KEWASPADAAN NASIONAL TERHADAP KELEMAHAN PETANI GUNA MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN PANGAN MASYARAKAT
oleh : Zaedun, S.Sos
1 Pendahuluan.
Bangsa Indonesia dalam wadah NKRI yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras, golongan, adat istiadat, dan keragaman mata pencaharian yang hidup tersebar dengan ciri wilayah berupa gugusan kepulauan senantiasa harus membangun kewaspadaan nasional.[1] Menyikapi perkembangan zaman pada era globalisasi yang penuh dengan dinamika tantangan multi kompleks yang melanda seluruh aspek kehidupan, maka sikap waspada sebagai bagian dari sistem keamanan nasional perlu terus diwujudkan.
Kewaspadaan nasional yang relevan bersifat dinamis dan antisipatif terhadap berbagai kemungkinan potensi ancaman sejak awal gejala. Kewaspadaan perlu dilakukan terhadap setiap potensi ancaman, baik lokal, nasional, dan internasional dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat dengan cara deteksi sedini mungkin agar usaha mencapai tujuan nasional tidak terganggu. Atas dasar itu maka antisipasi dinamis atas perubahan lingkungan strategis merupakan suatu upaya yang penting dalam mewujudkan kewaspadaan nasional.
Mencermati implementasi kewaspadaan nasional yang secara konsepsional mencakup tiga unsur pokok yaitu kedaulatan negara, integritas bangsa, dan keamanan pembangunan nasional, maka persoalan kebutuhan pangan merupakan variabel strategis dalam pembangunan nasional yang memerlukan pemikiran serius dan dapat direalisir guna mengatasi krisis pangan yang terus melanda kehidupan masyarakat.
Pada tataran makro, ketahanan pangan berhubungan dengan ketahanan ekonomi dan stabilitas nasional yang perlu terus diupayakan solusinya. Bila dicermati dengan seksama, paradigma pemikiran ini sangat penting karena bangsa Indonesia sampai saat ini terus menghadapi permasalahan dalam mewujudkan ketahanan pangan yang tidak pernah bisa terselesaikan. Menurut para ahli ekonomi dan pertanian, pada rumusan yang lebih tegas dinyatakan bahwa permintaan pangan nasional lebih besar daripada pertumbuhan produksi pangan domestik. Permasalahan pangan ini kerumitannya juga berkaitan permasalahan kesenjangan ekonomi dan sosial yaitu besarnya proporsi kelompok masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan dan tingginya jumlah pengangguran serta lemahnya keunggulan komparatif masyarakat dalam mengelola sektor pertanian sebagai basis ketahanan pangan nasional (Budiman Hutabarat, 2009 : 18).
Menyikapi kondisi riil tentang kebutuhan pangan sebagai suatu kebutuhan azasi manusia dan rentannya tingkat ketahanan pangan masyarakat, maka perlu peran aktif seluruh elemen masyarakat untuk menumbuhkembangkan kesadaran dalam mewujudkan kemandirian pangan guna ketersediaan pangan di tingkat nasional, daerah hingga rumah tangga yang cukup, aman, bermutu dan bergizi seimbang (Triwibowo Yuwono Ed., 2011: 1-3). Upaya mewujudkan ketahanan pangan merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan swasta.
Indonesia sebagai negara agraris, dengan sumber kekayaan alam (SKA) yang besar seharusnya memiliki kemampuan untuk mencukupi kebutuhan tentang pangan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa sampai saat ini masih mengimpor berbagai produk pangan, baik berupa bahan pangan primer maupun sekunder.
Kenyataan ini bila dicermati dengan seksama mengundang pertanyaan apakah permasalahan ini karena masalah teknis produksi pangan, khususnya kelemahan petani atau disebabkan oleh faktor manajemen pembangunan pertanian. Permasalahan ini tidak mudah dijawab, mengingat pertanian pangan merupakan kegiatan yang melibatkan berbagai faktor, baik teknis, manajemen, kebijakan pemerinah, persoalan sosial dan petani sebagai sumber daya manusia yang terlibat langsung sebagai pelaksana di lapangan.
