ARSENAL MORAL DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

Penegakan Hukum

ARSENAL MORAL DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG[1]

Oleh: M.A.H.Tahapary

 

A.     Pengantar

Kehidupan manusia di dunia penuh dengan berbagai permasalahan baik yang timbul dalam hubungan antara pribadi maupun kelompok. Hukum dipergunakan untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul dalam masyarakat Hukum yang terbangun dalam bangunan peraturan perundang-undangan memiliki tujuan mengantur hubungan dalam masyarakat dimana harapan adanya keadilan dan kesejahteraan dapat tercapai. Tujuan ini dapat tercapai melalui proses yang panjang dan melibatkan berbagai kalangan, baik pemerintah maupun kalangan legislator. Undang-undang yang mengatur kehidupan masyarakat dalam Negara Indonesia juga melalui proses hingga dapat diterima oleh masyarakat. Undang-undang yang dihasilkan diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat yang akan mengimplementasikannya dalam kehidupan bersama.

Arsenal (gudang senjata) moral dalam pembuatan undang-undang  akhir-akhir ini menjadi topik diskusi yang hangat dan terus menimbulkan perbedaan pandangan tentang aspek moral sehingga menghasilkan undang-undang yang baik sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang undang-undang yang dibuat selalu menimbulkan kontraversi dalam pelaksanaannya karena selalu terjadi pertentangan dan tidak selaras dengan undang-undang lain maupun dengan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, hal ini disebabkan undang-undang yang dibuat secara substansi lebih banyak memuat kepentingan berbagai pihak sehingga menghasilkan undang-undang yang tidak harmoni.

Pembentuk  undang-undang baik itu berasal dari eksekutif maupun yang berasal dari legislatif sebagai usul inisiatif selalu menimbulkan perdebatan panjang saat pembahasan untuk memperjuangkan kepentingan kelompok, kepentingan partai politik, kepentingan pemerintah pusat dan berbagai kepentingan lain, sehingga kepentingan rakyat semakin terpinggirkan dalam undang-undang yang dibentuk.

Undang-undang merupakan produk politik karena dibentuk pada lembaga politik. DPR sebagai lembaga politik menampung berbagai kepentingan politik dari berbagai pihak yang berasal dari partai politik masing-masing atau kepentingan dari individu serta kelompok tertentu.

Pertarungan untuk memperjuangkan kepentingan yang harus dituangkan atau dirumuskan dalam norma undang-undang sering mengabaikan aspek moral. Padahal moral mempunyai fungsi dan peran yang sangat penting untuk menuntun pembentuk undang-undang sehingga dapat melahirkan pemikiran-pemikiran yang obyektif dan adil demi kepentingan banyak orang atau umat manusia.

Pembentuk undang-undang yang bermoral sudah tentu akan menghasilkan suatu undang-undang yang tidak saja memberikan jaminan kepastian hukum tetapi undang-undang yang dapat memberikan rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.Undang-undang yang baik dan bermutu adalah undang-undang yang merupakan jiwa dari seluruh kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Undang-undang merupakan pekerjaan yang sulit karena suatu undang-undang harus mampu menjawab berbagai masalah yang rumit dalam masyarakat.

Pembentuk undang-undang disamping mempunyai pengetahuan dasar ilmu hukum dan ilmu terkait lainnya namun harus mempunyai kemampuan seni untuk merangkai berbagai perbedaan menjadi sesuatu yang harmoni dan bisa diterima oleh semua pihak. Suatu hal yang dipandang sangat penting dan menentukan adalah mental dan moral dari pembentuk undang-undang. Dengan mental dan moral yang baik, sudah tentu akan membawa pengaruh yang positif dalam perumusan suatu undang-undang.

Karakteristik dari pembentuk undang-undang mempunyai pengaruh signifikan terhadap substansi suatu undang-undang. Oleh karena itu kajian-kajian terhadap aspek moral dalam pembentuk suatu undang-undang merupakan hal penting dan menarik untuk dijadikan sebagai fokus studi atau penelitian dalam bidang hukum. Plesetan tentang hukum bahwa hukum dibuat untuk melindungi kepentingan penguasa menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji.

Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa telah terjadi krisis moral dari pembentuk undang-undang. Pada dasarnya krisis moral dapat ditandai oleh dua gejala yaitu tirani dan keterasingan. Tirani merupakan gejala dan rusaknya perilaku sosial, sedangkan keterasingan menandai rusaknya hubungan sosial.

