TIDAK PERLU MENGHADIRKAN KEMBALI GBHN

Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara

TIDAK PERLU MENGHADIRKAN KEMBALI GBHN*)

Arman Anwar**)

  1. Pengantar

Megawati Soekarnoputri pada acara Simposium Kebangsaan di MPR tanggal 7 Desember 2015 yang lalu menyampaikan pemikirannya tentang pentingnya Bangsa Indonesia memiliki sebuah pedoman dalam melaksanakan pembangunan sehingga siapapun Presidennya nanti harus terus melanjutkan pembangunan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah sebelumnya.  Kesinambungan pembangunan hanya dapat berjalan kearah yang benar jika Negara Indonesia memiliki apa yang disebutnya sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).  Atas pernyataan ini telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Bagi pihak yang pro, menyambut baik gagasan dan pemikiran tersebut karena penyelenggaraan Negara mutlak membutuhkan haluan Negara yang dapat mengawal keberlanjutan dan tujuan pencapaian sasaran pembangunan melalui pelaksanaan garis-garis besarnya yang berlaku absolut. Sementara bagi yang kontra beranggapaan bahwa ide reformulasi GBHN sangat tidak urgen karena tidak ada yang salah dengan negeri ini, UUD 1945 hasil amandemen selama ini dinilai telah menjangkau jauh kedepan sehingga pemikiran yang menghendaki kembali ke UUD 1945 sebelum diamandeman adalah suatu kemunduran dalam bernegara dan merupakan tindakan latah dalam berpolitik.

Wacana  menghidupkan kembali GBHN dalam perkembangannya terus bergulir bahkan berkembang  kearah  yang  tidak  lagi  membicarakan tentang penting atau tidak penting,  namun

 
   

 

telah jauh masuk kedalam pemikiran mengenai pengaturan substansinya, bagaimana bentuk hukumnya, dan  sistimatikanya, serta implikasinya terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia jika MPR diberi kewenangan untuk menetapkannya. Masalahnya sekaranga adalah mau seperti apa dan bagaimana cara untuk mewujudkannya. Masalah ini tidak sesederhana seperti yang dipikirkan karena bagaimanapun akan bermuara pada upaya mengamandemen UUD 1945. Keinginan memunculkan lagi GBHN berarti mengamandemen UUD 1945 lagi, dan itu berarti kita akan melakukan amandemen yang ke V. Menurut Mahfud MD waktu yang relative cepat untuk kita mengamandemen sebuah konstitusi karena hanya berselang waktu 16 tahun padahal idealnya minimal 20 tahun.  

Perjalanan ketatanegaraan kita membuktikan bahwa materi rancangan perubahan UUD Negara Republik Indonesia hasil Badan Pekerja MPR RI Tahun 1999-2000. terlihat adanya keinginan mengubah Pasal 3 UUD 1945 tentang tata cara pemelihan Presiden. Kalau Presiden ditetapkan oleh MPR maka tugas dan wewenang serta hak MPR adalah mengubah dan menetapkan UUD serta menetapkan haluan Negara dalam garis-garis besar. Namun karena kesepakatnya adalah presiden dipilih langsung oleh rakyat maka MPR tidak lagi berwenang untuk menetapkan GBHN (MKRI, Naskah Komprehensif Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, Buku III Jilid 1, hlm 302-309). Presiden hasil pemilihan langsung, berhak melaksanakan visi dan misinya sesuai dengan keyakinan dan pandangan politiknya yang telah disampaikan kepada rakyat sebagai janji-janjinya sewaktu kampanye dalam pemilu. Setelah menjadi presiden maka dia berkewajiban merealisasikannya sesuai dengan rencana kerja dan program pembangunan selama lima tahun kedepan. Hapusnya GBHN adalah akibat amandemen terhadap UUD 1945. Sekarang logikanya apakah mau kembali lagi ke UUD 1945 sebelum perubahan ?

