KONSEPSI KETAHANAN NASIONAL DALAM PENGELOLAAN BIBIT UNGGUL PADI DAPAT MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN MASYARAKAT
oleh : Zaedun, S.Sos
1. Pendahuluan.
Profesor Riset pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor, Budiman Hutabarat dalam orasi yang disampaikan pada pengukuhan tanggal 29 Januari 2009 menjelaskan bahwa perkembangan saat ini diprakirakan merupakan perubahan perekonomian global sebagai akibat dari perubahan ekonomi industri menjadi ekonomi informasi dan pengetahuan. Kondisi ini secara langsung maupun tidak langsung akan mengubah jati diri perekonomian lokal, nasional dan internasional, serta bidang sosial, budaya, dan politik masyarakat.
Perubahan perekonomian global dipicu oleh kemajuan teknologi, informasi, komunikasi, dan perubahan kebijakan pasar. Akibatnya kekuatan libelarisasi dan deregulasi di berbagai negara telah menggantikan kebijakan dan campur tangan pemerintah pada sektor industri dan pasar yang mengakomodir potensi sumber daya, produksi, serta penjualan barang dan jasa. Sebagai reaksi kritis terhadap perkembangan itu paradigma positif yang dapat dirumuskan yaitu akankah perubahan tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia (Budiman Hutabarat, 2009 : 18).
Menyimak perubahan tersebut, pengaruhnya bagi masyarakat di negara berkembang, khususnya Indonesia makin terasa sehingga menyebabkan situasi ketidakpastian dan arah perkembangan sektor pertanian nasional ke depan tampak makin sulit, bahkan dapat berpotensi menjebak daya ketahanan pangan masyarakat. Perkembangan itu karena liberalisasi dan globalisasi pada satu sisi diakui dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun pada sisi yang lain, perkembangan ini sangat memprihatinkan karena dalam batas tertentu jumlah pengangguran dan penduduk tidak mengalami penurunan yang berarti, bahkan tingkat kesenjangan ekonomi makin tinggi, karena masyarakat tidak mempunyai keunggulan komparatif dalam mengelola tanaman pangan akibat biaya produksi yang besar (Silalahi, Pande Radja, 2011: 486). Akibatnya beban berat yang harus dipikul oleh masyarakat di berbagai wilayah tidak dapat dihindari, terlebih bagi kawasan tertentu yang terkena bencana alam, kawasan konflik SARA yang berkepanjangan, dan mengalami kegagalan di berbagai sektor pembangunan.
Berdasarkan catatan sejarah, selama 66 tahun Indonesia merdeka, dapat diketahui bahwa filosofi dasar kebijakan pangan nasional pada dasarnya tidak mengalami perubahan yang berarti. Presiden RI pertama Soekarno menyadari betul pentingnya persediaan pangan bagi kelangsungan kehidupan bangsa. Pandangan dan pola pikir tersebut merupakan suatu komitmen yang sangat strategis.[1] Pandangan dan pola pikir ini terus berlanjut dan dianut oleh Presiden Soeharto yang menyatakan, bahwa “bangsa Indonesia harus menghasilkan sendiri bahan-bahan pangan khususnya beras, agar kestabilan harga beras betul-betul akan terjamin” (Suryana, 2007, 1-2).
Pada masa reformasi, baik Presiden B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri yang menghadapi krisis ekonomi sangat berat, terus melanjutkan program swasembada beras tetap menjadi sasaran utama kebijakan pangan. Pada masa reformasi ini, sebagai kebijakan yang ditempuh untuk menanggapi turunnya produksi beras domestik karena krisis ekonomi dan untuk menanggulangi isu pangan akibat kemarau panjang.
Maka pemerintah secara bertahap tetap menempatkan beras sebagai prioritas dengan menaikkan harga dasar gabah, memberi insentif produksi bagi petani dan membuka peluang pasar domestik bagi beras impor. Selanjutnya pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditempuh dengan melakukan variasi pada tataran kebijakan operasional, dengan pencanangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Tujuan RPPK salah satunya adalah membangun ketahanan pangan dengan mengoptimalkan pemanfaatan dan meningkatkan kapasitas sumber daya pertanian.
