Model Penataan Ruang Laut Daerah Berdasarkan Integrated Coastal Management Sebagai Acuan Penyusunan Penataan Ruang Laut Pada Wilayah Kepulauan
Latar Belakang Pemikiran
Sebagai negara kepulauan seperti halnya Indonesia, wilayah laut memiliki fungsi, makna dan arti serta peranan yang sangat penting dalam kaitan dengan bagaimana wilayah laut berserta sumber daya yang terkandung di dalamnya dapat dikelola secara baik dan efisien serta berkelanjutan sejalan dengan tujuan pembangunan nasional. Kesadaran akan tanggung jawab pengelolaan wilayah laut di dasarkan pada kenyataan bahwa potensi sumber daya laut dan pesisir merupakan aset bangsa yang potensial bagi pengembangan wilayah dan juga menyimpan berbagai permasalahan yang signifikan[1].
Untuk dapat memanfaatkan nilai dan manfaat dari sumber daya laut dan pesisir bagi pengembangan wilayah nasional secara berkelanjutan serta menjamin kepentingan umum secara luas (public interest), maka pengelolaan wilayah laut merupakan bagian terpenting yang bertujuan agar wilayah laut dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dapat dikelola dan dimanfaatkan secara optimal.[2]
Sejalan dengan tuntutan otonomi daerah dimana daerah diberikan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya laut, menuntut adanya pengaturan tentang batasan-batasan dalam kaitan dengan pengaturan batas wilayah laut daerah yang merupakan batasan wilayah pengelolaan bagi daerah. Pengaturan batas wilayah pengelolaan laut bagi daerah merupakan kosekuensi yuridis sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Adanya kewenangan daerah sampai pada batas yang ditentukan tersebut meninitberatkan kepada pengaturan batas-batas administrasi kewenangan daerah dalam mengelola wilayah laut. Pengaturan mengenai kewenangan daerah dalam pengelolaan sumber daya laut tersebut diatas, menganut sistem pembagian wilayah yang apabila tidak dikaji dengan benar akan mengakibatkan bentuk-bentuk pengkaplingan wilayah laut oleh daerah yang berakibat pada terjadinya konflik pada wilayah laut.
Selain itu juga, kewenangan daerah dalam pengelolaan wilayah laut sebagai konsekuensi dari adanya desentralisasi pada bidang kelautan, jika tidak dicermati dengan baik akan berdampak terhadap pengkaplingan wilayah laut oleh daerah. Kenyataan tersebut, semakin diperparah oleh karena belum dituntaskannya pengaturan terhadap batas laut bagi daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) yang merupakan penerapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sebagamana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (3) [3] Hal tersebut berdampak terhadap wilayah-wilayah yang berkarateristik kepulauan sebagai kosekuensi adanya penyebaran pulau-pulau.
Penanganan terhadap berbagai isu dan permasalahan dalam pengelolaan wilayah laut merupakan aspek penting dalam kaitan dengan pengaturan terhadap batas- batas wilayah pengelolaan dan pemanfaatan ruang pada wilayah laut yang sampai saat ini belum secara keseluruahan memiliki kepastian hukum.
Selain itu, faktor lain yang menjadi penyebab adalah proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumber daya laut dan pesisir yang selama ini dijalankan masih bersifat sektoral dan cenderung berorientasi pada daratan sehingga berdampak pada aspek penataan ruang itu sendiri. Padahal karakteristik dan alamiah ekosistem pesisir dan lautan yang secara ekologis saling terkait satu sama lain mensyaratkan bahwa pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat diwujudkan melalui pendekatan terpadu dan holostik.
Apabila perencanaan dan pengelolaan sumberdaya laut tidak dilakukan secara terpadu, maka dikhawatirkan sumberdaya tersebut akan rusak bahkan punah, sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk menopang kesinambungan pembangunan nasional dalam mewujudkan bangsa yang maju, adil dan makmur. Dengan demikian, tuntutan terhadap upaya penataan wilayah laut haruslah dilakukan secara terintegrasi, dan saling terkait sebagai satu kesatuan dengan kata kunci yaitu keterpaduan.
