Juni lalu Mahkamah Konstitusi RI memutuskan konsep wadah tunggal organisasi advokat adalah Konstitusional dan permohonan uji materiil (materieele toetsingrecht) Undang-Undang Advokat yang diajukan oleh sembilan advokat senior Peradin ditolak dan dinyatakan nebis in idem. Padahal dalam sidang pemeriksaan pendahuluan permohonan uji materiil UU Advokat dinyatakan layak untuk diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi RI. Di sinilah terjadi keraguan Mahkamah Konstitusi RI. Entah apa sebab keraguan ini, apa ada alasan hukum yang berseberangan di antara sembilan hakim konstitusi atau karena ada alasan seperti pengaruh politis atau lainnya.
Hanya para hakim itu yang bisa menjawab tetapi paling tidak putusan itu mengecewakan dan tidak memberikan solusi atas perseteruan di dalam tubuh organisasi yang sudah berlangsung ±5 tahun sejak UU Advokat diundangkan dan entah sampai kapan akan diakhiri.
Banyak kekeliruan dalam Pembentukan Peradi yang tidak sesuai dengan nafas demokrasi, dimana hak pilih anggota organisasi advokat dikebiri dan diabaikan. Kepengurusan Peradi dibentuk atas dasar kongko-kongko antara delapan pimpinan organisasi advokat dan bukan melalui kongres yang demokratis atas dasar one man one vote, yang ditentukan IBA Standard for the Independence of the Legal Profession, UN Basic Principles on The Role of Lawyer dan Singhvi Declaration.
Alhasil putusan Mahkamah Konstitusi RI akan melanggengkan perseteruan dalam tubuh organisasi advokat yang akibatnya akan dirasakan masyarakat, khususnya para advokat dan pencari keadilan. Mafia peradilan (Korupsi Yudisial) akan tetap marak dan organisasi advokat selama ini berdiam diri dan ini akan diteruskan dengan tidak diatasinya perseteruan dalam tubuh organisasi advokat. Putusan tersebut tidak menyelesaikan isu dan kepentingan nasional serta mengabaikan tiga instrumen internasional yang secara lex specialis mengatur mengenai hak-hak berserikat yang dimiliki oleh advokat. Ketentuan yang menyatakan bahwa advokat berstatus sebagai penegak hukum (law enforcement officials) juga merupakan ketentuan keliru, karena profesi advokat adalah profesi khusus yang bebas dan mandiri, dan bukan merupakan bagian dari penegak hukum (law enforcement officials). Hal ini tercantum dalam Commentary (a) dari Pasal 1 United Nations Code of Conduct for Law Enforcement Officials, Adopted by General Assembly Resolution 34/169 of 17 December 1979 yang menyatakan:
“( a ) The term "law enforcement officials", includes all officers of the law, whether appointed or elected, who exercise police powers, especially the powers of arrest or detention.”
Jelas sekali menurut commentary ini bahwa penegak hukum harus mempunyai police powers, yaitu the power to arrest and to detain, dan ini yang tidaklah dimiliki oleh advokat sehingga advokat tidak dapat dikategorikan sebagai penegak hukum. Advokat adalah profesi hukum (legal profession) dan bukan penegak hukum sebagaimana dikatakan dalam Mukadimah IBA Standard:
“The independence of the legal profession constitutes an essential guarantee for the promotion and protection of human rights and is necessary for effective and adequate access to legal services”
Profesi advokat merupakan profesi yang bebas (free profession) merupakan bagian dari administration of justice untuk mewujudkan suatu proses peradilan yang jujur, independen dan berwibawa sebagaimana cita-cita dari suatu negara hukum (rechtsstaat). Karena itu seorang advokat tidak boleh dibatasai hak berserikatnya yang mengakibatkan advokat tersebut menderita pembatasan atas profesinya dengan alasan perbuatannya dianggap tidak sah atau keanggotaannya dalam suatu organisasi tidak sah, kecuali terdapat suatu keadaan yang mengharuskan adanya pembatasan suatu hak berserikat seperti negara yang sedang berada dalam keadaan darurat. Dengan demikian fungsi advokat sebagai legal profession memiliki suatu keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh profesi lainnya, keunikan ini diakui oleh International Commission of Jurist (ICJ) yang menyatakan:
“As is the case with judges, freedom of expression and association constitute essential requirements for the proper functioning of the legal profession. Although these freedoms are enjoyed by all persons, they acquire specific importance in the case of persons involved in the administration of justice. Principle 23 of the UN Basic Principles spells out this freedom in clear terms: “Lawyers like other citizens are entitled to freedom of expression, belief, association and assembly. In particular, they shall have the right to take part in public discussion of matters concerning the law, the administration of justice and the promotion and protection of human rights and to join or form local, national or international organizations and attend their meetings,without suffering professional restrictions by reason of their lawful action or their membership in a lawful organization.”
Maka sudah selayaknya UU Advokat diamandemen, karena memiliki definisi keliru mengenai penegak hukum, selain itu seharusnya lulusan D-3 tidak bisa menjadi advokat namun hanyalah lulusan S-1 fakultas hukum yang mempunyai hak menjadi advokat, hal ini bertujuan untuk menjaga kualitas advokat. Tujuan UU Advokat seharusnya adalah untuk meningkatkan kualitas para advokat, bukan untuk meningkatkan kuantitas seperti sekarang ini.
