Aspek Teoritik Kewenangan Pemerintah

Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara

ASPEK TEORITIK KEWENANGAN PEMERINTAH

 

 

  1. TENTANG WEWENANG

Philipus M. Hadjon[1], dalam tulisannya tentang wewenang mengemukakan bahwa ”Istilah wewenang disejajarkan dengan istilah “bevoegdheid” dalam istilah hukum Belanda. Kedua istilah ini terdapat sedikit perbedaan yang teletak pada karakter hukumnya, yaitu istilah “bevoegdheid” digunakan baik dalam konsep hukum publik maupun dalam konsep hukum privat, sementara istilah wewenang atau kewenangan selalu digunakan dalam konsep hukum publik.

Selanjutnya H. D Stout, sebagaimana dikonstantir oleh Ridwan H.R[2], menyebutkan bahwa :

Bevoedheid is een begrip uit bestuurlijke organisatierecht, watkan worden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heeft op de verkrijging en uitoefening van bestuurscrechttelijke bevoegheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in hetnbestuursrechtelijke rechtsverkeer

(Wewenang merupakan pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan atura-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik)

Sebagai konsep hukum publik, wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechsmacht), dimana konsep tersebut diatas, berhubungan pula dalam pembentukan besluit (keputusan pemerintahan) yang harus didasarkan atas suatu wewenang[3].

Dengan kata lain, keputusan pemerintahan oleh organ yang berwenang harus didasarkan pada wewenang yang secara jelas telah diatur, dimana wewenang tersebut telah ditetapkan dalam aturan hukum yang terlebih dulu ada[4]. Sejalan dengan pendapat diatas, F.P.C.L. Tonnaer[5], menyatakan bahwa :

”Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevat als het vermogen om positiefrecht vast te stellen n aldus rechtsbetrekking tussen burgers onderling en tussen overheid en te scheppen”

(Kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu, dapat dirincikan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara)

Berbagai pengertian mengenai wewenang sebagaimana dikemukakan diatas, walaupun dirumusakan dalam bahasa yang berbeda, namun mengandung pengertian bahwa wewenang itu memberikan dasar hukum untuk bertindak dan mengambil keputusan tertentu berdasarkan wewenang yang diberikan atau melekat padanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kewenangan itu haruslah jelas diatur secara jelas dan ditetapkan dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Hal ini berarti bahwa, perolehan dan penggunaan wewenang daerah dalam pengaturan tata ruang laut pada wilayah kepulaun hanya dapat dilakukan apabila daerah berdasarkan ketentuan perundang-undangan memiliki kewenangan untuk itu, sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon[6] yakni, bahwa :

”…minimal dasar kewenangan harus ditemukan dalam suatu undang-undang, apabila penguasa ingin meletakan kewajiban-kewajiban di atas para warga masyarakat. Dengan demikian di dalamnya terdapat suatu legitimasi yang demokratis. Melalui undang-undang, parlemen sebagai pembentuk undang-undang yang mewakili rakyat pemilihnya ikut menentukan kewajiban-kewajiban apa yang pantas bagi warga masyarakat. Dari sini, atribusi dan delegasi kewenangan harus didasarkan undang-undang formal,  setidak-tidaknya apabila keputusan itu meletakan kewajiban-kewajiban pada masyarakat”

Dalam kajian hukum administrasi, mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan ini penting, karena  berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum (rechtelijke verantwording) dalam penggunaan wewenang tersebut, seiring dengan salah satu prinsip dalam negara hukum; ”geen bevoegheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no authority without responsibility” (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban)”.[7]

Sumber kewenangan dapat dilihat pada konstitusi setiap negara yang memberi suatu legitimasi kepada badan-badan publik untuk dapat melakukan fungsinya.[8]  Perwujudan dari fungsi pemerintahan sebagaimana dikemukakan diatas, itu nampak pada tindakan pemerintahan (besturrshandelingen) yang dalam banyak hal merupakan wujud dari tindakan yang dilakukan oleh organ-organ maupun badan pemerintahan. 

Dalam melaksanakan fungsinya (terutama berkaitan dengan wewenang pemerintahan), Pemerintah mendapatkan kekuasaan atau kewenangan itu bersumber dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang. Sutarman[9] mengutip pendapat dari H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, menyatakan bahwa:

“Wetmatigheid van bestuur: de uitvoerende mach bezit uitsluitend die bevoegdheden welke haar uitdrukkelijk door de Grondwet of door een andere wet zijn toegekend”.

