebaliknya untuk melaksanakan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara harus berdasarkan kekuasaan.

Syarat-syarat dasar rechtsstaat yang dikemukakan oleh Burkens, et.al., yang dikutip oleh Philipus M. Hadjon,[9] adalah:

  1. Asas legalitas; setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas dasar peraturan perundang-undangan (wetterlijke grondslag). Dengan landasan ini, Undang-undang dalam arti formal dan UUD sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hal ini pembentuk undang-undang merupakan bagian penting negara hukum;
  2. Pembagian kekuasaan; syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan;
  3. Hak-hak dasar (grondrechten); hak-hak dasar merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan undang-undang;
  4. Pengawasan pengadilan Administrasi; bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindak pemerintahan (rechtmatigheids toetsing)

Sementara itu, The rule of law dalam pengertian ini  pada intinya adalah common law sebagai dasar perlindungan bagi kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan oleh penguasa atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa para pejabat negara tidak bebas dari kewajiban untuk mentaati hukum yang mengatur warga negara biasa atau dari yuridiksi peradilan biasa dan menolak kehadiran peradilan administrasi.

E.C.S. Wade dan Godfrey Philips mengidentifikasi lima aspek the rule of law sebagai berikut:

a.             Semua tindakan pemerintah harus menurut hukum.

b.            Pemerintah harus berprilaku di dalam suatu bingkai yang diakui peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip yang membatasi kekuasaan diskresi.

c.             Sengketa mengenai keabsahan tindakan pemerintah akan diputuskan oleh pengadilan yang murni independen dari eksekutif

d.            Harus seimbang antara pemerintah dan warga negara.

e.             Tidak seorangpun dapat dihukum, kecuali atas kejahatan yang ditegaskan menurut undang-undang.[10]

 Dengan demikia, sebuah Negara dikatakan sebagai Negara hukum adalah Negara yang mendasarkan berbagai kebijakan dan tindakannya harus berdasarkan hukum tanpa ada pembatasan berdasarkan golongan, kedudukan, agama, ras, maupun suku bangsa tertetu.

 

  1. Apa itu Hukum?  

Manusia sebagai makhluk sosial selalu mempunyai kecenderungan untuk berkumpul dan bergaul dengan orang yang ada disekitarnya. Manusia yang satu (individu) dengan manusia yang lain jika bergaul dan berkelompok akan membentuk komunitas masyarakat. Dalam masyarakat, manusia selalu berhubungan satu dengan yang lainnya sehingga menimbulkan interaksi atau kontak. Akibat adanya kontak atau interaksi tersebut dapat menimbulkan konflik[11]. Untuk itu, dalam proses interaksi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, perlu semacam norma-norma atau kaidah-kaidah yang mengatur hubungan tersebut. Kaidah-kaidah itulah yang menentukan hal yang boleh dilaksanakan dan hal yang tidak boleh dilakukan[12].

Kaedah sosial pada hakekatnya merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seyogyanya dilakukan atau yang seyogyanya tidak dilakukan, yang dilarang dijalankan atau yang dianjurkan dijalankan[13]. Kaedah-kaedah sosial yang berlaku didalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda, ada kaedah yang lemah, yang sedang sampai yang kuat daya mengikatnya yang membuat anggota masyarakat pada umumnya tidak berani untuk melanggarnya[14].

Lebih lanjut menurut Soedikno Mertokusumo, kaedah-kaedah sosial sanksinya tidak dirasakan secara langsung dan cukup memuaskan, sehingga dirasakan kurang cukup dalam memberikan jaminan perlindungan bagi kepentingan manusia. Oleh karena itu di butuhkan kaedah hukum dalam memberikan perlindungan yang belum diberikan oleh kaedah-kaedah sosial yang lainnya[15].

Kaedah hukum ditujukan terutama kepada pelakunya yang konkret, yaitu pelaku pelanggaran yang nyata-nyata berbuat, bukan untuk penyempurnaan manusia, melainkan untuk ketertiban masyarakat agar masyarakat lebih tertib, agar jangan jatuh korban kejahatan, serta agar tidak terjadi kejahatan[16].

