PENDAPAT HUKUM[1]
URGENSI RUU DAERAH KEPULAUAN DALAM PENYELENGGARAAN SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA
Dr. S.E.M. Nirahua,SH.,M.Hum
1. Kasus Posisi
Wacana 7 (tujuh) Provinsi sebagai Kaukus Provinsi Kepulauan termasuk Maluku sebagai Provinsi Kepulauan berdasarkan aspek karakteristik kewilayahan telah dikembangkan melalui konsep Daerah Kepulauan dalam Rancangan Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pembentukan aturan hukum dalam bentuk undang-undang ini harus didasari pada upaya untuk menjawab permasalahan hukum yang secara nyata ada sebagai akibat kekosongan hukum dalam penyelenggaraan provinsi kepulauan, dan kenyataan ini belum sepenuhnya memiliki argumentasi hukum yang komprehensif dalam kaitan dengan sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Isu Hukum
Berdasarkan kasus posisi sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, terdapat beberapa isu hukum yang dapat dianalisis dan dibahas untuk kemudian dicari alternatif penyelesaiannya, yaitu:
1. Apakah perspektif hukum daerah kepulauan menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004?
2. Apakah daerah kepulauan dikenal dalam sistem hukum Indonesia?
3. Apakah perhitungan DAU daerah kepulauan berbeda dengan daerah lainnya?
3. Analisa Hukum
Terhadap isu hukum pertama, perlu dikaji aspek hukum provinsi kepulauan berdasarkan sistem hukum di Indonesia, khususnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai langkah awal yang dikaitkan dengan berbagai undang-undang sektoral lainnya.
Provinsi Kepulauan selama ini masih merupakan wacana yang berkaitan dengan pengembangan kawasan daerah terutama yang memiliki wilayah laut. Konsep pengembangan kawasan ini akan terkait dengan sistem manajemen pengembangan wilayah, namun tulisan ini tidak mengkajinya secara mendalam.
Daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah ”kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia” (Pasal 1 angka 6 UU No. 32 Tahun 2004). Dalam rumusan ini suatu daerah harus memiliki kejelasan batas-batas wilayah, baik darat maupun laut untuk menyelenggarakan wewenang berdasarkan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat di daerah menurut prakarsa sendiri dalam sistem NKRI. Hal ini berarti batas-batas wilayah daerah ini pun sebagai batas penyelenggaraan wewenang (urusan).
Penyerahan urusan pemerintahan ini dalam perspektif Hukum Tata Negara didasarkan pada desentralisasi kekuasaan vertikal dimana kekuasaan sejatinya berada pada Presiden (Pasal 4 ayat 1 UUD 1945, termasuk Pasal 18 UUD 1945 sebagai sub sistem dalam sistem kekuasaan pemerintahan negara yang dipimpin oleh Presiden).
Dalam perspektif Hukum Administrasi merupakan penyerahan urusan pemerintahan sebagai wewenang delegasi-mandat, karena karakter penyerahan dan pembagian urusan pemerintahan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak secara tegas memenuhi ciri wewenang delegasi yang bersifat definitif dimana masih ada urusan pemerintah yang berskala nasional yang bersifat concurrent (Penjelasan Umum UU Nomor 32 Tahun 2004). Maksudnya adalah urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerinlah dan pemerintah daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan kepada Provinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada kabupaten/Kota.
Wewenang pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan diatur dalam BAB III PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN, Pasal 10 sampai dengan Pasal 18. Ratio legis dalam pengaturan bab ini bahwa urusan pemerintahan dibagi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam 2 (dua) kewilayahan, yakni darat dan laut (urusan perikanan yang merupakan urusan pilihan harus dimaknai sebagai perikanan darat, karena logika hukum tidak dapat diarahkan bagi daerah yang tidak memiliki wilayah laut). Urusan pemerintahan menurut Pasal 18 dikhususkan bagi daerah yang memiliki wilayah laut – karena memang ada daerah yang tidak berbatasan dengan wilayah laut.
7 (tujuh) Provinsi termasuk Maluku yang memiliki karakteristik kewilayahan kepulauan dalam perspektif zonasi ruang laut memiliki kekhususan. Namun dalam perspektif hukum merupakan daerah yang secara umum tidak berbeda dengan daerah lainnya yang memiliki wilayah laut, baik secara keseluruhan memiliki gugusan pulau maupun sebagian wilayahnya merupakan wilayah laut.
