Kajian Yuridis Terhadap Kedudukan Desa Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Oleh: A.D. Bakarbessy
Abstrak
Terbentuknya suatu negara akan didahului oleh terbentuknya suatu desa. Oleh karena itu, terdapat suatu keterkaitan yang erat antara Negara, Daerah, dan Desa. Berdasarkan hal tersebut, maka kedudukan desa adalah sebagai cikal bakal bagi terbentuknya Negara sekaligus sebagai satuan territorial dan satuan pemerintahan yang terbawah, termasuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kenyataan yang terjadi adalah, pengaturan dalam Konstitusi hanya membagi NKRI yang terbagi atas daerah provinsi dan kabupaten/kota, sedangkan didalam pemerintahan kabupaten/kota terdapat pemerintahan desa. Hal tersebut membuat kedudukan desa dalam NKRI menjadi tidak jelas.
Kata kunci: kedudukan desa, NKRI
The formation of a state will be preceded by the formation of a village. Therefore, there is a close relationship between the State, Regional, and village. Based on this, the position of the village is a forerunner to the establishment of the State as well as the territorial unit and the bottom of the unit of government, including the Republic of Indonesia (Republic of Indonesia). Reality of the matter is, the setting in the Constitution of the Republic of Indonesia, divided only divide the provincial and district / city, while in the county / city are village government. This makes the position of the village in the Republic of Indonesia became unclear.
Keywords: position of the village, the Republic of Indonesia
- Latar Belakang
Desa secara historis merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara dan bangsa ini terbentuk. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dengan hukum sendiri serta relatif mandiri[1].
Menurut Y Zakaria, sejatinya desa adalah negara kecil, karena sebagai masyarakat hukum, desa memiliki semua perangkat suatu negara, seperti wilayah, warga, aturan dan pemerintahan. Selain itu, pemerintahan desa memiliki alat perlengkapan desa seperti polisi dan pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menggunakan kekerasan didalam teritori atau wilayah hukumnya[2]. Hal tersebut membuat desa merupakan suatu institusi otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri[3]. Berdasarkan hal inilah maka desa harus dipahami sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki hak dan kekuasaan dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya untuk mencapai kesejahteraan. Hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat inilah yang disebut otonomi desa[4].
Kehadiran Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, telah memberikan pengaruh terhadap eksistensi desa. Apakah sebagai institusi yang otonom atau merupakan bagaian dari organ pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang paling rendah.
Keadaan tersebut, dapat dilihat dalam Pembagian wilayah atau teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diatur didalam pasal 18 ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa;
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah-daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
Ketentuan tersebut mengandung 2 (dua) hal, yaitu; pertama, pembagian teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas daerah provinsi, dan kabupaten/kota. Kedua, setiap daerah memiliki pemerintahan daerahnya masing-masing. Hal ini menunjukan bahwa pembagian wilayah dan pemerintahan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya sampai pada wilayah Kabupaten/kota.
Lebih lanjut, dalam Pasal 200 ayat (1) Undang-undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diasumsikan bahwa sebagai sub sistem pemerintahan dibawah kabupaten/kota maka secara teritorial wilayah desa berada didalam wilayah kabupaten/kota. Dengan kata lain, bahwa wilayah atau teritorial desa merupakan wilayah yang paling kecil didalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini mempertegas dominasi negara dan pemerintah terhadap keberadaan desa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga pengakuan terhadap kemandirian desa berdasarkan susunan asli dan hak asal usul menjadi sulit untuk diwujudkan.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang akan dikaji adalah bagaimana kedudukan desa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia?
C. Pembahasan
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat diketahui bahwa desa memiliki peran yang penting bagi terbentuknya suatu Negara. Berdasarkan hal tersebut, maka untuk dapat mengetahui kedudukan desa dalam konstruksi Negara, maka perlu dikaji lebih lanjut dalam berbagai perundang-undangan yang merupakan penjabaran dari Konstitusi. Terkait dengan hal tersebut, maka penulis membaginya dalam 3 (tiga) periodeisasi, yaitu periode Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (sebelum amandemen), periode transisi (masa perubahan UUD Tahun 1945) dan Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 (setelah amandemen).
