HUKUM, MASYARAKAT DAN PEMBANGUNAN

Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara

HUKUM, MASYARAKAT DAN PEMBANGUNAN

Oleh. M. A. H. Tahapary

 

A.      Latar Belakang

Indonesia adalah Negara hukum yang menempatkan hukum sebagai sarana untuk menciptakan keteraturan dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Dalam penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen disebutkan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat), yang berarti Indonesia berdasarkan hukum dan tidak berdasarkan pada kekuasaan semata (machtsstaat). Hal tersebut, kembali dipertegas pada amandemen UUD NRI Tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan ketentuan Konstitusi tersebut, maka negara Indonesia diperintah berdasarkan hukum yang berlaku, termasuk penguasa pun harus tunduk pada hukum yang berlaku tersebut[1].

Dengan demikian, hukum merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan pembangunan bangsa Indonesia yang bertujuan untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut serta menciptakan perdamaian dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.    

Dalam praktiknya pada zaman orde baru tidak banyak aturan hukum yang memihak kepada rakyat, tetapi lebih banyak aturan hukum yang melindungi kepentingan penguasa dan pengusaha sehingga menimbulkan ketimpangan atau kesenjangan dalam masyarakat, baik itu kesenjangan ekonomi maupun kesenjangan dalam penegakan hukum.

Dimana, pembangunan hukum selama masa Orde Baru hanya digunakan sebagai sarana pengaman pembangunan nasional yang telah direduksi hanya sebagai proses pertumbuhan ekonomi. Pranata-pranata hukum di masa tersebut lebih banyak dibangun dengan tujuan sebagai sarana legitimasi kekuasaan pemerintah, sehingga pemerintah dan aparatnya memilik kekuasaan mutlak, bukan hanya dalam mengelola dan mengarahkan tujuan pembangunan, tetapi juga memiliki kekuasaan dalam mengatur kehidupan sosial, budaya dan politik bangsa Indonesia.  Berdasarkan uraian tersebut, maka penulisan ini bertujuan untuk mengkaji  hukum dalam kaitannya dengan masyarakat dan pembangunan

 

B.       Pembahasan

1.    Hukum Untuk Rakyat

Karakteristik hukum sebagai kaedah selalu dinyatakan berlaku umum untuk siapa saja, di mana saja dan dalam wilayah Negara tertentu, tanpa membeda-bedakan. Menurut Sudikno Mertokusumo[2], hukum itu bukan merupakan tujuan, tetapi sarana atau alat untuk mencapai tujuan yang sifatnya non yuridis, dan berkembang karena rangsangan dari luar hukum, sehingga membuat hukum bersifat dinamis.

Menurut Soekarno Aburaera dkk, bahwa hukum dapat dilihat sebagai hukum positif yaitu hukum yang berlaku didalam sebuah negara. Dalam konteks tersebut, hukum merupakan penetapan oleh pemimpin yang sah dalam suatu negara sebagaimana juga yang dimaknai oleh para ahli hukum[3]. Hal ini sejalan dengan pandangan Austin yang menyatakan bahwa hukum merupakan perintah dari yang berdaulat[4].

Sementara itu, dalam pandangan masyarakat biasa, hukum dikonstruksikan sebagai suatu kehidupan bersama dalam masyarakat yang diatur secara adil. Jadi, nilai-nilai keadilan dalam hukum yang dipandang sebagai norma yang lebih tinggi dibandingkan dengan norma hukum dalam suatu undang-undang[5].

Hal tersebut jika dikaitkan dengan pandangan Satjipto Rahardjo, maka titik temunya adalah bagaimana membuat hukum dapat memberikan kebahagiaan (keadilan) bagi rakyat dalam suatu konsep hukum untuk manusia. Dimana, hukum tidak hanya dilihat sebagai bangunan peraturan perundang-undangan sebagai produk atau perintah penguasa semata, tetapi hukum harus dibuat ibarat suatu organis yang mampu berpikir, merencanakan dan sekaligus bertindak sesuai dengan hati nuraninya[6] yang dilandasi pada nilai-nilai keadilan dalam masyarakat untuk mewujudkan kebahagiaan rakyat.

