LANGKAH STRATEGIS DALAM RANGKA EKSEKUSI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 79/PUU-XII/2014

Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara

LANGKAH STRATEGIS DALAM RANGKA EKSEKUSI 

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

 NOMOR 79/PUU-XII/2014[1]

Oleh : M.J.Saptenno.

A.  Pengantar

Sejak ditetapkannya Mahkamah Konstitusi ( MK ) menjadi suatu lembaga peradilan  khusus untuk kasus kasus  Hukum Tata Negara, maka sering terjadi dalam praktek bahwa putusan putusan MK tidak bisa dieksekusi.

Hal ini terjadi dalam praktek penegakan hukum di Indonesia karena MK tidak memiliki instrumen atau lembaga eksekutorial. Peraturan perundang undangan tidak mengatur hal itu, sehingga menjadi masalah serius dalam proses proses penegakan hukum.

Hal yang  sama terjadi dalam proses  Peradilan Tata Usaha Negara, dimana terdapat beberapa kasus yang tidak bisa dieksekusi secara yuridis  pada hal putusannya sudah berkekuatan hukum tetap.

Terakhir sudah ditegaskan bahwa dalam waktu 100 hari jika putusan Tata Usaha Negara tidak dilaksanakan maka hal itu dapat dilaporkan kepada Presiden. Hal ini sebenarnya terkait dengan Pejabat Tata Usaha Negara, yang secara struktural berada langsung dibawah kendali kekuasaan  eksekutif, sehingga mungkin saja  Presiden dapat  mengambil langkah langkah tertentu. 

Khusus untuk putusan MK, belum ada aturan seperti itu dan ketika putusan MK terkait dengan wewenang lembaga negara, yang bersinggungan dengan lembaga negara lain, maka  menjadi sulit dalam penegakannya, karena ego kelembagaan yang masih kuat karena tidak ingin eksistensi dan wewenangnya diabaikan  dan diperankan oleh lembaga lain.

Kondisi penegakan hukum seperti ini membuat ketidak pastian dalam proses penegakan hukum, dan menimbulkan masalah hukum baru yang membutuhkan kajian lebih dalam . Masalah hukum baru ini sebenarnya terkait dengan sengketa kewenangan  kelembagaan antara DPR RI dengan DPD RI.

Dalam negara hukum yang demokratis, maka prinsip prinsip dan norma norma dasar,  yang menjadi penopang tegaknya hukum harus menjadi kekuatan dalam upaya menegakan hukum secara adil. Jika tidak maka sulit untuk mengatakan bahwa negara kita adalah negara hukum, karena asas legailtas tidak dipraktekan secara baik dan benar.

 

 

B.   Isu  Hukum Terkait Putusan MK

Terkait dengan latar belakang di atas maka isu hokum yang dapat dikemukakan  sebagai berikut :

1.   Apakah putusan Mahkamah Konstitusi,  mempunyai kekuatan eksekutorial ?

2.   Apa akibat hukum jika putusan Mahkamah Konstitusi  tidak dapat dieksekusi ?

C.   Langkah Langkah Strategis  Dari Aspek Hukum, Politik  dan Moral

Berdasarkan isu hukum di atas maka dari aspek yuridis,  putsuan MK mempunyai kekuatan eksekutorial, dengan  argumentasi sebagai berikut :

1.   Putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014, sebenanya merupakan putusan yang tidak bisa dianulir oleh lembaga manapun, karena  eksistensi MK dijamin oleh Konstitusi, oleh karena itu harus dieksekusi.

2.    MK  secara konstitusional merupakan  sebuah lembaga peradilan di Indonesia. Putusan MK  putusannya final dan mengikat. Jadi  putusan putusannya harus dieksekusi. Eksekusi putusan MK merupakan penghargaan dan penghormatan terhadap prinsip prinsip kehidupan kenegraan dan norma norma dasar yang terdapat dalam UUD RI Tahun 1945.  Indonesia merupakan negara  hukum, dan memiliki asas asas yang melandasinya. Asas legalitas  dan asas peradilan yang bebas dan tidak memihak, merupakan landasan yang kuat bagi MK yang sudah menetapkan putusan sebagai bagian dari asas legalitas. 

Jadi putusan MK  mengandung   asas  asas tersebut, dan  melanggar prinsip prinsip negara hukum, yang demokratis.  Jadi  sebagai subyek hukum maka DPR RI,  harus menjadi panutan dalam proses penegakan hukum.

 Apa guna sebuah lembaga peradilan dibentuk secara konstitusional, namun putusannya bisa dianulir menurut keinginan lembaga eksekutif  ( DPR RI ). 

 Jika dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia terdapat lembaga yang tidak menghargai putusan pengadilan, sebenarnya merupakan sejarah kelam, yang  menjadi preseden buruk,  bagi sebuah negara hukum yang berdasarkan nilai nilai  Pancasila.