Kini upaya untuk menghadirkan kembali GBHN melalui amandemen ke V UUD 1945 secara terbatas tentu tidak sesederhana itu, karena GBHN merupakan sebuah sistem sehingga perubahan tersebut akan berdampak dan merembet pada kebutuhan untuk menyesuaikan kembali kedudukan, fungsi dan kewenangan lembaga-lembaga Negara terutama MPR. Memberikan peluang perubahan UUD 1945 bukan tidak mungkin akan memerlukan konsep pengaturan ulang (reformulasi) terkait dengan tata kerja antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Terhadap lembaga MPR sendiri akan timbul persoalan kedudukan hukum karena MPR bukan lagi lembaga tertinggi Negara. Jika GBHN menjadi ketetapan MPR maka bagaimana kedudukannya terhadap undang-undang. Kalau pilihannya GBHN kedudukannya sama dengan UU maka UU GBHN dapat direvisi setiap lima tahun atau disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan. Kemudian bagaimana pula kedudukan hukum GBHN terhadap Presiden ataupun sebaliknya. Intinya disini ialah bahwa mengamandemen UUD membawa resiko karena materi amandemen dapat melebar kemana-mana, apalagi masih banyak tersisa pekerjaan rumah (PR) ketatanegaraan yang belum terselesaikan. Kalau kita menolak lupa maka dalam sejarah bangsa Indonesia pernah terjadi krisis demokrasi di era demokrasi terpimpin dimana suatu program pembangunan yang direncanakan dilakukan oleh suatu tindakan yang kuat dibawah suatu pemimpin yaitu Presiden Soekarno. Urusan pemerintahan dan perundang-undangan berada pada dua Badan yang dibentuk Soekarno yaitu Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perancang Nasional. Dalam sistem itu Parlemen tugasnya hanyalah sebagai tukang stempel untuk memberikan dasar hukum saja, setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh Pemerintah, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan atau usul-usul dari dua Badan tadi.  Keanggotaan dan susunan kedua Badan tersebut ditentukan dan ditunjuk sendiri oleh Presiden untuk bertindak sebagai “pressure group”,(golongan pendesak). Dengan cara begitu menurut Soekarno, segala pembahasan undang-undang dapat dengan cepat selesai, dan tidak lagi bertele-tele sehingga akibatnya lenyaplah demokrasi. Mohammad Hatta menyebut era ini sebagai demokrasi terpimpin Seokarno sebagai DIKTATOR yang didukung oleh golongan-golongan tertentu. Ini adalah hukum besi dari sejarah dunia Tindakan soekarno yang telah begitu jauh menyimpang dari dasar-dasar konstitusi adalah akibat daripada krisis demokrasi itu. (Mohammad Hatta, 2008;100).

  1. Isu Hukum
  2. Apakah visi misi Presiden terpilih sudah memadai dijadikan sebagai visi dan misi Negara yang mencerminkan kedaulatan rakyat.
  3. Bagaimana menjaga kesinambungan program pembangunan setiap periodesasi kepemimpinan
  4. Apa yang harus dilakukan untuk sinkronisasi pembangunan pusat dan daerah
  5. Adakah perencanaan pembangunan nasional model GBHN yang dapat kompatibel dengan sistem presidensial
  1. Hasil Telaah
  2. Apakah visi misi Presiden terpilih sudah memadai dijadikan sebagai visi dan misi Negara yang mencerminkan kedaulatan rakyat.