Dalam pada itu, penataan ruang haruslah diarahkan guna mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah (baik nasional maupun daerah) yang nyaman, produktif dan berkelanjutan serta untuk mewujudkan keseimbangan dan keserasian dan strategis perkembangan antar wilayah, yang dilakukan melalui kebijakan dan strategi pengembangan struktur dan pola ruang wilayah yang pada akhirnya akan menciptakan keterpaduan lintas sektoral dan lintas wilayah sehingga dapat meminimalisir terjadinya konflik di dalamnya.
Berpijak pada pengertian di atas maka penataan ruang tidak hanya diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan sektoral yang bersifat parsial, namun lebih dari itu, penataan ruang diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan bagi pengembangan wilayah nasional yang bersifat komprehensif dan holistik dengan mempertimbangkan keserasian antara berbagai sumber daya sebagai unsur utama pembentuk ruang (sumberdaya alam, buatan, manusia dan sistem aktivitas), yang didukung oleh sistem hukum dan sistem kelembagaan yang melingkupinya, sehingga diharapkan setidaknya a). dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan; b). tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang; dan c). tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang.
Dalam pada itu, maka diperlukan suatu konsep penataan wilayah laut yang memungkinkan tercatatnya hak-hak dan kepentingan di laut, diatur secara spasial dan ditentukan secara fisik dalam kesinambungan terhadap batas-batas kepentingan yang tumpang tindih (berhimpitan) dengan mencantumkan batas-batas dan status hak yang diberikan atas persil.[4] Hak-hak yang dimaksudkan diatas adalah hak pengelolaan wilayah laut, dalam arti memanfaatkan dan melindungi wilayah laut. Tuntutan terhadap penataan wilayah laut dalam kaitan dengan pengaturan batas-batas wilayah laut bagi daerah dimaksudkan untuk mengatur dan mengelola sumber daya laut. Batasan dan ruang lingkup pengaturan terhadap batas-batas pengelolaan wilayah laut diletakan pada batasan kewenangan daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) sebagimana diatur dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Pengaturan terhadap batas-batas wilayah pengelolaan sumber daya laut bagi daerah berpengaruh terhadap proses penataan ruang wilayah bagi daerah itu sendiri. namun demikian, kehadiran Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 belum menjawab berbagai realitas dan permasalahan yang di hadapi oleh daerah selain karena belum tuntasnya RUU tentang penetapan batas daerah, penataan ruang laut masih belum diatur secara tegas, sehingga berdampak pula terhadap tidak adanya pengaturan mengenai tata ruang laut bagi daerah, mengingat pengaturan tata ruang laut dalam pengelolaannya masih diatur dengan undang-undang tersendiri.
Sebagai kerangka acuan bagi daerah dalam mengelola wilayah laut utamanya dalam kaitan dengan pengaturan tata ruang pada wilayah laut, dapat mengacu kepada konsep pengelolaan wilayah laut secara terpadu, dengan didasarkan pada Integrated Coastal Manegement (ICM), yang mana pengaturan mengenai tata ruang pada wilayah laut ditekankan pada sistem kewenangan kewilayaan/zonasi baik pada tataran nasional maupun pada tataran lokal daerah. Kebijakan dan strategi dalam penataan ruang laut berdasarkan Integrated Coastal Manegement (ICM), berisikan prinsip-prinsip yang terkait dengan pengelolaan sumber daya laut dan pesisir, integrasi undang-undang terkait dan integrasi sektoral.
Proses pengaturan tata ruang wilayah laut bagi daerah senantiasa tidak hanya memicu konflik kewenangan baik antar pemerintahan daerah (Provinsi dan kabupaten/kota) maupun antar pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, tetapi juga berdampak bagi daerah-daerah yang memiliki karateristik wilayah berupa kepulaan atau gugusan pulau-pulau.