1) Periode Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (sebelum amandemen)
Pengaturan yang terkait dengan keberadaan desa pada masa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (sebelum amandemen) tidak dapat dipisahkan dari berbagai pengaturan yang terkait dengan pemerintahan daerah atau pemerintahan desa, diantaranya adalah ;
a) Undang-undang Nomor 1 tahun 1945
PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945. menetapkan pembagian wilayah pemerintaan Republik Indonesia di daerah dalam susunan teritorial yang terdiri dari Provinsi, Keresidenan, Kotapraja (Swapraja), dan Kota (Gemeente) sebagai berikut[5]:
(1) Daerah Republik Indonesia diabagi atas 8 (delapan) Provinsi, yaitu; Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil
(2) Provinsi dibagi kedalam Keresidenan-keresidenan
(3) Kedudukan Kooti dan Kota diteruskan sesuai keadaan saat itu
Berdasarkan pembagian tersebut, maka dapat diketahui bahwa Negara Indonesia terbagi atas Provinsi, Keresidenan, Kotapraja, dan Kota. Akan tetapi, pada tanggal 23 Nopember 1945 ketika pemerintah menetapkan UU No 1 tahun 1945 Tentang Kedudukan KND, yang dalam penjelasan Pasal 1 yang menyatakan bahwa Komite Nasional Daerah diadakan di Jawa dan Madura (kecuali di Daerah Istimemewa Jogjakarta dan Surakarta) di Keresidenan, di kota berautonomie. Kabupaten dan lain-lain daerah yang dipandang perlu oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut berarti bahwa Komite Nasional Daerah di Propinsi, Kawedanan, Asistenan (Kecamatan) dan di Siku dan Ku dalam kota, tidak perlu dilanjutkan lagi.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa keberadaan KND dilaksanakan di Jawa, Madura, Keresidenan, Kota berotonomi dan Kabupaten serta daerah lain yang dipandang perlu oleh Menteri dalam Negeri. Dengan demikian, untuk wilayah Propinsi, Kawedanan, Asistenan, Siku dan Ku dalam Kota tidak perlu diadakan KND. Hal tersebut berarti bahwa susunan daerah didalam Negara Indonesia tidak hanya terbatas pada Provinsi, Keresidenan, Kotapraja, dan Kota saja, akan tetapi terdapat juga Kewedanan, Kecamatan, dan Desa tetap diakui.
Dengan demikian, maka keberadaan desa berdasarkan UU No 1 tahun 1945 tetap diakui keberadaannya, meskipun belum ada pengaturan khusus yang memberikan jaminan perlindungan terhadap hak asal-usulnya sebagai daerah istimewa sebagaimana yang diatur dalam penjelasan Pasal 18 UUD Tahun 1945.
b) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di daerah-daerah Yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah tangganya Sendiri, disebutkan bahwa daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalan tiga tingkatan, ialah; Propinsi, Kabupaten (kota besar) dan Desa (kota kecil, Nagari, Marga dan sebagainya), yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Sementara itu, mengenai kedudukan desa, dapat dilihat dalam penjelasan umum angka 18 UU No. 22/1948 yang menyatakan bahwa:
Menurut Undang-Undang Pokok ini, maka daerah otonom yang terbawah adalah Desa, Marga, Kota Kecil, dan sebagainya. Ini berarti desa ditaruh ke dalam lingkungan pemerintahan yang modern, tidak ditarik di luarnya sebagai waktu yang lampau. Pada jaman itu tentunya pemerintahan penjajah mengerti, bahwa desa itu sendi negara, mengerti bahwa desa sebagai sendi negara itu harus diperbaiki segala-galanya diperkuat dan didinamiseer, supaya dengan begitu negara bisa mengalami kemajuan. Tetapi untuk kepentingan penjajahan, maka desa dibiarkan saja tetap .statis (tetap keadaannya). Pemberian hak otonomi menurut ini, Gemeente Ordonanntie adalah tidak berati apa-apa, karena desa dengan hak itu tidak bisa berbuat apa-apa, oleh karena tidak mempunyai keuangan dan oleh ordonanntie itu diikat pada adat-adat, yang sebetulnya di desa sudah tidak hidup lagi. Malah sering kejadian adat yang telah mati dihidupkan pula atau sebaliknya, adat yang hidup dimatikan, bertentangan dengan kemauan penduduk desa, hanya oleh karena kepentingan penjajah menghendaki itu.