Menurut Soerjono Soekanto, ciri-ciri kaedah hukum pada umumnya adalah;

a.       Kaedah hukum mempunyai sifat untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan orang-orang maupun kelompok-kelompok di dalam masyarakat, yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda.

b.      Suatu kaedah hukum dengan tegas mengatur perbuatan-perbuatan manusia yang bersifat lahiriah

c.       Kaedah hukum pada umumnya mengandung sanksi hukum yang teratur, rapi, pasti dan dijalankan oleh masyarakat sebagai badan-badan pelaksana hukum[17].

Pertanyaan selanjutnya, adalah apa itu hukum? Menurut Sudikno Mertokusumo hukum pada umumnya adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi[18].Karakteristik hukum sebagai kaedah selalu dinyatakan berlaku umum untuk siapa saja, di mana saja dan dalam wilayah Negara tertentu, tanpa membeda-bedakan.  

Berbicara mengenai hukum maka terdapat beberapa sudut pandang yang dapat digunakan untuk melihat hukum. Menurut Soekarno Aburaera dkk, bahwa hukum dapat dilihat sebagai hukum positif yaitu hukum yang berlaku didalam sebuah negara. Dalam konteks tersebut, hukum merupakan penetapan oleh pemimpin yang sah dalam suatu negara sebagaimana juga yang dimaknai oleh para ahli hukum[19]. Hal ini sejalan dengan pandangan Austin yang menyatakan bahwa hukum merupakan perintah dari yang berdaulat[20].

Sementara itu, dalam pandangan masyarakat biasa, hukum dikonstruksikan sebagai suatu kehidupan bersama dalam masyarakat yang diatur secara adil. Jadi, nilai-nilai keadilan dalam hukum yang dipandang sebagai norma yang lebih tinggi dibandingkan dengan norma hukum dalam suatu undang-undang[21].

Hal tersebut jika dikaitkan dengan pandangan Satjipto Rahardjo, maka titik temunya adalah bagaimana membuat hukum dapat memberikan kebahagiaan (keadilan) bagi rakyat dalam suatu konsep hukum untuk manusia. Dimana, hukum tidak hanya dilihat sebagai bangunan peraturan perundang-undangan sebagai produk atau perintah penguasa semata, tetapi hukum harus dibuat ibarat suatu organis yang mampu berpikir, merencanakan dan sekaligus bertindak sesuai dengan hati nuraninya[22] yang dilandasi pada nilai-nilai keadilan dalam masyarakat untuk mewujudkan kebahagiaan rakyat.

Berdasarkan berbagai uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hukum adalah[23]:

  1. Hukum dalam arti ketentuan penguasa: hukum diartikan sebagai perangkt peraturan yang dibuat oleh penguasa dlam hal ini adalah pemerintah. Misalnya UU
  2. Hukum dalam arti petugas: hukum dideskripsikan dlam wujud petugas yang berseragam yang bertugas menegakan hukum
  3. Hukum dalam arti sikap tindak: hukum di gambarkan sebagai perilaku yang ajeg atau sikap tindak yang teratur. Misalnya: A sewa kamar dari B, dengan kewajiban  setiap bulan A membayar uang sewa. Maka secara teratur setiap bulan A membayar sewa kamar pada B
  4. Hukum dalam arti system kaedah: hukum digambarkan sebagai perilaku masyarakat yang menuruti norma atau kaedah yang berlaku dalam masyarakat. Apabila tidak menaatinya maka dianggap sebagai perilaku yang menyimpang.

 

  1. Sekilas Mengenai HAM
  1. Pengertian dan Istilah

Menurut Jack Donelly[24], hak asasi manusia itu melakat pada kodrat manusia sendiri. Oleh karena itu landasan hak asasi manusia adalah :

1)      landasan yang langsung dan yang pertama adalah KODRAT manusia.

2)      landasan yang kedua dan yang lebih dalam : Tuhan menciptakan manusia, yang menghendakinya supaya manusia yang diciptakanNya itu mencapai kesempurnaannya.

Hak asasi manusia sebagai hak yang melekat pada kodrat manusia, yang berarti hak-hak yang lahir bersama dengan eksistensi manusia dan merupakan konsekuensi hakiki kodratnya, maka sifatnya universal. Hak asasi manusia secara umum dapat diartikan sebagai hak yang melekat pada sifat manusia yang tampil dengannya, tanpa hak asasi manusia seseorang tak dapat hidup. 

