Mungkinkah Hukum Diberi Definisi

Umum

MUNGKINKAH HUKUM DI BERI DEFINISI

 

 

  1. PENGANTAR

Dalam upaya mengutarakan usaha, kajian dan hasil-hasinya, setiap Ilmu Pengetahuan selalu mempergunakan bahasa sebagai alatnya. Bahasa itu terdiri atas kata-kata disusun dalam kalimat-kalimat. Kata-kata itu kemudian dijadikan sebagai “Istilah”, yang dimaksudkan sebagai suatu simbol yang arti dan isinya dipastikan sesuai dengan apa yang akan ditetapkan oleh Ilmu Pengetahuan yang bersangkutan. Dengan kata lain, “Istilah” dalam suatu Ilmu Pengetahuan hanya akan dapat dimengerti oleh mereka yang melakukan studi di dalam ilmu yang bersangkutan.

Hal utama yang senantiasa diperhadapkan kepada kita untuk memahami suatu cabang dari Ilmu Pengetahuan tertentu adalah berkenaan dengan suatu “definsi” yang dipergunakan untuk menjelaskan atau menguraikan “suatu konsep” di dalam lingkungan suatu cabang ilmu yang bersangkutan, yang mana definisi tersebut dapat sama sekali berlainan isi dan artinya dengan isi dan artinya sehari-hari menurut pemahaman orang awam (orang yang berada diluar ilmu pengatehaun tersebut). Dalam konsep hukum, definisi bukan merupakan satu-satunya cara untuk menjelaskan suatu konsep.

Dalam pemahaman yang demikian, maka istilah dengan segala definisnya memiliki karakter yang berbeda antara satu cabang ilmu pengetahuan dengan cabang ilmu pengetahuan lainnya. Adanya istilah yang diisi dengan pengertian semacam itulah di dalam suatu cabang Ilmu Pengetahuan, membuat Ilmu Pengetahuan yang bersangkutan dimungkinkan menyusun seluruh pengertian dalam Ilmu Pengetahuan itu. Kemudian hal tesebut dinyatakan dengan peristilahannya masing-masing secara tersendiri, tetapi tetap berada dalam hubungan satu kesatuan yang menyeluruh.

Dengan pengertian itu membuat mungkinya dapat tersusun pengertian lainya dan seterusnya, sehingga membuat keseluruhan pengertian dapat tersusun di dalam Ilmu Pengetahuan yang bersangkutan. Namun demikian, kita ketahui bahwa masing-masing Ilmu Pengetahuan memiliki corak dan karakter yang berbeda satu dengan yang lain. Dalam hubungan dengan ini, perlu diperhatikan bahwa kalau ada Ilmu Pengetahaun lain mempergunakan suatu istilah, penggunaan itu tersebut perlu sekali diteliti terlebih dahulu, tentanng apa yang dimaksudkan oleh Ilmu Pengetahuan yang bersangkutan dengan istilah tersebut. Dalam hal itu yang perlu diperhatikan ialah bagaimana pengertian atau konsep yang diberikan sebagai isi istilah tersebut.

Sebagai contoh misalnya, dalam bahasa sehari-hari (bukan dalam arti teknis), istilah “berlaku” dapat digunakan oleh lebih dari satu cabang ilmu pengetahuan, namun memiliki pengertian yang berbeda. Dalam bidang Ilmu Sosial, istilah “berlaku” bersinggungan dengan fakta empiris yang berlaku dalam masyarakat. Sebaliknya, dalam bidang Ilmu Hukum istilah “berlaku” tidak berkaitan dengan alam empiris dalam kehidupan masyarkat, tetapi berkaitan denga alam kaidah atau norma yang mana “berlaku” senantiasa diberi sinonim dengan “diharuskan” atau “diwajibkan” atau “dipaksakan[1]

Pengertian itu sendiri, oleh Bruggink dalam karyanya “Rechts Reflecties” (Refleksi Tentang Hukum) yang diterjemahkan oleh Arief Sidharta[2], menyatakan bahwa :

Pengertian adalah isi-pikiran (gedachteninhoud) yang dimunculkan oleh sebuah perkataan tertentu jika sebuah objek atau seorang pribadi memperoleh sebuah nama. Jadi, perkataan itu adalah nama (tanda-bahasa) untuk objek atau orang (yang diartikan). Pengertian adalah apa yang timbul dari pikiran kita sebagai arti dari perkataan, mengingat penunjukan perkataan itu pada objek atau orang tertentu”.