Kebutuhan pangan dan pertanian, khususnya pemberdayaan petani merupakan masalah yang kompleks, bukan sekedar kegiatan menanam dan memanen, namun berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan. Pertanian berhubungan dengan filosofi bangsa sebagai masyarakat agraris, humanisme, kebudayaan, spiritual, interaksi dengan alam, lingkungan alam dan kearifan lokal.
Konsep dan paradigma pemberdayaan petani sebagai solusi untuk mengatasi kelemahannya memerlukan pemikiran yang cerdas, tepat, dapat diimplementasikan sehingga berdaya dan berhasil guna. Hal itu dimungkinkan karena kedaulatan pangan dan kemandirian pangan masyarakat merupakan cita-cita bangsa yang harus diperjuangkan, yang tidak boleh direduksi sebatas kajian akademik, karena merupakan keniscayaan kedaulatan pangan dan ketahanan nasional yang paripurna.
2. Inti Tulisan.
Krisis yang melanda bangsa Indonesia pada era reformasi Tahun 1998, khususnya dibidang ekonomi dan moneter merupakan pengalaman pahit yang belum tuntas sampai sekarang. Pada krisis tersebut, sektor industri manufaktur dan keuangan mengalami beban berat, bahkan berada pada titik terendah untuk bisa bertahan dan bangkit secara perlahan, namun sektor pertanian terbukti mampu bertahan.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Biro Pusat Statistik, menunjukkan bahwa pertanian merupakan sektor yang paling besar menyerap tenaga kerja. Sehubungan dengan hal itu semestinya kemandirian dan kedaulatan pangan dapat terus dikembangkan dan diwujudkan di Indonesia. Mencermati pengalaman empiris dan hasil penelitian para ahli yang menegaskan bahwa pertanian merupakan isu strategis nasional, maka kebijakan yang digulirkan selayaknya berpihak dan menguatkan petani, yang mampu menyediakan lahan, memberikan pembinaan teknis budidaya pertanian yang tepat dan memadai, menyosialisasikan pemahaman atas perilaku sosial petani, menyediakan dukungan dana yang manusiawi, penanganan pasca panen, distribusi pangan, stabilitas harga produksi pangan yang menguntungkan sebagai modal dasar yang diperlukan.
Selanjutnya adalah kemauan, good governence pemerintah, dan kesadaran bersama peran masyarakat perlu diwujudkan secara konkrit untuk mengatasi kelemahan petani sebagai pelaku utama di lapangan (Hetifah Sj. Sumarto, 2009 : 1-6). Good governance disini diartikan sebagai mekanisme, praktik dan tata cara pemerintah dan warga petani mengatur SDM serta memecahkan masalah pertanian. Dengan integritas moral, profesi dan pemberdayaan seluruh komponen bangsa yang pro petani selayaknya terwujud motto “tidak ada negara yang hidup tanpa pertanian”.
a. Peran Kewaspadaan Nasional dalam Pemenuhan Pangan Masyarakat.
Kewaspadaan Nasional adalah suatu sikap dalam hubungannya dengan nasionalisme yang dibangun dari rasa peduli dan tanggung jawab serta perhatian warga negara terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dari potensi ancaman yang umumnya sulit diprediksi dan datang mendadak.
Pada konteks keamanan, Kewaspadaan Nasional dapat diartikan sebagai suatu kualitas kesiapan dan kesiagaan bangsa Indonesia untuk mampu mendeteksi, mengantisipasi sejak dini dan melakukan aksi pencegahan terhadap setiap potensi ancaman serta sebagai manifestasi kepedulian dan rasa tanggung jawab bangsa terhadap kedaulatan dan keutuhan NKRI.
