PRINSIP TANGGUNGGUGAT KEPERDATAAN
TERHADAP PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP
DI GUNUNG BOTAK PULAU BURU
Oleh : J.D. Pasalbessy
Abstrak
Prinsip tanggunggugat merupakan salah satu bentuk pertanggungan hukum yang dikenal dalam hukum privat. Pertanggungan itu sendiri merupakan upaya untuk memenuhi kembali tuntutan kerugian yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan hukum. Dalam perkembangannya, pertanggunggugat ini juga diakomodir dalam Undang Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, di mana masyarakat yang merasa dirugikan akibat pencemaran lingkungan dapat menuntut ganti rugi melalui tanggunggugat keperdataan, yang dapat dilakukan melalui jalur pengadilan. Saat ini di Pulau Buru Provinsi Maluku, dalam beberapa tahun masyarakat mengalami pencemaran lingkungan akibat penambangan illegal di Gunung Botak, dengan menggunakan za kimia. Bahkan dari hasil penelitian yang dilakukan Pusat Studi Lingkungan Universitas Pattimura Ambon, ditemukan indikasi adanya pencemaran yang berdampak pada penggunaan air sungai dan tumbuh-tumbuhan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa secara normatif, proses pengajuan ganti rugi dapat dilakukan melalui prosedur tanggunggugat sebagaimana diatur dalam Undang Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kata Kunci : Tanggunggugat Lingkungan
Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir di Pulau Buru Provinsi Maluku telah terjadi salah satu bentuk eksploitasi terhadap lingkungan hidup yang cukup besar, yakni di Gunung Botak, di mana aktivitas ini telah menelan korban, baik nyawa, harta benda bahkan lingkungan. Eksploitasi ini berkaitan dengan penambangan liar terhadap tambang emas yang diperkirakan memiliki kandungan yang cukup besar.[1] Menurut laporan Lembaga Swadaya Masyarakat Baileo Maluku, aktivitas penambangan liar terhadap kandungan emas di Gunung Botak Pulau Buru hingga kini sangat memprihatinkan, karena selain dampak penggunaan bahan kimia dan hancurnya lingkungan, juga telah menimbulkan konflik antara warga, khususnya warga lokal dan warga pendulang .
Dari beberapa laporan yang dirilis media cetak di Maluku, hingga Oktober 2012 saja, nilai uang yang telah beredar untuk pembelian emas telah mencapai Rp. 365 triliun lebih, dan uang ini dinikmati oleh para penambang dari luar maupun oleh masyarakat lokal sendiri.[2] Jumlah ini tentu sangat fantastis, jika dilihat dari penegalolaannya, karena sangat kontras dengan kehidupan masyarakat Pulau Buru yang lebih mengandalkan usaha minyak kayu putih dan masalah perikanan selama ini.
Dilihat dari aspek pengelolaan lingkungan, hal ini tentu perlu disikapi secara arif dan bijaksana. Pemerintah Provinsi Maluku dan Pemerintah Kabupaten Pulau Buru khususnya memang telah melakukan berbagai upaya penganannya, mulai dari larangan penutupan lokasi hingga pemulangan para penambang dari luar daerah. Namun hal demikian tidak membuat jerah para penambang, bahkan dalam tahu 2013 lalu saja aktivitas penambangan sudah ramai kembali dan masih berlangsung hingga kini, dan diperkirakan aktivitas tersebut didukung oleh pejabat setempat.
Terhadap hal demikian, Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) Provinsi Maluku bekerjasama dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Maluku telah melakukan uji sampel air menyikapi pencemaran lingkungan akibat aktivitas penambangan emas, dan dari hasil pengujian tersebut, ditemukan adanya sejumlah titik air bersih maupun sungai diwilayah sekitar penambangan yang ikut tercemar logam merkuri.[3] Dikuatirkan, jika dilakukan penambangan kembali, harus dapat dipikirkan dampak dari penggunana “merkuri” dan “sianida”, apalagi selama ini penambangan liar dilakukan secara tradisionil, yakni dengan menggunankan alat seadanya, dan tidak mendapat ijin dari pemerintah setempat.
Dari perspektif penegakan hukum lingkungan, penuntasan kasus-kasus pencemaran memang membutuhkan tiga pendekatan hukum, yakni hukum lingkungan administratif, hukum lingkungan keperdataan, dan hukum lingkungan kepidanaan. Ini beralasan, mengingat kedudukan hukum lingkungan itu sendiri yang bersifat hukum fungsional.[4] Persoalan menariknya adalah, bagaimana pertanggungjawaban hukum keperdataan terhadap masalah pencemaran lingkungan ini.
Menurut Sundari Rangkuti,[5] hukum lingkungan keperdataan bertujuan memberikan perlindungan hukum bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan sengketa di peradilan umum. Penyelesaian sengketa lingkungan dimaksudkan sebagai gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum dibidang hukum lingkungan keperdataan oleh korban pencermaran lingkungan.
Pasal 84 Undang-Undang Nomo : 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup selanjtnya disingkat UUPPLH, menegaskan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui jalur pengadilan atau luar pengadilan (ayat 1). Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa” (ayat 2). Bahkan dalam ayat (3) “gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa”. Mengenai sengketa lingkungan ini Pemerintah telah menyediakan Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2000.
Dengan melihat kembali kasus pencemaran lingkungan yang kian merengut kehidupan masyarakat Pulau Buru Provinsi Maluku, menarik untuk dikaji dari perspektif prinsip tanggunggugat keperdataan dalam kasus lingkungan. Karena selama ini masyarakat merasa bingung dan tidak mengetahui, apakah pemulihan terhadap hak-hak keperdataan mereka yang merupakan korban pencemaran lingkungan selama ini akibat penambangan liar oleh para penambangan dapat dipulihkan kembali dan jika dapat, bagaimana pemenuhan hak-hak tersebut dilihat dari perspektif tanggunggugat keperdataan selama ini.
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis dan menjelaskan prinsip-prinsip tanggunggugat keperdataan dalam penyelesaian kasus pencemaran lingkungan hidup akibat penambangan emas secara liar;
2. Menjelaskan pengaturan dan penggunaan hukum tanggunggugat dalam pemenuhan hak-hak masyarakat dampak penambangan emas secara liar.
Manfaat Penelitian
1. Mengetahui prinsip-prinsip tanggunggugat keperdataan dalam pemenuhan hak-hak masyarakat korban pencemaran lingkungan hidup sebagai dampak dari penambangan secara liar;
2. Mendapatkan pengetahuan yang mendalam, baik secara teoritis maupun praktis tentang konsep tanggunggugat keperdataan dan prinsip penerapannya bagi masyarakat korban pencemaran lingkungan, akibat penambangan liar.
Metode Penelitam
Tipe penelitian yang digunakan, “normative”, yang dilengkapi dengan pendekatan perundang-undang (statute approach) dan pendekatan konsep (conseptual approach).[6] Untuk mendukung tipe penulisan di atas, bahan hukum yang digunakan antara lain meliputi,
a. Bahan hukum primer, di mana bahan hukum yang dibutuhkan adalah bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan masalah tanggunggugat menurut hukum perdata maupun hukum lingkungan serta bahan hukum terkait lainnya.
b. Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang diperoleh dari beberapa pandangan para ahli dan dukungan berbagai literatur yang berkaitan dengan materi penulisan.
Guna mendukung data analisis dan pembahasan dalam menarik kesimpulan dan saran, penulisan ini menggunakan teknis analisis kualitatif, yakni teknis analisis yang diarahkan pada pemecahan masalah secara normatf dengan berusaha menemukan temuan-temuan baru dalam proses penegakan hukum, khususnya terhadap masalah tanggunggugat dibidang keperdataan.
KAJIAN PUSTAKA
Tanggungjawab Keperdataan
Dalam Blak’s Law Dictionary, “liability” atau tanggungjawab itu memiliki ruang lingkup pengertian yang luas, yakni meliputi : [7]
1. An obligation one is bound in law or justice to perform;
2. Condition of being responsible for a posible or actual loss;
3. Condition which creates a duty to perform an act immidiatlyor in the futur.
Dari lingkup pengertian demikian, diasumsikan sebenarnya pengertian tanggungjawab sangat luas. Bagaimana dengan tanggunjawab hukum. Menurut Black’s Law Dictionary, “legal liability” berarti “liability which court recogniza and enforce as between parties litigant”. Jadi tanggungjawab hukum adalah tanggungjawab yang diakui dan ditegakan oleh pengadilan diantara para pihak yang berperkara.
Dari asumsi demikian, dikemukakan bahwa tanggungjawab dalam hukum perdata itu ada, jika ada perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata. Umumnya para ahli hukum perdata berpendapat bahwa sumber dari adanya perikatan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1233 KUHPerdata kurang lengkap, karena selain itu masih juga diakui adanya doktrin, hukum tidak tertertulis dan keputusan hakim.[8] Secara lebih tegas, apabila diuraikan ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata, sebenarnya terkandung 4 (empat) unsur penting, yakni :[9]
1. Adanya hubungan hukum
Yang dimaksud disini, bahwa di dalam hubungan hukum melekat “hak” pada salah satu pihak, dan “kewajiban” pada lain pihak. Jika salah satu pihak tidak memperhatikan atau melanggarnya hubungan tersebut, maka hukum akan memaksakan agar hubungan hukum itu dipenuhi atau dipulihkan kembali.
2. Kekayaan
Sekalipun hubungan hukum tidak semata-mata dinilai dengan uang, dan jika masyarakat dan rasa keadilan menghendaki agar suatu hubungan hukum itu diberi akibat hukum, maka hukum pun akan meletakan akibat pada hubungan sebagai perikatan;
3. Pihak-pihak
Umumnya dalam hubungan hukum, terdapat 2 (dua) pihak atau lebih, yakni pihak yang berhak atas prestasi dan pihak yang wajib memenuhi prestasi.