Kedaulatan rakyat menurut pemikir sang peletak dasar Negara Indonesia yakni Mohammad Hatta adalah rakyat sendirilah yang menjadi raja atas dirinya. Oleh karena itu, “Daulat Tuanku”  mesti diganti dengan “Daulat Rakyat” tidak lagi seorang bangsawan, bukan pula seorang tuanku melainkan rakyat sendiri yang menjadi raja atas dirinya. Inilah dasar pemikiran rakyat, yang menjadi dasar demokrasi tulen, yang dimaksud oleh segala demokrasi yang asli, baik di Athena maupun di Roma, maupun di Indonesia. Lebih lanjut dikatakan bahwa “Negara hanya dapat maju kalau rakyatnya turut menimbang mana yang baik dan mana yang buruk bagi dia, pendeknya kalau rakyat tahu memerintah diri sendiri, tahu mempunyai kemauan dan melakukan kemauan itu dengan rasa tanggung jawab penuh”. (Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Pikiran-pikiran Tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat, 2008;46).

Kalau kita kembali mengingat sejarah perumusan GBHN dalam UUD 1945 sebagaimana tertuang dalam Risalah BPUPKI-PPKI 25 Mei 1945 sampai dengan 22 Agustus 1945. Para pendiri Negara sepakat untuk menciptakan sebuah perangkat yang disebut GBHN sebagai penuntun dan pedoman bagi penyelenggara pemerintahan Negara untuk mencapai tujuan bernegara. GBHN ditetapkan oleh MPR sebagai represntasi kedaulatan rakyat. Tetapi dulu dimasa orde baru, justru yang membuat GBHN itu bukan MPR, tapi Wanhankamnas (Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional). Lalu Wanhankamnas menyerahkannya ke Pak Harto (Presiden). Pak Harto minta MPR mengesahkan,” jadi kedaulatan rakyatnya dimana kalau begini apakah ini yang namanya penjelmaan rakyat dan pengemban kedaulatan rakyat”. Sementara dalam teorinya GBHN adalah garis-garis besar sebagai peryataan kehendak rakyat untuk mencapai tujuan bernegara secara menyeluruh dan terpadu yang bersumber dari karsa dan nurani mereka.

Dimasa sekarang dengan adanya amandemen UUD 1945 menghapus peran MPR sehingga GBHN tidak berlaku lagi. Sebagai gantinya dibentuk Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang mengatur bahwa penjabaran dari tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia sebagaiman yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945, dituangkan dalam bentuk RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang). Masa berlakunya adalah 20 tahun. Untuk melaksanakan semua rencana-rencana dalam RPJP maka perlu dilaksanakan secara bertahap dalam kurun waktu 5 tahunan, Oleh karena itu, dibuatlah Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Didalamnya memuat visi, misi dan program pembangunan dari Presiden terpilih, namun  tetap mengacu pada RPJP. Di daerah RPJP dan RPJM disusun sendiri oleh pemerintah daerah dengan tetap berpedoman pada RPJP nasional. Jika kita mencermati hal ini maka bentuk hukum bagi yang dulu disebut GBHN sekarang berubah dalam produk undang-undang, dibuat oleh DPR (representasi rakyat) yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional maka sesungguhnya sama saja, yang membedakannya cuma nama saja, yaitu bukan lagi GBHN, akan tetapi RPJP. Fungsi tuntutan yang dulu diperankan oleh GBHN telah dapat diwujudkan secara lebih komprehensif dalam UU yakni UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional 2004 dan UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2007. Berdasarkan pada paradigma ini maka tesisnya bahwa substansi GBHN telah terwadahi sehingga tidak perlu lagi ada GBHN, karena sejatinya substansi GBHN sudah ada di Undang-Undang tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.. Visi Presiden mengikuti tujuan Negara karena itu maka berikan kesempatan kepada Presiden merealisasikan janji-janjinya dalam kampanye yang telah disetujui rakyat dengan memilihnya secara langsung, dan dilaksanakan melalui program pembangunan lima tahun masa jabatannya. Pembangunan jangka menengah berisi konten janji Preseden terpilih untuk mengemban misinya melaksanakan pembangunan dan menentukan prioritas pembangunan dengan berdasarkan pada tujuan Negara dan cita-cita proklamasi yang terumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 yang terwadahi dalam RPJP. Dengan demikian maka postulatnya adalah bahwa visi misi Presiden terpilih sudah memadai dijadikan sebagai visi dan misi Negara yang mencerminkan kedaulatan rakyat.  