Sejalan dengan dinamika permasalahan tentang ketahanan pangan yang multi kompleks, sangat menarik untuk dicermati topik yang dibahas berbagai lembaga intenasional dan para pakar ekonomi pembangunan, yang menandaskan adanya keterkaitan erat antara kemiskinan (proverty) dan ketidaktahanan pangan (food insecurity). Sehubungan dengan hal itu, perlu disimak deklarasi World Food Summit yang menegaskan pentingnya pembangunan pertanian pedesaan yang berkelanjutan agar kelaparan dan kemiskinan dapat ditanggulangi.
Definisi dan upaya mewujudkan program tersebut didasari atas kenyataan bahwa mayoritas penduduk miskin, tak terkecuali Indonesia tinggal di pedesaan dengan sumber utama pendapatan dari sektor pertanian. Di Indonesia, ketahanan pangan diyakini merupakan salah satu variabel strategis dalam pembangunan ekonomi nasional karena pada tataran makro ketahanan pangan terkait dengan ketahanan ekonomi dan stabilitas nasional. Dengan pencapaian ketahanan pangan maka dapat dimanfaatkan sebagai basis bagi pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Selanjutnya pada tataran praktis, berdasarkan pengalaman kebijakan pangan sejak awal kemerdekaan, intinya didominasi oleh kebijakan ekonomi beras, dengan sasaran pokok untuk menyediakan beras dari produksi domestik (swasembada), dengan harga yang terjangkau oleh sebagian besar penduduk.
Bagi bangsa Indonesia yang memiliki ciri wilayah berupa gugusan pulau yang tersebar, dengan jumlah penduduk yang besar dan tidak merata, ketimpangan pendapatan yang tinggi, dan mengandalkan pertanian padi sebagai sektor ekonomi utama, maka kebijakan umum negara yang meletakkan ketahanan pangan sebagai salah satu pilar kehidupan nasional sudah tepat. Namun pada tataran praktis, upaya pencapaian ketahanan pangan sering direduksi menjadi kebijakan ekonomi beras, terutama berupa stabilisasi pasokan dan harga.
Kenyataan ini merupakan beban dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat karena hampir semua komponen memperlakukan beras sebagai komoditas politik. Dihadapkan pada kondisi dinamis ini maka konsepsi ketahanan nasional sebagai pisau analisa untuk memecahkan masalah pangan dengan melalui pendekatan kebijakan strategis usaha pertanian dengan pengelolaan bibit unggul padi guna meningkatkan ketahanan pangan masyarakat sangat diperlukan dalam menghadapi dan mengatasi segala ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan.
2. Inti Tulisan.
Dalam upaya mencapai tujuan nasional, bangsa Indonesia senantiasa dihadapkan pada berbagai bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik dari dalam maupun dari luar, langsung maupun tidak langsung, yang dapat membahayakan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah NKRI. Menyikapi dinamika persoalan tersebut diperlukan keuletan dan ketangguhan kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam seluruh aspek dan dimensi kehidupan yang disebut Ketahanan Nasional.
a. Dinamika Konsep Ketahanan Nasional sebagai Implementasi Pancasila dan UUD 1945.
Mencermati pengalaman sejarah sejak Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia seyogyanya menyadari jatidiri dan kondisi geografi, demografi dan konstelasi perkembangan di era globalisasi secara utuh dan menyeluruh karena dinamikanya sangat kompleks. Sebagai landasan, motivasi dan dorongan agar tercipta suasana aman, damai dan terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, yang merata materiil dan spirituil, maka Pancasila sebagai landasan idiil dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional merupakan keputusan politik nasional yang tepat dan sesuai dengan norma, hukum dan pranata sosial yang harus dipertahankan.
Dalam kehidupan manusia, baik individu, keluarga maupun kelompok dan kolektivitas masyarakat yang membentuk negara dan sistem politik, peranan ideologi sangat penting agar individu maupun kolektivitas masyarakat tersebut selalu konsisten dalam langkah dan pemikirannya serta tidak kehilangan arah. Bagi penganutnya, ideologi secara subyektif senantiasa memiliki makna positif dalam kehidupan yang sifatnya partikularistik.