4. Prestasi
Prestasi merupakan inti dari suatu perikatan, sebab apabila prestasi telah terpenuhi oleh para pihak, maka saat itulah perikatan berakhir.
Pasal 1233 KUHPerdata juga menegaskan bahwa suatu perikatan dapat lahir dari perjanjian dan undang undang. Dikatakan lahir dan bersumber dari perjanjian, karena memang dikehendaki oleh para pihak, sedangkan lahir karena undang undang karena kehendak pembuat undang undang dan diluar kehendak para pihak.[10] Dikaitkan dengan tanggunggugat, maka diasumikan bahwa pengertian tanggunggugat itu sendiri merupakan sebuah istilah baru yang berkembang dengan maksud meminta pertanggungjawaban seseorang karena kelalaiannya sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lain, teristimewa gugatan terhadap hak-hak keperdataan yang terjadi dalam lapangan hukum perdata.
Rossa Agustina,[11] menjelaskan bentuk pertanggungjawaban dalam hukum perdata dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu pertama, pertanggungjawaban kontraktual dan kedua, pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum. Perbedaan antara tanggung jawab kontraktual dengan tanggung jawab perbuatan melawan hukum adalah, apakah dalam hubungan hukum tersebut terdapat perjanjian atau tidak. Apabila terdapat perjanjian tanggung jawabnya adalah tanggung jawab kontraktual. Sementara apabila tidak ada perjanjian namun terdapat satu pihak merugikan pihak lain, pihak yang dirugikan dapat mengugat pihak yang merugikan bertanggung jawab dengan dasar perbuatan melawan hukum.
Dapat dikemukakan bahwa sebenarnya tanggunggugat itu berkaitan dengan adanya gugatan hukum dilapangan hukum perdata, di mana pada pihak-pihak tertentu (tergugat) diminta untuk menanggung atas gugatan pihak lain. Gugatan mana terjadi sebagai konsekuensi dari adanya reaksi atas adanya kerugian yang diderita oleh pihak lainnya (penggugat).
Dari asumsi demikian, jelas dalam tanggunggugat terdapat dua pihak, di mana salah satu berkewajiban bertenggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan kepada pihak lain. Dengan demikian, dapat dikemukakan beberapa unsur pokok, yakni :
1. Adanya kerugian yang dialami oleh pihak penggugat. Kerugian mana merupakan penyebab dari timbulkanya gugatan oleh pihak yang merasa dirugikan;
2. Adanya perbuatan orang (tergugat) yang menimbulkan kerugian;
3. Adanya gugatan dari pihak yang dirugikan. Gugatan mana dimaksudkan untuk meminta agar kerugian yang dialaminya ditanggung pihak tergugat.
Senada dengan pemikiran di atas, Moegni[12] juga mengemukakan istilah tanggunggugat melukiskan adanya aansprakeleijkheid, yakni yang mendepankan adanya tanggunggugat pada seorang pelaku perbuatan melawan hukum, maka si pelaku harus bertanggungjawab atas perbuatannya, dan karena pertanggungjawaban tersebut, si pelaku harus mempertanggung jawabkan perbuatannya dalam gugatan yang diajukan di depan pengadilan oleh penderita oleh di pelaku.
Dalam hukum perdata, diakui tanggunggugat atas perbuatan seseorang baru ada, jika orang tersebut melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh hukum dan sebagian besar dari perbuatan-perbuatan dimaksud merupakan suatu perbuatan yang didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinamakan dengan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad). Perkembangan hukum perdata mengenal beberapa jenis tanggunggugat, yakni:
1. Contractual Liability.
Tanggung gugat jenis ini muncul karena adanya perbuatan ingkar janji, yaitu tidak dilaksanakannya sesuatu kewajiban (prestasi) atau tidak dipenuhinya sesuatu hak pihak lain sebagai akibat adanya hubungan kontraktual. Tanggung gugat jenis ini merupakan tanggunggugat yang tidak didasarkan atas adanya contractual obligation, akan tetapi atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Oleh sebab itu, pengertian melawan hukum tidak hanya terbatas pada perbuatan yang berlawanan dengan hukum, baik terhadap kewajiban hukum sendiri maupun kewajiban hukum orang lain, akan tetapi juga berlawanan dengan kesusilaan dan berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Putusan Hogeraad, 31 Januari 1919).
Konsep liability in tort ini berasal dari Napoleontic Civil Code Art.1382, yakni, “Everyone causes damages through his own behavior must provide compensation, if at least the victim can prove a causal relationship between the fault and damages”. Konsep ini sejalan dengan Pasal 1365 KUH Perdata bahwa: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”.
2. Strict liability
Tanggunggugat jenis ini sering disebut dengan tanggunggugat tanpa kesalahan (liability whitout fault),[13]mengingat seseorang harus bertanggung jawab meskipun tidak melakukan kesalahan apa-apa, baik yang bersifat intensional, recklessness ataupun negligence. Tanggunggugat seperti ini biasanya berlaku bagi product sold atau article of commerce, dimana produsen harus membayar ganti rugi atas terjadinya malapetaka akibat produk yang dihasilkannya, kecuali produsen telah memberikan peringatan akan kemungkinan terjadinya risiko tersebut. Dalam perkembangannya strict liability ini juga dikenal sebagai prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability or libility without fault) di mana dalam kepustakaan dikenal dengan prinsip tangungjawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan.
Perkembangan stric liability ke arah tanggungjawab berdasarkan kesalahan setidaknya dipengaruhi oleh faktor-faktor :[14]
a. Moral Philosophy atau alasan moral yang berasal dari ajaran agama yang berkembang pada waktu itu. Alasan ini kemudian mendorong adanya pengakuan terhadap kesalahan moral sebagai dasar yang tepat untuk menentukan kriteria perbuatan melawan hukum.
b. Perkembangan dikalangan masyarakat bahwa kelalaian dapat juga menjadi faktor penyebab yang menentukan terjadinya kerugian pihak lain, selain adanya unsur kesengajaan. Jadi disini tersirat bahwa pada awalnya stric liability hanya mengenal kesalahan dalam bentuk kesengajaan.
3. Vicarious liability
Tanggung gugat jenis ini timbul akibat kesalahan yang dibuat oleh bawahannya (subordinate). Jenis tanggung jawab ini merupakan perluasan dan pendalaman pada asas regulatif dari aspek yudiris dan moral, yakni dalam hal tertentu tanggung jawab seseorang dipandang patut diperluas sampai pada tindakan bawahannya yang melakukan perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya.
Dari penjelasan di atas menjadi jelas bahwa dilihat dari bentuknya, terdapat dua bentuk tanggunggugat, yaitu tanggunggugat atas kerugian yang disebabkan karena wanprestasi, dan tanggunggugat atas kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum sebagaimana ditekankan Rosa Agustina di atas. Dengan demikian, pertanggunggugat perdata bertujuan memperoleh kompensasi atas kerugian yang diderita, disamping mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Dasar menuntut tanggunggugat yang dianggap telah merugikan orang lain mengenai perbuatan melawan hukum atau wanprestasi memberikan hak kepada yang dirugikan untuk menerima kompensasi dari pihak lain yang mempunyai kewajiban terhadap pihak yang menderita kerugian.
Tanggunggugat Berdasarkan Kesalahan
Masalah tanggunggugat merupakan salah satu masalah penting dalam penyelesaian sengketa antara dua belah pihak, termasuk di dalamnya sengketa perdata dibidang lingkungan hidup. Dalam keadaan demikian, terkadang berbagai pembahasan ada yang mencampur-adukan arti dan makna tanggungjawab dan tanggung gugat. Terhadap hal yang demikian, diakui penggunaan istilah tanggungjawab dan tanggunggugat itu berbeda oleh berbagai ahli berdasarkan alasan dan argumentasi masing-masing. Menurut Yudha Hernoko,[15] tanggunggugat dapat dijelaskan dari dengan memahami pengertian “liability” dan “aanspraakelijkheid”. Menurutnya masing-masing memiliki konsep, definisi dan batasan. Kesalahan atau resiko terjadi karena adanya kerugian, sehingga timbul adanya ganti rugi. Ditegaskannya, “kerugian” berbanding terbalik dengan “ganti rugi”. Jadi kerugian ditambah dengan kesalahan atau resiko akan terjadi ganti rugi. “Kerugian” sendiri adalah berkurangnya harta kekayaan pihak satu (pihak yg dirugikan), yang disebabkan oleh perbuatan (baik melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma (baik karena wanprestasi atau melanggar hukum) oleh pihak lain (pihak yg merugikan), sedangkan “ganti rugi” merupakan upaya untuk memulihkan kerugian. Oleh sebab itu, ditegaskan bahwa ganti rugi terdiri dari beberapa faktor, yakni : (a) kerugian yang nyata-nyata di derita; (b) keuntungan yang seharusnya diperoleh; dan (c) perbuatan hukum lain.
Kecenderungan penggunaan istilah tanggunggugat sebenarnya merupakan kecenderungan dikalangan para ahli hukum perdata, dan istilah ini merupakan terjemahan dari istilah Belanda, “aanspraakelijkheid” yang sepadan dengan istilah Inggris “liability”.