Bertolak dari latar belakang di atas, maka menarik untuk ditulis dan dikaji adalah, apakah aspek moral memegang peranan dalam proses pembentukan undang-undang.

 

B.     Pembahasan

Berkaitan dengan pembentukan undang-undang menurut Bagir Manan (1994 : 13-20), agar pembentukan undang-undang menghasilkan suatu undang-undang yang tangguh dan berkualitas, dapat digunakan tiga landasan dalam penyusunan undang-undang, yang Pertama, landasan yuridis (yuridische gelding); Kedua, landasan sosiologis (sociologische gelding); Ketiga, landasan filosofis (filosofische gelding). Pentingnya ketiga unsur landasan pembentukan undang-undang tersebut, agar undang-undang yang dibentuk, memiliki kaedah yang sah secara hukum (legal validity), dan mampu berlaku efektif karena dapat atau akan diterima masyarakat secara wajar, serta berlaku untuk waktu yang panjang.

Menurut Jimly Asshiddiqie (dalam Yuliandri : 2009 : 29-30), berkaitan dengan landasan pembentukan undang-undang, dengan melihat dari sisi teknis pembentukan undang-undang, landasan pembentukan undang-undang haruslah tergambar dalam “konsiderans” suatu undang-undang. Dalam konsiderans suatu undang-undang haruslah memuat norma hukum yang baik, yang menjadi landasan keberlakuan bagi undang-undang tersebut, yaitu terdiri dari :

Pertama, landasan filosofis. Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan (ideal norms) oleh suatu masyarakat kearah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat, bernegara hendak diarahkan.

Kedua, landasan sosiologis. Bahwa setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang-undang haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat.

Ketiga, landasan politis. Bahwa dalam konsiderans harus pula tergambar adanya sistem rujukan konstitusional menurut cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi pembentukan undang-undang yang bersangkutan.

Keempat, landasan yuridis. Dalam perumusan setiap undang-undang, landasan yuridis ini haruslah ditempatkan pada bagian konsiderans “mengingat”.

Kelima, landasan administratif. Dasar ini bersifat “fakultatif” (sesuai kebutuhan), dalam pengertian tidak semua undang-undang mencantumkan landasan ini.

Jika kelima landasan tersebut terpenuhi dalam setiap proses dan substansi pembentukan perundang-undangan, kiranya keseluruhan undang-undang yang dihasilkan, menjadi undang-undang yang baik, berkualitas dan berkelanjutan.

Dalam konteks ini Otto (dalam Yuliandri, 2009 : 28) adanya faktor-faktor yang relevan dalam teori pembentukan undang-undang yang mempengaruhi kualitas hukum (the legal quality) dan substansi undang-undang (the content of the law), yaitu :

1)      The synoptic policy-phases theory;

2)      The agenda-buiding theory;

3)      The elite ideology;

4)      The bureau – politics theory or organizational politics theory;

5)      The four rationalities theory.

Di antara kelima macam teori pembentukan undang-undang tersebut “the agenda – buiding theory” kiranya secara prosedural memiliki kesamaan dengan situasi dan kondisi pembentukan hukum di Indonesia, yang secara prosedural memiliki karakteristik “a bottom up approach” yang dilaksanakan dalam proses pembentukan undang-undang berupa “jaring asmara” maupun “uji publik” tetapi dalam pelaksanaannya hanya sekedar memenuhi prosedural semata.

Berkaitan  dengan hal tersebut, dapat dicermati, bahwa banyaknya perangkat Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk daftar Program Legislasi Nasional, namun umumnya terdapat RUU yang terkesan tidak memiliki relevansi dan terjadi tumpang tindih pengaturan satu dengan yang lainnya, tanpa adanya agenda yang jelas, dan sinergis satu sama lainnya.  

Bahkan banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. Mereka bertanya: mengapa hal itu harus terjadi?  Ternyata hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul juga pertanyaan berikutnya tentang subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih spesifik pun dapat mengemuka seperti bagaimanakah pengaruh politik terhadap hukum, mengapa politik banyak mengintervensi hukum, jenis sistem politik yang bagaimana yang dapat melahirkan produk hukum yang berkarakter seperti apa. Upaya untuk memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan upaya yang sudah memasuki wilayah politik hukum.