Pancasila sebagai ideologi negara merupakan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang mengandung nilai-nilai dasar dan cita-cita luhur serta tujuan yang hendak dicapai bangsa Indonesia. Pancasila memberikan nilai-nilai keselarasan, keseimbangan dan keserasian, persatuan dan kesatuan, kekeluargaan dan kebersamaan yang senantiasa menjadi ekspresi dari setiap warga Indonesia dalam hubungan dengan sesama, di masyarakat, dengan alam sekitar dan dengan Tuhannya.
Nilai persatuan dan kesatuan menghendaki kebhinnekaan yang melekat dan dijadikan sebagai kekuatan bangsa Indonesia untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita nasional. Dengan potensi ini berarti bahwa segenap komponen bangsa dalam menjalankan peran, fungsi dan kewajibannya harus senantiasa menempatkan persatuan dan kesatuan serta keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. Dengan pemahaman tersebut, Pancasila yang mengandung nilai-nilai moral, etika dan cita-cita luhur menjadi landasan bagi bangsa Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur secara material dan spiritual sebagaimana tekad dan tujuan para pendiri bangsa (founding fathers).
Pengejawantahan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diaktualisasikan dengan mempertimbangkan kondisi geografi, demografi dengan segala potensi nasional yang dimiliki dan konstelasi perkembangan secara dinamis, utuh dan menyeluruh. Dihadapkan dengan dinamika bangsa, disadari sepenuhnya bahwa pasca reformasi 1998, Pancasila mulai ditinggalkan, tidak lagi difungsikan sebagai wacana, baik dalam forum diskusi, sarasehan, seminar maupun dalam program-program pemerintah.
Bahkan di lingkungan perguruan tinggi tidak lagi diajarkan materi Pancasila. Situasi ini mengindikasikan bahwa Pancasila seolah-olah tidak lagi memiliki kekuatan untuk dijadikan paradigma dan batas pembenaran dalam kehidupan bangsa. Situasi ini perlu disikapi dengan kritis, arif dan bijaksana karena di antara elemen bangsa kurang menyukai substansi Pancasila dan cenderung memilih pandangan hidup lain yaitu liberalisme dan individualisme.
Dalam konteks penyelenggaraan negara, menarik untuk disimak pengamatan mantan Gubernur Lemhannas Sayidiman Surjohadiprodjo yang menyatakan bahwa “faktor yang paling mendiskredikan Pancasila sejak diterima sebagai dasar negara adalah belum pernah ada usaha serius dan konsisten dari pihak pemimpin negara untuk menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai kenyataan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara”.
Selayaknya para pemegang kekuasaan selalu harus berlangsung dalam batas-batas tata moral, untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang diartikan secara dinamis, menurut tata perundang-undangan yang telah ditetapkan secara sah. Selain tidak ada usaha serius dan konsisten para pemimpin, argumen lain yang diangkat sebagai isu oleh elemen masyarakat tertentu adalah tidak adanya wujud keadilan sosial dan carut marutnya sistem hukum selama ini (Santosa, 2007 : 107).
Akibatnya tidak dapat dipungkiri bahwa selama ini terjadi degradasi nasionalisme dan krisis jati diri bangsa, karena tolok ukur tentang etika, moral, martabat dan kehormatan bangsa cenderung melemah tanpa daya. Adapun sebagai indikator terjadinya degradasi nasioalisme tampak dari maraknya sikap saling tidak percaya, sikap bermusuhan yang berkembang menjadi konflik horizontal dan konflik vertikal yang menimbulkan kesengsaraan dan trauma berkepanjangan.
Mengenai penerapan hukum, mengingat Indonesia adalah negara hukum, maka sebagai pranata sosial hukum harus ditegakkan dan diberlakukan bagi kepentingan seluruh rakyat, bukan untuk kepentingan golongan atau individu, sehingga selaras dengan sistem dan pola kehidupan politik yang demokratis.