(Pemerintahan menurut undang-undang: pemerintah mendapatkan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh undang-undang atau undang-undang dasar.)

Dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat dua cara utama memperoleh wewenang pemerintahan, yaitu atribusi delegasi dan mandat.[10] Mengenai atribusi, delegasi, dan mandat dapat dijelaskan sebagai berikut :

  1. Atribusi

Attributie; toekenning van en bestuursbevoegheiddoor een wetgever aan een bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan) [11]

Artibusi dikatakan sebagai cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Juga dikatakan bahwa atribusi juga merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit). Rumusan  lain mengatakan bahwa atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang dalah organ yang berwenang berdsarkan peraturan perundang-undangan. Pembentukan wewenang dan distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam                Undang-Undang Dasar. Pembentukan wewenang pemerintahan didasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. [12]

  1. Delegasi

Delegatie; overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya)[13] Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat “besluit”) oleh pejabat pemerintahan (pejabat tun) kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggung jawab pihak lain tersebut [14]

  1. Mandat

Mandaat; een bestuursorgaan laat zinj bevoegheid names hem uitoefeen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerinatahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya) Mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a.n pejabat tun yang memberi mandat. Keputusan itu merupakan keputusan pejabat tun yang memberi mandat. Dengan demikian tanggung gugat dan tanggung jawab tetap pada pemberi mandat. Untuk mandat tidak perlu ada ketentuan perundang-undangan. [15]

Mengenai rumusan pengertian dari mandat, Philipus M. Hadjon[16], kembali menjelaskan bahwa :

”Kewenangan membuat keputusan hanya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu atribusi atau delegasi. Oleh karena mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan ini bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a.n. pejabat tun yang memberi mandat. Keputusan itu merupakan keputusan pejabat tun yang memberi mandat. Dengan demikian tanggung jawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi mandat. Untuk mandat tidak perlu ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang melandasinya karena mandat merupakan hal rutin dalam hubungan intim-hirarkis organisasi pemerintahan”

Untuk memperjelas kriteria delegasi yang dimaksud, ten Berge, menyatakan bahwa syarat-syarat delegasi antara lain:[17]

  1. Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.
  2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan.
  3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.
  4. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.
  5. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.

Mengenai perbedaan antara delegasi dan mandat, Philipus M. Hadjon[18] menyatakan sebagai berikut:

”Dalam kepustakaan digunakan istilah dekonsentrasi, yaitu kemungkinan terjadinya pemberian wewenang dalam hubungan kepada bawahan. Dekonsentrasi diartikan sebagai atribusi wewenang kepada para pegawai (bawahan). Tujuan diadakannya dekonsentrasi ialah :

  1. Adanya sejumlah besar permohonan keputusan dan dibutuhkannya keahlian khusus dalam pembuatan keputusan;
  2. Kebutuhan akan penegakan hukum dan pengawasan;
  3. Kebutuhan koordinasi”

Dengan konsep delegasi seperti itu berarti tidak mungkin ada delegasi umum dan tidak mungkin ada delegasi dari atasan kepada bawahan.[19] Perbedaan antara delegasi dan mandat disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut [20]

 

 

 

TABEL 2.5

PERBEDAAN MANDAT DAN DELEGASI

 

 

MANDAT

DELEGASI

a. Prosedur pelimpahan

Dalam hubungan rutin atasan bawahan: hal biasa kecuali dilarang secara tegas

Dari suatu organ pemerintahan kepada orang lain: dengan peraturan perundang-undangan

b. Tanggung jawab dan tanggung gugat

Tetap pada pemberi mandat

Tanggung jawab dan tanggung gugat beralih kepada delegataris

c. Kemungkinan si pemberi menggunakan wewenang itu lagi

Setiap saat dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu

Tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada asas “contrarius actus

 

  1. PENYALAGUNAAN WEWENANG

Pada bagian ini kita akan mengkaji dan menganalisis terkait dengan parameter penyalagunaan wewenang dan hubungannya dengan Asas Sesialitas (Specialiteitsbeginsel). Dalam konsep hukum administrasi, setiap pemberian wewenang kepada suatu badan atau kepada pejabat administrasi negara selalu disertai dengan “tujuan dan maksud” diberikannya wewenang itu, sehingga penerapan wewenang itu harus sesuai dengan tujuan dan maksud pemberian wewenang itu sendiri. Dalam hal penggunaan wewenang itu tidak sesuai dengan tujuan dan maksud pemberian wewenang tersebut, maka telah melakukan penyalagunaan wewenang (detournement de pouvoir)