Untuk itulah, diperlukan adanya suatu pola pengaturan secara khusus yang berbeda dengan daerah-daerah lain pada umumnya, mengingat karateristik dan urgensi pengaturan tata ruang wilayah laut sebagai kosekuensi adanya penyebaran pulau-pulau. Dari penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh suatu pendekatan tidak hanya berupa pendekatan hukum semata tetapi juga diperlukan suatu pendekatan dari bidang ekonomi dan sosial masyarakat sekitar wilayah pesisir dan laut (utamanya masyarakat adat). Beranjak dari uraian diatas maka substansi permasalahan yang dihadapi adalah :
- Model penataan ruang wilayah laut pada wilayah kepulauan khususnya di Maluku berdasarkan prinsip-prinsip dasar Integrated Coastal Manegement (ICM)
- Acuan dalam penyusunan tata ruang wilayah laut daerah
Sebagai kosekuensi dari adanya penyebaran pulau-pulau, maka tentunya model pengaturan tata ruang wilaya laut pada wilayah kepulauan hendaknya didasarkan pada aspek karateristik kewilayaan (aspek geografis) pada wilayah kepulauan itu sendiri. Untuk itulah, maka penelitian ini mempunyai keutamaan karena :
- Diharapkan dapat menghasilkan suatu model penataan ruang wilayah laut daerah pada wilayah kepulauan berdasarkan prinsip-prinsip Integrated Coastal Manegement (ICM) yang tidak hanya dikaji dari aspek hukum semata namun juga dikaji dari berbagai aspek seperti sosial budaya, ekonomi, lingkungan, dan aspek-aspek lainnya yang berkaitan dengan pengembangan wilayah pada wilayah kepulauan
- Dapat memberikan masukan kepada pemerintah sebagai acuan dalam kerangka penataan ruang wilayah laut daerah khususnya bagi wilayah kepulauan
- Dapat memberikan kontribusi pemikiran secara ilmiah dan konstruktif terhadap berbagai kajian-kajain yang berkaitan dengan penataan ruang wilayah laut baik secara nasional maupun secera lokal (daerah).
PENATAAN RUANG LAUT TERPADU
Dari berbagai isu dan permasalahan terkait dengan karateristik yang dimiliki oleh wilayah laut dan pesisir, mempertegas bahwa pengelolaan wilayah laut tidak sebatas pada bagaimana kita menata wilayah laut, namun lebih dari pada itu diperlukan adanya suatu pengaturan mengenai tata ruang wilayah laut. Pengaturan dalam penataan wilayah laut, tersebut mencakup (1) penggunaan ruang laut oleh aktivitas masyarakat dan pemerintah; (2) menata ruang laut untuk dilindungi, dikonservasi (taman nasional, taman suaka margasatwa dan lainnya); dan (3) penggunaan ruang laut oleh komunitas masyarakat hukum adat adat.[5]
Apabila perencanaan dan pengelolaan sumberdaya laut tidak dilakukan secara terpadu, maka dikhawatirkan sumberdaya tersebut akan rusak bahkan punah, sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk menopang kesinambungan pembangunan nasional dalam mewujudkan bangsa yang maju, adil dan makmur. Dengan demikian, tuntutan terhadap upaya penataan wilayah laut haruslah dilakukan secara terintegrasi, dan saling terkait sebagai satu kesatuan dengan kata kunci yaitu keterpaduan. Arifin Rudyanto, [6] menyatakan bahwa :
”Pengelolaan sumber daya laut (termasuk pesisir) secara terpadu, menurut, difokuskan pada empa aspek, yaitu 1). Keterpaduan antara berbagai sektor dan swasta yang berasosiasi; 2). Keterpaduan antara berbagai level pemerintahan, mulai dari pusat sampai dengan kabupaten/kota, kecamatan dan desa; 3). integrasi antara pemanfaatan ekosistem darat dan laut; dan 4). Integrasi antara sains /teknologi dan manejemen”
Penataan ruang laut secara terpadu meliputi di dalamnya keterpaduan sektoral, keterpaduan ilmu dan keterpaduan ekologis. Keterpaduan sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggungjawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintahan (horizontal integration), dan antar tingkat pemerintahan dari mulai desa, kecamatan, kabupaten, provinsi sampai ketingkat pusat (vertical integration). Sedangkan keterpaduan keilmuan mensyaratkan bawha dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisplin ilmu (interdisciplinary approaches) yang melibatkan bidang ilmu antara lain ekologi, ekonomi, teknik, sosiologi, hukum dan bidang ilmu lainnya. Sementara itu, keterpaduan ekologis, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya tergambar secara faktual bahwa wilayah pesisir dan lautan tersusun dari berbagai ekosistem. [7]