Sementara itu, pengertian  hak asasi manusia berdasarkan  Undang-Undang  Nomor  39 Tahun 1999   adalah :

 “ Seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia “.

HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.

 Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia[25] :

a. Hak asasi pribadi / personal Right

– Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat

– Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat

– Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan

– Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing

b. Hak asasi politik / Political Right

– Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan

– hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan

– Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya

– Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi

c. Hak azasi hukum / Legal Equality Right

– Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan

–  Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns

–  Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum

d. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths

– Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli

– Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak

– Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll

– Hak kebebasan untuk memiliki susuatu

– Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak

e. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights

– Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan

– Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.

f. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right

– Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan

– Hak mendapatkan pengajaran

– Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat

 

  1. Latar belakang lahirnya HAM adalah:
  1. Tramatik Perang Dunia
  2. Fakta Empiris
  3. Demokrasi

 

  1. Ketika  Hukum dan HAM Bekerja

Berdasarkan pemaham mengenai hukum yang terdiri dari:

  1. Hukum dalam arti ketentuan penguasa: hukum diartikan sebagai perangkt peraturan yang dibuat oleh penguasa dlam hal ini adalah pemerintah. Misalnya UU
  2. Hukum dalam arti petugas: hukum dideskripsikan dlam wujud petugas yang berseragam
  3. Hukum dalam arti sikap tindak: hukum di gambarkan sebagai perilaku yang ajeg atau sikap tindak yang teratur. Misalnya: A sewa kamar dari B, dengan kewajiban  setiap bulan A membayar uang sewa. Maka secara teratur setiap bulan A membayar sewa kamar pada B
  4. Hukum dalam arti system kaedah: hukum digambarkan sebagai perilaku masyarakat yang menuruti norma atau kaedah yang berlaku dalam masyarakat. Apabila tidak menaatinya maka dianggap sebagai perilaku yang menyimpang.

Maka dapat diketahui bahwa hukum merupakan suatu system yang terdiri dari:

a.       Struktur, yang terkait dengan sarana penegak hukum, dalam hal ini institusi hukum

b.      Substansi, yang terkait dengan apa saja yang dihassilkan oleh institusi hukum, serta

c.       Kultur, yang terkait dengan perilaku masyarakat maupun aparatur penegak hukumnya.

Dengan demikian, bekerjanya hukum sangat dipengaruhi oleh aparat penegak hukum, materi yang diatur oleh suatu peraturan perundang-undangan maupun perilaku masyarakatnya. Faktor-faktor tersebut memberikan andil terhadap terjadinya keterpurukan hukum di Indonesia. Sementara itu, Achmad Ali menyebutnya sebagai penyakit hukum, yaitu penyakit yang diderita oleh hukum sehingga hukum tidak dapat melaksanakan fungsinya. Penyakit hukum dapat menyerang struktur, substansi atau kultur hukumnya, yang merupakan suatu kesatuan sistem hukum dalam pandangan Lawrence Friedman[26].

 Penyakit-penyakit hukum tersebut meliputi:

a.       Struktur hukum

Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga terkait, seperti Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Komisi Judisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain-lain. Permasalahan umum terkait dengan struktur hukum, adalah :

1)      Kualitas Lembaga-lembaga Penegak Hukum

2)      Kualitas aparat Penegak hukum

 

b.      Substansi hukum

Terkait dengan substansi hukum, maka persoalan yang berhubungan dengan substansi hukum adalah mengenai norma, peraturan maupun undang-undang yang tidak bisa mengakomodasi berbagai kepentingan masyarakat.

 

 

c.       Kultur hukum

Budaya hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistim hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.

Sementara itu, Soerjono Soekanto menterjemahkan budaya hukum sebagai nilai-nilai dasar bagi berlakunya hukum, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Nilai-nilai tersebut, biasanya merupakan pasangan nila-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan[27].