Pada era Orde Baru, ancaman diartikan sebagai potensi atau kondisi dari luar dan dari dalam yang mengandung bahaya dan bersifat konseptual, baik tertutup maupun terbuka, yang bertujuan mengubah Pancasila, UUD 1945 dan menggagalkan pembangunan nasional, yang memerlukan tindakan untuk menyelesaikan serta dapat menggugah kemampuan diri.
Pada era reformasi Tahun 1998, bangsa Indonesia hidup dalam masa transisi. Perubahan awalnya diwarnai dengan agenda reformasi, demokratisasi dan rekonstruksi Indonesia pasca krisis, namun yang terjadi justru disorientasi, konflik di berbagai daerah, demoralisasi, apatisme, hedonisme, kemarahan, kebencian dan degradasi nasionalisme. Situasi ini mengakibatkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tampak semakin kehilangan arah dalam mencapai tujuan nasional.[2]
Pada konteks ideologi dan falsafah hidup bangsa, pada pasca reformasi nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945 dalam implementasinya mengalami bias sehingga terjadi krisis ekonomi, krisis politik, aturan kehidupan menyimpang dan tidak demokratis. Situasi nasional dihadapkan pada ancaman pemaksaan kehendak dan menghalalkan segala cara yang mengancam integrasi nasional.
Sehubungan dengan hal itu bangsa Indonesia perlu melakukan introspeksi pada skala nasional dan melakukan langkah-langkah kewaspadaan nasional yaitu memposisikan diri sebagai bangsa yang berdaulat dan bermartabat dengan mengacu pada kepentingan nasional serta membangkitkan soliditas bangsa dalam wadah komunitas nasional dengan menggunakan pendekatan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Atas dasar itu yang perlu dilakukan adalah membangun kewaspadaan nasional dan melakukan perubahan yang signifikan dan berkesinambungan bagi kepentingan nasional.
|
Mencermati pengalaman sejarah, ditinjau dari berbagai perspektif, identifikasi ancaman proyeksinya tetap mengarah pada upaya perlindungan terhadap NKRI serta terciptanya tatanan dan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara yang didukung oleh pemerintahan yang jujur, adil, transparan dan akuntabel. Kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara tersebut sangat penting karena integrasi nasional Indonesia mengalami pasang surut ancaman dan tantangan yang mengarah pada terjadinya disintegrasi.
Kondisi ini harus diwaspadai karena nasionalisme sangat berperan sebagai perekat integrasi. Adapun aktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai intrinsik dan definisi nasionalisme yang tepat saat ini adalah mengentaskan Indonesia dari kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan guna memperbaiki taraf hidup masyarakat sehingga memiliki kemampuan survive, daya saing dan ketahanan nasional.
Menyikapi situasi nasional yang sampai saat ini masih dilanda krisis ekonomi dan sosial yang belum tuntas solusinya, ketahanan pangan merupakan isu strategis yang perlu dipikirkan, dirumuskan dan diberdayakan, karena tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi dan sosial, tetapi mengandung konsekuensi politik yang sangat besar.
Sulit diprediksi bila Indonesia dengan kondisi geografis negara kepulauan dan kondisi demografi yang heterogin terancam kekurangan pangan, peristiwa apa yang akan terjadi dan tidak terkecuali kelangsungan dari Kabinet Indonesia bersatu jilid II. Sehubungan dengan pentingnya isu tersebut, ketahanan pangan sering digunakan sebagai alat politik bagi presiden di banyak negara untuk mendapatkan dukungn dari rakyatnya.
Bagi Indonesia, ketahanan pangan menjadi isu penting karena saat ini menjadi salah satu anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Implementasinya, pada satu pihak pemerintah harus memperhatikan kelangsungan produksi pangan di dalam negeri demi menjamin ketahanan pangan (Tulus Tambunan, 2011 : 174). Hal ini berarti pemberdayaan petani harus ditingkatkan guna mewujudkan kemandirian pangan masyarakat.