Umumnya telah diterima bahwa tanggunggugat atas perbuatan seseorang baru dapat dikatakan ada, apabila orang tersebut melakukan perbuatan yang sebenarnya tidak diperbolehkan oleh hukum, dan sebagian dari perbuatan-perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan yang ada didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perbuatan mana disebut dengan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Onrechtmatige daad atau perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yakni “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Jika dipahami secara teliti rumusan demikian, maka sebenarnya makna dari rumusan Pasal 1365 KUHPerdata ini adalah untuk melindungi hak-hak seseorang karena kerugian yang dialaminya akibat perbuatan orang lain yang menimbulkan kerugian tersebut. Dalam hal ini, maka diasumsikan bahwa hukum dalam perbuatan melawan hukum disini mengariskan adanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban saat seseorang melakukan perbuatan baik kesalahan atau kelalaian atau juga melukai orang lain, dan akibat perbuatan tersebut timbul kerugian bagi orang lain.
Memperhatikan rumusan Pasal 1365 KUH Perdata, dapat dikatakan norma dalam pasal ini unik, tidak seperti ketentuan-ketentuan pasal lainnya. Sebabnya rumusan lebih merupakan struktur norma dari substansi ketentuan hukum yang sudah lengkap. Oleh karenanya substansi ketentuan pasal 1365 KUH Perdata senantiasa memerlukan materialisasi di luar KUH Perdata, yang menentukan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang melakukan perbuatan tersebut menggantikan kerugian tersebut.
Menurut Rosa Agustina,[16] pengertian melawan hukum pada awalnya mengandung pengertian yang sempit sebagai pengaruh dari ajaran legisme. Pengertian yang dianut adalah bahwa perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang. Dengan kata lain, perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sama dengan perbuatan melawan undang-undang (onwetmatigedaad). Pandangan ini sejalan dengan aliran yang dianut melalui Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer Naaimachine. Hoge Raad. Dikatakan bahwaperbuatanpedagang itu bukanlah merupakan tindakan melawan hukum, karenatidak setiap tindakan dalam dunia usaha yang bertentangan dengan tatakrama dalam masyarakat dianggap sebagai tindakan melawan hukum. Dari penjelasan demikian, dan dengan melihat ketentuan Pasal 1356 KUHPerdata, dapat dikemukakan unsur-unsurnya onrechtmatige daad atau perbuatan melawan hukum itu, sebagai berikut:
1. Perbuatan yang melawan hukum;
2. Harus ada kesalahan;
3. Harus ada kerugian yang ditimbulkan;
4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.
Memahami unsur-unsur demikian, diasumsikan pasal 1365 KUHPerdata tidak memberikan perumusan pengertian perbuatan melawan hukum secara tegas, hanya saja dikatakan, kapan seseorang mengalami kerugian karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya, sehingga beralasan mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada pihak yang menyebabkan kerugian tersebut ke pengadilan.
Terhadap pengertian dimaksud, Moegni Djojodirjo menerangkan di dalam istilah “melawan” melekat kedua sifat aktif dan pasif. Dengan kata lain, jika seseorang dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain, maka dengan sengaja ia melakukan gerakan, dengan demikian tampaklah dengan jelas sifat aktifnya dari istilah “melawan“ tersebut. Sebaliknya, jika ia dengan sengaja bersikap diam, sedangkan diketahuinya bahwa harus melakukan sesuatu perbuatan untuk tidak merugikan orang lain atau dengan kata lain, apabila dengan sikap pasif saja, bahwa apabila ia tidak mau melakukan keharusan sudah melanggar sesuatu keharusan sehingga menimbulkan kerugian terhadap orang lain, maka ia telah “melawan” tanpa harus menggerakkan badannya. Inilah sifat pasif dari sifat “melawan”.[17]
Memahami substansi Pasal 1365 KUHPerdata, sebenarnya termuat di dalamnya perbuatan melawan hukum dan kewajiban pelaku melawan hukum yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian terhadap orang lain, memberikan ganti kerugian sebagai kewajiban. Ini tentu merupakan konsekuensi dari kewajiban undang-undang. Dengan demikian, orang yang menimbulkan kerugian bagi orang lain akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukannya, harus bertanggungjawab mengantikan kerugian yang dialami, bilamana yang mengalami kerugian menggugat pelaku melawan hukum ke pengadilan.
Dalam memenuhi kewajiban mengganti kerugian pihak yang mengalaminya, pelaku yang menimbulkan kerugian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yakni :
1. Adanya perbuatan melawan hukum
Undang-Undang tidak memberikan pengertian apa itu perbuatan melawan hukum, namun dapat diasumsikan bahwa melawan hukum itu dapat diartikan secara sempit, yakni setiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain, yang timbul karena undang-undang, atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban pelaku. Dalam arti luas, pengertian melawan hukum merupakan suatu perbuatan atau kealpaan, yang atau bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku sendiri atau bertentangan, baik dengan kesusilaan maupun dengan sikap hati-hati yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup orang lain atau benda.[18]
2. Adanya Kesalahan
Unsur kesalahan dalam Pasal 1365 KUHPerdata dimaksudkan adalah bahwa pelaku perbuatan melawan hukum hanya bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkannya, apabila perbuatan dan kerugian tersebut dapat diperhitungkan kepadanya. Disini syarat kesalahan menimbulkan konsekuensi berupa kewajiban bertanggunggugat. Dengan kata lain, tanpa kesalahan seseorang tidak dapat bertanggunggugat. Menurut Rosa Agustina, unsur kesalahan pada suatu perbuatan tidak berbeda jauh dengan unsur melawan hukum,[19] unsur ini menekankan pada kombinasi antara kedua unsur di atas di mana perbuatan (yang meliputi kesengajaan atau kelalaian) yang memenuhi unsur-unsur melawan hukum. Unsur kesalahan dipakai untuk menyatakan bahwa seseorang dinyatakan bertanggung jawab untuk akibat yang merugikan, yang terjadi karena perbuatannya yang salah. Disini unsur kesalahan dalam perbuatan melawan hukum perlu dipahami secara benar, karena dasar tanggungjawab dilandaskan pada beberapa unsur, yakni :
a. Unsur kesengajaan
Unsur ini dianggap ada dalam suatu perbuatan, jika perbuatan dilakukan dengan kesadaran. Artinya, pelaku menyadari akan perbuatannya, termasuk akibat yang timbul dari perbuatan tersebut. Jadi perbuatan dan akibat yang terjadi memang menjadi kehendaknya, karena itu merupakan tujuan yang hendak dicapai.
b. Unsur kesalahan
Suatu perbuatan dikategorikan sebagai kelalaian, apabila memenuhi unsur-unsur:[20]
1) Adanya suatu perbuatan atau tidak melakukan/mengabaikan suatu perbuatan yang seharusnya dilakukan;
2) Adanya suatu kewajiban kehati-hatian;
3) Kewajiban kehati-hatian itu tidak dilaksanakan;
4) Adanya kerugian bagi orang lain;
5) Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dengan kerugian yang ditimbulkan.
c. Tidak ada alasan pemaaf
Dalam beberapa doktrin hukum, alasan pembenar antara lain keadaan memaksa (overmacht), pembelaan terpaksa (noodwer), ketentuan undang-undang (wetelijk voorschrift) dan perintah jabatan (wetelijk bevel).
Menariknya terhadap keadaan memaksa, Pasal 1224 KUHPerdata dan Pasal 1225 KUHPerdata mensyaratkan 3 unsur yang harus dipenuhi, yakni :
1) Tidak memenuhi prestasi;
2) Ada sebab yang terletak diluar kesalahan debitur;
3) Faktor penyebab itu tidak dapat diduga sebelumnnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur.
3. Adanya kerugian yang diderira oleh orang lain
4. Adanya hubungan sebab akibat (causa) antara perbuatan dan kerugian.
Apabila terdapat perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, maka yang bersangkutan sudah dapat diminta pertanggungjawaban untuk mengganti kerugian. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menggantikan kerugian bukan merupakan kehendak pihak yang dirugikan semata-mata, melainkan undang-undang sendiri yang menghendaki pelaku perbuatan melawan hukum harus menggantikan kerugian. Dunne dan van der Burght menegaskan bahwa “kewajiban ini mensyaratkan bahwa masyarakatlah yang menentukan isi dan ruang lingkup ketentuan mengenai ganti kerugian lewat alat-alat perlengkapannya, yaitu pembuat undang undang dan hakim.[21]
Dari penjelasan di atas, ternyata undang-undang tidak menjelaskan syarat-syarat lebih lanjut dari ganti kerugian bagi pelaku yang melawan hukum itu, karena undang-undang hanya mewajibkan menggantikan kerugiannya. Oleh sebab itu dalam perkembangannya hal ini hanya dijelaskan dan dilengkapi oleh doktrin dan yurisprudensi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tanggunggugat Dalam Kasus Lingkungan Hidup
Sudah menjadi persoalan yang tidak perlu ditutupi lagi bahwa ternyata lingkungan hidup di Indonesia tergolong sebagai lingkungan yang mengalami kerusakan cukup serius. Dalam pada itu, mesti diakui Indonesia dan dunia internasional untuk memahami urgensi kebutuhan memulihkan kualitas lingkungan guna mempertahankan kehidupan masa kini tanpa membahayakan prospek generasi mendatang.
Membangun masa depan yang mantap dari aspek lingkungan tentu memerlukan ketajaman visi dn komitmen bersama. Momentum hari depan akan menjadi hari yang penuh dengan sejumlah prestasi yang berarti atau hanya sekedar firmamen menyesali kesempatan mencapai masyarakat global yang sehat secara ekologis, sangat ditentukan oleh rasa apresiatif terhadap lingkungan.[22] Tragisnya, “potret” pencemaran dan perusakanlingkungan, tampak tak kenal kompromi dan kerap meluas tiada henti melanda biosfer dengan rentetan kompleksitas konsekuensi.