Terkait dengan itu, Pemaknaan tentang hukum sekarang dalam kondisi tertentu seakan tidak mengikat lagi, semua boleh diatur karena yang mengatur bukan lagi hukum itu sendiri tetapi kekuasaan dan harta. Ini akibat frustasinya para pencari keadilan di meja hijau yang harus kandas dan kalah akibat putusan pengadilan yang berpihak kepada pemilik modal dan kekuasaan[28]

Hal tersebut membuat secara individu, seseorang gampang mencurigai seorang yang lain, gampang berperilaku seenaknya seolah-olah tidak ada aturan yang dapat dijadikan pegangan dan kebenaran sudah dianggap mati. Secara komunal, prinsip kehidupan komunal yang bersifat anarkisme semakin berkembang. Hal ini ditandai dengan persoalan individu dianggap sebagai persoalan kelompok yang melahirkan konflik antar kelompok. Sementara itu, pada tataran institusional terlihat dari lemahnya lembaga-lembaga hukum dalam melakukan proses penegakan hukum[29].

Berbagai perilaku tersebut, tidak hanya menimbulkan kecendrungan terhadap terjadinya pelanggaran hukum, akan tetapi juga dapat berdampak terhadap pelanggaran HAM. Dimana, akibat sentimen kelompok, maka persoalan pribadi bisa berkembang menjadi persoalan kelompok yang pada akhirnya dapat melanggar HAM kelompok yang lain. Misalnya; adanya intimidasi dari kelompok-kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. 

Sementara dalam konteks pemerintahan, permasalahan diskriminasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan hukum masih menjadi persoalan yang serius. Dimana, proses penegakan hukum dan penyelenggaraan pemerintahan masih kental dengan praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Artinya bagi masyarakat yang tidak memiliki kenalan atau uang dalam proses penegakan hukum dan penyelenggaraan pemerintahan, maka pelayanan yang dirasakan masih jauh dari harapan. Sementara itu, bagi yang memiliki kenalan atau uang, maka segala sesuatunya dapat berjalan dengan baik.

Perilaku tersebut bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (2)  UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.

Lebih lanjut dalam Terkait dengan diskriminasi, maka didalam Pasal 1 angka 3 UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

Dengan demikian, Negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak asasi manusia setiap warga negara dan penduduknya tanpa diskriminasi. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya), maupun yang dilakukan secara horizontal (antar warga negara sendiri).

 

  1. Bagaimana Agar Hukum dan HAM Bekerja Dengan Baik

a.       Perbaikan Sistem Hukum 

Tawaran perubahan dan pembaharuan dalam bidang hukum terus bergema dengan kondisi keterpurukan hukum. Baik dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi-organisasi massa rakyat, akademisi dan politisi, yang kesemuanya prihatin dengan sistem hukum yang ada. Reformasi sistem hukum menjadi wacana hangat yang patut di sambut baik demi perbaikan kondisi bangsa ini. Sebab semuanya sepakat hukum menjadi salah satu penentu perbaikan bangsa di atas moralitas dan kepribadian masyarakat.

Keterpurukan hukum di Indonesia di sebabkan sistem hukum yang bekerja di dalamnya mengalamai disorientasi gerakan dan tujuan. Sistem hukum yang dimaksud dan perlu diperbaiki adalah, struktur, substansi dan kultur hukum serta sarana prasarana.

1)      Struktur

Struktur di ibaratkan sebagai mesin yang di dalamnya ada institusi-institusi pembuat dan penegakan hukum[30], seperti DPR, Eksekutif, Legislatif, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Terkait dengan ini, maka perlu dilakukan seleksi yang objektif dan transparan terhadap aparatur penegakan hukum.

Selain itu, keanggotaan lembaga pembuat produk peraturan perundang-undangan juga perlu mendapat perhatian dalam proses pemilihannya, sehingga kualitasnya dapat memberikan pengaruh terhadap kualitas produk peraturan perundang-undangan yang akan dibuat.

2)      Substansi

Substansi adalah apa yang di kerjakan dan dihasilkan oleh mesin itu, yang berupa putusan dan ketetapan, aturan baru yang mereka susun, substansi juga mencakup aturan yang hidup dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang[31].

Selain itu, substansi suatu peraturan perundang-undangan juga dipengaruhi sejauh mana peran serta atau partisispasi masyarakat dalam merumuskan berbagai kepentingannya untuk dapat diatur lebuh lanjut dalam suatu produk peraturan perundang-undangan.