Lebih lanjut Satjipto Raharjo berpandangan bahwa hukum dan masyarakat tidak bisa dipisahkan. Bagi hukum, masyarakat merupakan sumber daya yang memberi hidup (to nature) dan menggerakkan hukum tersebut. Masyarakat menghidupi hukum dengan nilai-nilai, gagasan, konsep, disamping itu masyarakat juga menghidupi hukum dengan cara menyumbangkan masyarakat untuk menjalankan hukum. Dengan demikian masuklah aspek perilaku manusia ke dalam hukum[7].

 Dalam konteks tersebut, maka dapat disimpulkan dari pandangan Sajipto Rahardjo bahwa hukum akan memiliki nilai atau makna jika hukum tersebut mengabdi pada kepentingan manusia, yaitu bertumbuh dan berkembang sesuai dengan kebutuhan, serta memberi manfaat bagi manusia. Untuk itulah, maka hukum yang baik adalah hukum yang dapat merespons berbagai kebutuhan atau kepentingan manusia, atau hukum yang ideal adalah hukum yang responsive.

Persoalannya, bagaimana mewujudkan hukum yang responsive. Untuk itulah maka perlu dikedepankan gagasan demokrasi.Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, gagasan demokrasi dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) menegaskan bahwa; kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ketentuan ini, jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

Menurut Jimly Asshiddiqie[8], ketentuan tersebut mencerminkan bahwa UUD NRI Tahun 1945 menganut prinsip kedaulatan rakyat atau demokrasi yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang dasar atau constitusional democracy atau demokrasi konstitusional.

Dimana, demokrasi konstitusional memiliki ciri yaitu adanya gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah diatur didalam konstitusi[9]. Dimana, konstitusi memberikan jaminan terhadap hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan sehingga kekuasaan eksekutif dapat diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum[10], sebagaimana yang dipraktekkan di Indonesia. Dengan demikian, praktik demokrasi yang didasarkan pada konstitusi menunjukan bahwa pelaksanaan demokrasi harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Secara substansial, produk hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan dapat dikatakan memiliki kualitas yang baik apabila dapat menampung dan melindungi kepentingan seluruh anggota masyarakat. Untuk itu, selain factor kualitas sumber daya manusia yang berkualitas sehingga dapat merumuskan berbagai kepentingan masyarakat dalam berbagai aturan hukum,  factor partsipatif masyarakat juga memiliki peran dalam menghasil produk hukum yang berkualitas.

Partisipasi berarti ada peran serta atau keikutsertaan (mengawasi, mengontrol dan mempengaruhi) masyarakat dalam suatu kegiatan pembentukan peraturan, mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi pelaksanaan UU[11]. Adanya partisipasi masyarakat dalam pembentukan suatu undang-undang memungkinkan substansi dari suatu undang-undang berasal dari pemikiran atau ide yang berkembang didalam masyarakat yang akan digulirkan masuk kedalam lembaga atau badan legislatif, dan didalam lembaga inilah pemikiran atau ide tersebut kemudian dirumuskan untuk dijadikan sebagai undang-undang[12]

Gagasan untuk melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan maupun dalam pembentukan perundang-undangan merupakan upaya untuk menempatkan masyrakat sebagai pelaku dan subjek dalam proses perencanaan dan pelaksanaan sampai kepada pemanfaatan dan pengawasan kebijakan umum, merupakan suatu keharusan yang hendak diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan

Dalam perspektif tersebut, hukum yang baik menawarkan sesuatu yang lebih dari sekedar keadilan prosedural. Hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil. Hukum semacam itu seharusnya mampu mengenali keinginan masyarakat dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan substansif[13]. Hal tersebut mengindikasikan bahwa hukum yang mengenali keinginan masyarakat merupakan sifat dari hukum yang responsif.

Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan didalam masyarakat[14]. Berdasarkan hal tersebut, maka integrasi nilai-nilai yang hidup dan masih dipertahankan di dalam masyarakat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat kedalam hukum Negara diperlukan dalam rangka memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

Dalam konteks untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, maka hukum merupakan salah satu norma yang tertulis maupun tidak tertulis dan mengatur hubungan interaksi antara individu dengan individu lain, individu dengan masyarakat, individu dengan lingkungan, individu dengan pemerintahnya dan hubungan di antara bagian-bagian tersebut satu sama lainnya yang bertujuan melahirkan keadilan dan ketertiban. Hal tersebut menunjukan bahwa, hukum merupakan sarana kontrol sosial yang ditujukan untuk mengubah perilaku warga-warga masyarakat sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan diakui sebelumnya. 

Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat dalam arti bahwa hukum dapat dipergunakan sebagai agent of change. Hukum sebagai Agent of change atau pelopor perubahan dapat berperan untuk mengontrol masyarakat dalam berbagai aktivitasnya dalam pembangunan.

 

2.    Hukum, Masyarakat  dan Pembangunan

Hakekat pembangunan Indonesia adalah amanat konstitusi yang sesuai dengan ikrar dan cita-cita bangsa. Secara ideologis makna pembangunan yang dapat diartikan pembangunan adalah membangun bangsa Indonesia seutuhnya, serta strategi pembangunan ialah pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan sosial, serta stabilitas politik. Kemudian lebih lanjut ditegaskan secara eksplisit pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 bahwa; hakikat pembangunan nasional adalah: mencerdaskan kehidupan bangsa, menciptakan kesejahteraan umum, melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, dan membantu melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial[15].

Dalam praktiknya pembangunan yang baik adalah pembangunan yang dilakukan secara komprehensif. Artinya, pembangunan selain mengejar pertumbuhan ekonomi, harus memperhatikan pelaksanaan jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia warga negaranya yang telah diatur dalam konstitusi negara yang bersangkutan, baik hak-hak sipil, maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian, pembangunan yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh pemerintah akan mampu menarik lahirnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu konsep yang di dalamnya terdapat perihal usul tentang perubahan perilaku manusia yang diinginkan, maka dapat disimpulkan bahwa hakikat Pembangunan Hukum adalah bagaimana merubah perilaku manusia kearah kesadaran dan kepatuhan hukum terhadap nilai-nilai yang hidup dan diberlakukan dalam masyarakat. Tegasnya membangun perilaku manusia dan masyarakat harus di dalam konteks kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara dimana mereka mengerti dan bersedia menjalankan kewajiban hukumnya sebagai warganegara dan mengerti tentang bagaimana menuntut hak-hak yang dijamin secara hukum dalam proses hukum itu sendiri[16].

Mochtar Kusumaatmadjamengemukakan bahwa: Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif artinya, hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun, didefenisikan sebagai masyarakat yang sedang berubah cepat. Untuk itu, hukum tidak cukup memiliki fungsi demikian saja. Hukum juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan klasik tentang hukum yang menitikberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis, dan menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan[17].

Dengan demikian, pembangunan dapat berperan untuk merubah perilaku masyarakat, berupa kesadaran dan kepatuhan manusia atau masyarakat terhadap nilai-nilai hukum. Hal ini dapat terlaksana bila secara sistem hukum berkerja dengan baik dan dinamis, yang ditandai dengan berkualitasnya struktur hukum melalui pendidikan dan pengembangan profesi hukum agar dapat menghasilkan ahli hukum dalam pembangunan hukum. Selain itu, berkualitasnya substansi hukum yang terkait dengan rumusan norma yang dapat mengakomodasi kepentingan seluruh masyarakat, serta ditunjang oleh budaya hukum masyarakat kondusif yang selalu menempatkan hukum dalam proses penyelesaian sengketa.

Agar hukum dapat melaksanakan perannya sebagai sarana kontrol masyarakat dalam pembangunan, maka hukum harus mengandung nilai-nilai yang dapat ditaati oleh masyarakat.

Pada satu sisi, hukum harus efektif, atau dapat bekerja. Bekerjanya hukum sangat dipengaruhi oleh aparat penegak hukum, materi yang diatur oleh suatu peraturan perundang-undangan maupun perilaku masyarakatnya. Faktor-faktor tersebut memberikan pengaruh terhadap peran hukum sebagai sarana kontrol masyarakat.

