EKSISTENSI DAN FUNGSI PRINSIP STRICT LIABILITY DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN

Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara

EKSISTENSI DAN FUNGSI PRINSIP STRICT LIABILITY

 DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN

(Oleh: Dr. Hendrik Salmon, SH.MH)

 

1.  Latar Belakang

 

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup atau yang lebih sering dikenal dengan  Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) juga memuat ketentuan antara lain tentang hak setiap orang yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dan kewajiban setiap orang memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Sebagai konsekuensi adanya hak dan kewajiban tersebut, akan melahirkan. pertanggungjawaban (sanksi) administrasi, perdata dan pidana, sehingga ditegakkannya hukum dalam kasus pencemaran dan perusakan lingkungan hidup menjadi sangat relevan.

Penegakan hukum lingkungan melalui instrumen perdata khususnya di Indonesia kurang disenangi orang, karena berlarut-larutnya proses perdata di pengadilan. Hampir semua kasus perdata pada akhirnya di lempar pula ke pengadilan yang tertinggi untuk kasasi, karena selalu tidak puasnya para pihak yang kalah. Bahkan, ada kecenderungan orang sengaja mengulur waktu dengan selalu mempergunakan segala upaya hukum, bahkan walaupun kurang beralasan biasa terus pula ke peninjauan kembali. Sesudah ada putusan kasasi pun masih juga sering sulit sekali putusan itu dilaksanakan 1)

Berbeda sekali dengan proses perdata di Belanda yang jauh lebih singkat, apalagi dikenal yang disebut acara singkat (kort gecling). Oleh karena itu, di sana pilihan antara instrumen keperdataan dan pidana dalam menyelesaikan kasus lingkungan dapat dikatakan seimbang, bergantung pertimbangan yuridis, instrumental dan oportunistik. Sedangkan bagi Indonesia, ada kecenderungan orang untuk menempuh instrumen pidana sebagai jalan potong kompas, karena dalam hukum pidana ada alat paksa. Bahkan kadang-kadang suatu kasus yang betul-betul hanya bersifat perdata melulu, dipidanakan. Sebaliknya, kadang-kadang suatu isu sungguh-sungguh merupakan kasus pidana, justru ditolak, kelihatannya penegak hukum kurang mengerti batas-batas antara hukum pidana dan perdata 2)

Para ahli hukum perdata cenderung memakai istilah "tanggung gugat" dalam menerjemahkan istilah "aansprakelijkheid atau liability", untuk membedakannya dari istilah dari istilah "verantwoodelijkheid atau responsibility" yang lebih dikenal dalam hukum pidana. Istilah "tanggung gugat" ini sudah berkembang sejak tahun tujuh puluhan untuk membedakan istilah "tanggung jawab" yang dikenal dalam hukum tata negara, hukum administrasi dan hukum pidana. Istilah tanggung gugat ini berkaitan dengan tanggung jawab terhadap kerugian 3)

Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup merupakan suatu perbuatan yang dapat mendatangkan kerugian pada orang lain, sehingga pencemar dan/atau. perusak lingkungan hidup mempunyai kewajiban, memberikan ganti kerugian dan serta melakukan tindakan tertentu kepada korbannya. Tanggung jawab dengan kewajiban memberikan ganti kerugian ini dikarenakan adanya kesalahan pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain. Hal ini sejalan dengan sistem hukum perdata kita yang menganut tanggung jawab berdasarkan kesalahan ("schuld aansprakelijkheid" atau "liability based on fault"), Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.4)

Asas tanggung jawab yang didasarkan pada kesalahan didasarkan pada adagium bahwa tidak ada tanggung jawab apabila tidak terdapat unsur kesalahan (no liability without fault). Tanggung jawab demikian, disebut pula dengan "tortious liability" 5) Pada umumnya ketentuan ganti kerugian ini mempunyai tujuan:

1.  untuk pemulihan keadaan semula akibat tindakan tersebut;

2.  untuk pemenuhan hak seseorang, di mana suatu peraturan perundang-undangan menentukan bahwa seseorang berhak atas suatu ganti kerugian apabila telah terjadi sesuatu yang dilarang;

3.  ganti kerugian sebagai sanksi hukum;

4.  sebagai pemenuhan ketentuan undang-undang, dalam arti bahwa undang-undang tidak merumuskannya sebagai hak seseorang, namun undang-undang menyatakannya sebagai kewajiban6)

 

Demikian pula UUPLH mengenal dua macam tanggung gugat pencemaran lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 34 dan Pasal 35. Pasal 34 mengatur mengenai tanggung gugat pencemaran lingkungan hidup pada umumnya yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum dan Pasal 35 mengatur mengenai tanggung gugat pencemaran lingkung­an hidup yang bersifat khusus, yaitu tanggung jawab mutlak atau tanggung gugat mutlak (strict liability). Sebelumnya hal serupa juga diatur dalam UULH, yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21. Pasal 20 mengatur mengenai tanggung gugat pencemaran lingkungan hidup pada umumnya yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum dan Pasal 21 mengatur mengenai tanggung gugat pencemaran lingkung­an hidup yang bersifat khusus, yaitu tanggung jawab mutlak yang selektif.

Pasal 34 ayat (1) UUPLH menyatakan bahwa:7)

"Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu".

 

Ketentuan Pasal 34 ayat (1) ini, selain menjadi dasar hukum tuntutan ganti kerugian, juga menjadi dasar hukum tuntutan tindakan tertentu kepada pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup. Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UUPL antara lain menyatakan:

"Selain diharuskan membayar ganti rugi, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentu-kan, memulihkan fungsi lingkungan hidup, dan menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup".

2. Permasalahan.

Terkait dengan masalah tanggung gugat pencemaran lingkungan bagaiamana halnya dengan Tanggung Gugat Secara Mutlak (Strict Liability) dalam penegakan hukum lingkungan?

