CONTEMPT OF COURT SEBAGAI BAGIAN
DARI GEJALA SOSIAL SERTA HUKUM
ABSTRAK
Dalam suatu negara dengan kekuasaan kehakiman yang lemah, maka apa yang pertama-tama dibutuhkan praktisi hukum ialah adanya perundang-undangan yang memuat ketentuan-ketentuan yang jelas dan setajam mungkin dalam rangka membatasi penafsiran terlalu luas oleh hakim serta mencegah kemungkinan penyalagunaan melaluai penafsiran.
Meningkatnya tuntutan dari masyarakat akan kepastian hukum, serta penegakan hukum dan keadilan menuntut hakim dalam bekerjanya harusalah maksimal. Dalam putusan yang ia buat, hakim akan mengisi dan mengembangkan makna istilah dan rangkaiaan istilah yang ditemukan dalam rumusan delik yang berkaitan dengan kasus yang ia periksa dan adili; penjelasan dan pertimbangan yang ia berikan haruslah selaras dengan perkembangan zaman dan khususnya berkenaan dengan kasus-kasus baru yang kompleks.
Contempt of Court merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan yang menimpa masyarakat ; merendahkan, menginah (martabat) pengadilan sebagai ungkapan rasa ketidak puasan masyarakat terhadap kinerja dari pengadilan di Indonesia. Penghinahan terhadap pengadilan merupakan bagian dari pada gejala sosial, walaupun ada aturan hukum yang mengatur namun bukanlah pada permasalahan ada atau tidak adanya aturan tetapi hal tersebut menjadi catatan penting dari buruknya peradilan di negara kita.
Key Word : Contempt of Court, Gejala Sosial, Hukum
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Untuk memberikan pegertian Sosiologi Hukum maka ada empat pendapat yang mempunyai kapsitas keilmuan di bidang ini, antara lain :
1. Menurut Soejono Seokanto, Sosiologi hukum adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan gejala sosial lainnya.1
2. Menurut Satjipto Rahardjo, Sosiologi hukum (sociology of law) adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya2.
3. Menurut Otje Salman, Sosiologi hukum adalah Ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis3.
4. H.L.A. Hart. Beliau tidak mengemukakan devenisi tentang sosiologi hukum, namun devenisi yang dikemukakannya mempunyai aspek sosiologi hukum. Demikian Hart mengungkapkan bahwa suatu konsep tentang hukum mengandung unsur-unsur kekuasan yang terpusatkan kepada kewajiban tertentu di dalam gejala hukum yang tampak dari kehidupan masyarakat. Menurut Hart, inti dari suatu sistim hukum terletak pada kesatuan antara aturan utama (primery rules) dan aturan tambahan (secondary rules)4
Hubungan seseorang dengan orang lain secara indinidu maupun kelompok disebabkan karna manusia memiliki naluri untuk hidup bersama dengan orang lain, hal ini disebut dengan proses sosial.
Demikian proses sosial menurut Soerjono Soekanto adalah cara-cara berhubungan yang dilihat apabila perorangan atau kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistim serta bentuk-bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya pola kehidupan yang telah ada dalam masyarakat. Dengan kata lain proses sosial dapat diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama, misalnya pengaruh antara sosial politik, politik dan ekonomi dan hukum dan selanjutnya. Stuktur Sosial meliputi keseluruhan jalinan antara unsur–unsur sosial yang pokok yaitu kelempok sosial, kebudayaan, kekuasaan dan wewenang.
Model-model kemasyarakatan yang dimaksudkan adalah bentuk-bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dalam hal ini mempunyai tiga bentuk yaitu : (1). Interaksi Sosial, (2). Sistim Sosial, (3). Perubahan Sosial. Dari tiga bentuk interaksi diatas dapat dijelaskan sebagai berikut ;
Ad(1). Interaksi Sosial adalah suatu kehidupan bersama yang menunjukan dinamikanya, tanpa itu masyarakat akan kurang atau bahkan tidak mengalami perkembangan;
Ad(2). Sistim Sosial dapat diartikan sebagai keseluruhan elemen atau bagian- bagian yang saling berhubungan satu dengan lainnya sehingga terbentuk suatu kesatuan atau kesinambungan;
Ad (3). Perubahan Sosial merupakan suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima yang disebabkan baik karena perubahan geografis, kebudayaan, materi, dan lain-laninya.