Sementara pada sisi yang lain, Indonesia tidak bisa memproteksi dan menghambat derasnya arus impor pangan dari luar negeri, apalagi dengan diberlakukannya sistem perdagangan bebas. Dihadapkan pada perkembangan dan dinamika yang multi kompleks ini, maka apabila Indonesia tidak siap, maka keanggotaan didalam WTO akan dibahas dalam sidang tahunan. Selanjutnya dampak yang paling beresiko bagi Indonesia adalah menjadi sangat tergantung pada impor pangan. Bila situasi ini tidak dapat diatasi, jelas akan mengancam ketahanan pangan di dalam negeri.
b. Paradigma Pembangunan Pertanian.
Kebutuhan pangan merupakan isu strategis dalam pembangunan nasional, karena memiliki peran ganda sebagai salah satu sasaran utama pembangunan dan instrumen utama pembangunan ekonomi. Pada konteks pembangunan, peran pertama merupakan fungsi ketahanan pangan sebagai prasyarat untuk terjaminnya akses pangan bagi seluruh penduduk dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk eksistensi hidup, menuju sehat dan produktif. Akses terhadap pangan yang “cukup” merupakan hak azasi manusia yang harus selalu dijamin oleh negara bersama dengan masyarakat.
Secara de yure peran ketahanan pangan telah diakui di Indonesia dan terus diberdayakan sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1976 tentang Pangan. Peran kedua merupakan implikasi dari fungsi ketahanan pangan sebagai syarat keharusan dalam pembangunan SDM petani yang kreatif dan produktif, yang merupakan determinan utama dari inovasi ilmu pengetahuan, teknologi dan tenaga kerja yang diterapkan secara tepat dan terpadu serta fungsi ketahanan pangan sebagai faktor penentu lingkungan perekonomian yang stabil dan kondusif bagi pembangunan (Pantjar Situmorang, 2009 : 1-2 ; dan Triwibowo Yuwono, dkk., 2011 : 1).
Menyikapi pentingnya esensi permasalahan tersebut, maka sangat rasional dan wajar bila Indonesia menjadikan program pemantapan ketahanan pangan nasional sebagai prioritas utama pembangunan. Esensi kebijakan ketahanan pangan sampai saat ini dapat dibuktikan dari keterlibatan aktif pemerintah dalam mengarahkan, merangsang dan memberdayakan elemen pertanian terkait sehingga terbangun suatu sistem ketahanan pangan nasional yang tangguh dan berkelanjutan.
Pada perkembangannya paradigma ketahanan pangan diterima sebagai konsep dinamis yang pengertiannya terus mengalami penyesuaian, melalui proses sintesis atas akumulasi peningkatan pengetahuan kontemporer dan adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Berdasarkan identifikasi permasalahan yang dilakukan oleh para ahli pertanian dan ekonomi sosial, dengan keterlibatan aktif pemerintah yang dikuatkan dengan landasan hukum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1997.
Dalam upaya pemberdayaan petani sebagai produsen maka dalam perkembangannya akses pangan yang cukup dirumuskan dalam konsep yang disebut “trilogi ketahanan pangan” yaitu (1) ketersediaan bahan pangan (food availability); (2) akses bahan pangan (food acces) dan; (3) pemanfaatan bahan pangan (food utilization). Selanjutnya dalam implementasinya ketahanan pangan mempunyai makna sebagai terpenuhinya pangan dalam jumlah dan mutu yang memadai dan aman, merata dan terjangkau.
Pada era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan perdagangan bebas dan upaya untuk melindungi produsen, konsumen dan pentingnya kesejahteraan masyarakat, maka ketersediaan pangan dapat berasal dari produksi dalam negeri dan atau impor, sedangkan kemandirian pangan mengandalkan pada produksi lokal dengan memberdayakan peran petani dan memperhatikan sistem sosial, budaya dan kearifan lokal (Pancar Situmorang, Loc. cit.,9 ; Triwibowo Yuwono, Loc. cit., 15).
c. Ketahanan Pangan dan Kebijakan Pemerintah dalam Pembangunan Pertanian.