Pemahaman sebagaimana dikemukakan diatas, menjadi penting bagi para yuris, karya karya yuridikal untuk bagian terbesar terdiri atas memberikan arti pada tanda-tanda bahasa itu. Dalam hal yang demikian, lebih lanjut dikemukakan oleh Bruggink sebagaimana terlihat pada skema sebagaimana dibawah ini :

 

 

Satuan Bahasa

Kecil

Lebih Luas

Terluas

Tanda

Perkataan atau Istilah

Kalimat, Putusan

Keseluruhan Kalimat atau putusan (uraian)

Yang diartikan

Objek atau Orang

Keadaan, Hal-Hal

Keadaan-Keadaan, Hak-Hal

Arti

Pengertian atau Konsep

Proposisi, Pendapat

Keseluruhan Proposisi atau Pendapat

Sumber ; Bruggink, 1999; 46

Skema diatas, memberikan gambaran awal terhadap pertanyaan mengenai suatu “arti” atau “istilah”. Dalam bidang ilmu hukum, pertanyaan tentang bila “arti” atau “istilah” yang benar, maka hal tersebut bergantung pada pertanyaan kefilsafatan tentang apa yang diartikan orang dengan kebenaran dari sesuatu. Jika orang mau menjawab pertanyaan itu, maka kita sampai pada bidang teori kebenaran.

  1. PEMBAHASAN

Terhadap pertanyaan “mungkinkah hukum di beri definisi” maka terlebih dahulu kita perlu melihat apakah itu definisi (ruang lingkup dan pengertian) selanjutnya akan diuraikan juga mengenai apakah itu hukum? Dan akhirnya kita akan menguraikan mengenai pokok hukum dan pendefinsian. Ketiga aspek tersebut diatas, berturut-turut dapat dijekaskan sebagai berikut :

  1. Definsi (Ruang lingkup dan pengertian)

Bagi Ilmu Pengetahuan suatu “definsi”, dimaksudkan sebagai suatu simbol yang arti dan isinya dipastikan sesuai dengan apa yang akan ditetapkan oleh Ilmu Pengetahuan yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan batasan (ruang lingkup) sebuah pengertian secermat mungkin, sehingga jelas bagi setiap orang dalam setiap keadaan.

Pada tiap pengertian diadakan perbedaan antara isi-pengertian (begripsinhoud) dan lingkup pengertian atau luas-pengertian (begripsomvang). Isi pengertian disebut intense atau konotasi dari pengertian. Lingkup pengertian disebut ekstensi atau denotasi dari pengertian. Dengan ekstensi kita memaksudkan semua objek atau orang yang termasuk ke dalam pengertian itu[3].  

Hubungan antara intense dan ekstensi pengertian dapat dinyatakan dalam dua dalil (vuistregel), yakni :[4]

Dalil pertama, Intensi menentukan Ekstensi. Dalil ini menyatakan bahwa isi sebuah pengertian menentukan keluasan lingkup pengertian itu. Objek apa saja atau orang-orang siapa saja  yang termasuk ke dalam suatu pengertian bergantung pada keseluruhan cirri-ciri yang mewujudkan pengertian tersebut.

Dalil kedua, Intensi berbanding terbalik dengan ekstensi. Dalil ini menyatakan bahwa semakin sedikit intense pengertian memuat ciri-ciri, jadi isi pengertian itu ditetapkan kurang persis, maka semakin banyak objek atau orang yang termasuk ke dalam ekstensi pengertian itu, jadi lingkup pengertian itu jadi luas. Dari situ disimpulkan bahwa semakin banyak intensi pengertian itu memuat cirri-ciri, jadi isi pengertian itu ditetapkan lebih persis, maka semakin sedikit objek atau orang yang termasuk ke dalam ekstensi pengertian itu, jadi lingkup pengertian itu semakin sempit.

Kedua dalil tersebut diatas, memberikan pemahaman kepada kita perihal suatu pengertian yang dimaksudkan untuk memberikan atau menentukan batas-batas sebuah pengertian (istilah). Dengan demikian akan jelas bagi tiap orang dalam setiap keadaan menggunakan istilah atau definisi dalam suatu pengertian.