Dalam berinteraksi tentunya manusia satu sama lainnya akan menimbulkan aturan-aturan atau norma-norma demi tercapainya ketertiban serta rasa aman dalam berinteraksi tersebut. Sejalan dengan itu konsep kelompok sosial dapat diartikan sebagai kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama dari adanya hubungan diantara mereka. Kosep ini diperlukan ketika terjadi interaksi sosial diantara sesama manusia dalam berbahagai hal.(sewa-menyewa, jual-beli dll)
Dari gambaran di atas menghasilkan pandangan-pandangan mengenai kebaikan juga keburukan. Pandangan tersebut merupakan nilai manusia yang kemudian berpengaruh terhadap cara dan pola perilaku berpikirnya. Pola tersebut akan mempengaruhi sikapnya, sikap tersebut merupakan kecenderungan untuk berbuat atau tidak berbuat terhadap manusia, benda, misalnya seorang yang lebih menekankan pada kebendaan maka orang tersebut lebih bersikap materialistis.
Pola interaksi yang menghasilakan pandangan baik dan buruk itupun hadir terhadap kondisi negara kita yang sedang mengalami “berbagai masalah” hal ini disebabkan antara lain ketidak mampuan berbagai instansi dalam tugas dan fungsinya serta perannya. Dan salah satu instansi yang paling banyak mendapat sorotan adalah instansi hukum khususnya lembaga pengadilan yang kelihatannya semakin kehilangan pamornya.
Dalam sebuah surat putusan pengadilan sering kita mendengarkan kalimat “ Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “ Kalimat tersebut secara langsung menyatakan bahwa putusan yang dihasilakan oleh hakim harus dapat dipertanggung jawabkan di hadpan Tuhan Yang Maha Esa dalam hal ini tentu saja merupakan beban yang berat yang harus di pikul oleh seorang hakim. Namun beban tersebut sering dilupakan karena muncul pula praktik-pratik yang menyebabkan citra dari seorang hakim jatuh dalam masyarakat sekaligus lembaga yang terhormat itu mendapat kritikan dan cacian dari masyarakat. Hal yang disayangkan pula ketika kritikan tersebut ditanggapi dengan emosi dan sikap marah serta membela diri dan lembaganya. Adanya keinginan untuk mengadopsi Contempt of Court dari sistim yang berlaku dibeberapa negara penganut sistim Common Law yang lebih terkemuka dibandingakan dengan mencari penyebab sendiri.
Demikian menurut M. Panggaribuan memberikan pengertian Contempt of Court adalah merendahkan (martabat) pengadilan5. Hal ini di sebabkan karena kecenderungan kritik terhadap judicial di Indonesia di tanggapi dengan marah, dengan demikian Contempt of Court merupakan sebuah gejala sosial yang timbul dalam masyarakat dewasa ini.
1.2. Rumusan Masalah
Dengan menyimak apa yang telah dipaparkan diatas, maka ada permasalahan yang dapat diangkat, sehingga dari realitas yang nampak maka dirumuskan masalah yaitu :
Bagaimanakah hubungan timbal balik antara hukum dan gejala sosial dalam persoalan Contempt of Court ?
BAB II
HUKUM DAN GEJALA SOSIAL SEBAGAI
BAGIAN DARI CONTEMPT OF COURT
Melihat sejarah Contempt of Court sebagai pranata hukum, pertama kalinya di kenal di Inggris pada abad sekitar ke-13. Yang menjadi latar belakang timbulnya Contempt of Court ini adalah mengimbangi adversary systim yang dianut di Inggris dalam judicarynya. Dalam konteks aristokrasi dan feodalisme Inggris pada masa itu, ada kecenderungan untuk sakralisasi jabatan hakim sehingga doktrin pengadilan can do no wrong sangat tinggi.
Bahwa pengadilan merupakan bagian dari kerajaan, fungsi utama dari pranata hukum Contempt of Court adalah untuk melindungi wibawa serta martabat hakim dari suatu sikap maupun tindakan dari siap saja dalam sebuah persidangan. Dengan demikian yang paling perpotensi untuk melakukan Contempt of Court adalah mereka yang berprofesi sebagai Advokat maupun para wartawan.
Di negara kita secara resmi istilah Contempt of Court di temukan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkama Agung, penjelasan Umum butir 14 yang menyebutkan bahwa;
“untuk lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu pula dibuat suatu Undang-Undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingka laku, sikap dan / atau ucapan yang dapat merandahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan, badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of Court”.
Lebih lanjut dikeluarkan Surat keputusan bersama (SKB) sebagai Contempt of Court antara Mahkama Agung dan Menteri Kehakiman tahun 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan, dan Pembelaan Penasehat Hukum. Namun SKB tersebut tidak lagi berlaku setelah di keluarkan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam UU tersebut ditentukan bahwa pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Oraganisasi Advokat (psl 12).