Konsep ketahanan pangan nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, pasal 1 ayat 17 yang berbunyi “Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga (RT) yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau” memberi penekanan pada akses setiap RT terhadap ketersediaan pangan. Dihadapkan pada situasi riil di lapangan, pada masyarakat yang tersebar di pulau-pulau, konsep ketahanan pangan tersebut makin kompleks sulit dicari solusinya karena angka pertumbuhan penduduk pertambahan penduduk tetap tinggi setiap tahun, sementara lahan yang tersedia untuk kegiatan pertanian semakin sempit.
Akibatnya krisis pangan bisa terjadi karena persediaan terbatas atau karena faktor lain seperti bencana alam, konflik, hambatan disribusi serta kualitas produksi yang rendah, sehingga diperlukan kewaspadaan yang tinggi serta ketanggapsegeraan bila terjadi kasus kerawanan pangan, khususnya di daerah terpencil. Menyikapi kompleksnya permasalahan tersebut, banyak aspek yang harus diperhatikan dan diperjuangkan dalam memberdayakan petani guna mewujudkan ketahanan pangan.
Dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata per tahun sekitar 1,6 %, maka diperkirakan kebutuhan nasional untuk beras juga tetap besar. Konsekuensi pertumbuhan penduduk dan kebutuhan beras tersebut akan menuntut peningkatan penyediaan produk pangan yang amat besar, dan apabila tidak dapat terpenuhi oleh produksi dalam negeri akan meningkatkan ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan, dan pada suatu saat dapat mengalami krisis pangan (kekurangan persediaan).
Menyikapi kompleksnya masalah pertanian yang berhubungan dengan produksi dan konsumsi, maka kebijakan pemerintah diartikan sebagai intervensi dalam pembangunan pertanian. Implementasinnya dengan melakukan upaya perubahan yang terencana secara bertahap, dengan tujuan meningkatkan produksi pertanian baik kuantitas dan kualitas agar dapat memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk dan peningkatan kesejahteraan petani melalui peningkatan produktivitas usaha tani dengan menerapkan teknologi pertanian (Tulus Tambunan, Loc. cit., 175 ; Tati Nurmala, dkk., 2012: 151-153, 166).
Fenomena meningkatnya kebutuhan pangan penduduk dalam perkembangannya tidak dapat dilepaskan dengan peran pertanian bagi kehidupan seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Atas dasar itu diperlukan kesadaran untuk berpihak pada petani dan pembelaan terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat pedesaan.
Dalam terminologi politik, kesadaran tersebut akhirnya berkembang menjadi program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, kualitas hidup petani dan rumah tangga petani, peningkatan akses petani terhadap sumber daya poduktif dan permodalan, serta pembangunan infrastruktur pertanian dan pedesaan.
Revitalisasi pertanian merupakan kesadaran untuk menempatkan arti penting RPPK secara proporsional dan kontekstual. Secara proporsional pertanian memiliki arti penting bagi pemenuhan kebutuhan hidup dan perannya bagi kesejahteraan masyarakat. Namun disadari bahwa penyediaan pangan juga sinergi, saling tergantung dan membutuhkan peran industri dan jasa, seperti pengolahan pasca panen, distribusi, penyimpanan. Sedangkan secara kontekstual sesuai dengan perkembangan masyarakat yang semakin maju dan menghadapi persaingan yang ketat pada era globalisasi ini. Dengan pemahaman tersebut, revitalisasi pertanian dapat berfungsi sebagai strategi dan alat untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mengurangi kemiskinan, menciptakan usaha dan lapangan kerja baru, membangun ketahanan pangan, meningkatkan daya saing ekonomi, melestarikan lingkungan dan membangun daerah (Op. cit., 167-170).
d. Pemberdayaan Petani.