Partisipasi berarti ada peran serta atau keikutsertaan (mengawasi, mengontrol dan mempengaruhi) masyarakat dalam suatu kegiatan pembentukan peraturan, mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi pelaksanaan UU[32]. Adanya partisipasi masyarakat dalam pembentukan suatu undang-undang memungkinkan substansi dari suatu undang-undang berasal dari pemikiran atau ide yang berkembang didalam masyarakat yang akan digulirkan masuk kedalam lembaga atau badan legislatif, dan didalam lembaga inilah pemikiran atau ide tersebut kemudian dirumuskan untuk dijadikan sebagai undang-undang[33]

 

3)      Kultur

Sedangkan kultur hukum menyangkut apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan, yang mempengaruhi suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan[34]

Untuk itu diperlukan membentuk suatu karakter masyarakat yang baik agar dapat melaksanakan prinsip-prinsip maupun nilai-nilai yang terkandung didalam suatu peraturan perundang-undangan (norma hukum). Terkait dengan hal tersebut, maka pemanfaatan norma-norma lain diluar norma hukum menjadi salah satu alternatif untuk menunjang imeplementasinya norma hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Misalnya, pemanfaatan norma agama dan norma moral dalam melakukan seleksi terhadap para penegak hukum, agar dapat melahirkan aparatur penegak hukum yang melindungi kepentingan rakyat, maupun sebagai norma pelengkap dalam rangka menegakkan hukum.

Secara umum, jika ingin keluar dari keterpurukan hukum maka sistem hukum perlu diperbaiki secara keseluruhan dan diisi oleh komponen yang benar-benar ingin memperbaiki hukum dan bukannya mencari keuntungan dan menyalamatkan kepentingan diri dan kelompoknya.

 

  1. Meningkatkan Kesadaran Hukum

Selain persoalan system hokum yang harus diperbaiki, maka kesadaran hokum juga memiliki peranan dalam proses penegakan hokum dan HAM. Menurut Krabe hukum tidak bergantung pada kehendak manusia, tapi telah ada pada kesadaran hukum setiap orang. Kesadaran hukum tidak datang, apalagi dipaksakan dari luar, melainkan dirasakan setiap orang dalam dirinya. Dengan demikian, kesadaran akan pentingnya hukum dan HAM dari setiap masyarakat diperlukan untuk mendukung efektifitas hukum dan HAM.  

 

  1. Kesimpulan

Sebagai suatu Negara hukum maka sudah selayaknya Indonesia menghormati dan menerapkan prinsip-prinsip Negara hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah banyak terjadi diskriminasi dalam penerapan prinsip-prinsip Negara hukum yang dilakukan oleh para aparat penegakkan hukum, hal ini menimbulkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum, dan dari tumpukan kekecewaan tersebut, memunculkan sikap main hakim sendiri di dalam masyarakat dalam mewujudkan rasa keadilan masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa aparat penegak hukum memegang peranan yang penting dalam menumbuhkan kesadaran berhukum dalam masyarakat sekaligus menegakkan prinsip-prinsip Negara hukum. Untuk itu, salah satu factor yang perlu mendapat perhatian serius dalam mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum melalui kinerja aparat penegak hukum adalah,  perlu adanya pembaharuan perilaku dan moral para petugas penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam menegakkan hukum tanpa adanya diskriminasi, selain itu, peningkatan kesadaran hukum masyarakat juga perlu ditingkatkan.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

A.                Hamid S. Attamimi, 25 April 1992, Teori Perundang-Undangan Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia

 

Agussalim Andi Adjong, 2007,  Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia

 

Achmad Ali, 2005, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor,

 

Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana

 

Achmad Ali, Rangkuman Karya Pilihan dalam rangka 50 Tahun Usia, tidak dipublikasikan

 

Anthonius Cahyadi dan fernando Manullang, 2010, Pengantar ke Filsafat Hukum, Kencana, Jakarta

 