 

3. Metodelogi

 

a.   Jenis Penelitian

            Penelitian ini adalah merupakan penelitian hukum normative, karena itu dalam penelitian ini perlu dikaji dari bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum skunder.     

 

 b. Jenis pendekatan

Jenis pendekaan dalam penelitian ini melakukan dengan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), kenyataan (fact approach), dan analisa konseptual (analytical conceptual approach).

 

c.  Sumber Bahan Hukum

            Sesuai dengan sifatnya yang normative, maka sumber bahan hukum primer berupa perundang-undangan, asas-asas dan kaedah hukum. Sedangkan bahan hukum sekunder diambil dari kepustakaan seperti undang-undang, hasil-hasil penelitian, karya-karya umum.

 

 

d.  Metode Pengumpulan Bahan

         Dilakukan dengan cara mengklasifikasikan secara sistematis sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.

 

 e.   Analisis Bahan Hukum

            Sumber yang diperoleh berupa bahan-bahan tersebut, selanjutnya dianalisis deskriftif : secara evaluatif, imterpretatif, sistematis, konstruktif dan argumentative.

 

4. Pembahasan

 

Prinsip strict liability sudah lama berkembang dalam sistem hukum lingkungan modern, sebagai pilihan mengatasi kelemahan pertanggung-jawaban berdasarkan kesalahan yang dianut hukum perdata kita (baca : tanggung gugat biasa). Dengan menggunakan prinsip strict liability ini, maka akan dapat terjerat kejahatan-kejahatan lingkungan hidup yang mengharuskan adanya pembuktian secara ilmiah yang tidak mungkin berhasil jika dituntut berdasarkan tanggung gugat biasa. Hal ini sejalan dengan prinsip pencegahan secara dini terhadap lingkungan hidup.

Rudiger Lummert dalam tulisannya "Changes in Civil Liability Concept" mengemukakan, bahwa dengan berkembangnya industrialisasi yang menghasilkan risiko yang bertambah besar serta makin rumitnya hubungan sebab akibat, maka teori hukum telah meninggalkan konsep "kesalahan" dan berpaling ke konsep "risiko". Perkembangan industri modern telah membawa serta sejumlah risiko yang terjadi setiap hari yang tidak dapat dihindarkan dari sudut ekonomi. la telah menimbulkan derita dan bagi si penderita hal tersebut tidak dapat ditanggungnya tanpa suatu ganti kerugian. Sejak pertengahan abad kesembilan belas, asas strict liability telah diperkenalkan, sekurang-kurangnya untuk beberapa macam kasus, yang sebagian besar berkaitan dengan risiko lingkungan,

Konsep strict liability diartikan sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan ditimbulkannya kerusakan. Salah satu ciri utamanya tidak adanya persyaratan perlu adanya kesalahan. Hal yang senada dikemukakan pula oleh James E. Krier dalam tulisannya 'Environment Litigation and the Burden of Proff", bahwa "doktrin strict liability dapat merupakan bantuan yang sangat besar dalam peradilan mengenai kasus-kasus lingkungan, karena banyak kegiatan-kegiatan yang menurut pengalaman menimbulkan kerugian terhadap lingkungan merupakan tindakan-tindakan yang berbahaya, untuk mana dapat diberlakukan ketentuan tanggung jawab tanpa kesalahan. Faktor penting lainnya yang berkaitan dengan doktrin strict liability adalah beban pembuktian.

 

Salah satu kriteria tradisional yang menentukan pembagian beban pembuktian seyogianya diberikan kepada pihak yang mempunyai kemampuan terbesar untuk memberikan bukti tentang seauatu hal. Dalam hubungan dengan kerusakan atau pencemaran lingkungan oleh kegiatan industri, maka terang si perusak dan/atau pencemar itu yang mempunyai kemampuan lebih besar untuk memberikan pembuktian. Berdasarkan prinsip pencemar membayar dan asas tanggung jawab mutlak ini, dikembangkanlah di dalam ilmu hukum prosedur tentang pembuktian yang disebut shifting (or alleviating) of, burden of proofs"9) Paling tidak pengembangan teori strict liability ini berawal pada tahun 1868. Pada saat kasus yang terjadi di Inggris, Rylands vs. Fletcher, memperkenalkan pertama kalinya teori ini. Setelah itu doktrin ini diperkenalkan dalam berbagai perundang-undangan di Inggris, yakni dalam Civil Aviation Act (1949), Nuclear Installations Act (1959/1965) dan Animal Act (1971). Di Amerika Serikat, yakni dalam Price Anderson Act (1957); Rivesr and Harbors Appropriation Act (1899); Trans Alaska Pipeline Authorization Act (1973); Comprehensive Environmental Response Com­pensation, and Liability Act (CERCLA 1980/1986/1994); Clean Water Act (CWA). Negara-negara lain seperti Prancis memuat klausul umum dalam Pasal 1384 Code Civil; juga di Belanda dirumuskan dalam Pasal 175 ayat (1), Pasal 176 ayat (1) dan Pasal 177 ayat (1) BW; di Jerman, strict liability terdapat di peraturan perundangan transportasi, pencemaran air, konstruksi dan pengoperasian instalansi pembangkit tenaga nuklir; di Swedia, di dalam Undang-Undang Perlindungan Lingkungan memberlakukan asas strict liability untuk pencemaran lingkungan hidup yang substansial sifatnya (pengaturan umum), akan tetapi dilengkapi dengan per­aturan perundang-undangan khusus yang mengatur strict liability pada Undang-Undang tentang Risiko Pembangkit Tenaga Nuklir, Pencemaran Laut oleh Tumpahan Minyak. Sedangkan di Thailand diatur dalam Enhancement and Conservation Oil National Environmental Quality Act 1992 10)

Demikian pula asas strict liability ini cukup banyak dianut di dalam konvensi-konvensi internasional. Beberapa dari konvensi tersebut adalah:

1. Konvensi tentang Pertanggungjawaban Pihak Ketiga di Bidang Energi Nuklir (Convention on Third Party Liability in the Field ot Nuclear Energy, 29 July 1960, Paris);

2. Konvensi tentang Pertanggungjawaban Sipil atas Kerugian yang Diakibatkan oleh Nuklir (Convention on Civil Liability for Nuclear Damage, 21 May 1963, Vienna);

3.  Konvensi Internasional tentang Pertanggungjawaban Sipil atas Kerugian Pencemaran Minyak (Liability for Oil Pollution Damage, 29 November 1969, Brussels);

4.  Konvensi tentang Pertanggungjawaban Internasional atas Kerugi­an yang Disebabkan oleh Objek Ruang Angkasa (Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects, 29 March 1972, Geneva);

5. Konvensi Pergerakan Lintas Batas Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Convention on the control of Transboundary Movements of hazardous Wastes and Their Disposal, 22 March 1989);

6.  Konvensi tentang Pertanggungjawaban Sipil terhadap Kerugian yang Diakibatkan oleh Aktivitas yang Membahayakan Lingkungan(Convention on Civil Liability for Damage Resulting from Activities Dangerous to the Environment, Lugano 21 Juni 1993); dan

7. Rancangan Protokol Keamanan Hayati (Biosafety) sebagai Pelak-sanaan dari Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biodiversity) 11)

Dalam kepustakaan hukum kita prinsip strict liability ini, diterjemahkan bermacam-macam. Ada pakar hukum yang menerjemahkan dengan "tanggung jawab risiko", "tanggung jawab langsung dan seketika", "tanggung jawab mutlak" dan "tanggung jawab tanpa kesalahan". .Dari beberapa istilah tersebut, "tanggung jawab mutlak" yang kemudian dipergunakan oleh UUPLH. Karena Pasal yang mengatur tanggung jawab mutlak ini berada dalam Bab VII Penyelesaian Sengketa Lingkungan .Hidup Bagian Ketiga Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan Paragraf 2 Tanggung Jawab Mutlak, maka seyogianya istilah yang dipergunakan sebagai terjemahan dari strict liability tersebut adalah "tanggung gugat secara mutlak" bukan "tanggung jawab mutlak" sebagai pembeda istilah "tanggung jawab" yang juga dikenal dalam hukum pidana maupun hukum tata negara. Bab VII tersebut berkaitan dengan pengaturan penyelesaian sengketa tingkungan hidup sebagai perkara perdata, maka dengan sendirinya istilah yang dipergunakan juga harus istilah yang dipakai dalam hukum perdata itu sendiri, bukan menggunakan istilah lainnnya.

Suparto Wijoyo mengemukakan bahwa penggunaan terminologi "tanggung jawab" (mutlak) dalam UUPLH dimafhumi tidak kontekstual dan anotasi yang diekspresikan juga dirasakan kurang tepat serta belum lengkap. Bukankah di kalangan ahli hukum perdata telah terdapat kecenderungan untuk memakai istilah "tanggung gugat" dalam menerjemah­kan istilah "•aansprakelijkheid atau liability' untuk membedakannya dari istilah "verantwoordelijkheid" atau "responsibility", yaitu "tanggung jawab" yang lebih dikenal dalam hukum pidana maupun hukum tata negara. Oleh karena pengaturan masalah "tanggung jawab mutlak" dalam UUPLH berada pada lingkup "penyelesaian sengketa lingkungan melalui pengadilan" sebagai salah satu mekanismenya penyelesaian sengketa lingkungan menurut hukum lingkungan keperdataan, dan secara sistematik berposisi setelah ketentuan tentang "ganti kerugian", semestinyalah UUPLH memakai istilah "tanggung gugat mutlak". Lagi pula, anotasi ter-maksud "mengalihbahasakan" strict liability dengan "tanggung jawab mutlak": kata strict diterjemahkan "mutlak" dan kata liability dikonversi menjadi "tanggung jawab" yang oleh para hukum perdata justru disalin dengan kata "tanggung gugat"; maka dipahami sebagai pilihan tepat, konsiten dan kontekstual, apabila digunakan istilah "tanggung gugat mutlak" sebagai alternatif menerjemahkan kata "strict liability" 11)

Beberapa perundang-undangan kita, sebelum berlakunya UUPLH juga memasukkan prinsip tanggung gugat secara mutlak ini, yaitu:

1.   Undang-Undang Lingkungan Hidup  Nomor 4 Tahun 1982 (UULH);

 

Menurut UULH prinsip tanggung gugat aecara mutlak ini akan dilaksanakan secara selektif dan bertahap di bidang lingkungan hidup berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Pengaturannya dinyatakan dalam Pasal 21 UULH bahwa: "Dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tertentu tanggung jawab timbul secara mutlak pada perusak atau pencemar pada saat terjadinya perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang pengaturannya diatur dalam, peraturan perundang-undangan yang bersangkutan".

Kemudian Penjelasan Pasal 21 UULH menyatakan bahwa:

"Tanggung jawab mutlak dikenakan secara selektif atas kasus yang akan ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dapat menentukan jenis dan kategori kegiat­an yang akan terkena oleh ketentuan termaksud".