Menyikapi dinamika kehidupan yang dinamis, penuh gejolak dan tantangan yang multi kompleks tersebut, maka bangsa Indonesia yang telah memiliki konsep ketahanan nasional sebagai pedoman untuk meningkatkan keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional harus senantiasa dibina dan diwujudkan terus menerus secara sinergi (www.google.co.id/tantangan).
Mencermati perkembangan situasi dan dinamika yang multi kompleks, pendekatan kesejahteraan dan keamanan sangat relevan untuk dikedepankan sebagai langkah strategis dalam mencari solusi menghadapi permasalahan bangsa. Pendekatan kesejahteraan ini sangat perlu mengingat Indonesia termasuk negara yang menyandang beban jumlah penduduk miskin terbesar di Asia Tenggara sebesar 38,7 juta (data Human Development Report, 2005).
Tingginya tingkat kemiskinan ini mengakibatkan negara memiliki kualitas SDM yang masih rendah, bahkan Indonesia menempati urutan ke-110, lebih rendah bila dibanding dengan negara Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand dan Philipina (Human Development Index, http://www.google.co.id/, Data BPS 1 Juli 2011, tribun.news.com/2011/09/22).
Menyimak tingkat kemiskinan dan rendahnya kualitas SDM tersebut, patut disadari betapa kompleks permasalahan bangsa, baik secara kuantitas maupun kualitas, sehingga dalam penanganannya tidak bisa mengandalkan bantuan pihak lain yang akhirnya menjadi beban utang yang sangat berat dan menyengsarakan rakyat, tetapi perlu dilakukan upaya secara sistematis, profesional dan berkesinambungan.
Sehubungan dengan hal itu konsepsi ketahanan nasional secara terukur digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pembangunan nasional dan pembangunan daerah, mulai dari tahap perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan evaluasi. Bila intensitas pembagunan nasional meningkat akan memperkuat ketahanan nasional, sebaliknya dengan kokohnya ketahanan nasional akan mendorong intensitas pembangunan nasional.
Adapun kriteria implementasi konsepsi ketahanan nasional yaitu pemberdayaan (empowerment) seluruh komponen bangsa, baik individu, keluarga, masyarakat, bangsa, pemerintah dan negara dalam kerangka proses pembangunan secara terpadu, menyeluruh (comprehensive), ulet dan tangguh, dinamis, mandiri dan parsitipatif sebagai tanggung jawab bersama secara berkesinambungan, sehingga mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan kesejahteraan dengan keamanan. Mengenai pelibatan dan tanggung jawab bersama ini, meskipun Indonesia menganut prinsip keadilan sosial (sila kelima Pancasila), secara eksplisit pasal 27 dan 34 UUD 1945 mengamanatkan bahwa tanggungjawab pemenuhan kebutuhan kesejahteraan merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa.
b. Konsep dan Peran Strategis Ketahanan Pangan.
Ketahanan pangan (food security) merupakan fenomena yang kompleks, yang mencakup banyak aspek dan faktor terkait dari berbagai segi. Berdasarkan catatan sejarah, isu ketahanan pangan nasional sebenarnya telah mengemuka pada tahun 1970-an, seiring dengan terjadinya krisis pangan global, sehingga negara yang penduduknya mengalami kelaparan akibat krisis pangan dianggap tidak mempunyai ketahanan pangan.
Menyikapi krisis tersebut, pada saat itu konsep ketahanan pangan ditekankan pada pembahasan ketersediaan pangan pada tingkat nasional yang cukup untuk seluruh penduduk (Suryana, 2009 : 3). Pada era 1980-an, ketika krisis pangan mereda, ternyata masih terjadi kasus kelaparan di beberapa daerah. Kelaparan yang masih terjadi tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan pangan di tingkat nasional tidak dapat menjamin kecukupan pangan di tingkat regional, rumah tangga atau individu, terutama bagi kalangan penduduk miskin.