Dewasa ini banyak sekali kritikan yang ditujuhkan kapada judicary di Indonesia yang ditanggapai dengan sikap “marah”. Kritik tersebut dianggap sebagai mencari-cari kesalahan adan bersifat tidak obkektif. Kecenderungan diatas tadi dapat di ketahui, dilihat, dirasakan, dan dialami tergantung dimana orang tersebut berprofesi. Merupakan sebuah kenyataan dimana semakin orang dikritik maka semakin jauh pula hubungannya dengan aparatur peradilan tersebut. Dengan kata lain mereka dijadikan “musuh bersama” aparatur penegak hukum yang bisa jadi seorang pengamatan, wartawan maupan advokat. Sebaliknya jika tidak ada kritikan maka dengan demikian hubungannya akan sangat dekat dan intens.
Demikian pula ada istilah dalam praktek penegakan hukum, seorang pengamat , wartawan, ataupun advokat sebagai “rekanan” dari pejabat instansi penegak hukum tertentu. Sebagimana sudah teridentifikasi dalam berbagai kesempatan, modus itu antara lain : sumbangan, kesempatan, memfasilitasi, serta pemberian uang dalam bentuk sogokan.
Jika demikian maka para hakim kita harus diisolasi agar tidak tercipta hubungan infomal, sehingga jabatannya tidak terkomtaminasi subyektifitas. Bahkan untuk memberikan keterangan pers saja secara etika terlarang karena khawatirkan berpotensi untuk diragukan. Kenyataan yang terjadi dalam dunia peradilan di Indonesia mengakibatkan terjadinya arus balik dari kritikan ke arah melindungi aparat penegak hukum itu antara lain mendesak agar pranata contempt of court di transplantasikan kedalam sistim pengadilan Indonesia.
Gambaran sistim peradilan di Indonesia dalam persidangan adalah hakim aktif dan kebebasan para pihak itu tergantung pada hakim, jadi para pihak sesunggunya hampir tidak ada kebebasan sementara kekuasaan hakim itu absulut. Secara imperatif telah ada dalam tata tertib persidangan diatur dalam KUHP dimana kekuasan diberikan pada hakim untuk bertindak. Dalam pasal 218 KUHP ayat (1) menyatakan :
Dalam ruang sidang siapun wajib menunjuk sikap hormat kepada pengadilan . Pasal 217 ayat (2) menyatakan ; segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk memelihara tata tertip di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat. Sedangkan pasal 218 ayat (3) menyatakan bahwa : barang siapa menimbulkan kegaduhan dalam persidangan ……… dan tidak pergi sesudah diperintahkan oleh atas nama penguasa yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah.
Dengan demikian dapat di sebutkan bahwa sistim peradilan kita sudah menyatuh dengan subtansi dari Comtempt of Court, sehingga tidak perlu lagi di atur secara tersendiri. Dalam hal ini bukan persoalan sistim itu diterima atau tidak, tetapi Contempt of Court atau penghinaan atau sikap merendahkan martabat terhadap pengadilan juga merupakan suatu gejala sosial yang patut mendapat perhatiaan untuk dicermati, sebagai bias dari kepincangan hukum yang berjalan di negara kita. Artinya bahwa kepincangan terhadap hukum dapat menimbulkan salah satu akibat yaitu Contempt of Court tetapi sebaliknya jika penegakan hukum dapat berjalan dengan baik maka, kemungkinan tidak terjadi penghinaan atau penurunan martabatpenradilan kita.
Secara kontekstual hal yang sangat diperlukan dewasa ini bukanlah Contempt of Court tersebut tetapi kewenangan yang dapat mencegah kemungkinan proses peradilan yang jauh dari tujuannya yakni kebenaran dan keadilan. Kewenangan yang ada memang dapat memberi peluang untuk disalah gunakan karena UU mengandung Loop-holews. UU tidak perna lengkap, hal ini di sebabkan karena selain UU berisi pernyataan umum sementara kasus adalah khusus, UU juga proses legislasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa UU lebig banyak merupakan suatu pendekatan politik dari pada murninya hukum.