Dilihat dari perspektif yuridis, pencemaran dan perusakan lingkungan telah dikualifikasi sebagai kausakonflik (sengketa) lingkungan. Artinya, pencemaran dan perusakan lingkungan menentukan tingkat eskalasi dan keberadaan sengketa lingkungan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997tentang Pengelolaan Lingkungan (UUPLH) yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), dalam Pasal 1 angka 25 memformulasikan “Sengketa lingkungan hidup sebagai perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbuldari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup”.
Dalam pandangan demikian, maka dapat dipahami bahwa sengketa lingkungan (environmental disputes) sendiri merupakan “species” dari “genus” sengketa yang bermuatan konflik atau kontroversi di bidang lingkungan, yang diartikan sebagai “dispute a conflict or controversy; a confllct of claims or rights; an assertion of a rlght, claim, or demand on oneside, met by contrary claims or allegations on the other”.[23]Terminologi “penyelesaian sengketa”sendiri memiliki rujukan bahasa Inggris juga beragam seperti “dispute resolution”, “conflict management:, conflict settlement”, “conflict intervention” dan sebagainya.[24]
Umumnya dalam suatu sengketa, termasuk sengketa dibidang lingkungan, telah diterima bahwa sengketa lingkungan tidak semata-mata timbul dari perselisihan antara para pihak, akan tetapi juga perselisihan yang disertai adanya “tuntutan” (claim). Hal ini tentu wajar, karena tuntutan merupakan atribut primer dari eksistensi suatu sengketa (konflik). Dengan demikian, rumusan Pasal 1 angka 25 UUPPLH yang hanya mengartikan sengketa lingkungan sekedar “perselisihan antara dua pihak atau lebih…” tanpa mencantumkan adanya “claim”. Ini yang tentu perlu disempurnakan.Apa yang dimaksudkan ini beralasan, karena persoalan dasarnya adalah, siapa sesungguhnya para pihak yang berkonfiik dalam sengketa lingkungan atau, siapa subyek sengketa lingkungan itu, dan apa pula yang disengketakan.
UUUPPLH tidak memberikan jawaban secara pasti siapa saja yang menjadi subjek dalam sengketa lingkungan. Namun demikian, dengan menggunakan metode penafsiran “interpretatie” dalam ilmu hukum, setidaknya diasumsikan bahwa subyek sengketa lingkungan adalah “para pihak yang berselisih” atau mereka (salah satu pihak) yang merasa dirugikan akibat pembangunan lingkungan yang dampak kerusakannya dirasakan oleh mereka yang dirugikan tersebut.
Dari penjelasan di atas, diasumsikan sebenarnya sengketa atau konflik terjadi karena ada pihak tertentu yang merasa terganggu oleh pihak lainnya, sehingga ia merasa untuk mengklaim kembali hak-haknya atau memintakan kepentingannya itu dipulihkan kembali oleh pihak yang menimbulkan gangguan atau merusak tadi. Dengan demikian jika mencermti asumsi demikian, sebenarnya terdapat 2 (dua) hal pokok yang dapat ditemukan dalam konflik atau sengketa tersebut, yakni (a) adanya suatu pelanggaran terhadap kepentingan orang lain; dan (b) adanya klaim atau tuntutan atau dalam perspektif hukum perdata yang dikenal dengan istilah teknisnya, “gugatan”.
Dalam posisi konflik atau sengketa, kedua belah pihak berada pada posisi saling berhadapan. Karena itu, kedua hal pokok di atas merupakan unsur yang bersifat “kumulatif” untuk timbulnya sengketa. Dengan kata lain, terganggunya kepentingan pihak lain tanpa disertai dengan tuntutan, maka hal itu dianggap tidak pernah ada konflik, dan hal ini tentu dilihat dari pandangan masyarakat merupakan ketidak-adilan. Oleh sebab itu, konflik sengketa itu baru terjadi, jika para pihak yang bersengketa berada pada posisi saling berseberangan untuk mempertahankan kepentingannya.
UUPPLH, Pasal 84 ayat (1) hingga ayat (3) menyebutkan penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui (a) jalur pengadilan atau luar pengadikan (ayat 1); (b) pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa.(ayat 2); dan (c) gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa ayat (3). Khususnya menyangkut sengketa lingkungan melalui jalur pengadilan (litigasi), prosesnya meliputi, (a) masalah ganti rugi (Pasal 87); (b) tanggungjawab mutlak (Pasal 88); dan (c) daluwarsa untuk mengajukan gugatan (Pasal 89);
Ditegaskan dalam undang-undang, penyelesaian sengketa melalui pengadilan dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang dipilih tidak berhasil oleh salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa. Karena itu, secara tegas, aspek hukum perdata dalam kasus sengketa lingkungan diperoleh melalui kewajiban membayar ganti rugi atau tindakan tertentu sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 87 UUUPLH bahwa:
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
(2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
(3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
(4) Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan
Mencermati ketentuan Pasal 87 ayat (1) UUPPLH tersebut, maka terdapat beberapa unsur, yakni :
a. Adanya perbuatan melawan hukum;
b. Adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan;
c. Adanya kerugian pada orang lain atau lingkungan;
d. Adanya pengungjawab usaha dan atau kegiatan.
Memperhatikan unsur-unsur di atas, disimpulkan sebenarnya keempat unsur diatas merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum berdasarkan kesalahan dan akibatnya menimbulkan keruggian bagi pihak lain, dan perbuatan ini yang bersifat khusus, yakni dikhususkan dibidang lingkungan hidup. Berbeda dengan perbuatan melawan hukum berdasarkan kesalahan yang termakub dalam Pasal 1365KUHPerdata. Terhadap hal ini akan dibahas dalam sub bab berikutnya, mengingat terhadap pelaku yang melakukan perbuatan melawan hukum berdasarkan kesalahan ini dapat diminta tanggungjawab hukumnya.
Menurut Neuwenhius, sebagaimana dikutip Siti Sundari Rangkuty, tanggung gugat dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok, yakni :[25]
1. Tanggunggugat berdasarkan kesalahan (schuldaansprakelijheid), di mana kesalahan merupakan unsur pokok dan mutlak harus dibuktikan agar seorang dapat diminta pertanggungjawaban terhadap kerugian yang dialami pihak lain. Hal lain yang menjadi pokok dari tanggunggugat jenis ini adalah, unsur kesalahan tergugat menjadi tanggungjawab penggugat untuk membuktikannya. Hal ini sebagaimana dianut di Indonesia seperti dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
2. Tanggunggugat berdasarkan kesalahan dengan beban pembuktian terbalik. Di Belanda dikenal dengan “schuldaansprakelijkheid met omerking van beweijslast”. Menurut jalan pikiran konsep ini, penggugat tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan kesalahan tergugat, akan tetapi tergugatlah yang harus membuktikan bahwa ia sudah cukup berusaha secara hati-hati, sehingga tidak dipersalahkan menimbulkan kerugian atas terjadinya kerugian yang dialami penggugat. Hal mana juga termuat dalam Pasal 1367 ayat (5) KUHPerdata, yakni “tanggungjawab yang disebutkan diatas berakhir, jika orang tua-orangtua, wali-wali, guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggungjawab itu”.
3. Tanggung gugat berdasarkan resiko (risico aansprakenlijkheid). Konsep ini merupakan jenis kedua dari tanggung gugat yang dipertajam (verscherpke aansprakenlijkheid). Jenis ini tertuang di dalam Pasal 1367 ayat (3) dan Pasal 1369 KUHPerdata, yakni :
Pasal 1367 ayat (3) ; “Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan dan bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya”.
Pasal 1369 :
“Pemilik sebuah gedung adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang disebabkan ambruknya gedung itu untuk seluruhnya atau sebahagiannya, jika ini terjadi karena kelalaian dalam pemeliharannya atau cacat dalam pembangunan atau tataannya”.
Perbuatan Melawan Hukum Perdata Dalam Kasus Sengketa Lingkungan Hidup
Telah dikemukakan bahwa sengketa hukum lingkungan dapat dilihat dari berbagai aspek hukum, yakni hukum lingkungan keperdataan, hukum lingkungan administratif dan hukum lingkungan pidana.[26] Khusus mengenai sengketa hukum lingkungan keperdataan, sebelumnya dikemukakan bahwa ketelibatan substansi hukum perdata di dalam bidang hukum lingkungan, teristimewa yang berkaitan dengan tuntutan ganti rugi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 87 UUUPLH, di mana dasar dari adanya tuntutan ganti rugi adalah,
a. Adanya perbuatan melawan hukum;
b. Adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan;
c. Adanya kerugian pada orang lain atau lingkungan;
d. Adanya penangungjawab usaha dan atau kegiatan.
Tuntutan terhadap ganti rugi sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dilakukan baik melalui jalur pengadilan atau litigasi maupun luar pengadilan atau non litigasi. Secara substansial, keempat aspek dasar tuntutan ganti rugi di atas dapat selanjutnya dijelaskan sebagai berikut :
a. Adanya perbuatan melawan hukum
UUPPLH tidak memberikan batasan apa itu perbuatan melawan hukum, namun demikian tidak berarti bahwa hal itu tidak perlu. Bagi pembuat undang-undang sebenarnya yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum di sini adalah perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata, dan unsur-unsurnya sebagaimana putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum vs. Cohen yang dikenal sebagai Drukkers Arrest. yakni:
1) Perbuatan tersebut melanggar undang-undang yang berlaku;
2) Perbuatan itu melanggar hak-hak orang lain;
3) Perbuatan tersebut bertentangan dengan kesusilaan;
4) Perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku;
5) Perbuatan tersebut bertentangan dengan kepatuhan dalam masyarakat
Dikaitkan dengan objek perbuatan dibidang lingkungan hidup, maka kekhususan dari unsur perbuatan melawan hukum disini antara lain meliputi :
1) Adanya perbuatan pencemaran terhadap lingkungan hidup;
2) Adanya pencemaran yang disertai perusakan lingkungan hidup;
3) Adanya perusakan lingkungan hidup.