Ketahanan pangan merupakan hak azasi, kewajiban yang harus dipenuhi. Pada konteks ekonomi, pemberdayaan pertanian merupakan langkah konkrit untuk mengeliminir terjadinya kerawanan pangan, kemiskinan dan mengurangi jumlah pengangguran. Pada konteks perdagangan domestik, pertanian juga memberi kontribusi penting dalam upaya distribusi pangan dan menyatukan hubungan antar daerah. Pada konteks politik yang memandang kedaulatan ada ditangan rakyat dan demokrasi adalah salah satu pilar ideologi, maka suara petani merupakan akumulasi pemenang dalam pemilu. Hal ini mengindikasikan bahwa petani seharusnya merupakan pemegang kedaulatan dengan representasi wakil terbesar di parlemen.
Bila petani memiliki posisi politik yang kuat, maka kedaulatan pangan nasional tidak harus tergantung pada pasokan pangan impor dari negara lain. Mengingat pentingnya peran pertanian, maka untuk membangun motivasi, kreativitas dan upaya konkrit pemberdayaan pertanian diperlukan : (1) semangat yang didasari atas keyakinan bahwa Indonesia dapat menjadi negara yang kuat, memiliki ketahanan pangan, sejahtera dan terhormat dengan bertumpu pada pertanian sebagai basis utama perekonomian; selanjutnya, (2) membangun paradigma pertanian dengan tiga fokus pembangunan yaitu pemberdayaan petani, meningkatkan daya saing produk pertanian, dan pelestarian lingkungan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen, peningkatan daya saing produk merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar lagi karena intensitas persaingan akan terus meningkat. Guna menyiasati persaingan diperlukan pendekatan kesisteman berupa efisiensi, produktivitas, mutu dan ketepatan layanan.
Pemberdayaan petani perlu dimaknai sebagai usaha untuk meningkatkan kemampuan internal petani, sekaligus membuka akses dan kesempatan mendapatkan dukungan sumber daya produktif untuk mengembangkan usaha yang menyejahterakan. Sebagai langkah tepat perlu segera dilakukan : (1) penyuluhan dan pembinaan pertanian sebagai agenda operasional; (2) penelitian dan pengembangan; (3) akses kegiatan lanjutan khususnya agroindustri dan agroservis yang memiliki insentif lebih baik dan membuka kesempatan kerja; (4) peran lembaga pembiayaan melalui koperasi pertanian yang sehat guna merealisir produk yang sesuai dengan karakter petani; (5) peningkatan daya saing produk; (6) dukungan teknologi, distribusi, penyimpanan; (7) pelestarian lingkungan; (8) pencegahan konversi lahan; (9) sinergi dengan strategi industrialisasi, dan (10) kebijakan diluar pertanian (Tati Nurmala, Op. cit., 189-192).
e. Tantangan dan Peluang Mewujudkan Kemandirian Pangan Masyarakat.
Sektor pertanian di Indonesia sebenarnya memiliki peranan yang besar karena merupakan mata pencaharian pokok sebagian besar penduduk. Berkenaan dengan krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia pada Tahun 1998 yang terus berlanjut, disadari adanya fenomena bahwa kontribusi pertanian menunjukkan angka yang menurun. Menurunnya kontribusi pertanian tersebut merupakan dampak dari keberhasilan pembangunan di sektor industri dan sektor ekonomi lainnya yang pertumbuhannya terus meningkat. Namun, meskipun kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto menurun, secara nyata sektor pertanian sampai sekarang tetap dapat menyerap tenaga kerja terbesar, khususnya di daerah pedesaan.