Dalam hubungan itu, tentunya suatu definisi haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan pada suatu pendefinisian, yakni : [5]

  1. Definisi (terdiri atas perkataan-perkataan yang mewujudkan definisi) harus lebih jelas dari definien (perkataan yang harus didefinisikan)
  2. Definien tidak boleh negatif
  3. Definiemdum dan Defien harus dapat dipertukarkan (convertible)

Selain pengertian diatas, dapat juga dikemukakan pendapat dari Achmad Ali, yang merumuskan suatu pengertian (definisi) sebagai berikut:[6]

  1. Menurut C. P. Chaplin (1993;127), “suatu batas antara dua kelas atau dua fenomena. Sebagai contoh, satu bentuk atau figure dapat disebuit memiliki definisi yang baik, jika bentuk tersebut dengan jelas menonjol keluar dari latar belakangnya, karena memiliki batas yang dapat ditegaskan dengan jelas dan baik”
  2. Ensiklopedia Indonesia, Jilid 2 (1980;770), “Definisi (Lat:definition). Penjelasan arti atau arti-arti sepatah kata atau perumusan batas-batas pengertiannya”
  1. Apakah Ilmu Hukum Itu

Dalam kajian ilmu hukum, pertayaan yang sering kali muncul adalah “apakah itu hukum” atau “apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan hukum”. Pertanyaan yang demikian, berangkat dari adigium klasik  dari seorang filsuf kuno ternal, Emmanuel Kant, bahwa :

noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von recht

(tidak ada seorang yuris pun yang mampu membuat suatu definisi hukum yang tepat)

Karena sengitnya polemik tentang “apa yang sebenarnya dimaksudkan sebagai hukum”, Mr. Dr. I. Kisch, menyatakan bahwa :[7]

doordat het recht onwaarneerbaar is onstaat een moeilijkheid bij het vinden van een algemen bevredigende definitie

(sebagai akibat hukum tidak dapat ditangkap oleh pancaindra, maka merupakan hal yang sulit untuk membuat suatu definisi tentang hukum yang dapat memuaskan orang pada umumnya)

Definisi tentang “apakah itu hukum” Sesungguhnya menjadi perdebatan yang cukup panjang dari para yuris maupun kalangan ilmuan dalam bidang hukum yang dimulai dari sejarah timbulnya ilmu hukum hingga saat ini masih tetap berlangsung. Hal tersebut, mengingatkan kita pada ungkapan yang menyatakan bahwa : [8]

quot hominess, tot sententiae” yang artinya “sebanyak jumlah manusia itulah banyaknya jumlah pengertian"

Pertanyaan tentang apakah “ilmu hukum” merupakan suatu ilmu, boleh saja dianggap sebagai pertanyaan contradictio in terminis. Sekalipun demikian, pertanyaan demikian tetap diajukan oleh banyak pihak, dan ternyata jawaban mereka memang bervariasi[9].  Meuwissen sebagaimana dikonstantir oleh Peter Mahmud[10], mengemukakan bahwa ilmu hukum memiliki karakter yang bersifat sui generis (hanya satu untuk jenis sendiri) artinya tidak ada bentuk ilmu lain yang dapat dibandingkan dengan ilmu hukum. Kedudukan hukum sebagai sui generis berlaku pada tiap tingkatan ilmu hukum yakni dogmatik hukum, teori hukum dan filsafat hukum.

Dalam bahasa Inggris ilmu hukum disebut jurisprudence. Kata Jurisprudence dalam bahasa Inggris tidak sama artinya dengan “jurisprudence” dalam bahasa Prancis (theorie generale du droit) dan Jurisprudence dalam bahasa Belanda (Rechtswetenswchap)adalah putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.[11]

Dalam arti sempit adalah dogmatik hukum atau ajaran hukum (de rechtsleer) yang tugasnya adalah deskripsi hukum positif, sistimatisasi hukum positif dan dalam hal tertentu juga eksplanasi. Dengan demikian dogmatik hukum tidak bebas nilai tetapi syarat nilai. Rechts wetenschap dalam arti luas meliputi; dogmatik hukum, teori hukum (dalam arti sempit) dan filsafat hukum.  

Rechtstheorie (Belanda), Juga mengandung makna sempit dan luas. Dalam arti sempit Rechtstheorie, adalah lapisan ilmu hukum yang berada diantara dogmatik hukum dan filsafat hukum. Teori hukum dalam arti ini merupakan ilmu eksplanasi hukum (een verklarende wetenshap)[12]

Istilah tersebut diatas, merujuk pada pengertian ilmu tentang hukum atau ilmu yang mempelajari hukum atau ilmu yang objek kajainnya adalah hukum. Satjipto Raharjo[13], merumuskan suatu daftar masalah yang dapat dimasukan ke dalam tujuan untuk mempelajari ilmu hukum yakni :

  1. Mempelajari asas asas hukum yang pokok
  2. Mempelajari sistem formal hukum
  3. Mempelajari konsep konsep hukum dan arti fungsionalnya dalam masyarakat
  4. Mempelajari pemikiran pemikiran mengenai hukum sepanjang masa
  5. Mempelajari tentang perkembangan hukum
  6. Apabila ilmu hukum itu memang disebut sebagai ilmu, bagaimanakah sifat sifat atau karateristik ilmunya.