Dari fenomena tersebut para pakar terus menganalisis dan fokus bahasan mengalami perkembangan dari perhatian terhadap ketersediaan pangan secara nasional menjadi perhatian kepada kelompok penduduk dan individu yang mengalami kelaparan. Setelah dikaji dengan seksama akhirnya diketahui bahwa terdapat faktor internal yang menghambat akses perolehan pangan di tingkat rumah tangga atau individu, yaitu lemahnya faktor kepemilikan lahan pertanian (entlitement) yang menyebabkan ketidakmampuan melakukan kontrol terhadap pangan. Derajat kepemilikan tersebut berhubungan dengan stabilitas akses rumah tangga atau individu terhadap pangan, yang mencakup dimensi fisik dan ekonomi.
Akses fisik terkait dengan faktor penguasaan produksi pangan di tingkat rumah tangga dan akses ekonomi tercermin dari kemampuan daya beli yang umumnya rendah (Handewi P.S. dkk, 2009 : 74). Selanjutnya masalah kelancaran distribusi pangan di daerah pedesaan yang mengalami kendala transportasi juga menjadi bahasan serius, agar kedepan tidak mengalami masalah berat dalam operasional di lapangan sehingga bahan pangan tersedia dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat, kelompok, rumah tangga dan individu.
Masalah keamanan pangan di Indonesia dapat terjadi di sepanjang rantai pangan yang disebabkan oleh gangguan alam seperti iklim yang buruk, bencana alam, serangan hama serta faktor internal pertanian yang tidak lagi memperhatikan keseimbangan ekosistem, memelihara keanekaragaman hayati, dan berbagi kesempatan kerja di antara sesama. Pada perempatan terakhir abad 20, hampir tidak ada lagi upaya pertanian yang ramah lingkungan, karena secara teknis kegiatan pertanian merujuk dari luar negeri yang tidak beriklim tropika, bukan negara kepulauan, berbeda sumber keanekaragamannya, dan terpengaruh oleh pertimbangan ekonomi yang ekspansif.
Pertanian yang didominasi dengan upaya irigasi buatan, penggunaan bibit tanaman buatan, pupuk dan bahan kimia buatan menyebabkan ketergantungan pertanian sangat tinggi dan dampak negatif yang serius. Seluruh upaya buatan tersebut akhirnya menghancurkan siklus ruang dan siklus kehidupan dalam tanah, menurunkan keanekaragaman hayati dan menghambat peningkatan produktivitas pertanian selama waktu yang panjang. Akibatnya berdampak pada hilangnya semua peluang ekonomi pertanian di Indonesia dan runtuhnya kesejahteraan petani karena upaya tani di sawah tidak dapat diandalkan. Bahkan ancaman kegagalan panen bisa datang setiap saat, karena serangan hama dan penyimpangan iklim (Purwasasmita dan Sutaryat, 2012 : 5-6).
Dominasi pertanian yang tidak ramah lingkungan dan pertimbangan ekonomi yang ekspansif yang diwarnai dengan mafia impor pangan tersebut akhirnya mengancam kondisi swasembada pangan. Mencermati perkembangan dan kendala akses tersebut, Handewi (yang merujuk pada konsep dan peran ketahanan pangan V.J. Braun, ed.al), menyatakan bahwa ketersediaan pangan dan akses terhadap pangan merupakan dua determinan penting dalam mengupayakan ketahanan pangan. Namun perlu disadari bahwa ketersediaan pangan tidak semata-mata dapat menjamin akses terhadap pangan, terutama beban hidup yang harus dipikul oleh masyarakat miskin (Handewi, op. cit, 74).
Masalah keamanan pangan dapat terjadi di sepanjang rantai kegiatan pertanian. Atas dasar itu diperlukan upaya pemilihan dan penerapan teknologi yang tepat dan efektif agar persediaan pangan tidak tergulung oleh masalah yang menumpuk dan penanganannya berlarut, sehingga terjadi krisis kerawanan pangan yang makin parah (Purwasasmita dan Sutaryat, 2012 : 7).
Penanganan masalah pangan memerlukan kajian keamanan pangan, manajemen cadangan pangan guna mengeliminir kejadian rawan pangan karena terkait dengan stabilitas harga pangan, daya beli masyarakat dan kemampuan petani dalam menyediakan pasokan pangan serta komunikasi resiko yang efektif, sehingga dapat dirumuskan kebijakan dan strategi yang tepat (Rahayu, 2011 : 8-9). Manajemen cadangan pangan dalam perkembangannya sampai sekarang memerlukan kajian yang komprehensif.