  1. Bagaimana menjaga kesinambungan program pembangunan setiap periodesasi kepemimpinan

Sistem pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat  membuat setiap calon presiden harus mampu meracik program pembangunannya sendiri-sendiri guna dapat menarik selera rakyat agar mau memilihnya. Setelah terpilih, Program pembangunan yang ditawarkan kepada rakyat bisa saja merupakan program yang melanjutkan program Presiden sebelumnya namun juga bisa jadi melahirkan program yang baru sama sekali yang berbeda dengan program pembangunan dari Presiden sebelumnya. Kalau demikian yang terjadi maka tidak terjaga kesinambuangan program pembangunan pada setiap periodesasi kepemimpinan. Pemahaman ini belum tentu keliru namun juga belum tentu tepat. Program pembangunan dengan tujuan Negara dapat di interpretasi berbeda. Menurut M. Hadin Muhjad, tujuan Negara dan lain-lain yang terkandung dalam pembukaan UUD ternyata memang masih membuka peluang adanya persoalan interpretasi. Pengalaman kita juga masih segar, untuk soal adil dan makmur saja ada yang berfikir adil dan makmur dalam persepsi yang berbeda-beda. (M. Hadin Muhjad, makalah Menghidupkan GBHN Perlukah Amandemen V 1945, Collaquium Himpunan Ahli HTN dan HAN, di Ambon, 8 Oktober 2016, hlm 4). Oleh karena itu, ketidaksinambungan program pembangunan antar periodesasi kepmimpinan bukanlah hal penting untuk diperdebatkan karena hanya merupakan persoalan interpretasi saja. Sepanjang esensialnya adalah untuk menerapkan dan merealisasikan pembangunan jangka panjang kenapa hal itu harus dipersoalkan. Secara teknis, cara boleh berbeda namun tujuan haruslah sama. Terlepas dari hal ini, jika kita masih  tetap mempersoalkan kesinambungan program pembangunan maka komitmen untuk taat pada grand disain perencanaan pembangunan nasional itulah kata kuncinya, untuk menjadi kaidah penuntun bagi siapapun Presidennya. Selain itu, DPR sebagai lembaga penyalur aspirasi rakyat dalam fungsi pengawasan, penganggaran dan legislasi harus dapat memainkan peranannya sehingga ketika program-program pembangunan tersebut dibahas di legislatif bersama pemerintah yang berkuasa, rencana program pembangunan tersebut dapat dikawal secara ketat demi keberlanjutan program pembangunan dimaksud. Selain itu, lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang selama ini terbukti independen dan intens dalam menyuarakan hati nurani rakyat juga harus diberi peran dengan membuka ruang yang seluas-luasnya kepada mereka untuk ikut serta mengawasi kinerja pemerintah. Demikianpun lembaga pendidikan perguruan tinggi jangan menjadi menara ganding saja namun diberdayakan untuk selalu mengambil bagian melalui pandangan-pandangan kritis mereka yang ilmiah dan rasional supaya program pembangunan yang berkelanjutan lebih berbobot. Demikianlah antara lain upaya menjaga kesinambungan program pembangunan setiap periodesasi kepemimpinan.