Pengaturan desa berdasarkan UU No. 22 Tahun 1948 lebih mengacu kepada pemikiran Muh Yamin, bukan pemikiran Soepomo. Dimana, desa ditempatkan sebagai pemerintahan kaki sebagaimana pemikiran Yamin, dengan pemerintahan tengahnya adalah kabupaten. Desa dijadikan daerah otonom (local self-government), bukan dipertahankan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak mengurus rumah tangganya (self-governing community atau zelfbestuur gemeinschap) sebagaimana pada zaman penjajahan. Desa ditarik ke dalam sistem pemerintahan, bukan dibiarkan tetap berada di luar sistem pemerintahan sebagaimana terjadi pada zaman kolonial[6].
Dengan demikian, keberadaan desa dalam Negara Republik Indonesia berdasarkan UU No. 22 Tahun 1948 adalah sebagai daerah tingkat tiga dibawah Propinsi dan Kabupaten sebagai suatu daerah otonom. dengan Asas penyelenggaraan pemerintahan desa adalah hak otonomi dan hak medebewind, bukan asas rekognisi yaitu pengakuan oleh negara sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki susunan asli.
c) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Berakhirnya bentuk Negara Serikat (Republik Indonesia Serikat) di Indonesia, yang ditandai dengan kembali menjadi Negara Kesatuan pada 17 Agustus 1950, maka Konstitusi RIS 1949 diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Berdasarkan UUDS 1950 diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, yang dengan sendirinya menggantikan UU No. 22 Tahun 1948.
Menurut Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1957:
Ayat (1) Wilayah Republik Indonesia dibagi dalam daerah besar dan kecil, yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, dan yang merupakan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) tingkat yang derajatnya dari atas ke bawah adalah sebagai berikut: a).Daerah tingkat ke I, termasuk Kotapraja Jakarta Raya, b).Daerah tingkat ke II, termasuk Kotapraja, dan c).Daerah tingkat ke III.
Ayat (2) Daerah Swapraja menurut pentingnya dan perkembangan masyarakat dewasa ini, dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa tingkat ke I,II atau III atau Daerah Swatantra tingkat ke I, II atau III, yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Sementara itu, dalam penjelasan UU No. 1 Tahun 1957 disebutkan bahwa secara umum menyatakan bahwa pemerintah dalam membentuk daerah Tingkat ke-III mengupayakan agar dapat disesuaikan dengan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang sudah ada dan hidup dalam masyarakat Indonesia. Hal tersebut dimaksudkan agar daerah otonom yang akan dibentuk dapat bermanfaat bagi masyarakat karena sudah mempuyai faktor-faktor pengikat didalam kesatuannya dan tidak dibuat-buat semata.
Dengan demikian, UU No. 1 Tahun 1957 memiliki kesamaan dengan UU No. 22 Tahun 1948, yang juga mengarahkan agar desa dijadikan daerah tingkat ke-III sebagai daerah otonom, bukan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, yang diakui negara. Perbedaannya, pembentukan daerah otonom tingkat ke-III berdasarkan UU No. 1 Tahun 1957 harus tetap memperhatikan keberadaan kesatuan masyarakat hukum yang sudah ada dan masih terpelihara.
d) Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965
Berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 berakhir pada saat Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dimana, salah satu substansinya adalah berlakunya kembali UUD 1945. Berdasarkan dekrit tersebut, Presiden mengubah sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dari demokrasi liberal ke sistem totaliter yang dikenal dengan nama Demokrasi Terpimpin. Pada 1965 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja sebagai Bentuk Peralihan untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.