Mencermati luasnya cakupan konsep ketahanan pangan dan peran strategis kebijakan pangan pada intinya berkaitan erat dengan pengaturan dan fasilitas pemerintah terhadap aspek ekonomi pangan. Dengan tahapan mulai dari cara memproduksinya, mengolahnya, menyediakan, memperoleh, mendistribusikan hingga mengkonsumsi, yang merupakan aspek-aspek yang menjadi perhatian pemerintah.
Dengan mencermati fenomena yang berkembang, isu ketahanan pangan dan kajian faktor penyebab tidak terwujudnya ketahanan pangan, maka di Indonesia, pengertian ketahanan pangan secara formal dirumuskan dalam Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yaitu “terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata dan terjangkau”. Dengan definisi tersebut, pada tataran makro, pemantapan ketahanan pangan diyakini merupakan salah satu pilar utama bagi kelanjutan pembangunan nasional. Adapun penjabarannya yaitu (1) ketahanan pangan terkait dengan ketahanan ekonomi dan stabilitas politik nasional, (2) pencapaian ketahanan pangan merupakan basis bagi pembangunan SDM yang berkualitas, (3) pemantapan ketahanan pangan berarti pemenuhan pangan bagi setiap individu dan sebagai perwujudan hak azasi manusia atas pangan. Pada tataran praktis, pemenuhan pangan pada intinya didominasi oleh kebijakan ekonomi beras, dengan sasaran utama penyediaan beras dari produksi domestik (swasembada) dengan harga terjangkau oleh penduduk (Suryana, loc.cit, 4-5).
c. Membangun Pangan Nasional Melalui Pemberdayaan Tani Padi.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya bukan hanya menjadi kewajiban setiap individu, tetapi sekaligus merupakan tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. Bagi Indonesia dengan ciri geografis, jumlah penduduk yang besar dan tersebar serta upaya pemenuhan kebutuhan yang mengandalkan pada pertanian tanaman padi, yang diolah menjadi beras dan nasi merupakan kebijakan yang meletakkan ketahanan pangan dengan sasaran utama penyediaan beras dari produksi domestik.
Memahami kekeliruan yang penah terjadi selama beberapa dasawasa yang lalu karena merujuk pada kegiatan pertanian dari luar negeri, upaya pertanian yang dikenal dengan istilah ecofarming, yang sangat memperhatikan keseimbangan ekosistem, keanekaragaman hayati dan berbagi kesempatan kerja dengan pola padat karya dimaksudkan untuk memperbaiki produktivitas pertanian padi sehingga tercapai swasembada dan surplus beras. Berdasarkan pengalaman swadaya rakyat yang dilandasi oleh semangat untuk mengangkat kesejahteraan petani di Jawa Barat, sebagai pilihan terbaik yang dapat diandalkan sejak tahun 2000-an diterapkan pertanian padi dengan System of Rice Intensification (SRI). Metode SRI yang diterapkan telah mengalami penyempurnaan atas dasar pengalaman dan pemahaman yang komprehensif, dan berhasil meningkatkan produktivitas padi dari 4-5 ton/ha menjadi 8-12 ton/ha.
Bagi petani, budidaya SRI membawa manfaat yang sangat berarti, karena mampu memberikan pemahaman paradigma baru pertanian dimasa depan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, dan meningkatkan produktivitas serta kualitas hasil panenan. Teknologi tanaman padi ini selanjutnya dinamakan SRI Organik Indonesia (Purwasasmita, Op. Cit. : 8).
Penerapan SRI Organik Indonesia yang awalnya dikembangkan di Jawa Barat pada dasarnya telah terbukti mampu meningkatkan produksi padi diatas produksi rata-rata nasional. Namun dalam praktiknya di lapangan, penerapan metode SRI Organik Indonesia terkesan belum menjadi prioritas utama kebijakan, yang berarti belum mampu mengubah paradigma kaum petani untuk mengatasi kerugian yang dipikul selama ini serta mencari alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan. Menyikapi hal itu diperlukan upaya untuk dapat memasifkan atau membangkitkan sistem SRI, yang meliputi aspek SDM, budaya, kelembagaan tani, peran politik, kerangka pemikiran dan program yang berkesinambungan.