 

Berdasarkan Pasal 21 ini, berarti prinsip "strict liability" akan diterapkan pada kegiatan sumber daya tertentu, yang jenis dan kriterianya akan ditentukan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Kendatipun prinsip strict liability telah diakomodir dalam UULH, tetapi ternyata untuk menerapkannya masih mengundang permasalahan. Di dalam UULH terdapat 2 (dua) pasal yang mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan ganti kerugian dan biaya pemulihan lingkungan hidup, yaitu: pertama, penyelesaian ganti kerugian dan biaya pemulihan lingkungan hidup melalui penye­lesaian di luar pengadilan; dan kedua, dasar hukum penerapan asas tanggung jawab mutlak. Dikarenakan asas tanggung jawab mutlak merupakan pengecualian dari doktrin perbuatan melawan hukum pada umumnya (Sex specialis), maka ketentuan umumnya mengacu pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sedangkan Pasal 1365 menganut pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (fault), sehingga Pasal 21 UULH (pertanggung­jawaban tanpa kesalahan) merupakan pasal yang terkucil (alineated) dan bertentangan dengan ketentuan umumnya (lex generalis), sehingga tidak dapat diberlakukan 12)

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE), selanjutnya disebut UUZEEI;

Sama halnya dengan UULH, UUZEEi ini pun juga menganut prinsip strict liability dalam kaitannya dengan pencemaran ling­kungan laut dan/atau perusakan sumber daya alam di wilayah ZEE Indonesia. Pasal 11 UUZEEI menyatakan:

(1)   Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 8 dan dengan memperhatikan batas ganti rugi maksimum tertentu, barang-siapa di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan laut dan/atau perusakan sumber daya alam, memikul tanggung jawab mutlak dan membayar biaya rehabilitasi lingkungan laut dan/atau sumber daya alam tersebut dengan segera dan dalam jumlah yang memadai.

(2)   Dikecualikan dari tanggung jawab mutlak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran lingkungan laut dan/atau perusakan sumber daya alam tersebut terjadi karena:

a.    akibat dari suatu peristiwa alam yang berada di, luar kemampuannya;

b.   kerusakan yang seluruhnya atau sebagian, disebabkan oleh perbuatan atau kelalaian pihak ketiga.

 

(3)   Bentuk, jenis dan besarnya kerugian yang timbul sebagai akibat pencemaran lingkungan taut dan/atau perusakan sumber daya alam ditetapkan berdasarkan hasil penelitian ekologis. 

                                     

Dari Pasal 11 UUZEEI tersebut, prinsip "strict liability" diberlakukan pula dalam kasus pencemaran laut dan/atau perusakan sumber daya alam di ZEE Indonesia dengan syarat adanya batas ganti kerugian maksimum (ceiling) tertentu. Selain dimungkinkan karena hal tertentu dikecualikan dari tanggung jawab mutlak tersebut, yaitu dalam hal terjadinya karena peristiwa alam (act of God) dan per­buatan atau kelalaian yang dilakukan oleh pihak ketiga (act of strangers)

 

2.   Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (UUK)

 

Prinsip tanggung jawab secara mutlak ini juga dianut oleh UUK yang berkaitan dengan kecelakaan nuklir yang menimbulkan ke­rugian pada pihak ketiga. Pasal 28 UUK menyatakan bahwa peng-usaha instalasi nuklir wajib bertanggung jawab atas kerugian nuklir yang diderita oleh pihak ketiga yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir yang terjadi dalam instalasi nuklir tersebut. Selanjutnya Penjelasan Pasal 28 UUK ini menyatakan:

Pada phnsipnya dalam hal terjadi kecelakaan nuklir, tanggung jawab hanya dibebankan kepada satu pihak, yaitu pengusaha instalasi nuklir. Dengan demikian, tidak ada pihak lain yang dapat diminta pertanggungjawaban selain pengusaha instalasi nuklir itu.

Dalam sistem tanggung jawab mutlak, untuk menerima ganti rugi, pihak ketiga yang menderita kerugian nuklir tidak di-bebani pembuktian ada atau tidaknya kesalahan pengusaha instalasi nuklir. Untuk menghindari ganti rugi jatuh kepada pihak yang tidak berhak, pihak ketiga cukup menunjukkan bukti yang sah bahwa kerugiannya diakibatkan oleh kecelaka­an nuklir.

 

Demikian pula dalam Pasal 32 UUK dinyatakan bahwa prinsip strict liability dapat dikecualikan dari kasus kecelakaan nuklir, karena kecelakaan nuklir tersebut terjadi akibat langsung dari pertikaian atau koflik bersenjata internasional atau noninternasional dan bencana alam dengan tingkat yang luar biasa.

4. Keputusan  Presiden  Nomor  18  Tahun 1978 tentang  Pengesahan International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage (CLC, 1969);

Konvensi ini merupakan hasil sidang internasiona! dari Legal Conference on Marine Pollution Damage di Brussel pada tanggal 29 November 1969, di mana Pemerintah kita juga ikut menanda-tanganinya dan oleh karena itu kemudian konvensi tersebut di-ratifikasi oleh Presiden dengan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1978. Konvensi ini berisikan mengenai pengaturan tanggung jawab perdata terhadap pencemaran laut oleh minyak. Dengan persetujuan Indonesia atas "Civil Liability Convention" (CLC), 1969 ini, sesungguhnya di Indonesia telah terjadi perubahan radikal dalam bidang penentuan pertanggungjawaban menge­nai soal ganti rugi secara hukum {Munadjat Danusaputro, 1982:75)

Prinsip strict lability ini oleh CLC dirumuskan dalam Pasal III Paragraf 1 yang menyatakan:

Except as provided in paragraphs 2 and 3 of this article, the owner of a ship at the time of an incident or where the incident consist of a series of occurences at the time of the first such occurrencesshall be liable for any pollution damage caused by oil which has escaped or been discharged from the ship as a result of the incident.

 

Pasal III Paragrap 1 CLC tersebut menetapkan bahwa kecuali yang ditentukan secara khusus dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal in I, pada saat terjadinya kecelakaan (at the time of an incident), atau apabila kecelakaannya terdiri atas serangkaian kejadian (the incident consists of series occurences), pada saat kejadian yang pertama (at the time ofther first such occurences), maka pemilik kapal bertanggung jawab atas segala kerusakan yang ditimbulkan atau diakibatkan oleh pencemaran karena minyak yang lepas atau dikeluarkan atau dimuntahkan dari kapal sebagai akibat kecelakaan. Dengan demikian menurut CLC, 1969, maka pemilik kapal menanggung jawab seketika pada s'aat kecelakaan itu terjadi atau terjadi pada saat pertama, karenanya tidak perlu dibuktikan lagi ada kesalahan dari pemilik kapal yang menyebabkan kerusakan atas sumber daya laut sebagai akibat tumpahan minyak dari kapalnya.