Selain itu, Arief Sidharta[14] objek telaah ilmu hukum itu mencakup, Pertama, adalah tata hukum yang berlaku yakni hukum yang sah dan hukum yang ada. Jadi ilmu hukum itu  terutama untuk menelaah atau memaparkan hukum yang benar dan yang seharusnya ada, kehidupan dibawah hukum dan fakta hukum. Kedua, adalah teks otoritatif bermuatan aturan-aturan hukum yang terdiri dari produk perundang undangan  (undang undang dalam arti luas), putusan putusan hakim, hukum tidak tertulis dan karya ilmuan hukum yang berwibawa dalam bidangnya (doktrin)

Terhadap pertanyaan “apakah ilmu hukum itu” dengan sedikit referensi dari Bruggink kita ketemukan bahwa terdapat dua jawaban yang saling berlawanan, dimana keduanya timbul dari titik-titik berdiri (standpoint) dalam ajaran ilmu yang umum yang di dalamnya atas dasar ide-ilmu atau cita-ilmu (wetenschapsideaal).

Secara sederhana kedua jawaban tersebut diatas digambarkan dalam skema sebagai berikut :

 

Pandangan Positivistik

Pandangan Normatif

Realisi Inti

Subjek-Objek

Subjek-Subjek

Jenis Pengetahuan

Objektif

Inter-Subjektif

Sikap Ilmuan

Pengamat/Penonton

Peserta

Prespektif

Eksternal

Internal

Teori Kebenaran

Teori Korespodensi

Teori Pragmatik

Proposisi

Hanya informative/Empiris

Juga Normatif dan Evaluarif

Metode

Hanya metode pengamatan indrawi

Juga metode lain

Moral

Non-kognitif

Kognitif

Hubungan Hukum-Moral

Pemisahan antara hukum dan moral

Hukum dan Moral tidak dipisahkan

Ilmu

Hanya Sosiologi Hukum Empirik dan Teori Hukum Empirik dalam arti sempit (yang lainnya termasuk keahlian hukum)

Tiap teori hukum dalam arti luas dapat menjadi ilmu

Sumber ; Bruggink, 1999; 184               

  1. Hukum Dan Pendefinisian

Beranjak dari apa yang diuraikan diatas yakni mengenai esensi dan hakekat dari suatu pengertian dan karakter dan eksistensi ilmu hukum, maka terhadap pertanyaan apakah mungkin hukum diberi definisi? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut perlu kita perhatikan pendapat yang dikemukakan oleh Achmad Ali[15], yang menyatakan bahwa :

“…terdapat dua (2) faktor yang menyebabkan hukum sulit untuk didefinisikan, yakni faktor internal hukum dan faktor eksternal hukum. Secara internal, faktor yang menyebabkan hukum sulit untuk didefinisikan yakni pertama, adalah sifat hukum yang memang abstrak, meskipun manifestasinya dalam wujud penegakan hukum. Kedua, adalah hal yang dicakup untuk diatur oleh hukum adalah sangat luas. Selain kedua faktor diatas, salah satu hal yang juga berpengaruh secara eksternal yakni kesulitan dari segi kata-kata

Kedua faktor sebagaimana disebutkan diatas, menunjukan kesulitan merumuskan definisi mengenai hukum sebagai objek dari ilmu hukum yang dapat diterima secara universal, bahkan ada pula ahli hukum yang secara tegas menolak memberikan definisi. Alasan penolakan tersebut, menurut hemat penulis adalah karena istilah Jurisprudence [16]tidak dapat mencakup keseluruhan materinya, disamping itu Jurisprudence tidak bersifat universal. Oleh karena itu, dalam banyak penulisan atau literatur ilmu hukum tidak mengemukakan suatu perumusan terlebih dahulu, mereka langsung memberikan pengertian jurisprudence dengan memberikan uraian yang cukup panjang.

Selain itu, terdapat pula dua (2) argument atau pendapat yang dikemukakan lebih lanjut oleh Achmad Ali[17], yakni, Pertama, pendapat umum dikalangan hukum, adalah bahwa tidak berarti suatu upaya pendefinisian hukum merupakan upaya yang tidak ada manfaatnya. Sekalipun disadari bawha tidak ada seorang yuris pun yang mampu merumuskan hukum secara tuntas dan lengkap, namun keberadaan suatu definisi khususnya bagai kalangan hukum merupakan suatu hal yang tidak mungkin dibantahkan. Artinya bahwa, walaupun sulit untuk menyeragamkan definisi hukum, namun tidak dapat dikatakan bahwa hukum itu tidak mungkin dapat didefinisikan.