Dengan sistem pengelolaan (management) yang terdapat dalam Integrated Coastal Management diharapkan terjadi suatu integrasi dan saling pengertian diantara pengguna dan pemerintah. Dilihat dari proses dan kelembagaan yang dibentuk, maka banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah laut dan pesisir. ICM merupakan pendekatan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di pesisir dan laut dengan sistem, prosedur dan struktur dengan cara integrasi dan sinskronisasi
Dalam tata kelola kelautan (Ocean Governance/pentabiran lautan) hal yang terpenting dalam pelaksanaannya adalah menata kelola ruang lautan untuk beragam penggunaan (multiple use of ocean space) dengan maksud untuk (a) menghindari konflik penggunaan ruang lautan dan (b) untuk menjaga kelestarian sumber daya yang terkandung di dalamnya.[8] Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa, berkaitan dengan Ocean Governance, maka konsep penataan ruang lautan yakni :
- Konsep keterpaduan menata ruang lautan dan daratan melalui pendekatan DAS (Daerah Aliran Sungai);
- konsep keterpaduan menata ruang pulau-pulau kecil dan lautan dengan pendekatan bioregionisme yang mengkaitkan karakter fisik oseanografi, atmosfer, perubahan iklim dengan karakter demografi, sosial, ekonomi, budaya yang hidup di pulau-pulau kecil;
- Penataan ruang lautan di Laut Teritorial, khususnya di Zona Ekonomi Eksklusif menjadi kewajiban negara yang diperoleh dari UNCLOS 1982 untuk pemanfaatan yang lestari dari sumber daya hayati, … seperti yang terdapat dalam Pasal 61 ayat (1), dan ayat (2) UNCLOS 1982
Sementara itu, menurut WWF terdapat beberapa kata kunci yang perlu diperhatikan dalam penataan ruang laut, yaitu bahwa : [9]”(a) keseluruhan tujuan harus jelas; (b) terdapat kesempatan untuk mengurangi konflik pemanfaatan; (c) dalam pengambilan keputusan mempertimbangkan efek kumulatif dan kombinasi; (d) menghadirkan kesempatan untuk mempersiapkan kedepan (forward looking; dan (d) menyediakan mekanisme yang jelas, mudah diakses untuk peran serta stakeholders dalam perencanaan dan menejemen aktivitas di laut”. Lebih lanjut terdapat pula beberapa elemen dalam proses penyusunan tata ruang lau, yaitu (a) pengkajian lingkungan strategis, (b) tukar menukar data; (c) pengkajian resiko; (d) pemetaan ekologis dan sosio ekonomi, data spasial dan Sistem Informasi Geografis (GIS); dan (e) konsultasi publik[10]
PRINSIP INTEGRATED COASTAL MANAGEMENT (ICM)
Penataan ruang wilayah laut untuk pengelolaan wilayah laut dan pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Management) merupakan pendekatan baru sebagaimana dituangkan dalam Chapter 17 Agenda 21 bahwa lingkungan laut (the marine environment) merupakan komponen penting sistem penyangga kehidupan global. Fakor pertumbuhan penduduk dan eksploitasi terhadap sumber daya ayam secara terus menerus menyebabkan wilayah laut dan pesisir memerlukan pengelolaan, perlindungan terhadap sumber daya alamnya dan dikembangkan sesuai dengan peruntukkannya untuk keberlanjutan sumber daya bagi generasi mendatang.[11]
Integrated Coastal Management, merupakan pengelolaan pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (environment servis) yang terdapat di kawasan pesisir dan laut, dengan cara melakukan penilaian secara menyeluruh (comprehensive assessment) terhadap sumber daya alam dan jasa, lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya, guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan.[12]
Tujuan yang diharapkan dari adanya Integrated Coastal Management adalah untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di wilayah laut, [13]mengurangi rusaknya sumber daya pesisir dan laut dan hunian penduduk, memelihara/mempertahankan proses ekologi dan dukungan terhadap life supporting system keanekaragaman hayati di wilayah pesisir dan laut melalui penataan ruang wilayah laut
Pengelolaan tepadu secara sektoral berarti adanya koordinasi antara tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration), dan antar tingkat pemerintahan (vertical integration). Selanjunya pengelolaan terpadu secara keilmuan berarti bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut dalam rangka penataan ruang menggunakan interdisiplin ilmu (interdiclipinary approaches) yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum dan lainnya yang relevan.[14] Pada dasarnya, suatu Integrated Coastal Management terdiri dari 4 (empat) elemen hirarki perencanaan yakni :
(1) rencana strategi,
(2) recana zonasi
(3) rencana pengelolaan dan
(4) recana aksi.