Dalam UUPLH, pengaturan prinsip strict liability dapat dijumpai dalam Pasal 35, yang menyatakan:

(1)   Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

(2)   Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dan kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana di-maksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat mem-buktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini:

a.   adanya bencana a/am atau peperangan; atau

b.   adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau

c.    adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadi­nya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

 

(3) Dalam  hal  terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab-membayar ganti rugi.

 

UUPLH menggunakan istilah "tanggung jawab mutlak" yang sebenarnya merupakan terjemahan dari strict liability. Hal ini dikarenakan tanggung jawab mutlak merupakan istilah yang telah dikenal dan memasyarakat dibandingkan dengan istilah tanggung jawab seketika atau tanggung jawab ketat

Adapun tujuan dari penerimaan dan penerapan asas tanggung gugat secara mutlak dalam sistem hukum nasional kita adalah:

1.   untuk memenuhi rasa keadilan;

2.   mensejalankan dengan kompleksitas perkembangan teknologi;

3.   kompleksitas sumber daya alam dan lingkungan hidup; dan

4.   mendorong badan usaha yang berisiko tinggi untuk menginternalisasi biaya sosial yang dapat timbul akibat kegiatannya 12)

Prinsip bertanggung jawab secara mutlak atau tanggung gugat secara mutlak merupakan salah satu jenis pertanggungjawaban perdata, yakni pertanggungjawaban tanpa kesalahan (fault) dari tergugat. Dalam tanggung gugat secara mutlak ini, unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Pihak penggugatlah yang nantinya akan membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan, sehingga dirinya terbebas dari kewajiban membayar ganti kerugian. Tanggung gugat secara mutlak ini timbul secara, "langsung" dan "seketika" pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan "dampak besar dan penting terhadap lingkung­an hidup", yang "menggunakan bahan berbahaya dan beracun", dan/atau menghasilkan "limbah bahan berbahaya dan beracun", dengan tanpa mempersoalkan "kesalahan" penaggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, kecuali dirinya dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup tersebut bukan disebabkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya. Dan perlu diingat prinsip tanggung gugat secara mutlak ini merupakan lex specialis dalam gugatan pencemaran terhadap lingkungan hidup yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum pada umumnya Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 34 UUPLH.

Negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, juga memulai menganut prinsip strict liability dalam ketentuan-ketentuan positif hukum pidananya. Dalam pengertian strict liability, ini seseorang sudah dapat dipertanggung jawabkan walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea) untuk tindak pidana tertentu yang oleh L.B. Curzon penggunaannya didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:

1.   adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan-peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat;

2.   pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat itu;

3.   tingginya tingkat "bahaya sosial" yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan 13)

Di Inggris prinsip strict liability crimes tersebut berlaku hanya terhadap perbuatan yang bersifat pelanggaran ringan dan tidak berlaku terhadap pelanggaran yang bersifat berat. Namun hukum pidana di Amerika Serikat memberlakukannya terhadap kejahatan-kejahatan moral, tanpa memperhatikan apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja atau karena kelalaian 14)  

Penerapan prinsip tanggung gugat secara mutlak dalam sengketa lingkungan hidup bersifat "terbatas" seperti yang disebutkan dalam Pasal 35 ayat (1) U.UPLH. Dalam hal ini tidak semua usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup tunduk pada tanggung gugat secara mutlak ini. Bila kita perhatikan Pasal 35 ayat (1) UUPLH, maka kriteria usaha dan/atau kegiatan yang tunduk pada prinsip tanggung jawab secara mutlak adalah:

1. usaha dan kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup;

2.  usaha dan kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun (B3);

4.     usaha dan kegiatan yang menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3).

Dari ketiga kriteria di atas, maka UUPLH. menganut gabungan antara kriteria "akibat" dan "kegiatan"

 

Dari kasus Rylsnds vs. Fleteher bahwa dalam hal seseorang menjalankan jenis kegiatan yang dapat digolongkan sebagai "extrahazardous" atau. "ultrahazardous" atau "abnormally dangerous", ia diwajibkan memikul segala kerugian yang ditimbulkan walaupun ia telah bertindak sangat hati-hati (utmost care) untuk mencegah bahaya atau kerugian tersebut, dan dilakukan tanpa kesengajaan 15) Menurut B. Harvey dan J. Marston dalan bukunya "Cases and Commen­tary" maupun A.J. Pannet dalam bukunya "Law of Torts Handbook" mengemukakan bahwa kriteria risiko luar biasa atau abnormal risiko termasuk sebagai kriteria penerapan prinsip strict liability, yang meliputi;

1.  operasional yang sangat berbahaya (ultra hazardous operation);

2.  kegiatan operasional yang mengandung bahaya luar biasa terhadap orang (extra ordinary risk to other involve such operation);

3.  operasional di luar batas kebiasaan (nonnatural operation);

4.  aktivitas yang luar biasa bahayanya (ultra hazardous activities);

5.  aktivitas di luar batas (abnormal activities);

6.  aktivitas yang potensial sangat berbahaya (potentially dangerous activities)

Dari praktek penerapa prinsip strict liability di pengadilan Amerika Serikat, sebagai bentuk pengembangan lebih jauh dari kasus sebelumnya, maka penentuan suatu kegiatan tertentu merupakan kegiatan "ultrahazardous", didasarkan paling tidak oleh 6 (enam) taktor atau kriteria di bawah ini:

1.  tingginya tingkat risiko;

2.  kemungkinan besar (likelihood) bahaya yang ditimbulkan sangat besar;

3.  kemampuan atau kesanggupan untuk menghilangkan risiko dengan menerapkan kehati-hatian(reasonab care);