Kedua, pendapat yang sejalan dengan pemikiran Lon L. Fuleer (1902-1978), yang menyatakan bahwa dibuatnya hukum adalah untuk menyediakan kerangka kerja bagi interaksi sosial ( a framework for social interaction) yang berupaya untuk menjadikan tingkah laku manusia sebagai pengaturan (as the enterprise of subjecting human conduct to the governance of rules). Oleh karena itu, Fuller menawarkan pendiriannya yang menolak pendefinisian hukum (a nondefinition of law)

Dari kedua pendapat diatas, kiranya dapat memberikan pemahaman kepada kita mengenai pendefinisian hukum itu sendiri, dimana di dalam kenyataannya hukum tidak pernah dapat didefinisikan, atau dengan kata lain tidak mungkin bagi kita untuk dapat merumuskan satu definisi hukum yang mencakupi seluruh tuntutan dan kebutuhan. Sehingga dimungkin hanyalah rumusan pengertian mengenai hukum yang penggunaannya sangat spesifik dan kontekstual

 

  1. KESIMPULAN

Beranjak dari apa yang diuraikan dan dijekaskan diatas, maka terhadap permasalahan “mungkinkah hukum di defiunisi” adalah merupakan sesuatu yang  contradictio in terminis. Artinya bahwa, disatu sisi dalam kenyataannya tidak akan mungkin dapat dirumuskan suatu pengertian hukum yang tepat, namun pada saat yang bersamaan juga bukan tidak mungkin dapat dirumuskan pula suatu definisi mengenai hukum. Persoalannya adalah bahwa apapun rumusan mengenai hukum itu haruslah diletakan dalam prespektif keilmuan hukum itu sendiri yang berkarakter sui generis

 

Sumber Bacaan :

Arief Sidharta, 1999, Reklaksi Tentang Hukum, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung

_____ ,Karateristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Ke-Indonesiaan, Disertasi, Pascasarjana Universitas Pajajaran, Bandung

_____, Refleksi  Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju Bandung, 200, h.133-135

Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang Undang (Legisprudence),-Volume I, Pemahaman Awal, Penerbit Kencana Prenada MediaGroup, Jakarta.

Marzuki M. Peter, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Kencana Prenada MediaGroup, Jakarta

Mohammad Koesnoe, 2010, Dasar Dan Metode Ilmu Hukum Positif, diterbitkan oleh Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair  (AUP), Surabaya

Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung



[1] Mohammad Koesnoe, Dasar Dan Metode Ilmu Hukum Positif, diterbitkan oleh Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair  (AUP), Surabaya, 2010, h.3-4

[2] J. J. H Bruggink, ahli bahasa Arief Sidharta, Reklaksi Tentang Hukum, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h.46

[3] J. J. H Bruggink, Ibid, h.24

[4] Ibid, h. 72

[5] Ibid

[6] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang Undang (Legisprudence),-Volume I, Pemahaman Awal, Penerbit Kencana Prenada MediaGroup, Jakarta, 2009, h.405

[7] Achmad Ali, Ibid, h.39

[8] Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Kencana Prenada MediaGroup, Jakarta, 2009, h.1

[9] Arief Sidharta, Karateristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Ke-Indonesiaan, Disertasi, Pascasarjana Universitas Pajajaran, Bandung, h. 25

[10]  Peter Mahmud Marzuki, Ibid, 34-35

[11]  Ibid

[12] Philipus M Hadjon_Tatiek Djatmianti, Materi Kuliah Teori Hukum, Magister Ilmu Hukum, Unair Surabaya, 2010

[13] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h.3-4

[14] Arief Sidharta, Refleksi  Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju Bandung, 200, h.133-135

[15] Achmad Ali, Loc Cit, h. 406-407

[16] Dalam menjelaskan hal tersebut, Bruggink mengacu kepada pendapat Meuwissin yang membedakan tiga tataran analisis. Filsafat Hukum mewujudkan landasan dari keseluruhan Teori Hukum (dalam arti luas). Pada tataran kedua Teori Hukum (dalam arti sempit). Diatasnya terdapat bentuk penting pengembanan hukum teoritik yakni Ilmu Hukum. Ilmu Hukum ini mengenal lima bentuk, yaituDogmatik Hukum, Sejarah Hukum, Perbandingan Hukum, Sosiologi Hukum, dan Phisikoligi Hukum

[17] Ibid, h. 410-411

 

Tinggalkan Balasan