Perbandingan dengan NOVA dan Advocaten Wet di Belanda.
Jumlah advokat di Belanda yang relatif sedikit dibandingkan jumlah advokat di Indonesia yang pluralis masyarakatnya, telah bersepakat untuk membentuk Single Bar Association (Wadah Tunggal) yang disusul dengan mengundangkan Advocaten Wet pada tahun 1952. Jadi NOVA (Nederlands Orde Van Advocaten) sebagai single bar association terbentuk sebelum Advocaten Wet diundangkan dan nama NOVA sebagai bar association dicantumkan dalam Advocaten Wet. Ini berbeda dengan keadaan di Indonesia dimana ide wadah tunggal datang dari pemerintah Orde Baru dan dibentuk IKADIN pada 10 November tahun 1985 di Jakarta.
Konsep ini datang dari atas dan bukan dari aspirasi advokat Indonesia, dimana Paradin menentangnya sejak semula. Rupanya para hakim MahkamahKonstitusi RI ini memahami asal usul konsep wadah tunggal tetapi tidak mengerti atau tidak mau mengerti tentang sejarah advokat Indonesia. Tidak aneh karena sifatnya top down dan bukan aspirasi advokat Indonesia, akhirnya timbul gelombang protes dari para advokat setelah diundangkannya UU Advokat sejak tahun 2003 dan aksi protes ini diperkirakan terus berlanjut sampai nanti ada penyelesaian melalui Kongres advokat Indonesia, yang pernah dilakukan IKADIN 1985, secara demokratis dengan mendengarkan aspirasi Advokat Indonesia. Akibatnya semua organisasi advokat yang ada tidak dapat bekerja maksimal karena perseteruan dalam tubuh organisasi advokat. Kursus Advokat, ujian advokat, CLE (Continuing Legal Education), rekrutmen, pelatihan, penyumpahan, kurikulum pendidikan advokat dan lain-lain akan terbengkalai dan akan berakibat kepada mutu pelayanan dan pemberian jasa hukum (legal services) kepada masyarakat c.q. para pencari keadilan.
Kewenangan untuk melakukan keseluruhan kegiatan tersebut yang saat ini hanya diberikan kepada satu organisasi saja yang seharusnya disertai dengan adanya aturan peralihan dalam bentuk apapun baik UU, PP atau Kepmen dari negara c.q. pemerintah, sehingga pertanggungjawaban sebagai organ yang ditunjuk oleh negara mempunyai suatu legalitas dan akuntabilitas yang jelas. Jika memang kita melihat Belanda sebagai acuan, hal ini sangatlah berbeda dimana dalam Advocaten Wet di Belanda mencantumkan dengan jelas kewenangan NOVA. Jelas organisasi bukanlah badan hukum dan juga bukan ormas ataupun LSM. Oleh karena itu, harus diperjelas bentuknya karena tidak ada organisasi advokat di seluruh dunia yang dibuat di hadapan notaris seolah-olah perseroan terbatas atau yayasan.
Konsep Usang Dan Dipaksakan
Konsep Wadah Tunggal mulai dicetuskan oleh Menteri Kehakiman Ali Said diakhir tahun 1970an dan dinyatakan kepada Ketua Peradin waktu itu Suardi Tasrif dan serentak ditentang oleh Peradin. Para advokat Paradin menolak pemaksaan dari atas akan bentuk organisasi advokat tersebut. Semua itu harus datang dari bawah melalui Kongres Advokat dan harus dilakukan secara demokratis. Pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto yang otoriter dan korporatis menginginkan organisasi advokat dalam bentuk wadah tunggal agar mudah dikontrol dan tidak menjadi duri dalam daging bagi pemerintahannya karena kritik-kritik Peradin. Seperti buruh disatukan dalam SPSI dan wartawan dalam PWI maka advokat digiring dalam wadah tunggal. Ketika IKADIN terbentuk pada tahun 1985 pemerintahan ORBA kecewa melihat kenyataan 80 persen dari DPP IKADIN terdiri dari advokat-advokat Peradin dan sejak itu legitimasi IKADIN diganggu melalui berbagai cara seperti memecah IKADIN dan pendirian organisasi lainnya.
Fakta menunjukkan paling tidak sekarang ada empat organisasi advokat yang mengakui sebagai wadah tunggal yaitu IKADIN, AAI, PERADI dan KAI. Sungguh hipokrit kalau kita memutuskan dan mempertahankan konsep wadah tunggal yang usang, tidak sesuai dengan nafas demokrasi dan reformasi, dipaksakan dari atas atau menentang aspirasi advokat yang menginginkan multi bar associations atau federation of bar associations. Menghubungkan bentuk federasi dengan negara kesatuan adalah pandangan sempit, naif dan jauh dari sifat kenegarawanan (statesmanship). Padahal, jelas sejarah dan aspirasi advokat tidak menginginkan wadah tunggal.
Perjuangan menuju organisasi advokat yang sesuai aspirasi advokat Indonesia akan terus berlangsung walaupun langit runtuh. FIAT JUSTITIA RUAT COELUM.
*Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN)
Dr. Frans H. Winarta