4.  sejauh mana aktivitas tersebut tidak umum (common) dalam masyarakat;

5.  kelayakan dalam menjalankan aktivitas pada lokasi tertentu; dan

6.  nilai atau manfaat kegiatan tersebut bagi masyarakat

Untuk menentukan secara konkret apakah sebuah kegiatan termasuk dalam kategori kegiatan sangat berbahaya, sehingga tunduk pada strict liability merupakan tugas pengadilan atau hakim. Para hakim dalam menangani perkara selalu berpedoman kepada putusan-putusan hakim terdahulu. Hal inilah yang kemudian oleh para sarjana disarikan menjadi kriteria-kriteria sebagaimana dituangkan dalam The Restatement of Torts

Menurut Bagian 250. dari draft ke-10 Restatement Kedua tentang Torts disebutkan bahwa apakah suatu kegiatan mengandung risiko bahaya yang tinggi ditentukan oleh hal-hal sebagai berikut:

a.    apakah suatu kegiatan itu melibatkan suatu tingkat risiko yang tinggi yang merugikan manusia, tanah dan benda-benda bergerak lainnya;

b.   apakah suatu gravitasi (gaya berat) dari kerugian yang ditimbulkan dari kegiatan itu kemungkinannya menjadi semakin besar;

c.    apakah risiko yang ditimbulkan tidak dapat ditidakadakan dengan menjalankan sikap berhati-hati yang sewajarnya;

d.   apakah kegiatan itu tidak bukan merupakan suatu hal yang lazim;

e.    apakah kegiatan itu tidak layak berada di suatu tempat di mana kegiatan itu dilakukan;

f.     nilai dari kegiatan yang bersangkutan bagi masyarakat 16) 

 

Dalam hukum Anglo-Amerika Serikat kegiatan-kegiatan yang tunduk pada strict liability adalah:

1. kegiatan usaha penghasil, pengolahan dan pengangkutan limbah B3;

2. penyimpanan gas yang mudah terbakar dalam jumlah besar di kawasan perkotaan;

3. instalasi nuklir;

4. pengeboran minyak;

5. penggunaan mesin pematok tiang besar (pile driving) yang menimbulkan getaran luar biasa; dan

6. limpahan air 17)

 

Sedangkan dalam hukum Belanda, kegiatan-kegiatan yang tunduk pada nsico-aansprakelijkheid adalah:

1.   kegiatan pengolahan bahan berbahaya;

2.   kegiatan pengolahan limbah bahan berbahaya;

3.   kegiatan pengangkutan bahan berbahaya melalui laut, sungai-sungai dan darat;

4.   kegiatan pengeboran dan.tanah yang menimbulkan ledakan

 

Kemudian menurut Council of Europe on Civil Liability for Damage Resolving from Activities Dangerous to the Environment, kegiatan-kegiat­an yang tunduk pada strict liability adalah "kegiatan-kegiatan yang membahayakan" (dangerous activity), yang meliputi:

a.  kegiatan memproduksi, mengolah, menyimpan, menggunakan, membuang 1 (satu) atau lebih bahan-bahan berbahaya atau setiap kegiatan yang berkaitan dengan bahan-bahan berbahaya;

b.  kegiatan memproduksi, mengolah, menahgani, menyimpan, menggunakan, menghancurkan, membuang, melepas atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan 1 (satu) atau lebih:

Ø  organisme yang mengalami perubahan genetika yang peng-gunaannya mengandung risiko bermakna terhadap manusia, lingkungan hidup dan harta benda;

Ø  mikroorganisme yang karena sifat-sifat dan kondisi-kondisinya jika dimanfaatkan mengandung risiko bermakna terhadap manusia, lingkungan hidup atau harta benda, misalnya mikro- organisme yang bersifat pathogenik (pathogenic) atau.yang menghasilkan toksin (toxins).

 

c.   kegiatan pengoperasian instalasi atau tempat pembakaran, pengolahan, penanganan atau pendaurulangan limbah dengan jumlah yang menimbulkan risiko bermakna terhadap manusia, lingkungan hidup dan harta benda seperti:

Ø  instalasi atau tempat pembuangan limbah gas cair dan padat dengan cara pembakaran di darat atau di laut;

Ø  instalasi atau tempat penghancuran limbah gas, cair dan padat dengan penguraian suplai oksigen;

Ø  instalasi pengolahan senyawa-senyawa limbah padat, cair dan gas dengan tenaga panas;

Ø  instalasi pengolahan limbah secara biologis, fisika dan kimiawi untuk tujuan daur ulang atau pembuangan;

Ø  instalasi pencampuran sebelum dibawa ke tempat pembuang­an tetap;

Ø  instalasi penempatan kembali sebelum dibawa ke tempat pembuangan tetap;

Ø   instalasi pengolahan limbah padat, cair dan gas untuk tujuan daur ulang dan penggunaan kembali;

 

d. pengoperasian tempat pembuangan limbah yang bersifat tetap (permanent deposit of wastes)

 

Dari Pasal 35 ayat (1) UUPLH dapat diketahui kalau penerapan prinsip tanggung gugat secara mutlak tersebut dikaitkan dengan usaha dan kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, usaha dan kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau usaha dan kegiatan yang menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun. Berarti tidak semua usaha dan kegiatan tunduk pada prinsip tanggung gugat secara mutlak. Hanya usaha dan kegiatan yang disebutkan dalam Pasal 35 ayat (1) UUPLH yang tunduk pada prinsip tanggung gugat secara mutlak. Usaha dan kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting adalah usaha dan kegiatan yang wajib melaksanakan RKL dan RPL yang merupakan bagian dari dokumen AMDAL, sedangkan usaha dan kegiatan yang menggunakan B3 dan/atau usaha dan kegiatan yang menghasilkan limbah B3 adalah usaha dan kegiatan yang berisiko tinggi dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya, karenanya penggunaan harus dilakukan secara hati-hati pula.