PENATAAN RUANG WILAYAH LAUT DAERAH PADA WILAYAH KEPULAUAN
Sebagaimana diketahui bahwa penataan ruang daerah merupakan bentuk rencana pengembangan wilayah, yang mempunyai peranan kuat dalam upaya mengatur ruang-ruang secara lebih efisien dan berniai ekonomis di daerah. adanya kebijakan baru dalam rangka otonomi daerah memberikan ruang bagi daerah untuk menata ruang wilayah sesuai dengan karateristik kewilayahan yang kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tata ruang wilayah laut daerah haruslah diletakkan dalam sistem perencanaan tata ruang yang berlaku. Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, disebutkan bahwa ”Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
Batasan wilayah perencanaan dari RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota disesuaikan dengan batas kewenangan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, yakni :
- Pemerintah Provinsi berwenang untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan; dan
- Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.
Kedudukan penataan ruang wilayah laut dalam konteks penataan ruang wilayah itu sendiri merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayah perencanaan Propinsi dan Kabupaten/Kota, oleh karena RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota telah mencakup di dalamnya seluruh ruang daratan dan ruang lautan yang menjadi kewenangan Propinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam pada itu, apabila diperlukan perencanaan tata ruang yang fokus pada ruang lautan dan pesisir, maka rencana tata ruang yang dihasilkan harus merupakan bagian dari rencana tata ruang wilayah sebagai satu kesatuan yang berjenjang dan komplementer, sebagaimana dimaksud dalam ketetuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahuh 2007.[15]
Selanjutnya, dengan menempatkan ruang sebagai objek dalam proses perencanaan tata ruang, maka perlu diperhatiakn bahwa :
- Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya yang didasarkan atas rencana tata ruang;
- Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang (agar tetap sesuai dengan rencana tata ruang);
- RTRWN, RTRWP, dan RTRWK menjadi pedoman untuk pelaksanaan pembangunan dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan sekaligus berfungsi sebagai pedoman untuk penetapan lokasi investasi dengan memperhatiakn berbagai kepentingan di dalamnya
Secara substansial, penataan ruang wilayah laut pada wilayah kepulauan ini berfungsi untuk memberikan arah keterpaduan pembangunan lintas wilayah dan lintas sektor, dengan mensinergikan kepentingan lintas wilayah (cross-jurisdiction) dan lintas sektor (multi-stakeholder) dalam pemanfaatan ruang yang berorientasi pada upaya mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah melalui efektivitas pemanfaatan sumber daya alam.