Persiapan SDM melibatkan unsur petani sebagai pelaku di lapangan, lembaga yang mengelola pertanian, pemilik tanah, tokoh masyarakat setempat dan waga masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pertanian. Perhatian terhadap seluruh unsur tersebut perlu dilakukan dengan persuasif untuk menghindari terjadinya konflik akibat kesenjangan informasi.
1) Persiapan di tingkat Kelompok. Dilakukan pada tingkat kelompok, yang diawali dengan proses pembelajaran untuk menjaring informasi tentang kondisi kelompok tani dan menyampaikan pengetahuan praktis cara budi daya tani yang selaras dengan alam lingkungan, yang mengangkat praktik tani tradisional tanpa menggunakan pupuk maupun bahan kimia, tetapi hasil panenan baik dan berkualitas sehingga petani dapat memahami dan tidak terjadi benturan kepentingan. Setiap pertemuan perlu dimanfaatkan sebagai media diskusi kelompok tani tentang budi daya SRI, yang diawali dengan peninjauan di lapangan dan mengajak para petani untuk menganalisis sederhana yang diterapkan.
2) Proses pembelajaran. Dengan diskusi kelompok tani diharapkan mampu membuka kebekuan pikiran calon petani SRI Organik Indonesia, sehingga muncul kesadaran bersama untuk kembali ke praktik tani tradisional yang benar.
3) Proses pendampingan. Pasca pembelajaran diperlukan proses pendampingan sebagai upaya memfasilitasi kelompok maupun individu dalam mempersiapkan berbagai kebutuhan persemaian, penyiangan dan pengendalian hama serta menyusun jadwal kegiatan kelompok dalam satu musim tanam.
4) Lokakarya. Tahap selanjutnya dilakukan lokakarya oleh, dari dan untuk tani sebagai wadah kemitraan dan koordinasi antara petani, pengurus kelompok tani, perangkat desa dan kecamatan, yang dimaksudkan untuk mengkaji pengalaman penerapan SRI dan menata program ke depan.
5) Pemeliharaan Budaya Tani Padi. Penerapan dan pengembangan tanaman padi Sri Organik Indonesia memerlukan basis pembudayaan yang kuat, yang memperhatikan nilai-nilai budaya yang masih dipegang teguh oleh penduduk pedesaan maupun perkotaan. Untuk itu perlu dipahami bahwa landasan kehidupan bangsa dan tata perekonomian bertumpu pada sektor pertanian.
Menyadari hal itu arah kebijakan yang perlu dipertahankan adalah memelihara cara tani padi terbaik, yang sesuai dengan kearifan nilai setempat dan didukung oleh konsep pertanian yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan dan dapat diterapkan dalam praktik di lapangan. Mengenai seleksi benih, SRI Organik Indonesia menggunakan benih unggul, yang sehat dan bermutu, baik dari varietas lokal maupun varietas unggul baru. Disarankan SRI tidak menggunakan benih hibrida impor untuk menghindarkan dari ketergantungan pada benih impor dan monopoli ketersediaan bibit padi (Purwasasmita, Op.cit, hlm. 82).
3. Penutup.
Ketahanan pangan merupakan salah satu variabel strategis dalam pembangunan ekonomi nasional, karena pada tataran makro ketahanan pangan terkait dengan ketahanan ekonomi dan stabilitas nasional. Dengan pencapaian ketahanan pangan maka dapat dimanfaatkan sebagai basis bagi pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya alam di komdinasikan dengan sumber daya manusia yang akan mengimbangi dan menjalani pertumbuhan nasional dengan baik.
Selanjutnya pada tataran praktis, berdasarkan pengalaman kebijakan pangan sejak kemerdekaan Indonesia, pada intinya didominasi oleh kebijakan ekonomi beras, dengan sasaran pokok untuk menyediakan beras dari produksi domestik (swasembada), dengan harga yang terjangkau oleh sebagian besar penduduk. Tentu dengan, harga bibit dan pupuk yang murah dan terjangkau petani, khususnya petani menengah ke bawah (lokal), tidak adanya permainan elit di pemerintah yang memainkan peran dalam masuknya beras impor yang harganya murah sehingga petani merugi.