Pada sisi yang lain, jika hukum tidak efektif maka dapat dikatakan sebagai penyakit hukum menurut Achmad Ali[18], yaitu penyakit yang diderita oleh hukum sehingga hukum tidak dapat melaksanakan fungsinya. Penyakit hukum dapat menyerang struktur yang terkait dengan kualitas SDM aparatur penegak hukum, substansi yang terkait dengan nilai-nilai yang diatur serta dapat diterjemahkan dalam berbagai aktifitas masyarakat atau kultur hukumnya yang terkait dengan budaya masyarakat, yang merupakan suatu kesatuan sistem hukum dalam pandangan Lawrence Friedman.

Dengan demikian, agar hukum dapat efektif sebagai sarana kontrol terhadap masyarakat maka sistem hukum yang dimaksud perlu diperbaiki , yaitu:

 

 

1)      Struktur

Struktur di ibaratkan sebagai mesin yang di dalamnya ada institusi-institusi pembuat dan penegakan hukum[19], seperti DPR, Eksekutif, Legislatif, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Terkait dengan ini, maka perlu dilakukan seleksi yang objektif dan transparan terhadap aparatur penegakan hukum.

2)      Substansi

Substansi adalah apa yang di kerjakan dan dihasilkan oleh mesin itu, yang berupa putusan dan ketetapan, aturan baru yang disusun, substansi juga mencakup aturan yang hidup dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang[20].

Selain itu, substansi suatu peraturan perundang-undangan juga dipengaruhi sejauh mana peran serta atau partisispasi masyarakat dalam merumuskan berbagai kepentingannya untuk dapat diatur lebuh lanjut dalam suatu produk peraturan perundang-undangan.

Adanya keterlibatan masyarakat dalam pembentukan suatu undang-undang akan memberikan dampak terhadap efektivitas pemberlakuan dari undang-undang tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh Yuliandri[21], bahwa tidak ada gunanya suatu undang-undang yang tidak dapat dilaksanakan atau ditegakkan, mengingat pengalaman yang terjadi di indonesia menunjukan banyaknya undang-undang yang telah dinyatakan berlaku dan diundangkan tetapi tidak dapat dilaksanakan.

3)      Kultur

Sedangkan kultur hukum menyangkut apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan, yang mempengaruhi suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan[22]

Untuk itu diperlukan membentuk suatu karakter masyarakat yang baik agar dapat melaksanakan prinsip-prinsip maupun nilai-nilai yang terkandung didalam suatu peraturan perundang-undangan (norma hukum). Terkait dengan hal tersebut, maka pemanfaatan norma-norma lain diluar norma hukum menjadi salah satu alternatif untuk menunjang imeplementasinya norma hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Misalnya, pemanfaatan norma agama dan norma moral dalam melakukan seleksi terhadap para penegak hukum, agar dapat melahirkan aparatur penegak hukum yang melindungi kepentingan rakyat.

Dengan demikian, bekerjanya hukum akan memberikan dampak terhadap tercitanya keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat yang akan memberikan dampak terhadap terselengaranya pembangunan dengan baik.

 

 

C.      Penutup

Hukum, masyarakat dan pembangunan memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan dan saling memiliki ketergantungan diantara satu dengan yang lainnya, mengingat keberadaan hukum sangat dipengaruhi oleh masyarakat. Dimana, lahirnya hukum diawali dengan adanya interaksi kepentingan diantara beberapa manusia, sehingga tanpa manusia maka hukum tidak akan lahir (ubi societa, ibi ius). Sebaliknya hukum berperan agar interaksi kepentingan diantara manusia dapat berjalan dengan baik dan harmonis, selain itu hukum juga menyediakan sarana penyelesaian konflik bagi manusia. Dengan adanya kondisi masyarakat yang harmonis dan teratur maka penyelenggaraan pembangunan dapat berjalan dengan baik dan lancar, dan pada akhirnya sehingga berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.  Sebaliknya kondisi masyarakat yang tidak harmonis dan teratur akan berdampak terhadap penyelengaraan pembangunan yang tidak optimal.