Politik kadangkala juga merambah di lingkungan dalam pemerintah pada waktu rancangan peraturan tersebut dibahas antar departemen terkait dengan masalah kepentingan sektor dan kepentingan lainnya. Apakah hal ini termasuk dalam wilayah politik hukum? Kepentingan sektor inilah yang kemudian mempengaruhi politik hukum yang memang sejak semula diharapkan politik hukum dapat bermanfaat atau berguna dalam kehidupan bermasyarakat. Sekali lagi, sterilisasi politik hukum dikotori oleh kepentingan sektor.

Sumber daya manusia, terutama legislator yang dinilai lemah dalam merumuskan dan menuangkan keinginan politik hukumnya dan jumlah perancang peraturan perundang-undangan yang masih minim, juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kesenjangan antara kuantitas dan kualitas produk peraturan perundang-undangan. Peran legislatif sebagai poros utama pembentukan undang-undang sering kali terabaikan karena banyaknya pekerjaan di luar pembentukan RUU yang harus diemban oleh anggota dewan, misalnya, pekerjaan-pekerjaan melakukan fit and proper test untuk jabatan pemerintahan tertentu dan raker-raker lain di luar pembentukan rancangan undang-undang.  

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa prosedur penyusunan peraturan perundang-undangan, selain sebagian ditentukan dalam UU P3, secara rinci juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 61 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 68 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, perpu, RPP, dan Rpresiden. Dalam Perpres 61 ditentukan bahwa penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR-RI dikoordinasikan oleh Badan Legislasi sedangkan penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri (Menteri Hukum dan HAM). Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR-RI dan Pemerintah dilakukan dengan memperhatikan konsepsi RUU yang meliputi:

  1. latar belakang dan tujuan penyusunan;
  2. sasaran yang akan diwujudkan;
  3. pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur; dan
  4. jangkauan dan arah pengaturan.

Terkait dengan penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah, Menteri meminta kepada menteri lain dan pimpinan LPND mengenai perencanaan pembentukan RUU di lingkungan instansinya masing-masing sesuai dengan lingkup bidang tugas dan tanggung jawabnya. Penyampaian perencanaan pembentukan RUU disertai dengan pokok materi yang akan diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal menteri lain atau pimpinan LPND telah menyusun naskah akademis, maka naskah akademis tersebut wajib disertakan dalam penyampaian  perencanaan pembentukan RUU.

Setelah RUU disampaikan, Menteri melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU dengan penyusun perencanaan (pemrakarsa) dan bersama-sama dengan menteri lain dan pimpinan LPND yang terkait dengan substansi RUU. Upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU diarahkan pada perwujudan keselarasan konsepsi tersebut dengan:

  1. falsafah negara;
  2. tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya;
  3. UUD Negara RI Tahun 1945;
  4. undang-undang lain yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya; dan
  5. kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang diatur dengan RUU tersebut.

Upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU dilaksanakan melalui forum konsultasi yang dikoordinasikan oleh Menteri. Dalam hal konsepsi RUU tesebut disertai dengan naskah akademis, maka naskah akademis dijadikan bahan pembahasan dalam forum konsultasi. Dalam forum konsultasi tersebut, dapat diundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi dan organisasi di bidang sosial, politik, profesi, atau kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan.

Konsepsi RUU yang telah memperoleh pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi, oleh Menteri wajib dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada Presiden sebagai Prolegnas yang disusun di lingkungan Pemerintah sebelum dikoordinasikan dengan DPR-RI. RUU yang telah melalui proses demikian panjang akhirnyadisahkan menjadi Undang-Undang di mana peran moral pembentuk undang-undang dalam hal ini sangatlah penting karena undang-undang yang dihasilkan adalah demi kelangsungan kehidupan bersama bangsa yang baik di masa yang akan datang.

C.     Kesimpulan

Aspek moral memegang peran yang penting dalam proses pembentukan undang-undang karena tanpa adanya moral yang baik dari para pembentuk undang-undang maka undang-undang yang dihasilkan adalah undang-undang yang tidak maksimal dalam mangakomodir seluruh aspek kehidupan masyarakat secara utuh.

 

DAFTAR BACAAN

 

Bagir Manan, 1994, Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional, Fakultas Hukum Andalas, Padang.

Jimly Asshiddiqie, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cet. I, Konstitusi Press, Jakarta.

Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan-gagasan pembentukan undang-undang berkelanjutan, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

 

 


[1] Tulisan ini diterbitkan dalam sebuah buku KOMPILASI PEMIKIRAN TENTANG DINAMIKA HUKUM DALAM MASYARAKAT (Memperingati Dies Natalis ke -50 Universitas Pattimura Tahun 2013), 2013