  1. Apa yang harus dilakukan untuk sinkronisasi pembangunan pusat dan daerah

Selama sistem perpolitikan kita masih multi partai dengan beragam platform partai maka peluang terjadinya partai yang berkuasa di pusat bisa saja berbeda dengan partai yang berkuasa di daerah. Otomatis strategi perjuangannya pun pasti berbeda. Perbedaan yang terjadi dapat saja menyebabkan program pembangunan di pusat berbeda dengan di daerah. Apalagi daerah berwenang menetapkan sendiri RPJP dan RPJM-nya meskipun ada embel-embel dengan berpedoman kepada RPJP Nasional. Kondisi seperti ini akan memberikan kesulitan tersendiri ketika pemerintah pusat hendak melakukan koordinasi maupun sinkronisasi program pembangunan dengan pemerintah daerah, demikian pula sebaliknya. Selain itu juga, sinkronisasi pembangunan pusat dan daerah akan sangat dipengaruhi pula oleh faktor-faktor lain seperti kondisi luas wilayah, keadaan geografis,  kesiapan infrastruktur, kepadatan penduduk, dan tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat di daerah yang berbeda-beda. Tantatangan dan kompleksitas persoalan di daerah yang tidak sama antara satu daerah dengan daerah yang lain memerlukan penanganan yang berbeda-beda pula. Oleh sebab itu, tidak mungkin dilakukan penyeragaman perlakuan, sehingga dengan demikian yang dibutuhkan adalah menyesuaian kebijakan dari pemerintah pusat berdasarkan karakteristik persoalan daerah masing-masing.

   Implementasi otonomi daerah yang berbasis kewilayahan, keunggulan spasial dan potensi lokal merupakan faktor determinan dalam rangka keberhasilan pembangunan daerah. Proses pembangunan dan percepatannya harus dilakukan bertumpu pada keragaman dalam berbagai aspek sehingga dibutuhkan pula perlakuan yang berbeda dari pemerintah pusat terhadap masing-masing provinsi. Dengan demikian maka pertanyaannya adalah sejauhmana politik hukum pemeritahan pusat dan daerah untuk melakukan perubahan dan harmonisasi undang-undang pemerintah daerah dan undang-undang sektoral sehingga tercipta sinkronisasi pembangunan pusat dan daerah serta jaminan keadilan bagi masyarakat di daerah. 

UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana diubah dengan  UU No 23 Tahun 2014 dan terakhir dengan UU No 9 Tahun 2015. Terkesan sedikit banyak telah mulai dapat mengsinkronkan program pembangunan pusat dan daerah seperti program pemerintah pusat tentang percepatan pembangunan daerah kepulauan dan tentang pengembangan maritim untuk tol laut. Program ini meskipun masih perlu penyempurnaan namun telah sejalan dengan program pemerintah daerah kepulauan yang berjumlah 8 provinsi. Pengaturan tentang hal dimaksud dapat di lihat pada Pasal 28 dan 29 UU No 23 Tahun 2014 yaitu daerah provinsi yang Berciri Kepulauan diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut yang ada di wilayahnya. Selain mempunyai kewenangan dimaksud, Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan mendapat penugasan dari Pemerintah Pusat untuk melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat di bidang kelautan berdasarkan asas Tugas Pembantuan setelah Pemerintah Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Dalam hal penetapan kebijakan DAU yang dulunya dihitung berdasarkan luas daratan, kini dilakukan dengan cara menghitung luas lautan yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah laut. Demikianpun dalam menetapkan kebijakan DAK maka Pemerintah Pusat memperhitungkan dengan sungguh-sungguh pengembangan Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan sebagai kegiatan dalam rangka pencapaian prioritas nasional berdasarkan kewilayahan, serta dalam rangka mendukung percepatan pembangunan di Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan sehingga Pemerintah Pusat juga dapat mengalokasikan dana percepatan di luar DAU dan DAK. Oleh karena itu, apa yang harus dilakukan untuk sinkronisasi pembangunan pusat dan daerah tidak lain adalah melalui harmonisasi peraturan perundang-undangan dan melalui good will pemerintah pusat untuk memajukan daerah. Untuk itu, koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pusat dan daerah menjadi kata wajib yang harus dilakukan. Kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah laut perlu dipertegas dengan Peraturan Presiden tentang kewenangan pengelolaan sumber daya alam di wilayah laut. Disinilah juga butuh peran para legislator dan peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai senator untuk memperjuangkan kepentingan daerah  