Berlakunya Undang-undang Nomor 18 tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan posisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 dan melanjutkan ide Penpres Nomor 6 Tahun 1959[7]. Menurut Bagir Manan, dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres 1960 seluruhnya diadopsi ke dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965[8].
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 membagi wilayah Indonesia menjadi 3 (tiga) tingkatan, hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa: Wilayah Negara Republik Indonesia terbagi habis dalam Daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri dan tersusun dalam tiga tingkatan sebagai berikut:
(1) Propinsi dan/atau Kotapraja sebagai Daerah tingkat I.
(2) Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Daerah tingkat II dan.
(3) Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Daerah tingkat III.
Sementara itu, dalam penjelasan umum dijelaskan bahwa Pelaksanaan Undang-undang ini harus berarti terwujud pula pelaksanaan Pembentukan Daerah-daerah tingkat III sebagai Daerah-daerah tingkatan terendah. Undang-undang ini berkehendak membagi habis seluruh Negara Republik Indonesia dalam tiga tingkatan. Daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (Otonomi). Dengan terbaginya seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dalam Daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri itu, tidak seharusnya ada lagi Daerah lain selain hanya wilayah administratif saja. Daerah tingkat III akan menggantikan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum.
Berdasarkan penjelasan umum tersebut maka undang-undang ini menempatkan kecamatan sebagai daerah tingkat III, sehingga keberadaan desa atau kesatuan masyarakat hukum adat akan diarahkan menjadi daerah tingkat III yang otonom.
Selanjutnya dikeluarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja sebagai Bentuk Peralihan untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Menurut pasal 1 UU No. 19 Tahun 1965, yang dimaksud dengan Desa Praja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya, dan mempunyai harta bendanya sendiri.
Dalam Penjelasan Pasalnya menyatakan bahwa kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, volksgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya yang bukan bekas swapraja termasuk dalam pengertian desapraja dalam undang-undang ini. Dengan demikian, sebutan untuk semua volksgemeenschappen di Indonesia adalah Desapraja.
Lebih lanjut, dalam penjelasan umum UU No. 19 Tahun 1965 pada angka 4 disebutkan bahwa;
…Sesuai dengan Ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, maka Undang-undang tentang pokok-pokok Pemerintah Daerah telah menentukan akan membagi habis seluruh wilayah Indonesia dalam tiga tingkatan daerah besar dan kecil, yaitu Daerah tingkat I, II dan III. Dengan terbagi habisnya wilayah Indonesia dalam Daerah- daerah otonom itu, maka berarti juga bahwa dibawah Daerah tingkat III tidak seharusnya ada lagi daerah lain selain dari hanya daerah administrasi saja. Karena itu maka Desapraja menurut Undang-undang ini tidaklah berada didalam dan tidak menjadi bawahan Daerah tingkat III, tetapi adalah sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudnya Daerah tingkat III diseluruh wilayah Republik Indonesia…
Dengan demikian, UU Nomor 19 Tahun 1965 tidak dimaksudkan sebagai undang-undang pengaturan desa secara permanen, melainkan hanya sebagai undang-undang transisi. Tujuan akhir dari pembentukan pemerintahan daerah di Indonesia adalah terbentuknya daerah otonom tiga tingkat. Pembentukan daerah tingkat ketiga diawali dengan pembentukan desa praja. Desa praja akan diubah menjadi Daerah Tingkat III, Pada akhirnya jika pembentukan daerah tingkat tiga sudah benar-benar dapat terbentuk, maka UU Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja tidak berlaku lagi[9]. Hal tersebut menunjukan bahwa desa praja bukan merupakan satu tujuan tersendiri, melainkan hanya sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudnya daerah tingkat III. Suatu saat bila tiba waktunya, semua desa praja harus ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat III dengan atau tanpa penggabungan lebih dahulu mengingat besar kecilnya desa praja yang bersangkutan.
e) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979
Lahirnya orde baru seiring dengan beralihnya kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto melalui peristiwa supersemar pada tanggal 11 maret 1966. Pada masa orde baru, produk hukum yang memiliki keterkaitan dengan Desa adalah, undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Pasal 2 undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 menyatakan bahwa Dalam menyelenggarakan pemerintahan, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah-daerah Otonom dan Wilayah-wilayah Administratif.
Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Hal tersebut berarti bahwa dalam penyelenggaraan otonomi, daerah hanya terbagi atas 2 (dua) tingkat saja. Dimana, pada masa sebelumnya pembagian daerah dibagi atas tiga tingkat.
Disamping itu, pemerintah membentuk wilayah administrasi baru di bawah kabupaten/kota administratif, yaitu kecamatan. Dengan demikian, berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, secara dmininistratif wilayah Negara Indonesia dibagi atas:1).Propinsi; 2). Kabupaten/Kota (administrative), dan 3). Kecamatan. Setelah diundangkannya UU Nomor 5 Tahun 1974, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. UU Nomor 5 Tahun 1979 lebih merupakan operasionalisasi UU Nomor 5 Tahun 1974 ditingkat desa. Pasal 1 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1979 menyatakan bahwa
desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagi kesatuan masyarakat, termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.
Selain itu, Pasal 1 huruf b UU Nomor 5 Tahun 1979 menyatakan bahwa:
Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat, yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.
Hal tersebut menunjukan bahwa kedudukan desa adalah sama dengan kelurahan, yaitu berada di bawah wilayah kecamatan. Yang membedakan adalah desa berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri atau memiliki hak otonom, sedangkan kelurahan tidak memiliki hak untuk menyelenggarakan rumah tangga sendiri atau merupakan wilayah administrative.
- Tinjauan Terhadap Kedudukan Desa Pada Masa UUD Sebelum Amandemen
Berdasarkan berbagai uraian mengenai keberadaan desa pada masa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum amandemen, dengan berlakunya UU nomor Nomor 1 tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965, Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, dapat diketahui bahwa pada dasarnya desa ditempatkan sebagai suatu satuan pemerintahan yang paling bawah, yaitu sebagai daerah tingkat III. Keberadaan desa tersebut juga dilengkapi dengan hak otonomi, hak medebewind, maupun hak asal usul sebagai daerah istimewa.
Terkait dengan hal tersebut, maka menurut Moh. Yamin dalam Sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945 bahwa[10]:
"Negeri, Desa dan segala persekutuan hukum adat yang dibaharui dengan jalan rasionalisme dan pembaharuan zaman, dijadikan kaki susunan sebagai bagian bawah. Antara bagian atas dan bagian bawah dibentuk bagian tengah sebagai Pemerintahan Daerah.
Hal tersebut menunjukan bahwa keberadaan desa sebagai daerah tingkat III atau sebagai satuan pemerintahan yang paling bawah berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan desa pada masa orde lama menunjukan bahwa konsep Moh Yamin yang dipakai dalam berbagai rumusan ketentuan perundang-undangan tersebut.
Menurut Jimly Asshiddiqie[11] bahwa dalam wadah Negara Kesatuan terdapat provinsi, dan provinsi dibagi atas daerah-daerah yang lebih kecil, yang sekarang dikenal dengan nama kabupaten/kota, yang bersifat otonom atau administrative belaka, yang berlaku prinsip kedaulatan rakyat dengan penghormatan terhadap lebih kurang terdiri dari 250 zelfbesturende landchappen dan volksgetneenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan wadah bagi seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu dalam kesatuan bernegara, namun didalamnya tidak harus ada keseragaman. Akan tetapi didalamnya tetap harus terjamin keanekaragaman berdasarkan latar belakang sejarah kebangsaan yang majemuk. Sehingga dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, tidak ada keharusan adanya keseragaman semua unit pemerintahan, akan tetapi tetap adanya pengakuan terhadap berbagai hak asal-usul yang dimiliki oleh tiap-tiap daerah[12].
