Urgensi Pembentukan Badan Sertifikasi Nasional Profesi Advokat

Umum

Konflik dan perseteruan yang terjadi dalam organisasi profesi advokat sampai sekarang belum ada penyelesaiannya. Masing-masing organisasi profesi advokat merasa organisasinyalah yang pendiriannya sah, diakui negara dan mempunyai hak untuk menjalankan wewenangnya sebagai organisasi profesi advokat sebagaimana yang tercantum di dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”). Baik KAI ( Kongres Advokat Indonesia) maupun Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia), berlomba-lomba mengadakan kursus (pelatihan) advokat serta ujian advokat, pelantikan dan penyumpahan advokat, pengakuan di hadapan hukum tentang keabsahan organisasi masing-masing sebagai wadah tunggal organisasi profesi advokat dan kewewenangnnya untuk mengadakan kursus (pelatihan) advokat, ujian advokat tersebut. Fakta ini sudah tidak mengejutkan lagi, karena memang tidak ada kepastian hukum dalam UU Advokat yang tidak mencantumkan dengan tegas nama wadah tunggal organisasi advokat yang di beri kewenangan untuk melaksanakan seluruh kegiatan dari kursus (pelatihan) advokat,  pelantikan dan penyumpahan advokat. Paling tidak ada 4 organisasi advokat yang mengklaim sebagai wadah tunggal yaitu Ikadin, AAI, Peradi dan KAI.

Padahal terdapat ketentuan yang mengatur mengenai pemberian sertifikat profesi yang hanya dapat dilaksanakan oleh perguruan tinggi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (“UU Sisdiknas”) yang menyatakan sebagai berikut:

“Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang memberikan gelar akademik, profesi atau vokasi”.

Melihat ketentuan ini,maka jelas sekali bahwa amandemen terhadap UU Advokat harus segera dilaksanakan untuk menanggulangi ketidakpastian hukum ini. Sudah seyogyanya jika sertifikasi profesi advokat dilaksanakan oleh suat badan/lembaga sertifikasi nasional yang independen yang ditunjuk dan diberi kewenangan khusus oleh negara c.q. Pemerintah RI. Tidak seperti yang terjadi saat ini, justru yang terjadi adalah kegiatan komersialisasi penyelenggaraan kursus (pelatihan) dan ujian advokat serta usaha melahirkan advokat-advokat muda sebanyak mungkin sebagai bentuk persaingan antarorganisasi advokat dan sebagai bukti bahwa organisasi profesi advokat dengan kuantitas yang lebih banyak akan menjadi lebih diakui oleh negara dan masyarakat. Tidak adanya fungsi pengawasan dari negara dan organisasi lain yang relevan dengan pendidikan advokat terhadap organisasi Peradi juga telah menyebabkan adanya penyalahgunaan kewenangan sehingga tidak ada transparansi dan akuntabilitas mengenai pengelolaan kuangannya yang dipungut dari pungutan biaya kursus (pelatihan), dan ujian.

Amandemen UU Advokat harus segera dilakukan dengan menghapuskan ketentuan “satu-satunya wadah profesi advokat” karena sudah tidak sesuai dengan realita. DPR harus berani mengambil Keputusan agar semua organisasi advokat yang membentuk  federation of bar association yang kemudian memungkinkan organisasi-organisasi profesi advokat untuk berdiri, diberikan kewenangannya untuk melakukan kursus (pelatihan), ujian, penyumpahan dan pelantikan secara bersama. Namun, seluruh kegiatan yang dilakukan organisasi profesi advokat tersebut tidak dapat dilepaskan begitu saja tanpa pengawasan negara. Seperti diketahui bahwa praktek yang dilakukan oleh Belanda dan Inggris dimana negara c.q. pemerintah mengatur secara jelas dalam undang-undang (advocaten wet dan Legal Services Act) pembentukan badan pengawas dan mencantumkan nama-nama organisasi yang mendapatkan kewenangannya menyelenggarakan ujian advokat dan kursus advokat, sebagaimana termaktub dalam advocaten wet Pasal 9C yang secara tegas menunjuk NOVA (Nederlandse Orde Van Advocaten) sebagai penyelenggara ujian advokat dan diawasi oleh  Board of Governors. Begitu pula di Inggris yang telah secara tegas mencantumkan nama-namanya seperti  The Law Society, The General Council of The Bar, The Master of The Faculties, The Institute of Legal Executives, The Council for Licensed Conveyancers, The Chartered Institute of Patent Attorneys, The Institute of Trade Mark Attorneys dan The Association of Law Costs Draftsmen yang dalam praktek penyelenggaraan diawasi oleh Legal Service Board. Disinilah UU Advokat kehilangan mata rantai dari kursus dan ujian advokat yang semula diselenggarakan Mahkamah Agung RI dan kemudian dilimpahkan ke organisasi advokat. Hal ini seharusnya tidak boleh mutlak dan sepihak seolah-olah hanya organisasi advokat tertentu saja yang berwenang tetapi harus tetap diawasi dalam hal menentukan biaya kursus dan menyelenggarakan ujian advokat.