 

Daftar Pustaka

 

Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana

 

Anthonius Cahyadi dan fernando Manullang, 2010, Pengantar ke Filsafat Hukum, Kencana, Jakarta

 

Fifik Wiryani, 2009, Reformasi Hak Ulayat – Pengaturan  Hak-hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam, Setara Press, Malang

 

Jazim Hamidi dkk, 2008, Panduan Praktis Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta,   

 

Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, cet-kedua, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta

 

Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

 

Ni’matul Huda, 2005, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Jogjakarta

 

Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition : Toward responsive Law,  diterjemahkan oleh Raisul Musttaqien, 2011, Hukum Responsif, Nusa Media, Bandung,

 

Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Gentha Publishing, Yogyakarta

 

Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta

 

Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum-Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta

 

Sukarno Aburaera dkk, 2009, Filsafat Hukum, Bayumedia Publishing, Malang

 

Yuliandri, 2010, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Rajawali Pers, Jakarta

 

Ruslan H. Husen, SH, Masyarakat dan Sistem Hukum Indonesia, <http://septysabrina.student.umm.ac.id/2010/01/30/masyarakat-dan-sistem-hukum-indonesia-oleh-ruslan-h-husen-sh/>

 

 

https://hukum88.wordpress.com/2012/06/24/keadilan-dalam-pandangan-pemikiran-hukum-progresif-satjipto-rahardjo/

 

http://septysabrina.student.umm.ac.id/2010/01/30/masyarakat-dan-sistem-hukum-indonesia-oleh-ruslan-h-husen-sh/

 

http://www.kantorhukum-lhs.com/1?id=persepsi-hukum-dalam-pembangunan

 

http://www.negarahukum.com/hukum/filsafat-hukum-konsepsi-hukum-pembangunan.html

 

http://hukum.kompasiana.com/2011/10/18/hukum-dan-masyarakat-402530.html

 



[1]Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Gentha Publishing, Yogyakarta, hl. 1-2

[2]Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum-Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hl. 40

[3]Sukarno Aburaera dkk, 2009, Filsafat Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, hl. 32

[4]Dalam Anthonius Cahyadi dan fernando Manullang, 2010, Pengantar ke Filsafat Hukum, Kencana, Jakarta, hl. 35

[5]Sukarno Aburaera dkk, Loc. cit,

[6]Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Gentha Publishing, Yogyakarta, hl. 73

[7] http://hukum.kompasiana.com/2011/10/18/hukum-dan-masyarakat-402530.html

[8]Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, cet-kedua, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hl. 149

[9]Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hl. 107. Sementara itu, negara demokrasi yang berdasarkan pada paham komunisme selalu menggangap negara sebagai suatu alat pemaksa yang pada akhirnya akan lenyap dengan sendirinya seiring dengan kemunculn masyarakat komunis.(Lihat Ni’matul Huda, 2005, Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review, UII Press, yogyakarta, hl.13)

[10]Miriam Budiardjo, Ibid, hl. 112

[11]Jazim Hamidi dkk, 2008, Panduan Praktis Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hl. 48

[12]Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hl. 62

[13] Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition : Toward responsive Law,  diterjemahkan oleh Raisul Musttaqien, 2011, Hukum Responsif, Nusa Media, Bandung, hl. 84

[14] Fifik Wiryani, 2009, Reformasi Hak Ulayat – Pengaturan  Hak-hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam, Setara Press, Malang, hl. 40

[15] https://hukum88.wordpress.com/2012/06/24/keadilan-dalam-pandangan-pemikiran-hukum-progresif-satjipto-rahardjo/

 

[16] http://www.kantorhukum-lhs.com/1?id=persepsi-hukum-dalam-pembangunan

[17] http://www.negarahukum.com/hukum/filsafat-hukum-konsepsi-hukum-pembangunan.html

[18]Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana, hl. 206

[21]Yuliandri, 2010, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Rajawali Pers, Jakarta, hl. 145

Tinggalkan Balasan