Aswanto, Penegakan Hak asasi Manusia sebagai Perwujudan Demokrasi, makalah, disampaikan pada  Seminar/Sosialisasi  Demokrasi, Hukum dan Ham bagi Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Pengurus Parpol, Ormas dan LSM Provinsi Sulawesi Selatan, diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, pada tgl 31 Oktober 2007, di Hotel Grand Palace Makassar,

 

B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan HAM, 2003, Universitas Atmajaya, Yogyakarta

 

Jazim Hamidi dkk, 2008, Panduan Praktis Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta

 

Ni’matul Huda, 2005, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial review, UII Press, Yogyakarta

 

Philipus M. Hadjon, 1994, Ide Negara Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Makalah,

 

Sjachran Basah, 1992, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung,

 

Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Gentha Publishing, Yogyakarta

 

Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta

 

Soedjono Dirdjosisworo, 1988, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta

 

Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, 1973, Bharata, Jakarta

 

Soerjono Soekanto, 2010, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

 

Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum-Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta

 

Sukarno Aburaera dkk, 2009, Filsafat Hukum, Bayumedia Publishing, Malang http://cahwatuaji.blogspot.com/2009/01/keterpurukan-hukum-di-indonesia.html

 

Ruslan H. Husen, Masyarakat dan Sistem Hukum Indonesia, <http://septysabrina.student.umm.ac.id/2010/01/30/masyarakat-dan-sistem-hukum-indonesia-oleh-ruslan-h-husen-sh/>

 

http://septysabrina.student.umm.ac.id/2010/01/30/masyarakat-dan-sistem-hukum-indonesia-oleh-ruslan-h-husen-sh/

 

http://organisasi.org/pengertian_macam_dan_jenis_hak_asasi_manusia_ham_yang_berlaku_umum_globalpelajaran_ilmu_ppkn_pmp_indonesia

 



[1] Ni’matul Huda, 2005, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial review, UII Press, Yogyakarta, hl. 1

[2] Ibid

[3] Sjachran Basah, 1992, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung,

[4] Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Gentha Publishing, Yogyakarta, hl. 1-2

[6] Achmad Ali, 2005, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, hl. 1

[7]B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan HAM, 2003, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, hlm 12

[8] A. Hamid S. Attamimi, 25 April 1992, Teori Perundang-Undangan Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, , hl. 8.

[9] Philipus M. Hadjon, 1994, Ide Negara Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Makalah, , hl. 4.

[10]   Agussalim Andi Adjong, 2007,  Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, hl. 25

[11] Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum-Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hl. 3

[13]Sudikno Mertokusumo,Op.cit,  hl. 5

[14]Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, 1973, Bharata, Jakarta, hlm 56

[15]Sudikno Mertokusumo, Opcit, hl. 11     

[16]Ibid, hl. 12

[17]Soerjono Soekanto, Op.cit, hl. 56

[18] Sudikno Mertokusumo, 2003, Op.cit, hl. 40

[19] Sukarno Aburaera dkk, 2009, Filsafat Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, hl. 32

[20] Dalam Anthonius Cahyadi dan fernando Manullang, 2010, Pengantar ke Filsafat Hukum, Kencana, Jakarta, hl. 35

[21] Sukarno Aburaera dkk, Loc. cit,

[22] Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Gentha Publishing, Yogyakarta, hl. 73

[23] Soedjono Dirdjosisworo, 1988, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hl. 25-36

[24] Dalam Aswanto, Penegakan Hak asasi Manusia sebagai Perwujudan Demokrasi, makalah, disampaikan pada  Seminar/Sosialisasi  Demokrasi, Hukum dan Ham bagi Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Pengurus Parpol, Ormas dan LSM Provinsi Sulawesi Selatan, diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, pada tgl 31 Oktober 2007, di Hotel Grand Palace Makassar,  hl. 3

[26] Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana, hl. 206

[27] Soerjono Soekanto, 2010, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hl. 60

[29] Achmad Ali, Rangkuman Karya Pilihan dalam rangka 50 Tahun Usia, tidak dipublikasikan, hl. 39

[30] Ruslan H. Husen, Op.cit

[31] Ibid

[32] Jazim Hamidi dkk, 2008, Panduan Praktis Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hl. 48

[33] Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hl. 62

[34] Ruslan H. Husen, Op.cit

 

 

Tinggalkan Balasan