Dalam pada itu, terdapat beberapa alasan utama berkaitan dengan pentingnya pengaturan mengenai tata ruang pada wilayah kepulauan, di karenakan wilayah kepulauan sangat rentan terhadap berbagai kejahatan baik yang bersifat transnasional maupun internasional, seperti halnya ancaman ilegal fishing dan ancaman lainnya serta penyerobotan batas-batas wilayah yang merupakan bagian dari kedaulatan negara. termasuk pengaturan mengenai wilayah-wilayah perbatasan termasuk di dalamnya mengenai keberadaan Pulau-Pulau kecil terluar, utamanya oleh masyarakat hukum adat (pada wilayah laut dan pesisir) yang berada di wilayah kepulauan utamanya yang berdekatan dengan wilayah perbatasan. [16]
Dari aspek konten (isi), pengaturan tata ruang wilayah laut pada wilayah kepulauan, memiliki perbedaan dan keunikan tersendiri yang berbeda dengan pangaturan tata ruang pada umumnya. Perbedaan tersebut ditinjau dari aspek geografis (kewilayaan) maupun dari aspek urgensi pengaturannya, yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
- Dari aspek geografis (kewilayaan), dimana karateristik wilayah yang terdiri dari pulau-pulau dan gugusan pulau membutuhkan kerangka pengaturan ruang wilayah yang berbeda sebagai kosekuensi dari penyebaran pulau-pulau. Dengan demikian, diperlukan pengaturan yang tegas dan jelas terhadap batas-batas wilayah laut dengan memperhatikan kepentingan antar sektor yang dilandaskan pada kesatuan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Sedangkan dari aspek urgensi pengaturannya, didasarkan pada kerangka keterpaduan pembangunan yakni Berorientasi pada wilayah yang lebih luas (cross jurisdiction); Keterpaduan antar sektor, antar wilayah dan antar pelaku pembangunan; Keterpaduan antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan; dan Menggunakan prinsip sinergi pembangunan dan kemanfaatan bersama.
IDENTIFIKASI PERMASALAHAN PENATAAN RUANG WILAYAH LAUT
MODEL PENATAAN RUANG WILAYAH LAUT DAERAH PADA WILAYAH KEPULAUAN.
Untuk mendapatkan gambaran mengenai kerangka acuan penataan ruang wilayah laut daerah bagi wilayah kepulauan dengan di dasarkan pada prinsip-prinsip Integrated Coastal Manegement (ICM) sebagaimana terlihat pada gambar berikut dibawah ini .
Model Perencanaan Penataan Ruang Wilayah Laut Daerah
Pada Wilayah Kepulauan
KERANGKA KONSEP STUDI KAJAIN
Secara skematik kerangka konsep studi disajikan pada diaram alir berikut dibawah ini :
Daftar Bacaan
Dina Sunyowati, 2008. Kerangka Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Berdasarkan Konsep Integral Coastal Managemet Dalam Rangka Pembangunan Kelautan Berkelanjutan, Ringkasan Disertasi, Arlaingga.
_______________, Penetapan Batas Laut Negara Kesatuan Republik Indonesia, Yuridika, Volume 21_Mei Nomor 21.
Jacub Rais, dkk., 2004. Menata Ruang Laut Terpadu, PT Pradyana Paramita, Jakarta.
R. Z. Titahelu, Hukum Adat Dalam Konteks HAM Dan Pluralisme Hukum, Makalah Pada Seminar Adat Pada Kabupaten Kepulauan Aru, November 2006.
Rohmin Dahuri, 2003, Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Lautan, Orasi Ilmiah Sebagai Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Lautan Institur Pertanian Bogor,
Sulistiyo Budi, Sebuah Pemikiran Kadaster Laut Sebagai Langkah Menuju Penataan Wilayah Laut _Makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan I Teknik Geodesi.
Sobar Sutisna, Kemungkinan Laus Laut Sebagai Bagian Dari Luas Wilayah Dalam Perhitungan DAU,_Makalah disampaikan pada Workshop Nasional Penguatan Pelaksanaan Kebijakan Desentralisasi Fiskal, Jakarta 5-6 April 2006.