Dengan demikian, kedudukan desa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak boleh hanya dianggap sebagai satuan pemerintahan yang paling bawah, akan tetapi perlu juga diperhatikan mengenai hak asal-usul bawaanya yang telah ada sebelum lahirnya Negara.
- Periode Transisi, antara UUD Tahun 1945 dan UUD NRI Tahun 1945
- Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 ketika Indonesia berada pada periode transisi, yaitu pada masa terjadinya perubahan terhadap UUD Tahun 1945. Hal tersebut juga memiliki pengaruh terhadap keberadaan desa yang ternyata tidak memiliki kejelasan terhadap statusnya, apakah sebagai bagaian dari sistem pemerintahan Negara ataukah merupakan kesatuan masyarakat hukum adat.
Hal tersebut dapat dilihat dalam pengaturan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom.
Terkait dengan kedudukan desa, maka menurut Pasal 1 huruf o menyatakan bahwa:
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.
Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa keberadaan desa hanya berada di daerah kabupaten/kota, dengan demikian desa merupakan bagian dari kabupaten/kota. Keberadaan desa semakin menunjukan ketidakjelasan ketika harus berubah menjadi kelurahan, sebagaimana pengaturan dalam Pasal 126 ayat (2) yang menyatakan bahwa:
Desa-desa yang ada dalam wilayah Kotamadya, Kotamadya Administratif, dan Kota Administratif berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pada saat mulai berlakunya undang-undang ini ditetapkan sebagai Kelurahan.
- Periode Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen)
Reformasi yang terjadi pada tahun 1999 telah memberikan perubahan yang sangat mendasar bagi system ketatanegaraan Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan adanya berbagai tuntunan massyarakat agar dilakukan perubahan yang mendasar bagai penyelenggaraan pemerintahan yang selama masa orde baru dirasakan tidak memihak pada rakyat. Salah satu tuntutan yang mendesak harus dilakukan perubahan adalah hubungan antara pemerintah dengan daerah, yang terkait dengan otonomi daerah. Untuk meralisasikan hal tersebut, maka salah satu sarana yang digunakan adalah dilakukan perubahan terhadap Pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mengatur mengenai hubungan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah.
Dalam hubungannya dengan kedudukan desa, maka dapat dilihat dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa:
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
Pasal 18 B ayat (2) Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang
Berdasarkan perubahan Pasal 18 tersebut, maka lahirlah UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
a) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Dalam perkembangannya, setelah diamandemennya UUD Tahun 1945 termasuk Pasal 18, maka keberadaan UU Nomor 22 tahun 1999 diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah.Ketentuan tersebut tidak menempatkan desa sebagai bagian dari susunan wilayah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lebih lanjut, terkait dengan pemerintahan desa diatur dalam Pasal 200 ayat (1) yang menyatakan bahwa:
Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa.
Pasal 1 angka 12 menyatakan bahwa:
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, kedudukan desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, hal tersebut sesuai dengan Pasal 18B ayat 2 UUD 1945. Akan tetapi, UU Nomor 32 Tahun 2004 menempatkan pemerintahan desa di bawah kabupaten/kota. Penempatan pemerintahan desa di bawah kabupaten/kota berarti desa menjadi subordinat kabupaten/kota dalam hubungan pemerintahan. Dengan demikian, desa tidak memiliki perbedaan dengan kelurahan, yang sama-sama di bawah kabupaten/kota.
4) Desa dalam NKRI
Desa dalam kedudukannya di Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat dilepas pisahkan dengan berbagai keberadaan daerah yang lain, baik itu, propinsi atau kabupaten/kota. Pasal 1 ayat (1) UUD Tahun 1945 sebelum amandemen menyatakan bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk republik.
Dimana, keberadaan suatu Negara Kesatuan pada hakekatnya menempatkan kekuasaan tertinggi dan penyelenggara segenap urusan Negara yaitu pemerintah pusat, hal tersebut terkait dengan adanya asas bahwa dalam Negara kesatuan segenap urusan Negara tidak dibagi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, sehingga urusan-urusan Negara dalam suatu Negara kesatuan tetap merupakan suatu kebulatan dan dipegang oleh pemerintah pusat[13].