  1. Adakah perencanaan pembangunan nasional model GBHN yang dapat kompatibel dengan sistem presidensial

Menurut Refly Harun, gagasan pemberlakuan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau Program Pembangunan Nasional Semesta Berencana merupakan sebuah langkah mundur dalam penguatan sistem presidensial dan demokrasi. Hal itu disebabkan besarnya potensi menempatkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara (pemegang kedaulatan tertinggi negara) atau locus of power. Jika itu terjadi, maka konsekuensi ketatanegaraan ke depannya berujung pada pola sistem pertanggungjawaban presiden tidak lagi kepada rakyat melainkan kepada MPR. Kondisi ini akan sangat menyulitkan bagi presiden terpilih dalam mewujudkan tujuan bernegara dan mengewajantahkan visi dan misi yang dijanjikan selama masa kampanye pemilihan umum presiden. Komitmen nasional bangsa melalui MPR pascaamandemen UUD 1945, telah bersepakat memperkuat sistem presidensial dengan menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi negara dan  mengubah model pemilihan presiden dan wakil presiden dari dipilih lembaga perwakilan (MPR) menjadi pemilihan langsung oleh rakyat. (Refly Harun, Kajian Politik Hukum terhadap Perencanaan Pembangunan Nasional Semesta Berencana Guna Meningkatkan Daya Bangsa
PEMBANGUNAN YES GBHN No!
Semarang, 28 Juli 2016)

Sejalan dengan pendapat diatas maka semestinya kapal dengan nama Negera Indonesia dapat dilabuhkan dengan berkompas pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sebagai ganti GBHN.RPJPN merupakan perpaduan pemikiran, gerak dan langkah bersama antara Presiden dan Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Oleh karena itu, adalah tepat apa yang dikatakan oleh Refly Harun bahwa  mekanisme perencanaan pembangunan nasional sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2004 tersebutsudah cukup relevan sebagai guidance of the right way yang memadukan berbagai kepentingan, baik itu kepentingan negara (presiden terpilih) maupun partisipasi masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi negara.

  1. Kesimpulan

Bongkar pasang ketatanegaraan Bangsa ini ibaratnya seperti kita sedang menari tarian Poco-Poco. Langkah kakinya maju 1 langkah tapi kemudian mundurnya 3 langkah. Atau sama seperti syair  lagu Gemu Famire/Maumere  yaitu putar ke kiri ke kiri…, kemudian putar ke kanan..ke kanan.. balik lagi ke kiri ke kiri nanti ke kanan lagi lalu ke kiri lagi. kalau seperti ini mau dibawa kemana bangsa ini jika kita tidak konsisten dan konsekuen dengan komitmen kita semula. Lagi pula persoalan sentralnya bukan pada sistem perencanaan pembangunan nasional sehingga isunya bukan GBHN, melainkan pada persoalan sinergitas para pemimipin bangsa dalam mengimplementasikan program pembangunan untuk memajukan dan membangun negara ini.  

  1. Saran

Visi pembanguan nasional 2005-2025 yaitu Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur. Visi inilah yang harus diwujudkan dengan kerja keras dan saling mendukung dalam prinsip luhur gotong royong antar semua komponen anak bangsa Oleh karena itu, yang perlu dikembang adalah mencari figur pemimpin bangsa yang tepat dan amanah. “the right man in the right place”. Selain itu, perlu juga mengembangkan praktek bernegara seperti dalam kehidupan masyarakat madani (civil society) yaitu suatu masyarakat beradab yang mengacu pada nila-inilai kebajikan dengan mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip interaksi sosial yang kondusif bagi terciptanya tatanan demokratis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang adil dan makmur.

*)  Workshop Pancasila Konstitusi dan Ketatanegaraan “Penataan Sistem Ketatanegaraan, Tata Cara Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Reformulasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Model GBHN. Kerjasama Sekretarian Jenderal MPR dengan Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon 21-22 Oktober 2016

**) Dosen Fakultas Hukum Universitas Pattimura