Seperti dikemukakan sebelumnya, dalam prinsip tanggung gugat secara mutlak ini beban pembuktian bergeser dari penggugat kepada tergugat. Penggugat tidak diharuskan membuktikan unsur kesalahan tergugat sebagai dasar tuntutan pembayaran ganti kerugian. Sebaliknya tergugat dibebani suatu kewajiban untuk membuktikan dirinya tidak dapat diper-salahkan karena bukan dirinya yang menjadi penyebab atau yang menyebabkan timbulnya kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup. Inilah yang dinamakan dengan "beban pembuktian yang terbalik", yang masih belum dikenal dalam sistem hukum kita.

Adanya beban pembuktian yang terbaliki dalam penyelesaian gugatan pencemaran lingkungan hidup di muka pengadilan, dapat kita telaah dari ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPLH yang menyebutkan alasan-alasan pemaaf (defences) yang dapat dipergunakan tergugat untuk membuktikan dirinya tidak bersalah, sehingga dirinya dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian yang merupakan tanggung jawab pihak ketiga. Kewajiban hukum untuk membayar ganti kerugian dari penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan akan hapus apabila dirinya dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidug tersebut terjadi karena salah satu alasan yang disebutkan dalam Pasal 35 ayat (2) UUPLH, yaitu: karena bencana alam atau peperangan (war); karena force majeur; atau karena kesalahan pihak ketiga yang merupakan perbuatan persaingan curang atau kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah.

Demikian pula alasan pemaaf ini juga dianut pula oleh beberapa konvensi internasional, salah satunya adalah CLC, 1969. Ayat berikutnya dari Pasal III CLC, 1969 mengatur kemungkinan dibebaskannya pemilik kapal dari kewajiban hukum membayar ganti kerugian dalam hal-hal tertentu, yang merupakan pengecualian. Pengecualian yang dimaksud adalah:

1.   apabila kecelakaan yang timbul tersebut karena perang (war), persengketaan bersenjata, perang saudara (civil war), pemberontakan atau bencana alam yang tidak dapat dihindarkan;

2.   apabila kecelakaan yang timbul tersebut ditimbulkan sebagai akibat perbuatan atau kelalaian pihak ketiga yang bermaksud hendak menimbulkan kerugian;

3.   apabila kecelakaan yang timbul tersebut ditimbulkan sebagai akibat perbuatan atau kelalaian dari korban sendiri, yang dalam hal ini mungkin karena :

a.  kecelakaan yang timbul tersebut ditimbulkan oleh perbuatan atau kelalaian dari negara pantai yang bertanggung jawab atas terpeliharanya mercu suar dan peralatan navigasi lainnya;

b.  apabila pemilik kapal dapat membuktikan bahwa kecelakaan yang timbul tersebut ditimbulkan sebagai akibat dari perbuat­an atau kelalaian dari pihak korban sendiri (yang menderita kerugian)

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan prinsip tanggung gugat secara mutlak, diatur pula hal kewajiban asuransi dan dana lingkungan serta batas maksimum (tertinggi) dari jumlah ganti kerugian yang akan diberikan kepada atau diterima oleh korban pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, yang dinamakan dengan "ceiling" atau "plafond". Hal ini dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 35 ayat (1) UUPLH yang antara lain bunyinya: "Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan kepada pencemar atau perusak lingkungan hidup dapat ditetapkan sampai batas tertentu, yakni jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup".

Di sini jelas, bahwa melalui peraturan perundang-undangan (mungkin berbentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan Presiden dan seterusnya) akan ditetapkan kewajiban penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan untuk mengasuransikan atau menyediakan dana lingkungan hidup, yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan untuk membayar ganti kerugian bila terjadi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sebagai akibat usaha dan/atau kegiatan yang diselenggarakan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. Oleh karena itu, pembentukan lembaga asuransi atau penjamin dana lingkung­an hidup arnat diperlukan. Lembaga inilah yang nantinya akan berfungsi menggantikan kedudukan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar terlebih dahulu sebagian atau seluruh ganti kerugian yang telah ditetapkan atau diputuskan hakim pengadilan. Ternyata CLC, 1969 juga menganut sistem ceiling atau plafond. PasalV ayat (1) dari convention tersebut menentukan batas maksimum ganti ke­rugian sebanyak 2.000 fran per tono dari tonase kapal, dengan ketentuan tidak melebihi dari 210 juta fran. Bunyi pasal tersebut adalah :

"The onwer of a ship shall be entitled to limit his liability under this Convention in respect of any one incident to an aggregate amount of 2,000 francs for each ton of the ship's tonnage. However, this aggregate amount shall not in any event exceed 210 million francs".

 

Sistem ceiling ini dimungkinkan tidak berlaku, di mana pemilik kapal akan dikenai tanggung jawab penuh (absolute liability). Kemungkinan ini dicantumkan dalam Pasal V ayat (2) CLC, 1969 tersebut, yakni bila: "The incident occurred as a result of the actual fault or privity of the owner, he shall not be entittled to avail himself of the limitation provided in paragraph 1 of this article". Dengan demikian penerapan sistem ceiling atau plafond dalam hubungan dengan tanggung gugat secara mutlak untuk pencemaran laut oleh minyak tidak bersifat mutlak, karena dimungkinkan pemilik kapal bertanggung jawab membayar ganti kerugian secara penuh sesuai dengan jumlah kerugian yang senyatanya yang dialami orang lain atau lingkungan hidup