Menurut data statistik, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian pada Tahun 1985 mencapai 34.141.000 orang, Tahun 1990 menjadi 35.450.000 dan Tahun 2000 meningkat menjadi 40.677.000 orang (www.bps.go.id). Peningkatan proporsi penyerapan tersebut merupakan bukti bahwa sektor pertanian merupakan sumber mata pencaharian pokok sebagian besar penduduk desa, lapangan kerja buruh tani dan petani berlahan sempit, penghasil makanan terutama bagi penduduk kota yang bekerja di pabrik, jasa dan perdagangan. Secara makro, peranan sektor pertanian, khususnya produksi beras adalah sebagai penghasil pangan, alat menjaga stabilitas perekonomian rakyat, stabilitas pemerintah serta menjadi alat menjaga ketahanan nasional (Tati Nurmala, Loc. cit., 96-99).
Mengenai status penguasaan lahan pertanian menurut Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, pasal 16 ayat 1, hak-hak atas lahan tanah dipilahkan menjadi sembilan yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah dan membuka hasil hutan, hak gadai, hak garapan, dan hak ulayat. Berkenaan dengan tersedianya lahan pertanian tersebut, maka berdasarkan prinsip sosial petani, setiap tindakan seyogyanya dilakukan dengan menggunakan strategi minimax, yaitu meminimalkan biaya (cost) dan memaksimalkan hasil produksi agar diperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Selanjutnya pada konteks ekonomi, maka agar pertanian dapat berhasil baik dan tidak mengalami kegagalan, petani perlu aktif dalam kelompok tani yang menyelenggarakan pertemuan rutin, pengadaan sarana pertanian, pembenihan, pengendalian hama dan penyakit tanaman, simpan pinjam, penanganan pasca panen, distribusi.
Perkembangan kelompok tani tersebut, baik secara kuantitas maupun kualitas mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 273 Tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani yang diarahkan pada penerapan sistem agribisnis, peningkatan dan peran petani, serta anggota masyarakat pedesaan lainnya, dengan menumbuhkembangkan kerjasama antar petani. Dengan pembinaan kelompok tani ini diharapkan dapat menggali potensi, memecahkan masalah, memberdayakan anggota tani dengan efektif, dan memudahkan dalam mengakses informasi teknologi, permodalan, situasi pasar, penerapan manajemen waktu, sikap disiplin, membangun karakter petani dan SDM lainnya (Triwibowo Yuwono, Loc. cit, 390,395).
Pada era pasca reformasi ini, dalam rangka meningkatkan dinamika sosial petani dalam konteks pembangunan pertanian menuju kemandirian pangan, peningkatan pendapatan guna mewujudkan kedaulatan pangan maka petani dan kelompok tani perlu diberdayakan melalui pembinaan yang intensif berdasarkan pendidikan orang dewasa. Selanjutnya mengingat realitas bahwa para petani umumnya adalah petani lahan sempit, maka dalam upaya pemberdayaan diperlukan dukungan modal usaha, sarana prasarana, serta penghargaan untuk memotivasi petani. Pada konteks kelembagaan, peran pemerintah, lembaga perbankan dan pemilik modal sangat penting dalam menggerakkan petani dan kelompoknya agar mampu mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan.
3. Penutup.
Kewaspadaan Nasional pada hakekatnya adalah kesadaran dan kesiagaan bangsa untuk melihat dengan cermat masalah-masalah yang dihadapi secara nasional, baik dalam bentuk kerawanan atau dalam bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan serta mampu menemukan peluang yang terbuka sehingga dapat mengambil sikap dan keputusan yang tepat, cepat, benar dan komprehensif bagi keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam perkembangannya, kewaspadaan nasional tidak statis namun dinamis, dan antisipatif terhadap berbagai kemungkinan potensi ancaman sejak awal gejala. Kecenderungan potensi ancaman, baik lokal, nasional, dan internasional dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat perlu terus dideteksi sedini mungkin agar usaha mencapai tujuan nasional tidak terganggu. Sehubungan dengan hal itu maka antisipasi dinamis atas perubahan lingkungan strategis merupakan suatu upaya yang sangat penting dalam mengembangkan kewaspadaan nasional.