Jika kita bertolak dari pandangan Cicaro (106-43 Sm) beliau menyatakan bahwa Dimana ada masyarakat di situ ada hukum( ubi societes ubi ius) 6. Hukum itu ada pada setiap masyarakat, manusia dimanapun dimuka bumi ini, bagimanapun primitif ataupun modernnya suatu masyarakat sudah pasti mempunyai hukum, sebab hukum tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Dengan melihat apa yang di inginkan oleh masyarakat mereka berkeinginan agar hukum itu berfungsi serta berfaedah guna menjamin kepastian hukum. Jika kita bertolak dari fungsi hukum maka Aritoteles dalam karyanya Ethica Nicomacha dan Rhetorika menyebutkan7 bahwa hukum mempunyai tugas suci yaitu memberi kepada setiap orang apa yang berhak ia menerimanya. Artinya bahwa hukum bertujuan untuk mencapai keadilan serta dilengkapi pula oleh pandangan Jeremi Bentham dengan manambahkan bukan saja keadilan yang menjadi tujuan dari hukum tetapi faedah atau kegunaan yang kemudian di modifikasi menjadi teori campuran.
Dengan melihat kembali pandangan dari Sunaryati Hartono8 beliau menyebutkan ada empat (4) fungsi hukum dalam pembangunan antara lain adalah sebagai berikut ;
1. Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan,
2. Hukum sebagai sarana pembangunan,
3. Hukum sebagai sarana penegak keadilan,
4. Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat.
Dengan melihat pendangan tersebut diatas dalam hal ini hukum berfungsi sebagai sarana penegak keadilan bahkan sebagai sarana pendidikan masyarakat untuk bertingka dan berkepribadian sebagai masyarakat yang beradab.
Dengan demikian keseluruhan yang telah diungkapkan sebelumnya adalah terkait dengan upaya yang dilakukan oleh Sorjono Soekanto, dipengaruhi pula oleh faktor-faktor yang antara lain sebagai berikut 9:
1. Faktor Hukum itu sendiri,
2. Faktar para penegak hukum,
3. Faktor sarana prasarana,
4. Faktor Masyarakat,
5. Faktor budaya,
Dengan demikian faktor-faktor tersebut diatas juga turut mempengaruhi keadaan hukum di negara kita sebab aturan-aturan hukum tanpa manusia untuk mengerakannya/menjalankannya maka hukum hanya merupakan kata-kata tanpa makna.
BAB III
PENUTUP
1. SIMPULAN
Contempt of Court merupakan bias dari permasalahan penegakan hukum di negara kita, terutama mengenai aparat penegak hukum kita. Hal ini sebagai bagian dari pada gejala sosial yang muncul. Bahwa kini ada aturan hukum yang mengatur walaupun tidak berdiri sendiri atau khusus. Namun dalam hal ini bukanlah persoalan ada atau tidaknya aturan yang mengatur, namun hal ini akan mempengaruhi pembentukan karakter masyarakat terhadap persoalan yang timbul dan berkembang dalam masyarakat.
2. SARAN
Seperti yang telah di uraikan diatas hendaknya sisitim atau pranata dari Contempt of Court ini belem saatnya dibutuhkan dalam perundang-undangan secara khusus, justru yang dibutuhkan Contempt of Power disebabkan karna rentannya perundang-undangan yang ada, menyelewengkan serta menimbulkan kerawanan bagi masyarakat pencari keadilan dan kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
H.A.L. Hart, 1961, The Concept of law, Oxford University Prees, hal 13
Soerjono Soekanto, 1989, Mengenal Sosiologi Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta, hal 11
Satjipto Rahardjo, 1982, Ilumu Hukum, Alumni, Bandung, hal 310
Soejono Soekanto, 2004, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Radja Gravindo, hal. 8
Seodikno Mertokosumo, 1991, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yokyakarta, hal 61
L.M. Panggeribuan, 2003, Artikel Dalam Jurnal Teropong dengan judul “Contempt of Court” , vol II No. 1 Okt 03
Otje Salman, 1992, Sosiologi Hukum Suatu Pengantar, Armico, Bandung, hal. 13
1 Soerjono Soekanto, 1989, Mengenal Sosiologi Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta, hal 11
2 Satjipto Rahardjo, 1982, Ilumu Hukum, Alumni, Bandung, hal 310
3 R. Otje Salman, 1992, Sosiologi Hukum Suatu Pengantar, Armico, Bandung, hal. 13
4 H.A.L. Hart, 1961, The Concept of law, Oxford University Prees, hal 13
5 L.M. Panggeribuan, 2003, Artikel Dalam Jurnal Teropong dengan judul “Contempt of Court” , vol II No. 1 Okt 03
6 H.R. Syahrani, Op Cit, hal 27
7 Seodikno Mertokosumo, 1991, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yokyakarta, hal 61
8 Ibid, hal 31
9 Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Radja Gravindo, hal. 8