Terkait dengan hal tersebut, maka dalam konstruksi Negara kesatuan, hanya dikenal Negara (pusat) dan daerah. Hal tersebut dapat dilihat dalam pengaturan Pasal 18 ayat (1) UUD NKRI yang membagi wilyah Negara atas provinsi dan kabupaten/kota. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan desa?
Dengan jelas, dapat diketahui bahwa Pasal 18B ayat 1 tidak bisa dijadikan dasar hukumnya, karena Pasal tersebut hanya mengatur daerah yang bersifat khusus seperti Aceh dan Papua dan daerah yang bersifat istimewa seperti Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal tersebut membuat satu-satunya Pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 yang dapat dijadikan dasar pengaturan desa hanya Pasal 18B ayat 2 berbunyi, "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya".[14].
Lebih lanjut, dalam pengaturan Pasal 200 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa:
Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa.
Pengaturan tersebut menunjukan bahwa pemerintahan desa ditempatkan sebagai sub ordinat pemerintahan daerah kabupaten/kota. Persoalannya adalah apakah dengan ditempatkannya pemerintahan desa sebagai sub ordinat pemerintahan kabupaten/kota maka secara otomatis desa merupakan bagian dari kabupaten/kota?
Terkait dengan keberadaan desa di NKRI, maka didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Mengingat keberadaan Pasal 18 B ayat (2) yang mengatur mengenai pengakuan keberadaan kesatuan masyarakat adat terpisah dari pengaturan mengenai pembagian wilayah Indonesia berdasarkan Pasal 18 ayat (1) maka dapat dikatakan kedudukan desa berada diluar susunan NKRI yang hanya dibagai dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten/kota. Artinya desa diakui kemandiriannya berdasarkan hak asal usulnya sehingga dibiarkan untuk tumbuh dan berkembang diluar susunan struktur Negara. Hal tersebut diperkuat dengan asas pengakuan, dimana desa diakui keberadaannya oleh negara sebagai suatu organisasi pemerintahan yang sudah ada dan dilakukan dalam kesatuan masyarakat adat sebelum lahirnya NKRI. Hal tersebut menunjukan bahwa sebagai kesatuan masyarakat adat, desa diakui keberadaannya oleh Negara sebagai satuan pemerintahan yang paling kecil dan turut memberikan andil bagi terbentuknya Negara, sehingga desa dibiarkan tumbuh dan berkembang diluar susunan Negara.
Akan tetapi dalam kenyataannya pengakuan Negara terhadap keisitinewaan desa berdasarkan hak asal-usulnya kemudian dibatasi dengan adanya pengaturan Pasal 200 UU Nomor 32 Tahun 2004 yang menempatkan pemerintahan desa sebagai sub ordinat dari pemerintah kabupaten/kota. Hal tersebut menimbulkan kosekuensi bahwa pemerintahan desa merupakan bawahan pemerintahan kabupaten/kota, sehingga penyelenggaraan pemerintahan desa akan sangat bergantung dan dipengaruhi oleh pemerintahan kabupaten/kota.
Berdasarkan hal tersebut, maka menurut penulis keberadaan desa memiliki 2 (dua) identitas, yaitu pertama secara struktur kewilayahan, desa tidak diatur sebagai bagian wilayah NKRI sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, melainkan diatur secara tersendiri dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak asal-usulnya. Salah satu hak asal-usulnya terkait dengan penguasaan terhadap wilayahnya, dengan demikian keberadaannya secara langsung berada dibawah Negara. Kesatuan –kesatuan masyarakat hukum ini tidak hanya diakui tetapi dihormati, artinya mempunyai keududukan yang sederajat dan sama pentingnya dengan kesatuan pemerintahan lain seperti kabupaten dan kota. Kesederajatan ini mengandung makna, bahwa kesatuan masyarakat hukum yang berdasarkan hukum adat berhak atas segala perlakuan dan diberi kesempatan berkembang sebagai subsistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan tetap berada pada prinsip NKRI, yaitu tidak melahirkan Negara didalam Negara.