Parameter “tujuan dan maksud” pemberian wewenang dalam menentukan terjadinya penyalagunaan wewenang dikenal dengan Asas Spesialias (Specialiteitsbeginsel), yang dikembangkan oleh Mariette Kobussen dalam bukunya yang berjudul ‘De vrijheid Van De Overheid’. Secara substansial Specialiteitsbeginsel mengandung makna bahwa setiap kewenangan memiliki tujuan tertentu. Dalam kepustakaan hukum administrasi sudah lama dikenal Asas Zuiverheid van oogmerk (Ketajaman Arah atau Tujuan). Dengan demikian, maka penyimpangan terhadap asas ini akan melahirkan ‘detournement de pouvoir’

Asas legalitas merupakan dasar bagi pemerintah untuk bertindak dalam mencapai tujuan tertentu. Pemberian wewenag kepada pemerintah tersebut diberikan melalui sarana peraturan perundang-undangan. Asas legalitas asalnya dari kata ‘Lex’ yang artinya ‘Undang-Undang’. Dalam konsep hukum pidana, artinya seseorang hanya dapat dipidana berdasarkan ketentuan legislasi. Specialiteitsbeginsel adalah merupakan onderdeel dari Asas Legalitas (Legaliteitbeginsel), sehingga Specialiteitsbeginsel masih sejenis/serumpun dengan Legaliteitbeginsel.

Didalam asas legalitas tidak memperhitungkan kekhususan (tujuan) terhadap wewenang tertentu dalam penerbitan keputusan. Kekhususan pemberian dan tujuan pemberian wewenang dapat dilihat pada masing-masing peraturan perundang-undangan. Mengukur penyagunaan wewenang terutama berkaitan dengan Beleidsvrijheid (Discretionary power, Freis Ermessen) harus didasarkan pada Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), karena Asas Wetmatigheid tidaklah memadai.

AAUPB merupakan asas-asas yang tidak tertulis, dimana untuk keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang diterapkan. Selain dari pada itu AAUPB merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan hukum administrasi. Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan AAUPB antara lain meliputi pertama, Larangan Sewenang-Wenang (Wilekeur); dan kedua, Larangan Penyalagunaan Wewenang .

Freis Ermessen merupakan salah satu sarana yang memberikan ruang gerak kepada pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus trikat sepenuhnya dengan undang-undang. Dalam praktek hukum administrasi, asas-asas hukum yang dipakai untuk menilai kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi tersebut masih dalam koridor ‘rechtmatigheid’  atau berpedoman pada ‘Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur’ atau AAUPB.  Menurut Philipus M. Hadjon,

“AAUPB harus dipandang sebagai norma-norma hukum tidak tertulis, yang senantiasa harus ditaati oleh pemerintah, meskipun arti yang tepat dari AAUPL bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan teliti. Dapat pula dikatakan bahwa AAUPL adalah asas-asas hukum tidak tertulis, dari mana untuk keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan”

AAUPB merupakan ‘Levende Beginselen’ yang berkembang menurut praktek khusus melaui putusan peradilan. AAUPB  yang baik sebagai aturan yang tidak tertulis dipandang sebagai etika yang hidup dan berkembang dalam lingkungan hukum administrasi. Untuk mengukur tindakan pejabat

  1. LEGALITAS TINDAKAN PEMERINTAH

Ruang lingkup legalitas tindak pemerintahan meliputi wewenang, prosedur, dan substansi. Wewenang dan substansi merupakan landasan bagi legalitas formal.  Atas dasar  legalitas formal lahirlah asas praesumptio iustae causa. Atas dasar asas itulah ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU no. 5 th. 1986 menyatakan “Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang di gugat.”

Tidak terpenuhinya tiga komponen legalitas tersebut mengakibatkan cacat yuridis suatu tindak pemerintahan. Cacat yuridis menyangkut wewenang, prosedur dan substansi. Setiap tindak pemerintahan diisyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu: atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh Undang-Undang Dasar atau ditetapkan oleh Undang-Undang, kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan.