Urusan pemerintahan bagi daerah yang memiliki wilayah laut secara jelas telah diatur dalam Pasal 18 untuk mengelola sumber daya di wilayah laut, include bagi 7 (tujuh) Provinsi yang memiliki karakteristik kepulauan termasuk Maluku.
Permasalahan hukumnya adalah apakah semua daerah yang memiliki wilayah laut telah memperjelas batas-batas wilayahnya di wilayah laut? Hal ini merupakan suatu keharusan untuk penyelenggaraan wewenang pengelolaan sumber daya di wilayah laut karena wilayah darat telah memiliki batas-batas geografis yang jelas. Penentuan dan penetapan batas-batas wilayah di wilayah laut ini yang akan membedakan luasnya zona pengelolaan sumber daya di wilayah laut antar daerah yang tidak sama.
Terhadap isu hukum kedua, apakah daerah kepulauan dikenal dalam sistem hukum Indonesia merupakan isu hukum lanjutan dari isu hukum pertama yang telah dikemukakan di atas.
Secara yuridis, daerah kepulauan merupakan daerah yang secara khusus memiliki wilayah laut dengan gugusan pulaunya.Sistem hukum Indonesia mengenal adanya istilah kepulauan hanya dalam konteks negara kepulauan menurut Pasal 25A UUD 1945, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996.
Pasal 25A UUD 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia sebagai Negara Kepulauan dengan batas-batasnya. Penegasan Indonesia sebagai negara kepulauan declair dalam konstitusi untuk menegaskan UNCLOS.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS menjustifikasi negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan dalam hubungannya dengan negara-negara lain di wilayah laut. Aspek hukumnya lebih diarahkan pada aspek hukum laut (marine law) yang bersifat internasional.
Justifikasi terhadap negara kepulauan pun diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia bahwa segala perairan dalam wilayah negara Republik Indonesia merupakan perairan kepulauan.
Pertanyaannya, apakah dengan adanya berbagai aturan hukum di atas dalam sistem hukum Indonesia dengan demikian dapat dikembangkan adanya terminologi ‘daerah kepulauan’? Tentu saja pertanyaan di atas harus dipilah dalam kerangka ‘negara’ dan ‘daerah’.
Sebagai negara, adanya pengaturan negara kepulauan dan perairan kepulauan merupakan justifikasi kedaulatan negara dalam hubungannya dengan negara-negara lainnya dalam sistem hukum laut internasional. Dalam hubungan dengan daerah, wilayah laut tetap menjadi jurisdiksi negara dan berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 daerah diberikan wewenang pengelolaan sumber daya.
Hakekat adanya pemberian kewenangan ini bahwa sebelumnya kewenangan dimaksud merupakan kewenangan Pemerintah namun didesentralisasikan kepada daerah. Hal yang perlu dipahami adalah negara hanya memberikan wewenang pengelolaan di wilayah laut dan bukan “wilayah laut daerah”, karena wilayah laut tetap menjadi jurisdiksi negara. Dalam pemaknaan ini, otonomi diberikan kepada ‘daerah’, namun istilah ‘wilayah’ masih bersifat administratif yang terkait dengan wilayah negara dan laut sebagai salah satu unsur wilayah negara.
Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, daerah kepulauan tidak dengan sendirinya dapat dikembangkan sebagai hubungan pusat-daerah melalui otonomi khusus.
Desentralisasi kekuasaan vertikal yang diserahkan kepada daerah dalam bentuk otonomi merupakan desentralisasi wewenang dan bukan wilayah. Daerah kepulauan merupakan aspek kewilayahan dan tetap merupakan jurisdiksi negara.
Fakta hukum adanya daerah yang memiliki karakteristik kepulauan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan bagian integral dari karakteristik negara, dan kewilayahan ‘kepulauan’ ini masih dalam konteks negara. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah menurut Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak dengan sendirinya berarti daerah dalam karakteristik kewilayah berupa kepulauan telah menjustifikasi sebagai daerah kepulauan, karena Pasal 18 hanya terkait dengan wewenang pengelolaan sumber daya dan bukan wilayahnya.