Dari ketiga unsur di atas, dapat dikemukakan bahwa yang termasuk perbuatan melawan hukum dari perbuatan pencemaran lingkungan adalah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 14 UUPPLH, yakni : “Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan”.
Dari rumusan tersebut, menjadi jelas bahwa perbuatan melawan hukum disini terletak pada perbuatan “masuk atau dimasukannya …” kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia, sehingga ”melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan”. Dengan demikian disimpulkan, perbuatan “masuk dan dimaksukannya” merupakan kehendak (will) dari pembuat/pelaku, baik perbuatan memasukan maupun akibat dari dimasukann itu, dan ini yang dimaksudkan dengan adanya “kesalahan” (schuld), yakni adanya hubungan antara “sikap bathin” (kesadaran mengetahui) dengan “perbuatan nyata” (perbuatan yang sesungguhnya dilakukan).
Dikaitkan dengan unsur Pasal 1365 KUHPerdata, menjadi jelas perbuatan melawan hukum yang dilakukan didasarkan pada adanya “kesalahan”, yakni dengan sengaja (karena kesalahannya) “memasukan” “makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup”, sehingga “melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan”. Dampaknya, lingkungan mengalami kerusakan, dan tidak dapat dimanfaatkan manusia.
Rossa Agustina menjelaskan bahwa unsur “melawan hukum” itu ada apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut : [27]
1) Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
Melanggar hak subjektif orang lain berarti melanggar wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang. Sifat hakikat dari hak subjektif wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang yang memperolehnya demi kepentingannya. Hak subjektif seseorang antara meliputi:
a. Kepentingan yang mempunyai nilai tinggi terhadap yang bersangkutan;
b. Pengakuan langsung terhadap kewenangan yang bersangkutan oleh suatu peraturan perundang-undangan;
c. Suatu posisi pembuktian yang kuat dalam suatu perkara yang mungkin timbul.
2) Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.
Menurut pandangan yang berlaku, hukum diartikan sebagai suatu keseluruhan yang terdiri dari norma-norma yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Yang dimaksud dengan suatu tindakan atau kelalaian yang bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku adalah, suatu tingkah laku yang bertentangan dengan suatu ketentuan undang-undang. Sedangkan yang dimaksud dengan undang-undang di sini adalah semua peraturan yang sah yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dan mempunyai daya ikat keluar.
3) Bertentangan dengan kesusilaan
Kaidah kesusilaan diartikan sebagai norma-norma sosial dalam masyarakat, sepanjang norma tersebut diterima oleh anggota masyarakat sebagai/dalam bentuk peraturan-peraturan hukum yang tidak tertulis. Sebagai pertimbangan ialah, kasus antara Lindenbaum vs. Cohen di mana perbuatan Cohen dinilai bertentangan dengan tata susila, ketika ia membujuk karyawan Lindenbaum untuk membocorkan rahasia perusahaannya.
4) Bertentangan dengan kepatuhan, ketelitian dan kehati-hatian
Dalam pengertian ini manusia harus mempunyai tenggang rasa dengan lingkungannya dan sesama manusia, sehingga tidak hanya mementingkan kepentingan pribadi tetapi juga kepentingan orang lain sehingga dalam bertindak haruslah sesuai dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian yang berlaku dalam masyarakat. Yang termasuk perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan, yaitu (a) perbuatan yang merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak; (b) perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya bagi orang lain berdasarkan pemikiran yang normal perlu diperhatikan.
Khusus yang berkaitan dengan “kesalahan”, dijelaskan Rosa Agustina unsur kesalahan pada suatu perbuatan sebenarnya tidak berbeda jauh dengan unsur melawan hukum, unsur ini menekankan pada kombinasi antara kedua unsur di atas di mana perbuatan (yang meliputi kesengajaan atau kelalaian) yang memenuhi unsur-unsur melawan hukum. Unsur kesalahan dipakai untuk menyatakan bahwa seseorang dinyatakan bertanggung jawab untuk melakukan ganti rugi.
b. Adanya kerugian yang ditimbulkan bagi orang lain dan maupun lingkungan hidup
Perlu dipahami bahwa ciri khusus bentuk kerugian yang timbul dibidang lingkungan hidup, tidak semata-mata hanya pada orang perorang atau badan hukum saja, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1365 KUHPerda, akan tetapi menurut UUUPPLH melingkupi pula masyarakat pada umumnya, yakni dengan rusaknya lingkungan hidup, pemanfaatannya tidak dapat digunakan masyarakat. Ini yang kemudian menjadi dasar dan alasan dalam hukum lingkungan dengan legal standing bagi organisasi lingkungan hidup untuk menunutu ganti rugi.
Dari aspek hukum perdata, unsur ganti rugi justru menentukan kewajiban pelaku perbuatan melawan hukum untuk membayar ganti rugi. Walaupun tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai ganti kerugian tersebut, namun Pasal 1371 ayat (2) KUHPerdata setidaknya memberikan sedikit pedoman dengan menyebutkan, “Juga penggantian kerugian ini di nilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan”. Bahkan dalam ayat (2) ditegaskan: “Dalam menilai satu dan lain, Hakim harus memperhatikan berat ringannya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan pada keadaan”.
c. Adanya pihak-pihak yang dapat dipertanggunggutkan
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut Pasal 1365 KUHPerdata, pihak-pihak yang dapat dipertanggungugatkan untuk menggantikan kerugian adalah, orang yang karena kesalahannya telah menimbulkan kerugian. Hal mana jelas ditegaskan dalam Pasal 87 ayat (1) UUPPLH “setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu”. Dengan demikian menjadi jelas dalam rumusan ayat (1) Pasal 87, yang dipertanggunggugat untuk menggantikan kerugian dalam hal pencemaran lingkungan adalah, “setiap penanggungjawab usaha dan atau kegiatan yang melakukan “perlanggaran hukum” (garis bawah penulis).
Menarik untuk dikemukakan, ternyata dalam beberapa kasus pencemaran lingkungan di Indonesia, banyak pihak yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung, karena itu perlu dipertegas kedudukan penanggungjawab usaha, sebab ada kasus yang dilakukan memang oleh perusahan, dan disini terdapat penanggungjawabnya, akan tetapi bagaimana jika dilakukan secara perorangan.
d. Bentuk tanggunggugat
Secara tegas Pasal 1365 KUHPerdata telah menyebutkan bahwa bentuk dari tanggunggugat adalah “ganti kerugian”, yang walaupun dalam Pasal 87 ayat (1) UUPPLH telah ditentukan “… wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu”. Dengan demikian dapat disimpulkan bentuk tanggunggugat ini merupakan hasil dari suatu proses pertanggungjawaban dalam proses penyelesaian sengketa di bidang lingkungan hidup.
Ada yang menarik dari bentuk ganti kerugian dalam hukum lingkungan, di mana dalam Pasal 87 ayat (3) UUUPPLH, antrara lain ditegaskan bahwa “Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan. Bahkan dalam ayat (4) telah ditetapkan besarnya uang paksa itu. Dengan demikian, ganti rugi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, dan jika tidak dipenuhi akan diambil tindakan tegas berdasarkan keputusan pengadilan.
e. Adanya hubungan sebab akibat
Dalam kasus pencemaran lingkungan, perlu diperjelas hubungan sebab-akibat antara perbuatan yang terjadi dan kerugian yang dialami. Hubungan ini dapat dilihat dalam UUUPPLH, di mana dalam rumusan Pasal 87 ayat (1) terdapat kalimat tegas, seperti “… menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup”. Penegasan kalimat ini sebenarnya telah jelas dimengerti, karena akibat “menimbulkan kerugian pada orang lain, …” sudah dapat ditafsir terdapat hubungan dengan perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akibat yang berupa kerugian pada orang lain dan perusakan pada lingkungan hidup merupakan penyebab terjadinya akibat, dan dilihat dari perspekit Pasal 1365 KUHPerdata, unsur kesalahan memang ditentukan antara perbuatan dan akibat yang terjadi. Untuk menjelaskan sebab akibat ini, dikenal dua teori sebab akibat atau causalaitas, yakni :
1. Teori Conditio Sine Qua Non dari von Buri
Inti dari ajaran ini yaitu: tiap-tiap masalah, yang merupakan syarat untuk timbulnya suatu akibat, adalah sebab dari akibat. Menurut Von Buri, kesalahan bisa ditimbulkan pada semua pihak yang mengakibatkan kerugian
2. Teori Adaequate Veroorzaking dari Von Kries
Teori ini mengajarkan bahwa perbuatan yang harus dianggap sebagai sebab dari akibat yang timbul adalah perbuatan yang seimbang dengan akibat. Dasar untuk menentukan “perbuatan yang seimbang” adalah perhitungan yang layak, yaitu menurut akal sehat patut dapat diduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan akibat tertentu.
Bertolak dari apa yang dikemukakan di atas, maka menjadi jelas sudah bahwa semua unsur yang menjadi syarat prinsip tanggunggugat berdasarkan “perbuatan melawan hukum” dengan “kesalahan”, dan menimbulkan”kerugian” bagi pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata juga dapat digunakan untuk menjelaskan adanya unsur perbuatan melawan hukum dengan kesalahan dan menimbulkan kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) UUPPLH. Oleh sebab itu, disimpulkan bahwa UUUPPLH menganut prinsip tanggunggugat berdasarkan kesalahan yang bersifat khusus, sedangkan tanggunggugat berdasaran kesalahan dalam Pasal 1365 KUHPerdata adalah lebih bersifat umum.