Asas umum prosedur bertumpu atas tiga landasan utama hukum administrasi, yaitu: asas negara hukum, asas demokrasi dan asas instrumental. Asas negara hukum dalam prosedur utamanya berkaitan dengan perlindungan hak-hak dasar, misalnya hak untuk tidak menyerahkan dokumen yang sifatnya privacy, hak untuk tidak menyebutkan namanya atau identitas lainnya sehubungan dengan keberatan yang diajukan terhadap suatu permohonan pihak lain atau atas suatu rancangan tindak pemerintahan . Asas demokrasi dalam prosedur berkenaan dengan asas keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Asas keterbukaan mewajibkan pemerintah untuk secara aktif memberikan informasi  kepada masyarakat tentang suatu permohonan atau suatu rencana tindak pemerintahan dan mewajibkan untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat atas hal yang diminta.  Keterbukaan pemerintahan memungkinkan peranserta masyarakat dalam pengambilan keputusan. Untuk itu dibutuhkan suatu sarana peranserta misalnya: sarana keberatan, sarana dengar pendapat, komisi pertimbangan (penasihatan) dan lain-lain. Disamping itu asas keterbukaan mewajibkan pemerintah untuk mengumumkan setiap keputusan pemerintahan.

Asas instrumental meliputi asas efisiensi (doelmatigheid: daya guna) dan asas efektivitas (doeltreffenheid: hasil guna). Dewasa ini mungkin masih banyak prosedur di bidang pemerintahan di Indonesia yang masih belum berdaya guna dan berhasil guna. Dalam hubungan itu deregulasi di bidang pemerintahan khususnya menyangkut prosedur pemerintahan masih sangat dibutuhkan. Hal kecil yang masih menunjukkan beberapa segi yang tidak efisien dan tidak efektif misalnya: apakah masih perlu prosedur pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dimulai dari tingkat Ketua Rukun Tetangga (RT), padahal setiap warga yang mengurus KTP disyaratkan antara lain bahwa dia sudah terdaftar dalam Kartu Keluarga (KK) dan bahkan sekarang ini sudah diatur wajib memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK). Apakah tidak cukup dengan bekal kartu NIK dan KK seseorang bisa langsung mengurus KTPnya tanpa harus melalui suatu prosedur yang panjang?

Kekuasan pemerintahan yang berisi wewenang pengaturan dan pengendalian kehidupan masyarakat, dibatasi secara substansial. Sebagai contoh misalnya: wewenang menetapkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), secara substansial dibatasi pada luas tanah dan luas bangunan dan tidak menyangkut isi rumah tersebut. Aspek substansial menyangkut “apa” dan “untuk apa”. Cacat substansial menyangkut “apa” merupakan tindakan sewenang-wenang; cacat substansial menyangkut “untuk apa” merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang.

DAFTAR BACAAN

PhilipusM. Hadjon, 2002. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia_Introduction to Indonesian Administrative Law, Gadja Mada University Press, Yogyakarta.

_______________ Pengkajian Ilmu Hukum, 1997. Makalah, Pelatihan Metode Penelitian Hukum Normatif, Universitas Airlangga, Surabaya

_______________ Tentang Wewenang, 1997. Majalah Yuridika Fakultas Hukum Unair, Nomor 5 & 6,  Edisi September s/d Desember.

________________, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, 2004. Pidato Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar, Surabaya, Oktober.

Ridwan HR, 2002. Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sutarman (2007), Kerjasana Antar Daerah Dalam Pelayanan Perizinan Dan Penegakan Hukum Penangkapan Ikan Di Wilayah Laut, Disertasi Airlangga.

Tatiek Sri Djatmiati, (2004) Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.

 

 



[1]   Philipus M Hadjon II, h. 1

[2]  Ridwan HR (2002), Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.101

[3]  Philipus M Hadjon I, Ibid,

[4] Sutarman (2007), Kerjasana Antar Daerah Dalam Pelayanan Perizinan Dan Penegakan Hukum Penangkapan Ikan Di Wilayah Laut, Disertasi Airlangga., h. 110

[5]  Ridwan HR (2002) Ibid

[6]   Phlipus M Hadjon I, h 130.

[7]   Ridwan HR (2002),  Op CIt, h.108

[8] Tatiek Sri Djatmiati, (2004) Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, h. 60.

[9]   Sutarman (2007),  Loc Cit., h 112

[10]   Philipus M Hadjon II, h. 2

[11]    Ridwan HR, (2002) Loc Cit , h. 104-105

[12]    Philipus M Hadjon II, Ibid

[13]   Ridwan HR (2002). Ibid

[14]   Phlipus M Hadjon II, Ibid

[15]   Ibid

[16] Philupus M. Hadjon (1994), Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Pidato Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Airlangga., h. 7 (Philipus M Hadjon III)

[17]   Philipus M Hadjon II, Op Cit,  h. 5

[18]  Ibid., h. 7

[19]  Ibid

[20]  Philipus M Hadjon III  Ibid, h. 8

 

Tinggalkan Balasan