Syaifurrahman Salman dan Edi Susilo M. Hasan, Pengembangan Wilayah Pesisir Sebagai Kawasan Strategis Pembangunan Daerah
[1] Tanggung jawab tersebut diatas, antara lain yakni ”Pertama, sebagai sumber perekonomian negara. Kedua, secara regional berbatasan dengan negara-negara tetangga yang juga memiliki kepentingan mengelola laut dan Ketiga, secara internasional perairan Indonesia merupakan perairan vital yang dapat berpengaruh pada perdagangan, kepentingan pertahan global maupun keseimbangan ekosistem laut global” Jacub Rais, dkk, (2004) Menata Ruang Laut Terpadu, PT Pradnya Paramita, Jakarta, h. 33
[2] Pengelolaan wilayah laut dalam kaitan dengan konsep pengembangan wilayah merupakan upaya untuk mewujudkan keterpaduan penggunaan berbagai sumberdaya, merekatkan dan menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan wilayah nasional, meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[3] Dina Sunyowati dan Enny Narwati, Penetapan Dan Penataan Batas Wilayah Laut Negara Kesatuan Republik Indonesia, Yuridika, Volume 21, Nomor 3, Mei 2006., h. 284-285
[4] Persil adalah ruang di muka bumi , baik darat maupun laut, yang dipartisi dan dibatasi oleh batas yang jelas yang dinyatakan sebagai koordinat, diuraikan kuantitasnya, luasnya, ditetapkan dengan hak yang melekat padanya dan ditentukan penggunaanya (Budi Harsono, 1999) dikutip dari Chomary,
[5] Pengaturan tersebut diatas, bertujuan agar wilayah laut dengan sumber daya alam yang terkandung didalamnya dapat dikelola dan dimanfaatkan secara optimal dan berkesinambungan dan untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejaterahan rakyat, sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945. Oleh karena itu, pendekatan secara komprehensif dan dinamis terhadap wilayah laut perlu dilakukan secara tepat karena menyangkut kedaultan negara
[6] Arifin Rudyanto, Kerangka Kerjasama Daerah Dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Dan Laut, Makalah disampaikan pada Sosialisasi Nasional Program MFCDF, 22 September 2004., h. 3
[7] Ibid., h. 20 – 22. Lihat juga Dina Sunyowati (2008), Ibid., h. 29
[8] Dina Sunyowati (2008), Loc Cit., h. 80
[9] Jacub Rais, dkk, (2004), Loc Cit., h. 190
[10] Ibid
[11] Dina Sunyowati (2008), Kerangka Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Berdasarkan Konsep Integrated Coastal menagement Dalam Rangka Pembangunan Kelautan Berkelanjutan, Ringkasan Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya., h. 16
[12] Ibid
[13] Integrated Coastal Management, merupakan suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang melibatkan dua atau lebih ekosiste, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan. Dalam konteks demikian, Integrated Coastal Management, mengandung tiga dimensi yaitu sektoral, bidang ilmu dan ekologis. Rohmin Dahuri Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001., h. 12
[14] Rohmin Dahuri, Ibid
[15] Asas komplementer dimaksudkan bahwa penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, penataan ruang wilayah kabupaten/kota saling melengkapi satu sama lain , bersinergi, dan tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam pelaksanaannya. Lihat Penjelasan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
[16] ”Seperti halnya pada wilayah Maluku terutama di wilayah kepulauan Maluku Tenggara Barat, Maluku barat Daya dan Kepulauan Aru yang berbatasan dengan Timor Leste dan Australia, kadangkala ada nelayan tradisional (nelayan di wilayah Pulau Kei Besar, maupun nelayan di Pulau Kisar), yang sadar atau tidak memasuki wilayah-wilayah tersebut. Mereka memasuki wilayah-wilayah tersebut lebih disebabkan karena praktek tradisional yang mereka lakukan secara konsisten dari waktu ke waktu selain jarak yang tidak terlalu sulit untuk dijangkau, cenderung menimbulkan konflik baik konflik antar pemerintah (pusat dan daerah) maupun konflik antar negara di wilayah perbatasan”R. Z. Titahelu, Hukum Adat Dalam Konteks HAM Dan Pluralisme Hukum, Makalah Pada Seminar Adat Pada Kabupaten Kepulauan Aru, November 2006