Terkait dengan wewenang pengelolaan sumber daya di wilayah bagi daerah dengan karakteristik kepulauan harus diperjelas batas-batas wilayah di wilayah laut berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 yang mengenal adanya garis pangkal lurus kepulauan (archipelagic straight baseline). Aspek lainnya dalam pengelolaan sumber daya yang bersifat pengaturan berupa perizinan di wilayah laut pada beberapa undang-undang sektoral masih berada pada domain negara. Karena itu aspek ini merupakan aspek fungsional dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam hubungan pusat-daerah. Terhadap hal ini dibutuhkan adanya koordinasi antara daerah dengan Pemerintah dalam bentuk kebijakan pemerintah.
Terhadap isu hukum ketiga, apakah perhitungan DAU daerah kepulauan berbeda dengan daerah lainnya, maka analisis terhadap isu hukum ini didasarkan dalam perspektif hubungan keuangan pusat dan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
Perhitungan DAU bagi setiap daerah didasarkan pada parameter kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Salah satu variabel kebutuhan fiskal adalah luas wilayah (daerah), dan berdasarkan Penjelasan Pasal 40 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 bahwa yang dimaksud dengan luas wilayah adalah luas wilayah daratan.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 40 ayat (3) di atas, cakupan luas wilayah yang terbatas pada wilayah darat dalam perhitungan DAU akan menimbulkan permasalahan hukum bagi daerah yang memiliki wilayah laut. Variabel luas wilayah ini memiliki rasio hukum dengan luas wilayah yang menjadi wewenang daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan (fungsi desentralisasi).
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, penyelenggaraan urusan pemerintahan dilaksanakan pula pada wilayah laut bagi daerah yang memilikinya dengan luas 12 mil laut. Wilayah laut yang menjadi wewenang pengelolaan sumber daya ini sekaligus merupakan wilayah daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Didasarkan pada tujuan pemberian DAU untuk terselenggaranya fungsi pemerintahan di daerah, maka seyogyanya formula perhitungan DAU harus mencantumkan luas wilayah ini terkait pula dengan wilayah laut. Dalam penentuan formulasi perhitungan DAU ini, tidak dapat disertakan adanya pembedaan antara daerah kepulauan dan bukan daerah kepulauan (yang memiliki wilayah laut). Hal ini berlaku secara umum bagi semua daerah yang memiliki wilayah laut, karena luas wilayah laut masing-masing daerah, termasuk daerah kepulauan yang akan menentukan besaran DAU yang akan diterima.
4. Konklusi Dan Rekomendasi
Dengan didasarkan pada analisa di atas, secara juridis tidak dikenal adanya daerah kepulauan dalam sistem hukum Indonesia.
Wilayah laut dengan karakteristik kepulauan tetap menjadi domain negara yang tidak diserahkan kepada daerah. Dalam semangat otonomi daerah, bagi daerah diberikan wewenang pengelolaan sumber daya di wilayah laut dan bukan diberikan wilayah laut (dalam arti ada wilayah laut daerah).
Aspek pengelolaan sumber daya di wilayah laut dapat dilakukan dengan adanya pembagian kewenangan yang lebih jelas antara pusat dan daerah dalam kebijakan negara.
Dengan demikian, tidak ada argumen yuridis adanya pengaturan daerah kepulauan dalam undang-undang karena daerah kepulauan hanya sebagai wacana dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan tidak memiliki substansi yuridisnya.
Solusi hukumnya bukan dengan membentuk undang-undang daerah kepulauan, tetapi adanya koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pusat dan daerah. Kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dalam pengelolaan sumber daya di wilayah laut perlu dipertegas dengan adanya Peraturan Presiden terkait dengan kewenangan pengelolaan sumber daya di wilayah laut.
Formula perhitungan DAU seyogyanya mengakomodir wilayah laut sebagai variabel luas wilayah yang akan memberikan keadilan bagi daerah yang memiliki wilayah laut. Upaya mengakomodir wilayah laut tidak berbeda bagi daerah kepulauan atau bukan karena luas wilayah pada wilayah laut masing-masing daerah yang menentukan besaran DAU daerah dimaksud.
Demikian Pendapat Hukum yang dapat disampaikan terkait RUU Tentang Daerah Kepulauan dalam DPU dengan Komite I DPD RI. Kiranya bermanfaat bagi pembahasan RUU Daerah Kepulauan yang sedang dilakukan.
[1] Dr.S.E.M. Nirahua,SH.,M.Hum
Pendapat Hukum Terkait RUU Daerah Kepulauan Disampaikan dalam DPU dengan DPD RI, Tanggal 24 Januari 2012