Pemenuhan Ganti Rugi Melalui Tanggunggugat Perdata Dalam Kasus Gunung Botak
Sudah menjadi alasan hukum dalam kasus-kasus hukum perdata, bahwa apabila timbul kerugian yang dialami oleh salah satu pihak, itu sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum karena adanya kesalahan yang dilakukan oleh orang lain. Dengan demikian, pihak yang merasa dirugikan memiliki hak untk meminta ganti kerugian atas apa yang dialaminya.
Kasus pencemaran lingkungan akibat penambangan liar bahan tambang emas yang dilakukan masyarakat lokal dan pendatang di Gunung Botak Pulau Buru Provinsi Maluku kini telah menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat, bukan saja saat ini akan tetapi juga dikemudian hari. Kerugian tersebut bukan pula menyangkut rusaknya lingkungan, akan tetapi juga kerugian nilai sumberdaya alam yang dimiliki masyarakat dan pemerintah daerah yang telah terkuras untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Hingga akhir tahun 2013 saja, tercatat telah terjadi beberapa kali konflik berdarah antara pendudukan lokal, pemilik lahan sekaligus pemegang hak ulayat (besickingrecht) masyarakat adat Pulau Buru dengan para pencari atau penggali emas.
Larangan terhadap aktivitas penambangan sempat dilakukan beberapa kali, baik oleh Pemerintah Daerah maupun aparat penegakan hukum, namun tidak pernah diindahkan, bahkan saat ini kegiatan penambangan sudah tidak dapat dikendalikan. Menariknya lagi penggunaan bahan kimia seperti, “merkuri” (air raksa) dan “sianidia” untuk membantu proses penemuan emas terus digunakan, tanpa memperhitungkan dampaknya. Dilaporkan sebahagian besar sunga-sungai di sekitar Pulau Buru sudah ikut tercemar. Harian Pagi “Siwalima”, Terbitan 17 Januari 2013 melaporkan bahwa kandungan “merkuri” dan “sianidia” sudah mencapai 0.0529 mg/liter di Sungai Waepo, 0,0049 mg/liter di Sungai Suket, 0,0089 mg/liter di Kali Nekat, 0.006 mg/liter di Kali Wamsait, 0,0042 mg/liter di Kali Anahonai dan 0.0463 mg/liter di Hulu Kali Wamsati, yang menjadi aktivitas masyarakat.[28] Bahkan Kilas Maluku melalui beritanya tertanggal, 22 Mei 2015 menunjukan beberapa foto beberapa lahan sagu dan lahan masyarakat sudah kering dan tidak dapat digunakan lagi.[29]
Dapat dibayangkan bagaimana akibat selanjutnya jika hal ini tidak dapat diatasi, karena setidaknya akan dapat membawa bencana bagi masyarakat di Pulau Buru Provinsi Maluku.
Dilihat dari proses interaksi sosial, memang telah terjadi persaingan antara para penambang yang sudah tidak dapat dikendali Pemerintah dan aparayt penegak hukum, mengingat penguasaan wilayah-wilayah penambangan yang cenderung dikuasai kelompok-kelompok masyarakat pendatang. Aparat pemerintah daerah dan penegak hukum diharapkan mampu mengendalikan dibuat tidak berdaya, sehingga dilokasi penambangan seolah-olah hanya hukum rimba yang berlaku. Hukum nasional, terkadang tidak berwibawah, karena tidak diindahkan.
Kini, akibat lahan tandus diikuti dengan berubahannya fungsi lahan, telah mengakibatkan terjadinya banjir di mana-mana, bahkan tanah yang semula subur dan dijadikan lahan penanaman pohon minyak kayu putih telah berubah menjadi tandus, air sungai dan laut yang semulahnya jernih untuk keperluan mencari ikan dan mencuci, berubah menjadi hitam pekat karena sedimentasi dari “tailing” yang beracun. Akibatnya masyatakat lokal menjadi miskin dan sakit-sakitan karena sumber air, tanah dan ekosistem pesisir menjadi tercemar.
Terhadap masalah tersebut, pada bulan Desember 2013 setelah mendapat restu Menteri ESDM, Gubernur Maluku kemudian memerintahkan Bupati Pulau Buru menutup lokasi penambangan yang telah berjalan kurang lebih 2 tahun. Dari beberapa laporan masyarakat, diperkirakan para penambangan emas liar ini telah menggunakan kurang lebih 50.000 tromol dengan 1000 tong (drum) berisikan bahan kimia “sianida”. Setiap tong (drum) rata-rata mampu menghasilkan 50 gr emas per/hari, sementara penggunaan bahan kimian “sianida” mampu menghasilkan hingga 200 gr emas per/hari. Hal ini dilaporkan oleh Assosiasi Pertambangan Emas Indonesia (Aspiri).
Menurut laporan mereka, diperkirakan terdapat sekitar 2,5 juta ton emas di Gunung Botak Pulau Buru. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa nilai produksi dapat mencapai Rp. 1,1 triliun per/hari.[30]
Menarik apa yang dikemukakan di atas, menjadi masalah adalah, bagaimana dengan hak-hak masyarakat yang selama ini dirugikan, termasuk masyarakat adat di Pulau Buru sebagai akibat terjadinya pencemaran lingkungan, baik terhadap tanah maupun air serta wilayah pesisir, di mana dampaknya dirasakan pada terganggungunya ekosistem baik sungai maupun pesisir pantai.
Bertolak dari apa yang telah dikemukakan di atas, sebenarnya dapat dikemukakan bahwa masyarakat di manapun memiliki hak untuk melakukan penuntutan atas kerugian yang dialami, sebagai akibat kerusakan lingkungan dan tempat tinggal mereka. Jadi dengan tercemarnya lingkungan oleh limbah kimia, teristimewa penggunaan “merkury” dan “sinidia” dalam penambangan emas, baik terhadap kualitas air yang merupakan kebutuhan hari-hari masyarakat maupun pencemaran air sungai yang telah merambat hingga ke wilayah pesisir yang merupakan wilayah pencarian para nelayan.
Apabila melihat penjelasan Pasal 87 UUPPLH, maka dapat dikemukakan terhadap para penambang dapat diminta pertanggungjawaban secara hukum perdata. Di dalam hukum lingkungan keperdataan (privaatrechtelijk miliuerecht) dikenal asas tanggunggugat mutlak (strick liability-risico aansprakelijkheid). Tanggunggugat mutlak ini timbul seketika pada pada saat terjadinya perbuatan, tanpa mempersoalkan kesalahan tergugat.[31]
Dalam kasus sebagaimana terjadi di Pulau Buru, permohonan tanggunggugat atas perbuatan pencemaran lingkungan dalam bentuk ganti kerugian melalui gugatan ke pengadilan merupakan salah satu alternatif terbaik, temasuk pula pemulihan lingkunan. Hal ini tentu didasarkan pada prinsip adanya perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Dengan demikian dalam kasus seperti ini, dapat dipahami bahwa prinsip tanggunggugat keperdataan dibidang lingkungan hidup yang rusak di dasarkan pada alasan adanya perbuatan melawan hukum karena kesalahan sebagaimana syarat yang Pasal 1365 KUHPerdata, sedangkan mekanisme dan prosedur tanggungunguatnya cenderung menggunakan model pertanggungjawaban mutlak sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 87 UUPLH.
Apa yang dikemukakan di atas dapat dimengerti, karena dipahami bahwa dalam kasus pencemaran dan perusakan lingkungan sebagaimana yang terjadi di Pulau Buru, akibat penggunaan bahan kimia. Terhadap penggunaan bahan kimia, tentu bukan merupakan substansi perkara perdata, karena dalam hukum lingkungan berdasarkan pertanggungjawab mutlak, penggunanya akan lebih efektif jika dituntut pidana. Sedangkan yang menjadi dasar gugatan ganti rugi dalam kasus perdata seperti yang selama ini terjadi di Pulau Buru adalah, adanya kerugian yang timbul dan dirasakan masyarakat, sehubungan dengan rusak dan tercemarnya lingkungan hidup tempat tinggal mereka karena penambangan yang dilakukan secara liar, tanpa ijin.
Jika merujuk pada adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dalam Pasal 1365 KUHPerdata, maka menjadi jelas sebagaimana dikemukakan Rossa Agustina,[32]bentuk pertanggungjawaban dalam hukum perdata dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yakni (a) pertanggungjawaban kontraktual dan; (b) pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum. Selanjutnya dijelaskan :
Perbedaan antara kedua tanggung jawab di atas adalah, apakah dalam hubungan hukum tersebut terdapat perjanjian atau tidak. Apabila terdapat perjanjian, maka tanggung jawabnya adalah tanggung jawab kontraktual. Sedangkan apabila tidak ada perjanjian namun terdapat satu pihak merugikan pihak lain, pihak yang dirugikan dapat mengugat pihak yang merugikan, karena pihak yang bertanggung jawab berdasarkan perbuatan melawan hukum. Jadi sebenarnya tanggunggugat itu berkaitan dengan adanya gugatan hukum dilapangan hukum perdata, di mana pada pihak-pihak tertentu (tergugat) diminta untuk menanggung atas gugatan pihak lain. Gugatan mana terjadi sebagai konsekuensi dari adanya reaksi atas adanya kerugian yang diderita oleh pihak lainnya (penggugat).