Kedua, secara fungsi pemerintahan, maka berdasarkan Pasal 200 UU Nomor 32 Tahun 2004, menempatkan pemerintahan desa sebagai bagaian dari pemerintahan daerah kabupaten/kota, sehingga keberadaan pemerintahan desa adalah sebagai sub sistem pemerintahan daerah kabupaten/kota.
- Kesimpulan
Berdasarkan berbagai uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa : Keberadaan desa sebelum amandemen UUD Tahun 1945 menempatkan desa sebagai daerah otonom tingkat III (tiga). Setelah amandemen UUD NRI Tahun 1945, maka keberadaan desa memiliki 2 (dua) identitas, yaitu pertama secara kewilayahan, desa tidak diatur sebagai bagian wilayah NKRI sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, melainkan diatur secara tersendiri dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak asal-usulnya. Dimana, salah satu hak asal-usulnya terkait dengan penguasaan terhadap wilayahnya, dengan demikian keberadaan desa secara langsung berada dibawah negara. dengan tetap berada pada prinsip NKRI, yaitu tidak melahirkan Negara didalam Negara. Kedua, secara fungsi pemerintahan, maka berdasarkan Pasal 200 UU Nomor 32 Tahun 2004, menempatkan pemerintahan desa sebagai bagaian dari pemerintahan daerah kabupaten/kota, sehingga keberadaan pemerintahan desa adalah sebagai sub sistem pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Daftar Pustaka
Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
H A W Widjaja, 2004, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Hanif Nurcholis, 2011, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Erlangga, Jakarta
Jimly Asshidiqie, 2008, Pokok-pokok Hukum Tata Negara, cet kedua, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta
Josef Riwu Kaho, 2012, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia, edisi revisi, cet kedua, Polgov Fisipol UGM, Yogyakarta
Max Boli Sabon, 2009, Hukum Otonomi Daerah (Bahan Pendidikan Untuk Perguruan Tinggi), Penerbit Universitas Atmajaya, Jakarta
Y Zakaria, 2005, Pemulihan Kehidupan Desa dan UU No 22 Tahun 1999, Dalam Desentralisasi, Globalisasi, dan Demokrasi Lokal, LP3S, Jakarta
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
[1]H A W Widjaja, 2004, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hl. 4-5
[2] Y Zakaria, 2005, Pemulihan Kehidupan Desa dan UU No 22 Tahun 1999, Dalam Desentralisasi, Globalisasi, dan Demokrasi Lokal, LP3S, Jakarta, hl. 332
[3] H A W Widjaja, 2004, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli ……Op.cit, hl. 4
[4] H A W Widjaja, 2004, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli ……Ibid, hl. 165
[5] Max Boli Sabon, 2009, Hukum Otonomi Daerah (Bahan Pendidikan Untuk Perguruan Tinggi), Penerbit Universitas Atmajaya, Jakarta hl. 90
[6] Hanif Nurcholis, 2011, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Erlangga, Jakarta, hl. 214
[7] Jimly Asshidiqie, 2008, Pokok-pokok Hukum Tata Negara, cet kedua, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hl. 404
[8] Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hl. 151
[9] Hanif Nurcholis, 2011, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan …….Op.cit, hl. 216
[10] Hanif Nurcholis, 2011, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan …….Ibid, hl. 1
[11] Jimly Asshidiqie, 2008, Pokok-pokok Hukum …….Op.cit, hl. 287
[12] Jimly Asshidiqie, 2008, Pokok-pokok Hukum…….Ibid, hl. 289-290
[13] Solly Lubis dalam Josef Riwu Kaho, 2012, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia, edisi revisi, cet kedua, Polgov Fisipol UGM, Yogyakarta, hl. 10
[14] Hanif Nurcholis, 2011, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan……Op.cit, hl. 225