Jadi yang diperlukan adalah keterlibatan negara c.q. Pemerintah Republik Indonesia untuk mengawasi kurikulum yang diberikan kepada organisasi advokat dalam kursus (pelatihan) hingga kepada pelantikan dan penyumpahan. Hal ini dilakukan dengan membentuk Badan Sertifikasi Nasional. Badan ini anggotanya terdiri dari perwakilan Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan Nasional, Organisasi Advokat, Organisasi Profesi Hukum lainnya (HKI, Pasar Modal, Perbankan, dll), Organisasi Penegak Hukum (seperti IKAHI dan PERSAJA), Masyarakat Hukum (Law Society seperti PERSAHI), Mahkamah Agung RI, dan Universitas/Perguruan Tinggi. Badan-badan ini secara bersama akan mengawasi seluruh kurikulum, standarisasi kelulusan ujian, serta pelantikan dan penyumpahan sehingga seluruh pemungutan biaya yang dilakukan masing-masing organisasi profesi advokat dapat dipertanggung jawabkan dan kurikulum pun semakin berkualitas.

Ada baiknya apabila kita mengambil contoh dari negara yang banyak sekali mewariskan aturan-aturan hukumnya kepada kita seperti Belanda, yang lebih awal menyelenggarakan ujian dan kursus (pelatihan) advokat oleh organisasi advokat. Kursus (pelatihan) dan ujian advokat di Belanda sebagai negara demokratis dan liberal mengikut sertakan peran negara c.q. pemerintah (Menteri Kehakiman) dalam penyelenggaraannya dengan membentuk badan pengawas yang melakukan supervisi atas kurikulum dan ujian advokat dalam Pasal 9d Advocaten wet yang menyatakan sebagai berikut :

  1. “ A Board of Governors shall supervise the study program dan the exam. The Board of Governors shall have five members, three of which are to be appointed by the Minister of Justice and two by the Assembly of Delegates. The Minister of Justice shall also elect the chairman from among the members.”

Dalam ketentuan tersebut, secara tegas tercantum bahwa Belanda melibatkan 5 Governors yang diangkat oleh Menteri Kehakiman Belanda dan program harus disetujui Governors dan arahan dari Menteri Kehakiman Belanda. Begitu juga halnya yang dilakukan negara lain di Eropa Barat yang dengan sistem hukum yang berbeda juga mengatur keterlibatan negara untuk melakukan pengawasan dalam  Solicitor Act 1974 mengatur dalam Pasal 2 yang menyatakan sebagai berikut:

“The Society, with the concurrence of the Lord Chancellor,  the Lord Chief Justice and the Master of the Rolls, may make regulation (in this Act referred to as “Training regulations”) about Education and training for person seeking to be admitted or to practiceas solicitors.”

Dengan dibentuknya Badan Sertifikasi Nasional sebagai badan pengawas yang melibatkan negara, tentunya hal ini merupakan langkah awal untuk menghentikan perseteruan antar organisasi advokat yang selama ini tidak ada ujungnya. Kepastian hukum akan lebih terwujud karena pembentukan badan pengawas dan keterlibatan pemerintah akan tercantum secara tegas di dalam UU Advokat. Perseteruan antar organisasi profesi advokat yang selalu mempermasalahkan kewenangan tidak akan terjadi lagi, karena seluruh organisasi advokat dapat melakukan seluruh kegiatan kursus (pelatihan) dan ujian advokat secara bersama, asalkan seluruh kurikulum kursus (pelatihan) dan standarisasi ujian telah disetujui oleh badan yang dibentuk bersama-sama negara c.q. pemerintah, dan organisasi-organisasi advokat serta penegak hukum. Dengan begitu masing-masing organisasi akan bersaing secara sehat untuk membangun manajemen organisasi profesi advokat yang baik serta kurikulum pendidikan, kursus dan ujian advokat agar dapat melahirkan advokat berkualitas yang bebas dan mandiri sebagai profesi officum nobile. Tidak semua sarjana hukum dapat menjadi dan berbakat sebagai advokat, sehingga calon yang memenuhi syarat saja yang dapat dilantik menjadi advokat. Yang dibidik adalah kualitas dan bukan kuantitas advokat yang dapat melayani, membela dan memberi nasihat serta pendapat hukum kepada masyarakat dan pencari keadilan.

 

Ketua Umum Peradin dan Dosen Fakultas Hukum UPH

Dr.Frans H. Winarta

Tinggalkan Balasan