3.   Akibat hukum yang timbul jika putusan MK tidak dieksekusi, tidak berarti  putusan tersebut tidak batal demi hukum. Artinya putusan itu tetap ada dan dipandang sebagai produk yudisial, yang tetap mempunyai kekuatan hukum.  Jadi  baik lembaga  dan individu sebagai subyek hukum, yang secara yuridis maupun politis  mengakui Indonesia  adalah  negara hukum harus diminta pertanggungjawabannya secara hukum pula.  DPR RI harus memandang DPD RI bukan sebagai rival, tetapi mitra politik,  dalam dalam upaya membangun bangsa dan negara, melalui berbagai kebijakan dalam  berbagai Undang Undang.

Konstitusi kita jelas menyebutkan bahwa  Indonesia adalah Negara hokum. Jadi setiap produk atau putusan hukum sebenarnya mempunyai dampak hukum pula bagi lembaga dan individu yang manjadi bagian dari proses peradilan tersebut.  

 Artinya jika Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia ( DPR RI ) tidak menghargai sebuah lembaga hokum yang telah menetapkan putusan tertentu. Pada hal DPR RI secara kelembagaan pula yang menetapkan eksistensi, fungsi dan wewenang dari MK, melalui proses amandemen UUD 1945. Oleh karena itu DPR RI  harus bertanggungjawab secara politis, yuridis maupun moral terhadap putusan putusannya.

Sebagai lembaga negara  sebenarnya DPR RI mempunyai tanggungjawab politik, hukum dan moral, dalam proses penegakan hukum.  Jadi terkait dengan putusan MK maka hal ini  mutlak harus dilaksanakan oleh  DPR RI, sehingga ada penghargaan terhadap  MK sebagai lembaga peradilan.  Jika tidak maka patut dipertanyakan eksistensi  Indonesia sebagai negara hukum.

 Secara politis  DPR RI menganggap putusan MK , sebagai produk  hukum yang yang mengebiri atau membatasi hak hak dan wewenangnya.  Hal ini sebenarnya disebabkan karena belum terbangun sistem secara konstitusional, terkait dengan proses pembentukan Undang Undang.

 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia  ( DPD RI ) diberi wewenang namun terbatas, karena dianggap sebagai pelengkap  saja.  Pada hal tidak demikian, karena sebagai negara yang plural dengan begitu banyak  masalah, maka DPD RI, juga mempunyai tanggungjawab moral, politik dan yuridis untuk membentuk Undang Undang, karena mewakili daerah tertentu.

 Jika kita menghendaki sebuah produk hukum dari lembaga legislatif, lebih  berkualitas maka  proses penjang untuk mengkaji substansinya harus diberi ruang untuk penggodokan antar lembaga.

Penggodokan melaui sebuah mata rantai yang panjang oleh berbagai pihak yang mempunyai kompetensi tertentu, ( DPD RI )  sebenarnya tidak mengurangi eksistensi  fungsi dan wewenang DPR RI sebagai lembaga legislative, tetapi saling mengisi dan melengkapi.

 Jika dikaji secara yuridis maka putusan MK diminta atau tidak diminta dengan sendirinya berlaku.  Selanjutnya  dilihat dari aspek moral maka tidak etis,  jika putusan hukum diabaikan hanya karena kepentingan politik, maka  hukum selalu saja kalah terhadap politik.   

 Putusan hukum sebenarnya harus dihargai demi pengakuan terhadap  harkat dan martabat negara Indonesia sebagai negara hukum.

Dalam banyak kasus,  hukum selalu dikalahkan oleh politik, karena  kepentingan kepentingan tertentu. Hal ini merupakan langkah yang keliru dan menafikan hukum sebagai instrumen,  yang fungsi utamanya  harus menata dan mengatur seluruh aspek kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan agar berdaya guna demi kepentingan bersama sebagai bangsa.      

 

D.  Rekomendasi

1.   Putusan Mahkamah  Konstitusi sebenarnya mempunyai kekuatan eksekutorial,  karena  MK diberi wewenang secara konstitusional dan   merupakan lembaga peradilan yang memiliki wewenang   dalam  sistem dan proses hukum di Indonesia.

 

2.   Konsekwensi hukum tidak  dieksekusinya putusan MK maka DPR RI melanggar prinsip prinsip keadilan dan norma dasar yang terdapat dalam Undang Undang Dasar Tahun 1945

3.   Disamping itu  secara etis dan moral DPR melanggar prinsip prinsip kehidupan  kenegaraan,  karena  tidak  menghargai suatu putusan dari lembaga peradilan yang secara konstitusional dijamin.

4.   Tidak dieksekusinya putusan MK sebenarnya  merupakan sengketa kewenangan antar  lembaga negara,  antara DPD RI dan DPR RI, yang dapat diajukan lagi ke MK.

5.   Pendekatan dan perjuangan politik  perlu dilakukan, melalui  amandemen UUD Tahun 1945 dan merumuskan norma dasar yang harus memposisikan DPD sebagai lembaga yang mempunyai wewenang  secara jelas dan  saling melengkapi  dengan DPR, dengan menggunakan putusan MK sebagai dasar perumusannya.

 



[1] Disampaikan  pada FGD Oleh DPD RI, tentang  Penguatan  Fungsi Legislasi  DPD RI melalui Sosialisasi Putusan MK Nomor 79 /PPU-XII/2014,  tanggal 3 Desember 2015, Swiisbell Hotel Ambon,

Tinggalkan Balasan