Menyikapi dinamika tantangan multi kompleks yang sulit diprediksi dan berlangsung mendadak, maka berbagai kebijakan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan perlu dipikirkan dan dirumuskan dengan cermat untuk diimplementasikan oleh pemerintahan dan seluruh rakyat agar pembangunan nasional terus tumbuh dan berkembang menjadi negara yang memiliki ketahanan nasional yang berdaulat dan bermartabat.
Ketersediaan pangan sangat penting bagi upaya mewujudkan ketahanan pangan masyarakat. Atas dasar itu, petani sebagai ujung tombak pengembangan pertanian perlu diberdayakan, ditingkatkan pengetahuan, ketrampilan dan dukungan sarana prasarana serta dana secara nyata dalam mendukung percepatan produksi pertanian dan mengeliminir timbulnya kerawanan pangan.
Dengan pemberdayaan petani sehingga mampu swasembada pangan maka aksi-aksi sepihak dengan memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan kelompok dapat dicegah karena terwujudnya kemandirian petani dalam menyelenggarakan ketahanan pangan. Pertanian merupakan sektor kehidupan utama bagi rakyat Indonesia, yang memerlukan perubahan mind-set yang mencakup perubahan budaya, sikap mental, perilaku, pendidikan formal dan non formal secara sistematik sehingga memiliki keunggulan komparatif unuk menyelamatkan Indonesia.
[1] Berdasarkan inventarisasi dan verifikasi tentang nama pulau dan koordinat, Kepala Badan Informasi Geospasial Asep Kasidi merilis bahwa jumlah pulau di Indonesia ada 13.446. Sebagai data terbaru yang valid, hasil penelitian BIG ini telah dilaporkan ke UNGEGN PBB. Sumber: http://bakohumas.kominfo.go.id/news (3 Mei 2012).
[2] Berdasarkan UU RI No. 2 Tahun 2003 tentang Pertahanan Negara, Kemhan RI telah mengidentifikasi ancaman yang telah, sedang dan akan dihadapi yaitu ancaman militer yang berupa agresi, pelanggaran wilayah, spionase, sabotase, aksi teror, pemberontakan bersenjata dan perang saudara serta ancaman non militer berupa aksi-aksi yang mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Hutabarat, Budiman, 2009, “Kebangkitan Pertanian Nasional : Meretas Jebakan Globalisasi dan Liberalisasi Perdagangan”, dalam “Kumpulan Jurnal Ilmiah Pengembangan Inovasi Pertanian 2001-2009” 3 (1), Bogor : Pusat Analisa Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 18-37.
Nurmala, Tati, dkk., 2012, Pengantar Ilmu Pertanian, Yogyakarta : Graha Ilmu.
Pokja Kewaspadaan Nasional, 2012, Kewaspadaan Nasional Pasca Orde Baru, Jakarta : Lemhannas RI.
______, 2012, Manajemen Konflik, Jakarta : Lemhannas RI.
______, 2012, Integrasi Nasional, Jakarta : Lemhannas RI.
Situmorang, Pancar, 2009, “Analisis Kritis Terhadap Paradigma dan Kerangka Dasar Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional” dalam “Kumpulan Jurnal Ilmiah Pengembangan Inovasi Pertanian 2001-2009” 3 (1), Bogor : Pusat Analisa Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 1-19.
Sumarto, Hetifah Sj., 2009, Inovasi, Partisipasi, dan Good Governence 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Yuwono, Triwibowo (Ed.), 2011, “Pembangunan Pertanian : Membangun Kedaulatan Pangan”, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Sumber hukum :
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Undang-Undang RI Nomor 17 tahun 2007 tentang RPJP 2005-2025.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 273 Tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani.
Sumber internet:
www.google.co.id/tantangan ketahanan nasional (/2012/4/8)
http://www.google.co.id/, Data BPS (2011/6/1), tribun.news.com (2011/09/22)