Bertolak dari apa yang dikemukakan di atas, menjadi jelas tuntutan ganti rugi melalui tanggunggugat perdata dapat dilakukan karena adanya perbuatan melawan hukum berdasarkan kesalahan yang mengakibatkan masyarakat merasa dirugikan. Dikatakan adanya perbuatan melawan hukum berdasarkan kesalahan, karena :
1. Ada pelaku (orang/perorang dan atau sekelompok orang yang diorganiser) melakukan penambangan, dalam hal ini masyarakat baik yang berasal dai luar Maluku maupun yang juga berasal dari Pulau Buru dan sekitarnya;
2. Adanya perbuatan penambangan yang dilakukan tanpa ijin, baik dari masyarakat pemilih hak ulayat maupun Pemerintah Daerah setempat, sehingga dipandang perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, karena bertentangan dengan hak-hak masyarakat.
3. Dari aspek kepatutannya, perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut, dilakukan dengan kesalahan, karena mereka memang mengetahui akibat dari perbuatan menambang merugikan pihak lain.
Bertolak dari asumsi di atas, adalah beralasan jika masyarakat Pulau Buru melakukan permohonan tanggunggugat keperdataan kepada pihak yang menimbulkan kerugian atau diwakilkan kepada kelompok masyarakat, asalkan legal strandingnya jelas. Hal ini dapat disandarkan pada Pasal 88 UUUPPLH, yakni bahwa “ Setiap orang yang tindakannya, usahanya,dan/atau kegiatannya menggunakan B3,menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,dan/atau yang menimbulkan ancaman seriusterhadap lingkungan hidup bertanggung jawabmutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlupembuktian unsur kesalahan”.
Terhadap penegasan ketentuan pasal ini, dalam kasus hukum lingkungan, dikenal asas “strict liability”. Memang asas ini lazimnya hanya diimplementasikan pada “types ofsituation” tertentu (kasuistik), dan yang termasuk “types of situation” bagi berlakunya“strick liability”, seperti “extra-hazardous activities” yang menurut Pasal 88 meliputi sengketa lingkungan akibat kegiatan usaha yang :
a) Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan;
b) Menggunakan bahan berbahaya dan beracun (B-3) dan atau;
c) Menghasilkan limbah B-3.
Tujuan dari diterapkannya asas “strick liability dalam kasus lingkungan ini semata-mata untuk memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat, karena dalam UUPLH, dijelaskan dalam penjelasan umum bahwa “dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumberdaya tertentu tanggung jawab timbul secara mutlak pada perusak dan atau pencemar padasaat terjadinya prusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang pengaturanya diaturdalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa adalah sangat beralasan bahwa selain dilakukannya permohonan tanggunggugat secara perdata, juga perlu diikuti dengan tanggunggugat dengan menggunakan asas “strick liability” ini.
Apa yang dikemukakan di atas beralasan, karena tujuan dilakukannya permohonan tanggunggugat adalah untuk memenuhi keadilan dalam masyarakat. Ahmad Santosa menegaskan bahwa “Tujuan penerapan asas tanggunggugat mutlak adalah: untuk memenuhi rasa keadilan; mensejalankan dengan kompleksitas perkembangan teknologi, sumber daya alam dan lingkungan; serta mendorong badan usaha yang berisiko tinggi untuk menginternalisasikan biaya. sosial yang dapat timbul akibat kegiatannya”. [33] Sebaliknya tanggunggugat keperdataan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum. Perlu ditegaskan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum dibidang hukum lingkungan keperdataan. Hal mana mengacu pada Pasal 84 UUUPLH, yang merumuskan bahwa :
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
(2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa.
(3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah atau para pihak yang bersengketa.
Menurut penjelasan Pasal 84 ayat (1), ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk melindungihak keperdataan para pihak yang bersengketa. Dari penjelasan ini menjadi jelas bahwa tuntutan tanggunggugat keperdataan terhadap masalah pencemaran lingkungan yang terjadi di Gunung Botak Pulau Buru dapat dilakukan untuk melindungi hak-hak keperdataan masyarakat. Memang diakui bahwa selain penyelesaian dilakukan melalu jalur pengadilan, juga dapat dilakukan melalui jalur luar pengadilan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 84 ayat (3).
Ada hal yang menarik dari proses penuntutan ganti kerugian sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 84 di atas, di mana hukum positif tidak melarang jalur penyelesaian mana yang didahulukan oleh para pihak yang bersengketa, apakah dipilih jalur pengadilan ataukah jalur luar pengadilan. Namun demikian, mesti dipahami bahwa dari aspek hukum perdata, berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, para korban pencemaran lingkungan dapat langsung mengajukan gugatan ke pengadilan, walaupun disadarai bahwa akan menghadapi proses yang berbelit, bahkan memakan waktu yang cukup lama, demikian juga yang dilakukan di luar pengadilan, sebab Pasal 84 ayat (3) mempertegas bahwa, “gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah atau para pihak yang bersengketa”.[34]
Persoalan menarik, apa substansi gugatan yang diajukan dalam menuntut ganti kerugian dalam tanggunggugat perdata dibidang lingkungan hidup.
Mengacu pada Pasal 87 UUPLH, maka gugatan ganti rugi akan diperoleh jika memenuhi unsur-unsur, (a) adanya penanggungjawab kegiatan/usaha; (b) adanya perbuatan melawan hukum; (c) terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan, yang berakibat menimbulkan kerugian bagi orang lain atau lingkungan. Dengan demikian, “perbuatan melawan hukum” (onrechtmatigedaad) disini harus menjadi dasar gugatan sengketa lingkungan, yakni berupa pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Hal ini perlu dipertegas, karena tidak semua perbuatan melawan hukum dapat dijadikan dasar/alasan untuk diajukan ke pengadilan.
Pencemaran atau perusakan lingkungan disini adalah masuknya atau dimasukannya zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh adanya kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan sebagaimana ditetapkan. (banding Pasal 1 angka 14 UUUPLH Sementara “perusakan lingkungan” adalah kegiatan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. (Pasal 1 angka 16). Perusakan dan atau pencemaran lingkungan inilah yang kemudian menjadi alasan gugatan dalam sengketa lingkungan. Dengan kata lain, pencemaran dan atau perusakan lingkungan adalah objek sengketa lingkungan. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 87 Undang Undang No. 32 Tahun 2009 dan Pasal 1365 KUHPerdata, gugatan perdata terhadap adanya perusakan atau pencemaran lingkungan akan dapat dipenuhi, karena tanggunggugat berdasarkan kesalahan mengandung makna bahwa penggugat harus dapat membuktikan kesalahan tergugat untuk mendapatka ganti kerugian.[35]
Memperhatikan tingkat pencemaran dan perusakan lingkungan yang kini terjadi disekitar Gunung Botak Pulau Buru, sudah waktunya untuk masayarakat melakukan gugatan ganti kerugian kepada para pihak, teristimewa para penambangan emas illegal yang dikoordiner oleh beberapa kelompok usaha rakyat.
Dari penjelasan terakhir di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pasal 87 UUUPLH merupakan ketentuan prosedural, sedangkan Pasal 1365 KUHPerdata merupakan ketentuan substansial yang perlu dipenuhi oleh mereka yang merasa dirugikan.
Kesimpulan
Dari kasus perusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang terjadi di Pulau Buru Provinsi Maluku, maka prinsip tanggunggugat perdata atau yang dikenal dengan“liability” atau “aanspraakelijkheid” dapat digunakan untuk menuntut pihak-pihak yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Adapun alasan dapat digunakannya prinsip tanggunggugat, karena dalam kasus perusakan dan pencemaran lingkungan yang terjadi di Gunung Botak Pulau Buru, para pelaku dengan sengaja menggunakan bahan kimia, yakni mercury dan sianidia untuk mengolah bahan galian guna mendapatkan emas. Jika digunakan Pasal 87 ayat (1) UUPPLH, maka terhadap pelaku pencemaran dapat dikualifikasi pemenuhan unsur-unsur antara lain : (a) telah melakukan perbuatan melawan hukum; (b) mengakibatkan adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan; (c) menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan; dan (d) terdapat pengungjawab usaha dan atau kegiatan. Selanjutnya untuk dapat dipenuhinya tuntutan ganti kerugian menurut hukum perdata, Pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan adanya unsur-unsur onrechtmatige daad atau perbuatan melawan hukum, yang meliputi : (a) perbuatan itu melawan hukum; (b) perbuatan tersebut berdasarkan kesalahan; (c) akibat perbutan tersebut timbul kerugian; dan (d) terdapat hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.
Pasal 1365 KUHPerdata ini memang bersifat melindungi hak-hak seseorang, karena kerugian yang dialaminya akibat perbuatan orang lain yang menimbulkan kerugian tersebut. Jadi diasumsikan bahwa perbuatan melawan hukum disini mengariskan adanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban saat seseorang melakukan perbuatan, baik kesalahan atau kelalaian atau juga melukai orang lain, dan akibat perbuatan tersebut timbul kerugian bagi orang lain. Perbuatan melawan hukum berdasarkan kesalahan yang tampak dari kasus ini adalah : (a) adanya perbuatan penambangan yang dilakukan tanpa ijin, baik dari masyarakat pemilih hak ulayat maupun Pemerintah Daerah setempat, sehingga dipandang perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, karena bertentangan dengan hak-hak masyarakat, dan (b) perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut, dilakukan dengan kesalahan, karena mereka memang mengetahui akibat dari perbuatan menambang merugikan pihak lain.