Perlu dikemukakan juga mengenai tanggung gugat atas kerugian yang melampaui batas maksimal yang didasarkan pada CLC, 1969 tersebut, Dalam pada ini tahun 1971,di Brusel, lahir sebuah konvensi internasional yang bernama "International Convention on the Establishment of an international Fund for Compensation for Oil Pollution Damage", yang lazim disebut dengan Funds Convention. Konvensi ini berusaha menutupi 'masalah kerugian yang diderita dengan menambah 450 juta fran, lebih dua kali lipat daripada yang ditetapkan dalam CLC, 1969. Namun , Funds Convention, 1971 lebih membatasi jenis minyak bumi yang tertumpah, yaitu minyak bumi (baik yang crude maupun fuel), dalam arti persistent hydrocarbon mineral oil. Sedangkan CLC, 1969 sendiri mencakup lebih luas, yaitu semua minyak yang persisten (any persistent oil) termasuk jenis-jenis minyak: crude, fuel, heavy diesel, lubricating dan whale

 

 

5. Kesimpulan

 

          Berdasarkan uraian-uraian yang dijelaskan diatas penulis berkesimpulan bahwa :

1.   Dari bunyi Pasal 35 ayat (1) UUPLH dapat diketahui kalau penerapan prinsip tanggung gugat secara mutlak tersebut terkaitkan dengan usaha dan kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, usaha dan kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau usaha dan kegiatan yang menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.

2.   Dengan demikian tidak semua usaha dan kegiatan tunduk pada prinsip tanggung gugat secara mutlak. Hanya usaha dan kegiatan yang disebutkan dalam Pasal 35 ayat (1) UUPLH yang tunduk pada prinsip tanggung gugat secara mutlak. Usaha dan kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting adalah usaha dan kegiatan yang wajib melaksanakan RKL dan RPL yang merupakan bagian dari dokumen AMDAL, sedangkan usaha dan kegiatan yang menggunakan B3 dan/atau usaha dan kegiatan yang menghasilkan limbah B3 adalah usaha dan kegiatan yang berisiko tinggi dapat mencemarkan dan/ atau merusakkan lingkungan hidup dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya, karenanya penggunaan harus dilakukan secara hati-hati pula.

3.   Dalam kaitannya dengan pelaksanaan prinsip tanggung gugat secara mutlak, diatur pula hal kewajiban asuransi dan dana lingkungan serta batas maksimum (tertinggi) dari jumlah ganti kerugian yang akan diberikan kepada atau diterima oleh korban pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, yang dinamakan dengan "ceiling" atau "plafond". Hal ini dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 35 ayat (1) UUPLH yang antara lain bunyinya: "Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan kepada pencemar atau perusak lingkungan hidup dapat ditetapkan sampai batas tertentu, yakni jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup".

 

Daftar Bacaan

 

1.   Mohtar Kusumaatmadja, Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan Hidup Manusia, Beberapa Pikiran Dan Saran, Lembaga Penelitian  Hukum &Kriminologi FH Unpad, 1974

2.   Abdurrahman,  Pembaharuan Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Indonesia, Makalah Disampaikan pada Kursus Dasar AMDAL Tipe A, Banjar Baru Lemlit Universitas Lambung mangkurat 997

3.   Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan edisi Ketujuh 2000,

4.   Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan Buku IV Global, Bina Cipta Bnadung 1983,

5.   Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai Hukum Laut, Bina Cipta Bandung 1978,  

6.   N.H.T. Siahaan, Ekologi Pembangunan Dan Hukum Tata Lingkungan, Erlangga Jakarta 1987

7.   Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan, The Word Commision On Enviromental and Developmen 1988 Hari Depan Kita Bersama, PT Gramedia Jakarta,

8.   Rahmat Bowo Suharto, Perlindungan Hak Dunia Ketiga Atas Sumber Daya Alam, Tiara Wacana Yogyakarta 2001,

9.   Emil Salim, Pembangunan Berwawasan Lingkungan, LP3ES 1993,

10.   Otto    Soemarwoto,    Ekologi    Lingkungan    Hidup    Dan Pembangunan, PT Djabatan Jakarta 1994,



1) A. Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Arika Media Cipta Jakrta 1995, hal : 117.

2) A. Hamzah, Delik-Delik Yang tersebar Diluar KUHP, Dengan Komentar Pradnya Paramitha Jakrta 1995, hal : 117.

3) Siti Sundan Rangkuti, Telaahan Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Masalah Penegakannya, Majalah Yuridika Nomor 4 Tahun II Surabaya Fakultas Hukum Unair 1987: 175-176

4)   Siti Sundari Rangkuti, Tanggung Gugat Pencemar Dan Beban Pembuktian Dalam Kasus Pencemaran, Skrep Dan Walhi 2000: 17.

5) N.H.T. Siahaan, Ekologi Pembangunan Dan Hukum Tata Lingkungan, Erlangga Jakarta 1987, hal : 46

6) Lily Mulyati, Pranata Hukum Ganti Rugi Pada Pencemaran Lingkungan Tinjauan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Hukum Dan Pembangunan Nomor 5 Tahun 1993, hal :463.

7) Lihat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Di Bidang Lingkungan Hidup, Tunggal Setiadi, 2002

9) Koesnadi Harjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan Yogyakarta Gajah Mada Press 1999, hal : 386-387).

10) Mas Achmad Santosa, Perkembangan Hukum Standing Dalam Gugatan Lingkungan, Jakarta Indonesia Center For Enviromental Law 1995, hal : 56-57

11) Mas Achmad Santosa, Perkembang Hukum Standing…………..Op.Cit,hal  17-26).

11) Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Surabaya Airlangga University Press, 1999, hal : 30.

12) Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan….Op.Cit hal 35

12) Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan….Op.Cit hal 37-38

13) Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung 1984, hal: 140-141).

14) Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana CV. Mandar Maju Bandung 1996, hal  76-77).

15) Mas Achmad Santosa, Perkembang Hukum Standing…………..Loc.Cit,hal  46-75).

16) Abdul Hakim Garuda Nusantara, Sengketa Lingkungan Dan Masalah Beban Pembuktian Makalah, Skrep dan Walhi Jakarta 1989, Hal : 58-59.

17) Mas Achmad Santosa, Perkembang Hukum Standing…………..Loc.Cit,hal  50-57).

 

Tinggalkan Balasan