Melihat situasi dan kondisi secara nasional, dengan mencermati fenomena yang berkembang, isu ketahanan pangan dan kajian faktor penyebab tidak terwujudnya ketahanan pangan, maka kebijakan ketahanan pangan secara formal dirumuskan dalam Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yaitu “terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata dan terjangkau”.
Sebagai langkah konkrit untuk menjamin kesinambungan upaya peningkatan produksi padi dengan pemanfaatan bibit unggul dan peningkatan kesejahteraan petani, harus disadari pentingnya penerapan konsep ketahanan pangan dan peran strategis kebijakan pangan yang mampu diterapkan mulai dari tahap cara memproduksinya, mengolahnya, menyediakan, memperoleh, mendistribusikan hingga dapat dikonsumsi oleh seluruh penduduk.
Atas dasar itu perhatian kepada petani sebagai pelaku tani padi perlu diprioritaskan sehingga tersedia cadangan pangan yang mantap dan selaras dengan konsepsi ketahanan nasional dengan penerapan teknologi pertanian yang tepat, yang memperhatikan ekosistem, memelihara keanekaragaman hayati, berbagi kesempatan kerja dan selaras dengan budaya setempat.
[1] Pidato Presiden Soekarno pada peletakan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Pertanian UI di Bogor pada 27 April 1952, “ …yang hendak saya katakan itu adalah amat penting, bahwa mengenai soal mati-hidupnya bangsa kita di kemudian hari…mengenai soal persediaan makan rakyat”.
DAFTAR PUSTAKA
Hutabarat, Budiman, 2009, “Kebangkitan Pertanian Nasional: Meretas Jebakan Globalisasi dan Liberalisasi Perdagangan”, dalam “Kumpulan Jurnal Ilmiah Pengembangan Inovasi Pertanian” 3 (1), Bogor, Pusat Analisa Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 18-37.
Handewi P.S. dkk, 2009, “Kebijakan Pengelolaan Cadangan Pangan Pada Era Otonomi Daerah dan Perum Bulog”, dalam “Kumpulan Jurnal Ilmiah Pengembangan Inovasi Pertanian” 3 (1), Bogor, Pusat Analisa Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 73-83.
Latif, Yudi, 2011, “Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila”, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Notonagoro, 1974,“Pancasila Dasar Falsafah Negara”, Djakarta : Pantjuran Tudjuh.
Pokja Geostrategi dan Tannas. 2012. Modul Geostrategi Indonesia. Lemhannas RI.
Purwasasmita, Mubiar dan Sutaryat, Ali, 2012, Padi Sri Organik Indonesia, Jakarta : Penebar Swadaya.
Rahayu, Winiati P. dkk, 2011, “Keamanan Pangan Kepedulian Kita Bersama”, Bogor : IPB Press.
Santosa, Kholid O., 2007,”Paradigma Baru Memahami Pancasila dan UUD 1945”, Bandung : Sega Arsy.
Silalahi, Pande Radja, “Tantangan Ekonomi Indonesia Tahun 2012” dalam Jurnal Analisis, Vol.40, No.4 Desember 2011, Jakarta : CSIS, 485-508.
Suryana, Achmad, 2009, “Menelisik Ketahanan Pangan, Kebijakan Pangan, dan Swasembada Beras””, dalam “Kumpulan Jurnal Ilmiah Pengembangan Inovasi Pertanian” 3 (1), Bogor, Pusat Analisa Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 1-16.
Sumber hukum :
Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemen UUD 1945.
Undang-Undang RI No 7 tahun 1996 tentang Pangan.
Undang-Undang RI No 17 tahun 2007 tentang RPJP 2005 – 2025.
Sumber internet:
[tersedia on line] www.google.co.id/tantangan ketahanan nasional (/2012/4/8) http://www.google.co.id/, Data BPS 1 Juli 2011, tribun.news.com (2011/09/22)