Saran
Dari berbagai kasus perusakan dan pencemaran lingkungan yang terjadi selama ini, khususnya di Pulau Buru akibat penambangan liar yang dilakukan untuk mendapatkan emas, ternyata telah menyebabkan masyarakat mengalami penderitaan berupa terbatasnya pemanfaatan air untuk keperluan kebutuhan sehari-hari, akibat tercemar oleh penggunaan bahan kimia berupa mercury dan sianidia dalam aktivitas penambangan emas secara liar di Gunung Botak. Dari laporan, ternyata terdapat beberapa sungai/kali yang telah tercemar, bahkan limbanya telah sampai ke muara sungai di pesisir pantai, sehingga berdampak bukan saja kepada masyarakat akan tetapi juga tanaman dan hewan, termasuk sumberdaya ikan diwilayah pesisir.
Untuk hal tersebut, dengan memperhatikan berbagai kajian dan laporan masyarakat Pemerintah Daerah dan aparat penegak hukum sudah harus mengambil tindakan tegas terhadap proses penambangan yang tertanggungjawab. Bagi masyarakat yang mengalami kerugian, UUUPLH memberikan keleluasaan untuk dapat mengajukan gugatan baik melalui jalur pengadilan atau luar jalur pengadilan untuk menunutu ganti rugi.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina Rossa, dkk, 2012, Hukum Perikatan (Law Obligation), Seri Unsur Unsur Penyusun Bangunan Negara Hukum, Pustaka Larasan, Denpasar Bali.
Harian Pagi, Ambon Express, terbitan 10 October 2012.
Harian Pagi “Siwalima”, Terbitan 17 Januari 2013
Hernoko, A Yudha, Bahan Kuliah Tanggung Gugat, Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Tahun 2012/2013
Henry Campbell Black, 1991, Black‘a Law Dictionary, St. Paul, Minn, West Publishing Co.
Lester R. Brown, 1982, Dua Puluh Dua Segi Masalah Kependudukan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
M. Chief, 2000, Black’s Dictionary, St Paul Minessota : Mwest Group.
Mariam Darus Badruzalman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Moegni Djojodirjo, 1979, Perbuatan Melawan Hukum, Cet I, Pradnya Paramita, Jakarta.
Moegni Djojodirjo, 1982, Perbuatan Melawan Hukum : Tanggunggugat (Aansprakelijkheid) Untuk Kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum, Prandnya Paramita, Jakarta.
Muladi dan Dwidja Priyatno, 2012, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Gorup, Cetakan ke-3, Bandung
Lutfi Yazid, 1999, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Environmetal Dispute Resolution), Airlangga University Press – Yayasan Adikarya IKAPI – Ford Foundation, Surabaya.
Munir Fuady, 2002, Perbuatan Melawan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta.
Pusat Studi Lingkungan (PSL) Universitas Pattimura, 2013 Studi Kajian Tentang Dampak Penggunaan Bahan Kimia di Gunung Botak Pulau Buru, Ambon.
Santosa, Mas Ahmad, et al., 1997, Penerapan Atas Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) di Bidang Lingkungan Hidup, ICEL, Jakarta.
Siahaan, 2006, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam. Jakarta.
Siti Sundari Rangkuti, 1991,“Inovasi Hukum Lingkungan : Dari Ius Constitutum ke Ius Constituendum”, Pidato Pengkungan Guru Besar yang diucapkan pada Rapat Senat Universitas Airlangga, Fakultas Hukum Uniersitas Airlangga.
——-, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi Ketiga, Airlangga University Prss.
Subekti, 2001, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, Cetakan XVIII.
Wiradipradja Saefula, 1989, Tanggungjawab Pengangkut Dalam Hukum Pengakutan Internasional dan Nasional, Liberty, Yogjakarta.
van Dunne dan van der Burght, 1989, Perbuatan Melawan Hukum, Terjemahan Hapsono Jayaningprang, Semarang.
[1]Hasil penelitian sementara yang dilakukan oleh Pusat Studi Lingkungan (PSL) Universitas Pattimura, disimpulkan bahwa diperkirakan kandungan emas yang gunung botak di Pulau Buru memang memiliki kandungan yng cukup besara. Hanya saja penambangan liar yang dilakukan masyarakat, baik masyarakat lokal maupun masyarakat dari Pulau Buru dan Maluku sudah sangat memprihantinkan, karena akan dapat merusak lingkungan hidup, mengginat digunakannya kandungan merkuri dan sianidia.
[2]Harian Pagi, Ambon Express, terbitan 10 October 2012.
[3]Harian Pagi “Siwalima”, terbitan 17 Januari 2013. Dilaporkan bahwa kandungan merkuri sudah mencapai 0.0529 mg/liter di Sungai Waepo, 0,0049 mg/liter di Sungai Suket, 0,0089 mg/liter di Kali Nekat, 0.006 mg/liter di Kali Wamsait, 0,0042 mg/liter di Kali Anahonai da 0.0463 mg/liter di Hulu Kali Wamsati, yang menjadi aktivitas masyarakat.
[4]Siti Sundari Rangkuti (I), “Inovasi Hukum Lingkungan : Dari Ius Constitutum ke Ius Constituendum”, Pidato Pengkungan Guru Besar yang diucapkan pada Rapat Senat Universitas Airlangga, Fakultas Hukum Uniersitas Airlangga, Sabtu, 11 Mei 1991, hal. 5
[5]Siti Sundari Rangkuti (II), Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi Ketiga, Airlangga University Press, 2005, hal. 265.
[6]Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, hal. 93
[7]M. Chief, Black’s Dictionary, St Paul Minessota : Mwest Group, 2000, 739
[8]Mariam Darus Badruzalman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 9
[9]Ibid, hal 1- 6
[10]Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, Cetakan XVIII, 2001, hal. 1
[11]Rossa Agustina, dkk, Hukum Perikatan (Law Obligation), Seri Unsur Unsur Penyusun Bangunan Negara Hukum, Pustaka Larasan, Denpasar Bali, 2012, hal. 4
[12]Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Cet I,Pradnya Paramita, Jakarta, 1979, hal. 113
[13]Istilah ini mulanya dikenal melalui konsep “absolute liability”, yang pertama kali digunakan oleh John Salmond dalam bukunya The Law of Tort, tahun 1907, sedangkan penggunaan “strict liability” dikemukakan oleh W.H. Wiinfield tahun 1926 dengan artikel terkenal, The Myth of Absolute Liability, di dalam Wiradipradja Saefula, Tanggungjawab Pengangkut Dalam Hukum Pengakutan Internasional dan Nasional, Liberty, Yogjakarta,1989, hal. 35. Lihat pula Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Gorup, Cetakan ke-3, Bandung, 2012, hal. 111
[14]Saefula, Op, Cit., hal. 18
[15]A. Yudha Hernoko, Bahan Kuliah Tanggung Gugat, Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Tahun 2012/2013
[16]Rossa Agustina, Op. Cit., hal. 6
[17]Moegni Djojodirjo, Op. Cit., 13
[18]Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum : Tanggunggugat (Aansprakelijkheid) untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum, Prandnya Paramita, Jakarta, 1982, hal. 57 – 58
[19]Rosa Agustina, Op.Cit., hal. 10
[20]Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 83
[21]van Dunne dan van der Burght, Perbuatan Melawan Hukum, Terjemahan Hapsono Jayaningprang, Semarang, 1989, hal. 2
[22] Lester R. Brown, Dua Puluh Dua Segi Masalah Kependudukan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992.
[23]Henry Campbell Black, Black‘a Law Dictionary, St. Paul, Minn, West Publishing Co, 1991, h. 327.
[24]Lutfi Yazid, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Environmetal Dispute Resolution), Airlangga University Press – Yayasan Adikarya IKAPI – Ford Foundation, Surabaya, 1999, h. 9
[25]Siti Sundari Rangkuti (II), Op. Cit., hal.
[26]Ibid., hal. 5
[27]Rossa Agustina, op., cit., hal. 9
[28]Harian pagi Siwalima, terbitan 17 Januari 2013
[29]Kilas Maluku, Menggerikan, Beginilah Dampak Aktivitas Tambang di Gunung Botak, Edisi 22 Mei 2015
[30] Kompas.com, Senin, 8 Oktober 2012.
[31]Siti Sundari Rangkuty (I), op., cit., hal. 281 – 282
[32]Rossa Agustina, op. cit., hal. 4
[33]Mas Achmad Santosa et al., Penerapan Atas Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) di Bidang Lingkungan Hidup, ICEL, Jakarta, 1997, hal. 59
[34]Siti Sndari Rangkuti (II), Op. Cit., hal. 269 – 271
[35]Diakui oleh beberapa ahli lingkungan, bahwa tidak mudah membuktikan hubungan causal (sebab akibat) antara “unsur kesalahan” dengan akibat yang terjadi dengan kerugian yang terjadi” dalam kasus ligkungan. N.H.T Siahaan menjelaskan bahwa membuktikan adanya kesalahan tidaklah mudah karena harus terlebih dahulu dibuktikan hubungan sebab akibat (causalitas) antara perbuatan pencemaran atau perusakan lingkungan dengan kerugian yang dialami korban. Diakuinya, pembuktian aspek lingkungan memang sulit, sebab menganalisis perbuatan pencemaran membutuhkan penjelasan yang bersifat ilmiah, teknis dan khusus, sehingga apabila skalanya luas (transfrontier) dan serius, perlu membuktikan sebab akibat dengan resiko yang sulit. Karena itu, pertanggungjawaban yang bersifat biasa, tampaknya tidak akan mencerminkan rasa keadilan, mengingat korban terkadang mengalami kerugian ganda (double victim), karena selain berkewajiban membuktikan “fault” atau “mens rea” pelaku, padahal korban sendiri telah mengalami kerugian. Siahaan, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam. Jakarta, 2006, hal. 274-275.